Tampilkan postingan dengan label budha. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label budha. Tampilkan semua postingan

KEDAH IBU KOTA PEMERINTAHAN SRIVIJAYA

 

Ilustrasi Gambar: National Geographic

FB Nur Farhana - Tahu tak kalian, nama Srivijaya lebih dulu disebutkan dalam rekod dinasti Cina pada tahun 638M, jauh sebelum keberadaan Srivijaya di Palembang dan Sumatera pada tahun 683M di abad ke 7 masehi :
"The History of Ming Dynasty (the Ming Shih) says that San-fo-chi (三佛斉 - Srivijaya) was formerly called Kan-da-li(or Kan-tuo-li,干陀利 - Kedah) and started tributary mission in the Liang times."
「三佛斉、古名干陀利。劉宋孝武帝時、常遣使奉貢。梁書武帝時数至。宋名三佛斉、修貢不絶。」
Sumber rekod China itu tidak mampu dibantah yang mengesahkan bukti Srivijaya diasas mula oleh Kan-da-li iaitu Kedah.
Kata 'Srivijaya' juga awalnya dari nama seorang Raja Melayu beragama Budha bernama Qu-tam (Chudam) yang memerintah kerajaan Tanah Merah (Chih-tu) yang menguasai wilayah utara 'semenanjung Melayu asal' mengitari Kedah, Kelantan hingga Segenting Kra.
Penemuan prasasti Budhagupta di Seberang Prai yang dulunya wilayah Kedah, menguatkan bukti bahawa kerajaan Chih-tu bertempat di utara Malaysia berdiri sekitar abad ke 4 hingga 5 Masehi. Sejarawan J Laidlay pada tahun 1848 menterjemahkan teks prasasti itu yang ditulis dengan huruf Pallava (400-500M) dan bahasa Pali mengandungi ajaran Budha dan menyatakan kejayaan pelayaran oleh seorang nakhoda kapal bernama Budhagupta, seorang penduduk Negeri Tanah Merah (Chih-tu).

Bukan Sriwijaya tapi Sri Budha

Ilustrasi Foto: historia

Disain dari JPNN

PERSIS satu abad lampau. Teori bahwa ada kerajaan bernama Sriwijaya lahir dari nalar rahim George Coedes, seorang ilmuwan Prancis. Setelah mempelajarinya baik-baik, ternyata teori itu, maaf, keliru. Sriwijaya bukanlah kerajaan. Dan alur ceritanya tak seperti yang dihidupkan para sarjana di kampus-kampus.   


Wenri Wanhar – Jawa Pos National Network

Sejak 1999, saya mulai belajar sejarah Indonesia. Dari mana asal kata Indonesia dan sejarah kemerdekaannya. Saya lantas tertarik pada sejarah Sriwijaya, yang katanya kerajaan maritim nan amat berpengaruh pada awal masehi.   

Boleh jadi ketertarikan itu lantaran saya lahir di Pulau Sumatera, tanah yang kabarnya menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya.   Nyaris semua buku yang mengaji Sriwijaya terbaca. Tak puas, saya lantas mendatangi dan membaca ulang prasasti-prasasti dan batu bersurat terkait kejayaan Sriwijaya. Berita Arab dan berita China yang dipakai para peneliti untuk menyelami alkisah Sriwijaya juga saya pelajari lagi.   

Sarlingpa: Svarṇadvīpī Dharmakīrti

Foto: Andalas Tourism

 

Svarṇadvīpī Dharmakīrti

'Di dalam Buddha, Dharma, dan Sangha
Aku pergi berlindung hingga tercapai pencerahan.
Melalui buah mempraktikkan kedermawaan dan kesempurnaan lainnya,
Semoga aku mencapai Kebuddhaaan demi kebahagiaan semua semua makhluk.'
Nama lain beliau Sarliṅgpā Dharmakīrti atau pada catatan Cina disebut Chökyi Drakpa. Beliau adalah seorang pangeran dari Śrī-Vijayēndra-Rājā atau masiih bagian dalam silsilah Dinasti Syailendra.
Nama awal beliau, Svarṇadvīpī, adalah julukan yg terkenal, menunjukkan darimana beliau dilahirkan. Swarnadwipa sekarang dikenal dengan Sumatera. Dalam catatan Cina, disebutkan beliau berasal pada sebuah sistem negara 'kadatuan', dimana sang 'datu' membawahi beberapa kerajaan. Dapat disimpulkan beliau adalah putera Sumatera yang hidup di zaman Sriwijaya.

Kalacakra, Buddha Vajrayana dan Kebatinan Jawa

gambar: bpad


Aliran Vajrayana di Nusantara adalah cabang dari aliran Mahāyāna yang berasal dari India, kemudain dikembangkan di Sumatra pada zaman Kerajaan Sriwijaya. Dikisahkan Serlingpa Dharmakirti, seorang Pangeran daei SriVijayendra-Raja yang masih termasuk dalam silsilah Dinasti Syailendra, yang juga dikenal sebagai guru besar Buddhis di Sumatra pada abad ke-10. Bhikkhu Atisa asal India datang ke Sumatera untuk berguru dibawah telapak kakinya, belajar dan membawa ajaran ini ke negaranya. Atisha kemudian menjadi pendiri salah aliran utama di Tibet.
Dalam aliran Vajrayana/Tantrayana, Kala adalah salah satu pelindung Dharma yang berkuasa atas Waktu (Roda Waktu atau Roda Dhamma). Adapun di Tibet juga dikenal kata Kalacakra, namun bukan sebagai penolak sial, melainkan utk ber-kultivasi secara spiritual, dan merupakan salah satu Sadhana tingkat tinggi dalam aliran Tantra.

JAWADĪPA, JAWABUDA (ŚIWA BUDDHA), DAN KEJAWEN MENURUT NUSWANTORO


MEMAHAMI PERBEDAAN JAWADĪPA, JAWABUDA (ŚIWA BUDDHA)

DAN KÊJAWEN
Oleh : Damar Shashangka.
Postingan ini cukup panjang, tapi sangat berguna bagi teman-teman semua yang ingin mengetahui perbedan Jawadīpa, Jawa Buda dan Kêjawen.
Sudah beberapa tahun ini saya berusaha untuk mengumpulkan sekaligus mempelajari naskah-naskah klasik Jawa dari berbagai latar belakang ajaran yang pernah berkembang di Jawa untuk kemudian saya klasifikasikan dengan cermat demi untuk mengurai kerancuan informasi yang ada. Hasil dari mengumpulkan dan mempelajari berbagai naskah tersebut, pada akhirnya saya menemukan gambaran jelas tentang apa saja ajaran yang pernah tumbuh dan berkembang di Jawa. Setidaknya ajaran yang pernah tumbuh di Jawa bisa dibagi ke dalam tiga kategori besar:
1. Jawadīpa
2. Jawa Buda
3. Kêjawen

Phattalung : Kesultanan Melayu-Islam Yang Akhirnya Hilang Arah

Sumber Gambar: https://www.facebook.com
Phattalung : Kesultanan Melayu-Islam Yang Akhirnya Hilang Arah
1. Iman tak dapat diwarisi, dari seorang ayah yang bertaqwa. Jadikan kisah sejarah ini sebagai pedoman.

2. Kewujudan negeri Phattalung berkait rapat dengan negeri Singgora. Apabila Dato Moghul yang mengasaskan negeri Singgora mangkat, takhta Singgora digantikan oleh anakanda sulungnya yang bergelar Sultan Sulaiman Syah. Manakala sebuah lagi wilayahnya iaitu Phattalung ditadbir oleh seorang lagi anakanda baginda iaitu Sultan Farisi. Seorang lagi anakanda Dato Moghul adalah perempuan bernama Fatimah.

3. Selepas Singgora jatuh akibat serangan Ligor yang bertindak bagi pihak Ayutthaya, Sultan Farisi dibenarkan untuk meneruskan perintahan di Phattalung tetapi di bawah naungan Siam. Baca mengenai kisah kejatuhan Singgora di bawah :

KEBAYA

 

Perempuan-perempuan tak berpenutup dada tak hanya di Papua saja di masa lalu, tapi di banyak daerah di Indonesia. Di Jawa, kaum perempuan biasanya hanya menutup dadanya dengan kemben yakni sebuah kain yang dililit di bagian dada. Baru setelah periode 1900-an, perempuan di Jawa mulai mengenakan kebaya.

Baca selengkapnya di artikel "Sejarah Kutang Nusantara", https://tirto.id/byuk

Kebaya diduga berasal dari bahasa serapan Arab qaba yang berarti pakaian yang kemungkinan berhubungan dengan kata abaya yang berarti jubah yang longgar. Kemudian kata ini mendapat tempat melalui Bahasa Portugis cabaya.

Menurut sebagian sumber kebaya sudah ada semenjak zaman Majapahit yang lazim dipakai oleh perempuan bangsawan yang dipadukan dengan pakaian yang telah ada sebelumnya yakni kemben. Sebelumnya di Jawa juga telah dikenal istilah lain untuk pakaian perempuan seperti kulambi yang berarti baju, sarwul atau sruwai yang berarti celana, dan ken yang merujuk kepada kain panjang yang dililitkan ke pinggang.

Sekilas Perihal KEMBEN


Kemben secara tradisional dikenakan dengan cara melilitkan sepotong kain menutupi batang tubuh bagian atas, tepi dilipat dan disematkan, diikat dengan tambahan tali, ditutupi dengan angkin atau selempang yang lebih kecil di sekitar perut [Wikipedia]

Terdapat beragam versi terkait asal muasal kemben ini, Wikipedia menyebutkan bahwa busana ini sudah ada semenjak periode Jawa Kuno dan Klasik dan dipakai oleh wanita istana. Hal ini seperti tergambarkan dalam kitab Kakawin Sumanasāntaka, karya dari Mpu Monaguna, pujangga dari Kadiri pada abad ke-13 M, berikut petikannya:

Jayawarman I Yang Terakhir dari Pengadilan Kamara


Jayawarman I Yang Terakhir dari Pengadilan Kamara

Karena istana Kambuj di Kedah di Malaysia sedang didorong oleh serangan Chenla ke pulau Na-Tu-Na di Kalimantan (The Chenla Empire: The Chenla Brotherhood: The Leader of the Chenla's Pact), Legenda Khmer tentang Prah Thong menunjukkan bahwa istana Khmer melarikan diri ke Nokor Rajasema. Seperti yang telah kita lihat, munculnya Jayawarman I yang menetap di Wat Phu dan kemudian memindahkan istananya ke Ba-Phnom menegaskan kenyataan dari legenda Khmer (The Chenla Empire: The Fall of Funan: The Last Funan king Jayavarman I). Prasasti Ang Chumnik mungkin merupakan prasasti terakhir yang ditinggalkannya di Ba-Phnom. Prasasti itu dimasukkan oleh anggota istananya dan memberikan informasi yang baik tentang akhir pemerintahannya. Prasasti tersebut menunjukkan bahwa Jayavarman I meninggalkan istananya kepada pamannya dari pihak ibu untuk menjaga kekayaan keluarga.
“Kemudian raja (Jayawarman I), dengan segala tanda kehormatan, menyerahkan (istana) kepada saudara laki-laki ibunya, yang tanpa gelar, menikmati kekayaan seorang raja. “

Dapunta Hyang Śrī Jayanāśa Warmadewa (682M-702M)

 


 Jayavarman I ( Khmer : ជ័យវរ្ម័ន ទី ១ Tiongkok :闍 耶 跋摩,) (674M-681M)

Dapunta Hyang Śrī Jayanāśa Warmadewa (682M-702M)
Jayavarman I memerintah wilayah pra-Angkor yang dikenal oleh sumber Cina sebagai 'Chenla' , salah satu pemerintahan pendahulu Kekaisaran Khmer. Jayavarman berarti 'pelindung yang menang'. 'Jaya' secara harfiah berarti 'menang', dan 'varman', gelar yang digunakan dalam nama raja raja penguasa Funan dan Chenla, dan dalam sejarah Kamboja, berarti 'baju besi'; karenanya, 'perlindungan'.
Ia naik tahta menggantikan ayahnya Candravarman (657M-674M). Istananya terletak di Purandarapura, di ujung utara Tonle Sap. Selama masa pemerintahannya, dan pendahulunya Bhavavarman II dan Candravarman, kekuasaan raja-raja Khmer mulai dikonsolidasikan di wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh budaya Funan, tetapi terjadi banyak pertempuran di antara 'tuan-tuan' lokal yang menguasai berbagai bagian Kamboja.

Cime'eh\3. Pakaian Bangsa Nuswantoro

 Silahkan klik pada judul untuk menuju tulisan:

  1. SELAYANG PANDANG SEJARAH BATIK
  2. Sekilas Perihal KEMBEN
  3. KEBAYA


Cimie'eh\1.Nuswantoro

Surat Raja Melayu kpd Kalifah Umar bin Abdul Aziz

Sumber Gambar: https://blockbusterviral.files.wordpress.com
SURAT MAHARAJA MELAYU KEPADA KHALIFAH UMAR [BIN] ABDUL AZIZ.[1]
Oleh Hasanuddin Yusof

Seorang sarjana Andalusia yang benama Ibnu Abd Rabbih (860-940 M) menulis di dalam bukunya yang bertajuk "Al Iqd Al Farid" (Kalung yang Istimewa) bahawa terdapat seorang Maharaja dari Wilayah Hind yang mengutuskan surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Kandungan surat adalah seperti berikut :

"Dari Raja sekalian para raja (Malik al Amlak) yang juga adalah keturunan ribuan raja, yang isterinya pun adalah cucu dari ribuan raja, yang tamannya dipenuhi dengan ribuan ekor gajah, yang wilayah kekuasaannya terdiri dari dua batang sungai yang mengairi tanaman gaharu, rempah wangi, pokok pala, dan kapur barus yang bau keharumannya semerbak sehingga 12 batu jauhnya.

Kepada Raja Arab (Khalifah Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyembah tuhan-tuhan lain selain Tuhan yang satu. Aku telah mengirimkan kepada engkau hadiah yang tidak seberapa sebagai tanda persahabatan. Aku harap engkau sudi mengutuskan seseorang untuk menerangkan ajaran Islam dan segala hukum-hukumnya kepadaku"