Tatkala membaca tulisan ini, kita teringat dengan Pakcik Rasulullah yang dapat menerima kebenaran Islam namun berat hatinya untuk meninggalkan Agama Leluhurnya. Teringa tpula kita dengan kisah Fasisme Nazi dan Jepang pada masa Perang Dunia (PD) II, dimana mereka meanggap bahwa bangsa merekalah yang paling maju, unggul, hebat, dan lebih dari bangsa-bangsa lain.Silahkan dibaca dan selami pola fikir Si Penulis. Tentunya tak semua orang Jawa berfikir sama dengan Si Penulis namun kita setidaknya mendapat gambaran betapa congkak dan angkuhnya para Nuswantoro ini. Kisah mereka sesungguhnya telah digambarkan berabad-abad yang lampau oleh nabi kita. Pelajari lagi agama kita baik-baik, jangan sampai tersungkur kedalam lembah kefasikan dan kemunafikan.
Tulisan di bawah disalin dari kiriman FB: Buyung Kaneka Waluya
Sesungguhnya, orang Jawa tak pernah ikhlas menerima Islam, Kristen, Buddha, maupun Hindu. Karena orang Jawa mencintai leluhur dan budaya Jawa, serta memuliakan budaya Jawa yang luhur.
Seorang Jawa tulen, pasti akan mencintai keyakinan dan kepercayaan leluhur mereka sendiri..., yang biasa disebut ‘Kejawen’. Untuk itu, bisa dikatakan nyaris semua agama yang datang ke Jawa mengalami ‘pen-Jawa-an’ atau ‘Jawanisasi’ yang dalam istilah akademis disebut ‘Sinkretisme’.
‘Sinkretisme’ adalah suatu proses perpaduan dari beberapa paham-paham atau aliran-aliran agama atau kepercayaan. Pada sinkretisme terjadi proses pencampur-adukkan berbagai unsur aliran atau paham, sehingga hasil yang didapat dalam bentuk abstrak yang berbeda untuk mencari keserasian, keseimbangan, dan pencerahan diri.
Kita pasti pernah mendengar sebutan ‘Islam Jawa’, ‘Kristen Jawa’, ‘Buddha Jawa', dan ‘Hindu Jawa’; yang masing masingnya berbeda dengan ajaran asli di negeri asalnya.
Islam di tanah Jawa, tidak sama dengan Islam di Arab.
Hindu di tanah Jawa, tidak sama dengan Hindu India.
Kristen di tanah Jawa, tidak sama dengan Kristen di Vatikan.
Buddha di tanah Jawa, juga tidak sama dengan Buddha Himalaya/Nepal.
Budaya Jawa adalah sangat luhur, budaya yang besar.
Jadi..., tidak ada yang masuk ke tanah Jawa tanpa “menjadi Jawa”.
Islam masuk Sumatra, maka Sumatra menjadi Islam.
Islam masuk Kalimantan, maka Kalimantan menjadi Islam.
Islam masuk Sulawesi, maka Sulawesi menjadi Islam;
Tetapi Islam masuk Jawa, Islam menjadi Jawa.
Islam Jawa, adalah Islam yang lain daripada yang lain. Islam Jawa memuliakan Kanjeng Nabi Muhammad SAW, tapi juga menghormati, mengakui kekuasaan, dan memberikan pengistimewaan pada Sang Hang Wenang..., juga pada Kanjeng Ratu Kidul sebagai Penguasa Laut Selatan.
Islam yang ada ritualnya pada Malam Satu Suro dan Grebeg Maulid, dengan mengarak tujuh 'gunungan' dari Raja kepada rakyat di sekitar Kraton.
Jika merujuk pada sejarah, maka sebetulnya Jawa tidak membutuhkan Islam. Islamlah yang membutuhkan Jawa. Sebab, untuk apa para penyebar Islam datang dari negeri Hadratul Maut dan Yunnan - Cina jauh jauh sampai ke pulau Jawa, jika tidak membutuhkan Jawa?
Tanpa Islam, kerajaan di Nusantara sudah hebat-hebat.
Justru setelah ada Islam sejak th 1478, maka Majaphit runtuh tidak ada bekasnya, dikudeta anaknya yaitu Raden Patah. Serta semua kerajaan besar di Jawa dan Sunda tak ada sisanya. Kesultanan-kesultanan Islam tak pernah bersatu dan dengan mudahnya dipecah belah oleh Belanda, sehingga penjajahan berlangsung ratusan tahun.
Bukankah umat Islam pun mengakui, bahwa hanya dengan cara-cara adaptasi dan pendekatan budaya, Wali Songo bisa mengislamkan Tanah Jawa? Barangkali, hal itu sesuai dengan peribahasa Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.
