Jayavarman I ( Khmer : ជ័យវរ្ម័ន ទី ១ Tiongkok :闍 耶 跋摩,) (674M-681M)
Dapunta Hyang Śrī Jayanāśa Warmadewa (682M-702M)
Jayavarman I memerintah wilayah pra-Angkor yang dikenal oleh sumber Cina sebagai 'Chenla' , salah satu pemerintahan pendahulu Kekaisaran Khmer. Jayavarman berarti 'pelindung yang menang'. 'Jaya' secara harfiah berarti 'menang', dan 'varman', gelar yang digunakan dalam nama raja raja penguasa Funan dan Chenla, dan dalam sejarah Kamboja, berarti 'baju besi'; karenanya, 'perlindungan'.
Ia naik tahta menggantikan ayahnya Candravarman (657M-674M). Istananya terletak di Purandarapura, di ujung utara Tonle Sap. Selama masa pemerintahannya, dan pendahulunya Bhavavarman II dan Candravarman, kekuasaan raja-raja Khmer mulai dikonsolidasikan di wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh budaya Funan, tetapi terjadi banyak pertempuran di antara 'tuan-tuan' lokal yang menguasai berbagai bagian Kamboja.
Diakhir masa permerintahannya yang singkat itu Funan mendapatkan serangan dari Kerajaan Chenla. Ia disebutkan melarikan diri ke Yavapati yang oleh Cœdes ditafsirkan sebagai Pulau Jawa, tempat asal kelahiran ibunya. Kemungkinan yang dimaksud adalah Kerjaan Tarumanegara di Pulau Jawa Bagian Barat. Atas izin penguasa setempat, ia membuat pemukiman yang dinakan Dhevanipura, disana ia mendirikan pemerintahannya baru. Digambarkan kota yang baru didirikan ini dikelilingi oleh suku-suku 'liar'.
Jayavarman I tidak memiliki ahli waris. Setelahnya Kerajaan ini untuk pertama kali diperintah oleh seorang Ratu, yakini Jayadevi (681M-713M). Tetapi kerajaan ini segera hancur berantakan menjadi banyak kerajaan yang lebih kecil. Dua negara besar muncul, yaitu 'Champa Tanah' (Lu Chenla) dan 'Riverine' atau 'Champa Air' (Shui Chenla ). Namun kerajaan ini mungkin juga merupakan sebutan kolektif untuk beberapa kerajaan. Ibukota yang terakhir adalah Purandarapura (Po-luo-ti-ba).
Sementara itu antara tahun 683M-686M nama Sriwijaya muncul dalam tiga prasasti berbahasa Melayu Kuno. Prasasti Kedukan Bukit, Karang Brahi di daerah pedalaman Jambi, dan Kota Kapur. Dapunta Hyang Sri Jayanasa adalah raja pertama Sriwijaya, kerajaan bersatu yang didirikan pada abad ke-7 yang menjadi yang pertama mendominasi Kepulauan Melayu. Berbasis di sekitar Palembang modern.
Dapunta Hyang Sri Jayanasa diketahui membawa pasukan besar untuk bertempur di Mukha Upang dan akhirnya mendirikan Kedatuan Sriwijaya pada tahun 682M. Dia lalu membuat sebuah taman besar bagi warga Kedatuan Sriwijaya yang diberi nama taman Sriksetra. Prasasti dengan isi yang nyaris sama juga ditemukan di Karang Brahi, pedalaman Jambi, dan Palas Pasemah, ujung selatan Lampung. Diduga kedua prasasti itu diterbitkan dalam waktu yang bersamaan atau merupakan satu rangkaian prasasti dalam ekpedisi militer yang sama.
Yijing Seorang Biksu pengelana dari Cina menjadi saksi berdirinya Kemaharajaan Sriwijaya. Pada 671M Dalam perjalanannya ke India ia tinggal selama enam bulan di Sriwijaya. Ia menggambarkan Sriwijaya adalah sebuah bandar pusat perdagangan yang sedang berkembang. Kemudian ia melanjutkan perjalanan ke Kerajaan Melayu (Kandis) dan singgah disana selama dua bulan sebelum melanjutkan perjalanannya menuju India. Pada 684M ketika kembali dari India, ia mendapati bahwa Kerajaan Melayu (Kandis) sudah menjadi bagian dari Sriwijaya. Yijing menghargai pusat-pusat studi agama Buddha di Sumatra yang bernilai tinggi. Hal ini terbukti dari dan setelah itu selama sepuluh tahun ia tinggal di Sriwijaya (685M-695M).
Pada 684M Dapunta Hyang Sri Jayasana menerbitkan prasasti di Kota kapur yang berisi ancaman dan imbalan bagi penduduk Sriwijaya. Dalam prasasti ini juga disebutkan Ekspedisi lanjutan untuk menaklukan Jawa. Ekspedisinya mengarah pada perluasan penyebaran agama Buddha di wilayah taklukan dan memungkinkan kekaisaran untuk menguasai sebagian besar perdagangan maritim di wilayah tersebut.
