Tampilkan postingan dengan label sailendra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label sailendra. Tampilkan semua postingan

Sarlingpa: Svarṇadvīpī Dharmakīrti

Foto: Andalas Tourism

 

Svarṇadvīpī Dharmakīrti

'Di dalam Buddha, Dharma, dan Sangha
Aku pergi berlindung hingga tercapai pencerahan.
Melalui buah mempraktikkan kedermawaan dan kesempurnaan lainnya,
Semoga aku mencapai Kebuddhaaan demi kebahagiaan semua semua makhluk.'
Nama lain beliau Sarliṅgpā Dharmakīrti atau pada catatan Cina disebut Chökyi Drakpa. Beliau adalah seorang pangeran dari Śrī-Vijayēndra-Rājā atau masiih bagian dalam silsilah Dinasti Syailendra.
Nama awal beliau, Svarṇadvīpī, adalah julukan yg terkenal, menunjukkan darimana beliau dilahirkan. Swarnadwipa sekarang dikenal dengan Sumatera. Dalam catatan Cina, disebutkan beliau berasal pada sebuah sistem negara 'kadatuan', dimana sang 'datu' membawahi beberapa kerajaan. Dapat disimpulkan beliau adalah putera Sumatera yang hidup di zaman Sriwijaya.

Perang 100 tahun: Sriwijaya VS Medang

Gambar: Guru Pendidikan


Perang Seratus Tahun dikenal oleh para sejarawan sejak awal abad kesembilan belas untuk menggambarkan konflik panjang antara kerajaan Prancis dan Inggris pada sekitar abad ke 14. Namun di Nusantara ada juga konflik serupa yang tidak kalah serunya antara Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya dan Kerajaan Medang di Pulau Jawa.
Dua faktor terletak pada asal mula konflik: pertama, status kepemilikan Bhumi Mataram beserta sejumlah situs bangunan suci di atasnya. Candi Borobudur dan Candi Sewu adalah dua Candi Buddha terbesar yang pernah ada, sebagaimana diketahui Kerajaan Sriwijaya adalah pelindung Agama Buddha. Meskipun milik raja-raja Sailendra, dinasti yang memerintah Kerajaan Sriwijaya, namun ia tetap menjadi wilayah kekuasaan Kerajaan Medang, dan raja-raja Sailendra menginginkan kepemilikan independen. Kedua, posisi pulau Jawa dan sejumlah pelabuhannya di pesisir utara yang strategis sebagai kontrol monopoli Jalur Rempah, sebuah komoditas yang bernilai tinggi di masa itu.

Prasasti Mañjuśrīgrha/Candi Sewu (792M)

 


Prasasti Mañjuśrīgrha/Candi Sewu (792M)

Prasasti ini adalah peninggalan Dinasti Sailendra yang pada saat itu memerintah Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Medang. Prasasti tersebut ditemukan pada tahun 1960 di sebelah kanan tangga pintu masuk kompleks Candi Sewu. Prasasti ini terdiri dari 16 baris, dipahat diatas batu menggunakan huruf Kawi dan berbahasa Melayu Kuno dengan unsur-unsur kata serapan dari bahasa Sanskerta. Prasasti Manjusrigrha diterbitkan pada tanggal 14 paro terang bulan, hari ke enam, bulan kartika, tahun 714 Çaka atau Jumat, 2 November 792 M.
Prasasti ini berisi keterangan mengenai diselenggarakannya sebuah upacara penyempurnaan (pemakaman) bagi Sri Nareswara (Maharaja) Dang Nayaka Dirandalurawa (Dharanindra) atau Sri Maharaja Indra yang telah mangkat. Sri Nareswara kemudian di Dharmakan di sebuah Prasada (bangunan suci). Wajrasana manjusrigrha adalah sebuah candi bercorak Buddha-Mahayana kedua terbesar di Pulau Jawa setelah Candi Borobudur. Komplekes Candi yang sekarang dikenal dengan nama Candi Sewu ini terdapat di kawasan Prambanan berjarak 800 meter dari Candi Prambanan.

Prasasti Shivagraha (856M)


 Prasasti Shivagraha (856M)

Prasasti ini adalah peninggalan dari Kerajaan Medang. Dari tanggal di chandrasengkala (kronogram) 'Wwalung, Gunung dan Sang Wiku', yakni tahun 778 Çaka atau 856M, di paruh terang bulan Mārgaçîrca atau bulan kesebelas, pada hari Wagai atau hari kelima. Kemudian dapat diketahui bahwa Prasasti ini diterbitkan pada hari Kamis, 12 November 856M. Prasasti tersebut diukir atas perintah Raja Medang, Dyah Lokapala Rakai Kayuwangi tepat setelah berakhirnya perselisihan antara Balaputradewa dengan Rakai Pikatan yang mengakibatkan Rakai Pikatan harus turun tahta.
Sebagai akibat dari perang yang terjadi, Ibukota Mataram yang dibangun oleh Raja Sanjaya hancur, untuk kemudian dipindahkan ke Mamratipura. Untuk alasan tertentu, walaupun memenangkan perang, Balaputradewa tidak menobatkan dirinya sebagai Raja Medang berikutnya. Ia menyerahkan tahta Jawa (Medang) kepada keponakannya Rakai Kayuwangi. Hal ini mengakhiri penyatuan dinasti antara Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Medang yang sudah berlangsung kurang lebih 90 tahun. Dengan demikian berarti berakhirnya kekuasaan Dinasti Sailendra di Jawa (Medang).
Prasasti yang ditulis dalam huruf Kawi dan berbahasa Jawa Kuno ini memberikan penjelasan rinci tentang kompleks candi besar yang didedikasikan untuk Siwa yang disebut Shivagrha ('Rumah Siwa'). Dalam prasasti ini juga disebutkan perintah untuk dilaksanakannya sebuah upacara pemakaman. Diyakini Maharani Pramodhawardhani adalah raja/ratu yang di Dharmakan di Candi Utama yang didedikasikan untuk Dewa Siwa dalam wujud Durga Mahisashuramardhini.
Berikut terjemahan isi Prasasti Shivagraha menurut J.G De Casparis (1951) :

Prasasti Shivagraha (856M)

 


Prasasti Shivagraha (856M)

Prasasti ini adalah peninggalan dari Kerajaan Medang. Dari tanggal di chandrasengkala (kronogram) 'Wwalung, Gunung dan Sang Wiku', yakni tahun 778 Çaka atau 856M, di paruh terang bulan Mārgaçîrca atau bulan kesebelas, pada hari Wagai atauhari kelima. Kemudian dapat diketahui bahwa Prasasti ini diterbitkan pada hari Kamis, 12 November 856M. Prasasti tersebut diukir atas perintah Raja Medang, Dyah Lokapala Rakai Kayuwangi tepat setelah berakhirnya perselisihan antara Balaputradewa dengan Rakai Pikatan yang mengakibatkan Rakai Pikatan harus turun tahta.
Sebagai akibat dari perang yang terjadi, Ibukota Mataram yang dibangun Raja Sanjaya hancur, untuk Kemudian dipindahkan ke Mamratipura. Hal ini mengakhiri penyatuan dinasti antara Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Medang yang sudah berlangsung kurang lebih 90 tahun. Untuk alasan tertentu, Walaupun memenangkan perang, Balaputradewa tidak menobatkan diri sebagai Raja Medang berikutnya. Ia menyerahkan tahta Jawa (Medang) kepada keponakannya Rakai Kayuwangi. Hal ini berarti berakhirnya kekuasaan Dinasti Sailendra di Jawa (Medang).

Prasasti Kedukan Bukit, Palembang

 Prasasti Kedukan Bukit,Palembang Sumatera Selatan...

Bukti kerajaan Srivijaya itu Melayu Kuno..
1.svasti śrī śakavaŕşātīta 605 ekādaśī śukla-

Selamat ! Tahun Śaka telah lewat 605, pada hari ke sebelas
2.klapakşa vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṃ nāyik di paro-
terang bulan Waiśakha Dapunta Hiyang naik di
3.sāmvau mangalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa
sampan mengambil siddhayātra. pada hari ke tujuh paro-terang
4.vulan jyeşţha ḍapunta hiyaṃ maŕlapas dari minānga
bulan Jyestha Dapunta Hiyang berlepas dari Minanga