Tetapi, penentangan terhadap pengislaman di Tanah Jawa tidak lekang oleh waktu. Setelah sebagian besar Jawa menganut Islampun, penentangan tak pernah berhenti. Pada 1870-an, para penulis di Kediri meramu berbagai ejekan dan olok-olok mengenai Islam dalam tiga karya sastra: ‘Babad Kedhiri’, ‘Suluk Gatholoco’, dan ‘Serat Darmogandul’.
Tiga karya itu adalah karya yang sarkastis, versi lebih lunak yang menginginkan agar orang-orang Jawa tetaplah “nJawani”, dan tidak berlaku layaknya orang Arab, yang dalam sisi lain dipandang menjadi seorang Muslim “kaffah” atau seutuhnya.
Agama manapun jika tidak berkembang mengikuti jaman, lambat laun akan ditinggalkan. Katolik berkembang mengikuti jaman, saat itu ada revolusi oleh Martin Luther. Bandingkan pandangan Katholik era Galileo dengan hari ini. Saat ini, seberapa banyakkah orang yang masih aktif ke gereja di negara-negara yang dulu kuat keKristenannya? Seberapa "kristen" orang orang Amerika dan Ingris di hari ini?
Mereka sekarang banyak yang mengikuti faham humanisme, agnostik, universalistis, atheis dan lain-lain karena mereka lebin mementingkan logika. Itulah ciri orang orang modern.
Islam selalu berkembang, ajaran Kejawen juga begitu. Meski secara politis, aliran kepercayaan seperti Kejawen, Buhun, Sunda Wiwitan, Parmalim dan lain-lain selalu mengalami tekanan.
Hal yang aneh adalah ajaran leluhur Jawa, yaitu aliran kepercayaan Kejawen, dimana dari negeri sendiri, dari Tanah Jawa, tapi justru dipinggirkan dan dimarjinalisasi oleh agama-agama asing dari luar. Banyak yang bilang, kalau aliran kepercayaan seperti kejawen itu tidak memenuhi syarat sebagai agama, karena tidak ada Nabi maupun Kitabnya. Siapa yang membuat definisi agama dalam undang-undang, sehingga harus ada unsur 'nabi' dan 'kitab'nya?
Kejawen dengan budayanya yang khas Jawa, adalah sebuah aliran kepercayaan yang tertua di dunia, yang mampu sebagai wadah, menampung semua perbedaan apapun seperti halnya Pancasila. Tidak ada yang masuk ke budaya Jawa, tanpa melaluii proses sinkritesme dengan Kejawen, yaitu dengan budaya Jawanya.
Pada agama Buddha, yang relatif tidak mengenal konsep ‘Divine’ alias ‘Causa Prima’, konsepsi Buddha di Jawa bisa mengenal adanya Tuhan Yang Maha Esa. Sementara, konsep Hindu tentang Tiga Dewa Utama (Trimurti), diadaptasi ke dalam konsepsi Jawa dengan penambahan ‘Sang Hyang Widhi’.
Demikian pula pada saat kedatangan Kristen. Kyai Sadrach, misionaris pribumi yang tergolong sukses melakukan Kristenisasi Jawa melalui sinkretisme, karena tidak hanya mencantumkan ‘Kyai’ di depan namanya, Kyai Sadrach, tetapi dia juga menggunakan banyak tradisi Jawa dalam menyukseskan agenda misi Kristen-nya.
Sinkretisme budaya Jawa tak hanya dilakukan misionaris pribumi. Conrad Laurens Coolen, misionaris keturunan Rusia-Solo, meraih sukses dalam misi Kristenisasi juga dengan cara yang disebutnya ‘kontekstualisasi’. Coolen misalnya, tak ragu memakai jampi-jampi dan mantera dalam upaya kristenisasinya.
Misalnya, karena masyarakat Jawa yang agraris mempercayai adanya Dewi Sri..., maka Coolen melakukan ritual dengan pertama-tama memohon kepada Dewi Sri, baru kemudian diakhiri dengan nama Yesus yang diajarkannya merupakan Dewa yang lebih besar.
Jadi kesimpulannya, jangan sampai kita yang lahir dan besar sebagai orang Jawa, makan dan minum, bahkan mati di Tanah Jawa, namun kehilangan ke-Jawa-annya, menjadi “wong Jowo sing wis ilang Jawane”.
Kita lahir di Jawa, besar di Jawa, dan akan dimakamkan di Jawa pula jika meninggal. Kita makan minum dari tanah dan air pulau Jawa, jadi sudah seharusnya kita ‘ngrungkebi’ bumi kelahiran kita ini.