Sriwijaya adalah sintesis dari 3 Kerajaan yang masih berkerabat dan diperintah oleh dari dinasti yang sama. Kehadirannya ditandai dengan berakhirnya era kerajaan-kerajaan yang mengawalinya:
(1) Kerajaan Funan (~68-681) di delta Sungai Mekong yang runtuh akibat serbuan Kerajaan Khmer, Chenla;
(2) Kerajaan Kandis (~330-682) di Selat Malaka; dan
(3) Kerajaan Tarumanegara (~381 -669) di Jawa bagian Barat yang runtuh akibat serbuan Kerajaan Jawa, Kalingga/Galuh.
Penggabungan ini menjadi modal kekuatan politik dan ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan Mengendalikan Selat Malaka dan Selat Sunda. Kekaisaran yang dideklarasikan di Sri Ketra, Palembang ini tumbuh menjadi hegemoni yang kuat yang membentang di Samudra Hindia dari Indonesia saat ini, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan bahkan hingga Filipina.
Dapunta berasal dari bahasa Malayu Kuno,
ḍa pu n ta yang berarti Beliau Tuan Kita sedangkan Hyang’ dianggap memiliki arti yang sama dengan kata ‘dewa'. Jadi Dapunta Hyang adalah gelar atau julukan saja. Demikian terdapat dugaan bahwa tokoh Jayavarman I ini adalah tokoh yang sama dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Ketika kerajaannya sedang menuju keruntuhan akibat kemelut internal ia melakukan Siddhayatra atau perjalanan suci dengan armada yang terdiri dari 20.000 tentara dalam upaya mendapatkan berkah yang akan membantunya menaklukkan sejumlah daerah baru. Namun dugaan bahwa kedua tokoh ini adalah sama masih memerlukan bukti tambahan yang memperkuatnya.
Prasasti Đông Yen Châu yang ditulis dalam aksara Brahmi Selatan Kuno, ditemukan pada tahun 1936 di barat laut dari Trà Kiệu, tak jauh dari ibu kota lama Kerajaan Champa di Indrapura, Vietnam. Prasasti ini ditulis dalam bentuk prosa, yang merupakan prasasti tertua dalam bahasa Cham, serta memperlihatkan adat kepercayaan dari orang-orang Cham zaman dahulu di kerajaan Champa.
Meskipun tidak bertanggal, ungkapan yang digunakan mirip dengan yang digunakan pada prasasti bertanggal dalam bahasa Sanskerta yang dikeluarkan oleh Raja Bhadravarman I (380M-413M) dari dinasti kedua Champa, yang memerintah pada akhir abad ke-4 Masehi Penggunaan teks bahasa sehari-hari ini menunjukkan, bahwa pada abad ke-4, daerah yang sekarang merupakan Vietnam bagian selatan dihuni oleh populasi masyarakat yang berbahasa Austronesia.
Kemiripan tata bahasa dan kosakata yang digunakan dalam prasasti ini dengan prasasti-prasasti berbahasa Melayu menyebabkan beberapa peneliti berpendapat bahwa peninggalan ini dapat dipandang sebagai contoh tertua bentuk bahasa Melayu Kuno yang bahkan lebih tua tiga abad daripada prasasti terawal Sriwijaya yang ditemukan di Sumatra bagian tenggara. Kesamaan tata bahasa dan kosakata dasar tidak mengherankan, karena bahasa Chamik dan Melayik berkaitan erat, yang mana keduanya adalah dua subkelompok dari kelompok rumpun bahasa Malayik-Chamik, yaitu cabang rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari keluarga bahasa Austronesia.
Bahasa yang dipergunakan dalam prasasti secara tata bahasa dan kosa katanya tidak terlalu berbeda dengan bahasa Cham dan Melayu modern. Kemiripan dengan tata bahasa Cham dan Melayu modern terlihat misalnya pada penggunaan penanda relatif yang dan ya, pemakaian kata dengan dan penanda lokatif di, sintaksis pada kalimat ekuatif Ni yang naga punya putauv yang artinya "inilah naga suci kepunyaan raja", pemakaian penanda genitif punya, dan lain-lain. Pengaruh India tampak pada terminologi Sanskerta Siddham, sebuah mantra seruan yang sering digunakan untuk keberuntungan; nāga "ular, naga"; svarggah "syurga", paribhū "menghina", naraka "neraka", dan kulo "keluarga". Teks prasasti itu sendiri, yang berhubungan dengan sebuah sumur di dekat Indrapura.
Berikut Prasasti Dong Yen Chau :
Alih Aksara :
Siddham! Ni yang nāga punya putauv.
Ya urāng sepuy di ko, kurun ko jemā labuh nari svarggah.
Ya urāng paribhū di ko, kurun saribu thun davam di naraka, dengan tijuh kulo ko.
Terjemahan :
Sejahtera! Inilah naga suci kepunyaan Raja.
Orang yang menghormatinya, turun kepadanya permata dari syurga.
Orang yang menghinanya, akan seribu tahun diam di neraka, dengan tujuh keturunan keluarganya.
Bacaan :
Disalin dari kiriman FB: Riff Ben Dahl
Dengan sumber: Proloeung Nokor Thep Apsara Soul klik DISINI
atau klik tautan di bawah: