ULUN JANDI: Hubungan Pendatang–Pribumi di Suku Karo
Mengamati Peristiwa-peristiwa Struktural Yang Ditelan Manipulasi dan Spekulasi Sejarah
Oleh: Juara R. Ginting (Leiden, Belanda)

FB Miyako Simanjuntak | Di Hikayat Deli ada disebutkan Sultan Deli sebagai Raja dan Sunggal sebagai Ulun Jandi dari Deli. Lalu, T. Lukman Sinar menyebutkan Sunggal sebagai Ulun Jandi di Deli dan Sultan Deli sebagai Anak Beru. Pernyataan T. Lukman Sinar kemudian diulang-ulang (copy paste) oleh penulis-penulis lain.

Tapi …. Tak seorang pun menjelaskan apa itu Ulun Jandi kecuali terjemahannya dalam Bahasa Indonesia “hulu atau awal perjanjian”.
Ada 2 hal yang menarik dari penjelasan ini. Pertama, semua menyadari (temasuk keluarga Sultan Deli dan Keluarga Datuk Sunggal) bahwa istilah Ulun Jandi adalah dari Bahasa Karo. Tapi, tetap juga ada orang-orang Melayu dan Karo yang menganggap Sunggal adalah wilayah Melayu berpenduduk Suku Melayu (bukan Karo).

Kedua, walaupun Hikayat Deli dan T. Lukman Sinar serta banyak pengcopy-paste mengulang-ngulangi tentang hubungan Raja–Ulun Jandi atau Ulun Jandi–Anak Beru ini. tidak ada satupun yang menjelaskan apa itu Ulun Jandi, temasuk T. Lukman Sinar sendiri.
Satu-satunya literatur yang menjelaskan apa itu Ulun Jandi adalah Juara R. Ginting (2000) berjudul “Inter-group Relations in North Sumatera” dalam Tribal Societies in Malay World: Singapore-Leiden.
Dalam artikel itu saya menjelaskan hubungan Raja–Ulun Jandi maupun Ulun Jandi–Anak Beru di Deli bukanlah sebuah peristiwa sejarah dalam arti kebetulan terjadi. Meski di Deli terdapat banyak kampung Melayu dan Kuta Karo, keseluruhannya dikonstruksikan seperti satu perkampungan besar yang strukturnya sama dengan apa yang kita dapati di masing-masing Kuta Karo.
Masing-masing kuta (kampung Karo) dipimpin oleh 2 pengulu: Pengulu Silebe Merdang alias Ulun Jandi dan Pengulu Kuta. Tapi, Pemerintah Kolonial “menghapuskan” Pengulu Silebe Merdang sehingga hanya ada kepemimpinan tunggal.
Dualisme kepemimpinan seperti itu tersebar di mana-mana di Indonesia dan juga Malaysia, Brunai dan Filipina yang pada intinya adalah hubungan antara Pribumi dan Pendatang.
Keagungan atau keperkasaan atau kekayaan pendatang membuat seorang pemimpin lokal terangkat diantara para pemimpin lokal lainnya setelah hubungan ini, tapi juga sebaliknya pemimpin yang terangkat ini menjadi penentu atau penguasa tanah. Dia yang menentukan apakah pendatang ini bisa mendirikan kerajaannya di tanah yang menjadi wilayah pribumi.
Otonomi diberikan kepada raja pendatang untuk menerapkan tradisinya sendiri tapi dalam hal-hal tertentu dia harus melepaskan keotonomiannya dan mengakui wilayahnya sebagai bagian kerajaan lokal. Terutama dalam kematian. Perjalanan mengusung mayat raja pendatang dari rumahnya ke pemakamannya adalah sebuah perjalanan dari negeri kehidupannya sehari-hari ke negeri kematian.
Meskipun rumah Sultan Deli dan makamnya sama-sama berada di Kampung Ilir (wilayah otonomi Sultan Deli), tapi ritual pemakaman Sultan Deli yang diiringi musik dan tari Karo adalah menghantarkannya ke Kampung Ilir sebagai bagian ulayat Tanah Karo. Ritual itu sekalian “menyunglap” Kampung Ilir (Melayu) sebagai bagian dari Kuta Sunggal (Karo).
Keberadaan bangunan tradisional Karo di depan rumah sultan adalah relevan dengan ritual pemakaman Sultan Deli di masa Pra Kolonial. Saat ritual berlangsung, tidak ada otonomi. Seluruh wilayah Deli adalah bagian Taneh Karo dengan pimpinannya Datuk Sunggal sebagai Ulun Jandi Deli. Kehadiran Raja Berempat di bangunan itu mewakili leluhur Karo yang menjadi leluhur Sultan Deli melalui garis keturunan ibu.
Ketika ritual selesai, Kampung Ilir kembali menjadi wilayah otonomi. Orang-orang Karo tetap bebas berdagang hingga ke laut (Deli Hilir yang wilayah Melayu), tapi orang-orang Melayu tidak bisa menyentuh apalagi memasuki Deli Hulu (wilayah Suku Karo) kecuali mereka yang ibunya adalah orang Karo atau berjalan lewat sungai (menentang arus).
Penghulu Buluh Cina (Melayu) yang mengawini putri Sunggal (Karo) saja tidak bisa memasuki Sunggal, tapi putranya (Sultan Ahmad) bebas keluar-masuk Sunggal (Karo) karena ibunya berasal dari sana.
M. Drakard menunjukkan hubungan seperti ini tercemin dalam Hikayat-hikayat Barus (Pantai Barat Sumatera). Barus Hilir lebih menekankan otonomi mereka yang bersumpah “menduduki tanah sendiri” dan “meminum air sendiri” sedangkan Barus Hulu selalu menyebut kedua belahan Kerajaan: Hulu dan Hilir.
Prof. Dr. Watson Andaya (istrinya Dr. Leonard Andaya) memberi gambaran yang sama di seluruh Sumatera dalam hubungan Hulu-Hilir. Dia sendiri meneliti di Jambi.
Di tulisan saya tesebut di atas, saya menyimpulkan bahwa Sultan Deli dan Raja-raja Melayu adalah pendatang, sedangkan Raja-raja Urung Serbenaman, Sepuludua Kuta Laucih, Sukapiring, dan Senembah (semuanya Karo) adalah pribumi di Deli .
Keanehan terjadi pada Hamparan Perak. Logisnya Raja Berempat Deli adalah keempat urung Karo, tapi mengapa di Jaman Kolonial Datuk Hamparan Perak yang masuk sedangkan Laucih tidak ikut?
Hamparan Perak mengaku pula sebagai pribumi dengan “mengolah” Kisah Guru Patimpus (putra Karo yang mendirikan Medan) sebagai nenek moyangnya. Padahal, sebelum kedatangan Belanda, Hamparan Perak adalah Anak Beru kesayangan Datuk Sunggal.
Bibit konflik dengan Sultan Deli sudah ada sebelum kedatangan John Anderson. Anderson melihat dan menulisnya dengan meramalkan konflik ini suatu saat akan meledak.
Apakah karena putra Hamparan Perak kawin dengan putri Sultan Deli sehingga Hamparan Perak menjadi Anak Beru dari keduanya (Sultan Deli dan Datuk Sunggal)?
Mari coba kita bandingkan sistim sosial-pemerintahan di Karo Hilir (Karo Jahe) dengan Karo Barat (juga disebut Karo Jahe di masa Pra Kolonial).
Di Barat, ada Raja Berempat Perangin-angin (Kutabuluh, Bangun, Sebayang, Pinem), Perangin-angin yang lain menggabungkan diri ke Kutabuluh: Keliat, Singarimbun, Jinabun, dan lain-lain. Di Hilir ada Surbakti, Purba, Karosekali, dan Barus.
Anak Beru Tua Karo Barat adalah Kembaren asal Pagaruyung, sedangkan Anak Beru Tua Karo Hilir adalah Sultan Deli (Meliala) asal Aceh. Tidak heran kalau seluruh wilayah Karo disebut Taneh Karo meskipun hanya bagian Timur yang Taneh Karo-karo mergana, sedangkan Karo Barat secara khusus disebut dalam kisah-kisah lama Taneh Perangin-angin.
Coba kita lihat Raja Berempat yang satu ini: Barus, Sinulingga, Suka, Meliala. Kalau di Hilir terjadi dualisme kepemimpinan Sultan Deli — Datuk Sunggal dan di Karo Barat antara Kembaren — Kutabuluh, maka di sini terjadi dualisme Silo (Tarigan) — Barus.
Apakah Silo (Tarigan) adalah pendatang bagi orang-orang Karo lainnya yang pribumi?
Jangan lupa, ada mitos yang mengatakan bahwa Tarigan adalah umang atau ada saudaranya yang menjadi umang. Ciri utama umang adalah “erbalik tapak-tapak nahena” yang artinya adalah “berjalan melawan waktu”. Dia adalah penduduk paling awal yang kemudian menjadi pendatang.
Saat mereka sudah bermukim di situ, belum ada “negeri”. Syarat mendirikan negeri harus ada hubungan pendatang–pribumi. Umang adalah penduduk awal yang mengawini putri seorang pemimpin lokal sehingga terjadi hubungan ganda yang tercemin dalam istilah TURANG.
Turang artinya saudara/i (sibling) (tidak boleh kawin) tapi juga berarti kekasih (lover) (boleh saling kawin). Kawin dengan sepupu silang (dalam beberapa generasi) akan menciptakan hubungan dimana “istrimu itu adalah saudarimu sendiri”.
Di dalam mitos asal usul Tungkat Penalun Guru Pakpak ada mengatakan kepada istri raja: “Menantumu itu adalah anakmu, kemberahen.” Itulah dasar konsep Anak Beru Tua yang secara patrilineal adalah orang asing, tapi secara matrilineal adalah anak sendiri (dirindu).
Ini sebanding dengan posisi Munte yang memegang mandat segala yang paling tua di Tanah Karo. Ada Palas Rumah Sipitu Ruang (rumah Karo tertua), nama Pitu Ruang mengingatkan Ume Pitu Rue dari Gayo (suku tertua), dan Sibuaten (gunung tertinggi di Sumut) yang kawin dengan Raja Umang (manusia paling awal menduduki Taneh Karo).
Ada satu hal yang membuat Tarigan dan Kembaren menarik untuk dibandingkan. Dalam nomenclature Karo, ada 2 jenis harimau; Arimo Tarigan (la erkesehen gatipna) dan Arimo Kembaren (erkesehen gatipna). Dalam mitologi Tarigan, ada saudaranya yang kemudian bergabung dengan bangsa umang, sedangkan dalam mitologi Kembaren ada saudaranya yang masuk hutan dan bergabung dengan bangsa arimo.
Dengan itu, Tarigan dan Kembaren sama-sama memegang mandat alam liar (wildernis) Karo.
Menjadi pertanyaan menarik adalah mitologi Sultan Langkat yang mengaku Raja Melayu tapi juga mengaku keturunan Sibayak Kutabuluh alias Suku Karo. Saya katakan, agar ini tidak menjadi spekulasi dan manipulasi sejarah, bagaimana kalau diadakan Test DNA membuktikan apakah mereka benar keturunan Karo atau omong doang alias politis?
Salam mejuah-juah, Indonesia!
Photo: Raja urung berampat dalam acara pelantikan kesultanan Deli di istana.


Tinjauan Penelitian: Identitas Kultural Minangkabau di Wilayah Riau Daratan

 



1. Pendahuluan
Wilayah Kampar, Kuantan Singingi (Taluk Kuantan), dan Rokan Hulu merupakan daerah yang secara administratif masuk ke dalam Provinsi Riau. Namun, identitas budaya masyarakat di kawasan ini menunjukkan keterkaitan yang sangat erat dengan budaya Minangkabau, bukan dengan budaya Melayu [Riau] yang lebih dominan di wilayah pesisir Riau. Tinjauan ini bertujuan untuk menguraikan hasil-hasil penelitian terdahulu yang membahas asal-usul, sistem adat, serta dinamika identitas budaya masyarakat di wilayah tersebut.
2. Wilayah Alam Minangkabau
Menurut Gusti Asnan (2007) dalam bukunya "Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Awal Abad ke-20", wilayah seperti Kampar dan Kuantan merupakan bagian dari Alam Minangkabau yang telah eksis sejak masa klasik. Daerah-daerah ini disebut sebagai wilayah rantau “Hilir” atau “Minangkabau Timur”, berbeda dari wilayah pesisir Melayu Riau. Kehadiran masyarakat Minangkabau di kawasan ini berkaitan erat dengan migrasi internal, ekspansi perdagangan, dan penyebaran Islam sejak abad ke-16.
3. Sistem Adat dan Matrilinealitas
Penelitian oleh Taufik Abdullah (1971) dan Mestika Zed menunjukkan bahwa masyarakat di Kampar, Kuantan, dan Rokan Hulu masih menerapkan sistem adat Minangkabau secara penuh, termasuk sistem matrilineal, pewarisan harta pusaka tinggi melalui garis ibu, serta eksistensi lembaga adat seperti kaum, suku, dan penghulu.
Hal ini menjadi pembeda utama dari masyarakat Melayu Riau pesisir, yang menganut sistem patrilineal dan struktur adat kesultanan. Dengan demikian, aspek adat menjadi indikator utama dalam mengidentifikasi akar budaya masyarakat di wilayah ini sebagai Minangkabau, bukan Melayu [Riau].
4. Bahasa dan Identitas Linguistik
Kajian linguistik oleh Aprinus Salam dan penelitian bahasa oleh tim Balai Bahasa Riau menunjukkan bahwa dialek yang dituturkan oleh masyarakat Kampar, Kuansing, dan Rokan Hulu termasuk dalam varian dialek Minangkabau Timur, dengan perbedaan minor dari dialek Luhak Tanah Datar dan Agam. Ini berbeda jauh dari [dialek] bahasa Melayu[1] Riau yang digunakan di pesisir seperti Siak dan Bengkalis.
5. Politik Identitas dan Administrasi
Dalam konteks kontemporer, terutama setelah pemekaran wilayah dan penguatan otonomi daerah pasca-Reformasi, terjadi penegasan ulang identitas budaya. Beberapa pihak di Riau Daratan mendorong pembingkaian identitas sebagai “Melayu Riau”, sedangkan kelompok adat dan budaya lokal mempertahankan pengakuan sebagai Minangkabau rantau. Penelitian Gusti Asnan menyoroti dinamika ini sebagai bagian dari perebutan makna identitas lokal dalam konteks politik dan administrasi modern.
6. Kesimpulan Tinjauan
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah ada, dapat disimpulkan bahwa:
Kampar, Kuantan Singingi, dan Rokan Hulu secara historis, budaya, dan sosial adalah bagian dari budaya Minangkabau.
Identitas ini tampak jelas dalam sistem adat, struktur sosial, bahasa, serta sejarah migrasi masyarakatnya.
Meski secara administratif berada dalam Provinsi Riau, ketiga daerah tersebut tidak dapat diklasifikasikan sebagai etnis Melayu secara kultural.

Referensi Utama:
1. Gusti Asnan. Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Awal Abad ke-20. Yayasan Obor Indonesia, 2007.
2. Mestika Zed. Indonesia dalam Arus Sejarah: Sumatera. Gramedia, 2013.
3. Taufik Abdullah. Schools and Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatra (1927–1933). Cornell University, 1971.
4. Aprinus Salam. Oral Tradition and Identity in Minangkabau Diaspora. Journal of Southeast Asian Studies, 2005.
5. Balai Bahasa Provinsi Riau. Pemetaan Bahasa dan Dialek di Provinsi Riau. Laporan Penelitian, 2018.
Sumber fb:TOENARO
GROUP FB: BANGSA MINANGKABAU

===========

Catatan kaki oleh Admin:

[1] Bahasa Melayu memiliki banyak dialek atau logat dan masing-masing dialek atau logat tersebut memiliki beberapa kosa kata yang tidak dimiliki oleh puak lain yang memakai dialek berbeda. Yang paling mengemuka ialah dialek Johor-Riau yang menjadi dialek resmi di Malaysia dan dialek yang dipakai oleh orang Indonesia. Selain kedua dialek tersebut, terdapat banyak dialek yang menjadi varian dari Bahasa Melayu, termasuk diantaranya dialek Minangkabau.



SEJARAH PASAR SERIKAT Tigo Baleh LAREH KOTA PAYAKUMBUH

 


Ciloteh Sejarah- Saya mendapat telpon dari Nurul JameeLa untuk dapat bertemu di Kantor Arsip dan Perpustakaan Kota Payakumbuh dan dia membawa temannya Bambang dari Damkar Kota Payakumbuh. Setelah saya tanyakan, apa topik ciloteh bila bertemu dengan saya ?.

Bercerita sekitar sejarah Kota Payakumbuh dan Pasar Serikat Tigo Baleh Lareh Kota Payakumbuh “ Jawab Nurul Jamela

Setelah kami bertemu di lantai 2 Kantor Arsip dan perpustakaan Kota Payakumbuh. Sayapun mulai berciloteh bahwa ibukota Limo Puluah Koto’s (Limapuluh Kota ) pada awalnya di Simalanggang – Payakumbuh (sampai sekarang masih Kecamatan Payakumbuh dari wilayah Kab. Limapuluh Kota), kemudian Payakumbuh ditetapkan sebagai Ibu Kota Kabupaten Lima Puluh Kota pada tanggal 1 Desember 1888,[1] Atas perintah Gubernur Jenderal dari Hindia Belanda Nomor 1 dan dicatat pada Staatblad (Lembaran Negara) Nomor : 181 Tahun 1888), yang diterbitkan pada tanggal 7 Desember 1888, Oleh Sekretaris Jenderal, GALLOIS. Bahwa Pajakombo (Payakumbuh) ditetapkan sebagai ibukota Luhak Lima Puluh Kota wilayahnya hanya kecil sesuai dalam peta perkampungan Jawa dan Perkampungan Cina.[2]

Pada Bagian VIII dalam Lembaran Negara No.181 Tahun 1888 tersebut dituliskan batas batas Kota Payakumbuh, sebagai Berikut :

VIII. Untuk ibukota Pajakombo divisi L Kota :
ke utara: jalan pintas dari penanda A, berbatasan dengan pohon pinus tepi kiri Sungai Batang Agam, 20 meter dari tepi parit timur laut benteng militer, untuk berasosiasi dengan jalan utama menuju Sarilamak (marka B); lalu kemudian jalan menuju penanda C, ditempatkan pada arah barat laut membawa jalan setapak; selanjutnya jalur jalan itu melewati penanda D ke marka E pada jalan lingkar utama sekitar Gedung Pemerintah; lanjutkan sepanjang jalan lingkar ini ke penanda F dan akhirnya keluar kutub ini mula-mula ke arah utara, kemudian ke arah barat berjalan jalan setapak di atas penanda G, berdiri di jalan menuju Soeliki, sampai penanda H, berdiri 52 meter dari jalan tersebut;
ke Barat dan ke Selatan: yang terakhir tandai kelanjutan dari jalan setapak tersebut di atas,membentang di sepanjang tepi jalan Barat Laut Sawah Negeri Koto nan Ampek yang ditempatkan di kedua sisi jalan utama menuju Fort de Koek ditempatkan penanda batu; selanjutnya jalan setapak, melewati negri Koto nan Ampek ke pos penanda I yang letaknya 80 meter dari pos besar jauhnya; dari pos ini jalan setapak tersebut di sepanjang perbatasan selatan negeri Koto nan Ampek sampai dimana ini di tanda K yang besar jalan menuju Boea dan Lintau; dan akhirnya jalan ini menuju jembatan batu di atas sungai Agam
Tenggara: dari jembatan terakhir tepi kiri Sungai Agam sampai penanda A
Atas perintah Gubernur Jenderal
dari Hindia Belanda:
Sekretaris Jenderal,
GALLOIS.

Diterbitkan pada tanggal tujuh Desember 1888.
Sekretaris Jenderal,
GALLOIS.
Sementara untuk menjawab Sejarah Pasar Serikat 13 Lareh, Setelah Perang Kamang 1908 L.C. Westeneck di pindahkan ke Batu Sangkar dan pada tahun 1910 di angkat menjadi Asistsen Residen Limapuluh Kota kemudian L.C. Westeneck mengambil prakarsa untuk membangun pasar Payakumbuh yang direncanakan dalam pasar akan dibangun 6 buah los permanen berkerangka besi beratap seng. Letak los tersebut berhadap-hadapan, tiga sebelah kiri tanah milik orang Koto Nan Gadang dan Tiga sebelah kanan tanah milik orang Koto Nan Ampek pada jalan menuju arah Batang Agam
Dana pembangunan los tersebut di pinjam dari locale Fonda Resident Sumatera Weskuts sebesar f 36.000 ( tiga puluh enam ribu gulden) dalam jangka pinjaman 8 tahun. Bersamaan dengan pembangunan tersebut didirikan pula sebuah bangunan berlantai dua dan bergonjong lima (sekitar toko Hizra sekarang dan pada tanggal 23 Desember 1948 di Bom Belanda saat memasuki Kota Payakumbuh agresi Belanda ke-2., yang kemudiannya terkenal dengan sebutan “gonjong limo”, dan ada lagunya :

Payakumbuh sungguh indah permai,
Gonjonglimo dipingirnya balai,
Kota indah penduduknya ramai,
Pemudanya banyak rukun dan damai.

Peresmian dari 6 petak los serta Gonjong Limo tersebut adalah pada tanggal 12-12-1912 dengan dimeriahkan oleh pasar malam 7 hari. Untuk pengelolaan pasar dibentuk badan pasar (pasar Fonds) yang berada dibawah aisten residen.
Untuk keamanan pasar Payakumbuh Etnis Cina dalam Institusi Pemerintahan sebagai Polisi Keamanan Kapiten Cina . Merujuk dalam Regeerings Almanak Hindia Belanda. Tahun 1931 Luitenant der Chinezen Pajakoemboeh adalah Tjoa Kong Bie atau dipanggil Kapiten Cina. Tjoa Kong Bie adalah Kapitein Tionghoa pertama di Pajakoemboeh diangkat 12 Oktober 1918. Dan 26 Juli 1938 Tjoa Kong Bie dilantik menjadi anggota Minangkabau-Raad oleh A.J. Spits Gouverneur van Sumatera. Jabatan sebagai Kapiten Cina di Pajakoemboeh digantikan oleh Tjon Seng Lian untuk memangku jabatan Luitenant der Chinezen Pajakoemboeh sejak 19 Maret 1939. Sementara merujuk Regeering Almanaak tahun 1942) tercatat nama Tjoa Sin Soe menjadi anggota Minangkabau Raad.
Sejak tahun 1912 tersebut berkembanglah pasar dengan sangat pesat karena Asistsen Residen L.C. Westeneck mengambil kebijakan disamping diramaikan oleh pedagang dari etnis Cina dan India (Keling) dia mengundang melalui Tuanku Lareh dari Luhak Agam (Sionok, Guguak dan lain-lain), dari Luhak Tanah Datar ( Rao ), Pariaman dan Pasaman serta untuk meramaikan pasar Payakumbuh awalnya, mereka menetap terlebih dahulu membangun surau (asrama perantau). Surau tersebut sekarang sudah menjadi Masjid.
Mereka dipersilakan membangun pusat pertokaan sekitar dekat pasar los yang enam, maka sejak (anno) 1915 -1935 di sekitar pasar Payakumbuh sudah banyak dibangun rumah-rumah kediaman dan took-toko semi permanen yang mula-mula dibangun dekat pasar oleh orang Cina ada tiga buah, yaitu :

1. Sebuah took yang terletak di Rumah Makan Asia sekarang untuk menampung hasil bumi yang datang dari Koto Nan Ampek.

2. Sebuah took yang terletak di Rumah Makan Gumarang (depan Kantor Pos) digunakan untuk menampung hasil bumi yang datang dari arah Koto Nan Gadang.

3. Sebuah toko terletak di jalan Batang Agam sekarang disebut Toko Kong Yek (mekar) untuk menampung hasil bumi arah selatan.

Mengingat rumah kediaman Tuanku Lareh berjauahan, maka untuk peristirahatannya apabila pergi ke Payakumbuh di bangun Rumah Tuanku 13 Lareh, lokasinya dulu Terminal Sago atau pasar penampungan sekarang berbatasan dengan tembok SMPNI. Sekarang masing-masing rumah Tuanku Lareh berukuran 8 x 10 meter yang dibelakangnya ada dapur, sumur dan kandang kuda dan tempat bendi Bogi.[3]

Rumah Tuanku Lareh tersebut selesai dibangun tahun 1901, yang susunannya berderet memanjang dari jutara ke selatan dengan urutan sebagai berikut :

1. Rumah Gadang Lareh Koto Nan Ampek Lutan Dt. Bagindo Marajo.
2. Rumah Gadang Lareh Koto Nan Gadang Rajo Angkek Bagindo Arab.
3. Rumah Gadang Lareh Guguak Nindih Dt. Pangulu Bagindo Basa
4. Rumah Gadang Lareh Mungka cnabi Ullah Dt.Sinaro Gamuak
5. Rumah Gadang Lareh Batu Hampar Rasyad Dt. Pangulu Basa Nan Kuniang
6. Rumah Gadang Lareh Lubuak Batingkok Kawi Dt.Rajo Pangulu
7. Rumah Gadang Lareh Sungai Baringin Abdullah Dt. Paduko Tuan
8. Rumah Gadang Lareh Sarilamak Rasyad Dt.Dt Kuniang Nan Hitam
9. Rumah Gadang Lareh Payobasuang Lutan Dt. Mulia Nan Kuniang
10. Rumah Gadang LarehTaram Sutan Pamuncak Dt. Pangulu Karuik
11. Rumah Gadang Lareh Limbukan Abdul Rahman Dt. Tumangguang Nan Hitam
12. Rumah Gadang Lareh Situjuah Sutan Nan Kawai Dt. Indo Marajo.
13. Rumah Gadang Lareh Halaban Nabi Dt.Bagindo Simarajo
Gagasan Pendirian Kota Payakumbuh
Panitia desentralisasi pembentukan Propinsi Sumatera Tengah yang ditulis dalam notulen rapatnya rapatnya Nopember 1948-18 Desember 1948 dimana Kabupaten Lima Puluh Kota bernama Kabupaten Sinamar, sementara panitia desentralisasi menerimanya untuk pembentukan enam (6) Kota di Sumatera Barat , yaitu :

1. Kota Padang, luasnya Gemeente Padang yang lama ditambah Teluk Bayur.
2. Kota Bukittinggi, seluruh Nagari Kurai di tambah Gadut.
3. Kota Sawahlunto, luasnya sama dengan kota sekarang.
4. Kota Pajakombo, luasnya Koto Nan IV, Koto Nan Gadang dan ditambah Nagari Tiakar.
5. Kota Padang Pandjang, luasnya seluruh Nagari Gunuang ditambah Silaiang dan Bukit Surungan.
6. Kota Solok, luas Nagari Solok. Dengan catatan apabila Solok menjadi tempat kedudukan Bupati sebagai ibu Kabupaten
Yang menurut rencana di mulai terhitung 1 Januari 1949 akan diresmikan. Berhubung terjadi agresi Belanda II 19 Desember 1948 maka rencana Panitia Desentralisasi Sumatera Tengah ini tidak jadi terealisasi.
Setelah tertunda sekian lama rencana pembentukan dan pendirian Kotamadya Pajakombo, yang menjalani beberapa fase sejarah dan berbagai peristiwa mulai Agresi Belanda kedua tahun 1948 s/ 1949, dan lahirnya Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ( PDRI ) yang berakhir dengan diakuinya kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI oleh Belanda.
Kemudian sejarah mencatatnya , gagasan untuk menjadikan Pajakumbuah menjadi daerah otonom dan berhak mengatur diri sendiri tahun 1950 kembali mengapung. Dimana pada waktu itu Bupati Lima Puluah Koto adalah H. Darwis Dt.Toemangguang dengan Sekdanya H. Anwar ZA yang didukung oleh tokoh masyarakat Koto Nan Gadang Noer Basyar Dt. Mamangun nan Hitam dan tokoh masyarakat Koto Nan Ampek Biran Marajo Alam
Melalui sidang Pleno II DPRD tanggal 27 April sampai 2 Mai 1950 secara prinsip menyetujui pembentukan Kota Kecil Payakumbuh. Wacana ini dilanjutkan dengan melaksanakan pertemuan antara tokoh masyarakat Kewedanaan Payakumbuh dengan Pemerintah pada tanggal 28 Juli 1950 bertempat di gedung Perguruan Mahad Islamy. Dan juga pada konperensi kerja Pamong Praja pada tanggal 26 Agustus 1950 serta pada tanggal 16 Septemmber 1950 bertempat di sekolah Muhammadiyah Bunian, masyarakat sangat mendukung keingginan ini.
Namun karena adanya perubahan politik yakni Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) hasil kesepakatan Meja Bundar di Denhag yang mana Sumatera Barat dengan sebagaian daerah lainnya di Sumatera tetap bagian Republik Indonesia. Maka keinginan ini belum terealisasi .
Pada tahun 1954 H.Darwis Darwis Dt.Toemangguang Bupati Kepala Daerah Kabupaten Limapuluh Kota membuat Peraturan Daerah (Perda) tanggal 7 September 1954 Nomor 11 Tahun 1954 tentang Pengangkatan Wali Pasar Payakumbuh yang berkedudukan sama dengan Kepala Nagari Koto Nan Ampek dan Koto Nan Gadang, dan ini mendapat tantangan dari penduduk dari kedua Kenagarian itu. Kantor Kepala Pasar Payakumbuh berada pada Dinas Pemadam Kebakaran (DAMKAR) sekarang. (catatan nama-nama Wali pasar sejak 1954-1970 belum bertemu catatannya)
Hal itu berjalan terus dengan segala proses pertumbuhan dan perkembangan dari masyarakat banyak.
Kemudian semangat ini bangkit kembali, dengan keluarnya UU No.8 tahun 1956, tanggal 24 Februari tentang Pembentukan Daerah Otonom Kota Kecil, dimana pada pasal 1 huruf e berbunyi: Pajakumbuh dengan nama Kota Kecil Pajakumbuh dengan batas-batasnya ditetapkan dengan peraturan Menteri.
Undang-undang ini disambut hangat oleh masyarakat yang ada di Kewedanaan Pajakumbuh sehingga atas prakarsa Wali Nagari Koto Nan Ampek diadakanlah musyawarah Nagari yang bertempat di [Perguruan] Mahad Islamy pada tanggal 24 Maret 1956. Dan dilanjutkan dengan pertemuan dengan pemerintah pada tanggal 8 November 1956.
Untuk memenuhi pembuatan Peraturan Menteri dalam hal batas Kota Kecil, maka konsep Peraturan yang menurut konsep yang akan dijadikan Kota Kecil Pajakumbuh ialah sekitar daerah yang padat penduduknya dan rapat perumahannya, yaitu kesebelah barat sampai ke Tonggak Bendera, kesebelah timur sampai ke Simpang Benteng, sebelah utara sampai ke Bunian dan sebelah selatan sampai ke Labuah Basilang. Makanya dibuatlah tugu Batas Kota Kecil di tongak bendera seperti yang masih ada berdiri sampai sekarang.
Dalam perkembangannya, dalam catatan C. Israr yang saya baca masalah batas adalah turut menimbulkan kesulitan untuk merealisisr Kodya Payakumbuh. Masyarakat Koto Nan Gadang dan Koto Nan Ampek tidak mau menerima konsep batas-batas tersebut karena dapat memotong dan membelah-belah kedua nagari dan akan memecah kesatuan hukum adat nagari dan konsep luas Kota Payakumbuh perlu di musawarahkan kembali, dan konsep tersebut tidak berkembang karena terkendala dengan adanya peristiwa Pemerintah Revolusioiner Republik Indonesia (PRRI)
Setelah daerah aman, dan pada tahun 1970 rencana untuk menjadikan Pajakumbuh menjadi Kota kembali menghangat sehingga lahirlah Keputusan Gubernur nomor 95/GSB/1970 dan ditindak lanjuti dengan Surat Keputusan Bupati Nomor KPTS 16/BLK/1970 tanggal 1 Agutus 1970 tentang pembentukan Panitia Realisasi Kotamadya Payakumbuh dengan Ketuanya C. Israr
Panitia bekerja keras untuk mempersiapkan data-data dari nagari yang akan bergabung menjadi Kota Madya Payakumbuh. Dengan berorientasi ke masa depan yang jauh, mengingat kecerdasan masyarakat dan perkembangan penduduk, serta pertalian adat dan kebudayaan, sosial ekonomi, maka tujuh kenagarian menyatakan sikap siap bergabung dengan daerah otonom Kota Payakumbuh, yaitu : Kenagarian Koto nan Ampek, Koto Nan Gadang, Lampasi, Tiakar, Payobasuang, Air Tabik dan Limbukan Aur Kuniang.
Berkat kerja keras dari seluruh panitia dengan didukung oleh berbagai unsur yang ada di Payakumbuh maka lahirlah suatu keputusan bersama tentang 7 (tujuh) nagari dan 73 jorong yang bergabung dan disatukan dalam Kotamadya Payakumbuh. Ketujuh nagari tersebut adalah : Koto Nan Gadang ( 25 jorong), Koto Nan Ampek (22 jorong ), Lampasi (3 jorong), Tiakar (3 jorong), Payobasuang (3 jorong), Aia Tabik( 8 jorong), dan Limbukan (9 jorong ). Luas wilayah yang termasuk wilayah Kotamadya Payakumbuh 7.908 ha, atau ± 80 km2.
Untuk menentukan batas yang akan dituangkan oleh Menteri Dalam negeri dalam Peraturan Pemerintah, maka pada tanggal 12 Nopember 1970 , diadakan musyawarah yang dihadiri oleh Pemda Lima Puluh Kota, Panitia realisasi, Camat Pajakumbuh, camat Harau, Camat Luhak dan 15 orang wali nagari dari nagari sepadan [perbatasan]. Dalam musyawarah inilah ditentukan batas-batas Kotamadya Pajakumbuh sesuai dengan barih balabeh masing-masing nagari yang diwarisi semanjak dahulu, dengan titik 0 di sepakati stasiun kereta api (Toko Budiman Sekarang), Catatan sekarang ada tiga titik 0 selain di depan Toko Budiman Stasiun, yakni dekat Sate atau kantor Pajak dulu, dan ada di SMPN I Payakumbuh yang dapat berubah titik tapal batas dan rawan menimbulkan konflik tapal batas)

Adapun tapal batas yang disepakati di tahun 1970 yaitu ;

Batas jalan jurusan Piladang/ Bukit Tinggi, ialah di Aie Taganang atau Kuciang Dapek (cucian mobil sekarang ).
Batas jalan jurusan Tanjung Pati/ Pekan Baru, ialah di Padang Gantiang ada tali Bandar kecil.
Batas jalan jurusan Suliki, ialah sebelah utara jembatan Lampasi
Batas jalan jurusan Taram, ialah tungua jua, sebelah timur jembatan batang Sikali.
Batas jurusan Batang tabik, ialah kincie Cino atau disebut juga Kubu Kacang.
Batas jalan arah ke Situjuah, ialah di Limau Kapeh.
Dan pada hari itu juga dilanjutkan pemancangan tapal batas Kotamadya Pajakumbuh yang disaksikan oleh masyarakat dan tokoh masyarakat dari nagari yang sepadan.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 8/1970 tanggal 17 Desember 1970 yang menetapkan Kota Pajakumbuh sebagai Kotamadya Pajakumbuh. Sedangkan radiogram Mendagri nomor SDP.9/6/181 menegaskan, hari peresmian Kota Pajakumbuh dilaksanakan pada tanggal 17 Desember 1970 dengan walikota pertama Drs. Soetan Oesman setelah Kota Solok diresmikan. Dengan di ketua oleh A.Syahdin ( Bupati Limapuluh Kota) maka peresmian dilaksanakan oleh Amir Machmud, yang diiringi dengan dentuman meriam pusako 7 (tujuh) kali yang diikuti dengan pemukulan tabuah (Jawa: bedug), maka ditetapkanlah tanggal 17 Desember sebagai “ Hari jadi Kotamadya Pajakumbuh dan sekarang bernama Payakumbuh” yang terus diperingati setiap tahunnya.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1982 tentang Pembentukan Kecamatan Padang Panjang Timur, Kecamatan Padang Panjang Barat di Kotamadya Daerah Tingkat II Padang Panjang, Kecamatan Sawahlunto Utara, Kecamatan Sawahlunto Selatan di Kotamadya Daerah Tingkat II Sawahlunto, Kecamatan Lubuk Sikarah, Kecamatan Tanjung Harapan di Kotamadya Daerah Tingkat II Solok, Kecamatan Payakumbuh Utara, Kecamatan Payakumbuh Barat dan Kecamatan Payakumbuh Timur di Kotamadya Daerah Tingkat II Payakumbuh Dalam Wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Sumatera Barat, maka 7 nagari yang masuk ke Kota Payakumbuh Administrasinya menjadi Kelurahan.
Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang disempurnakan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, maka penggunaan istilah "Kotamadya" diubah dengan istilah "Kota" sehingga secara resmi kemudian sebutan "Kotamadya Payakumbuh" diganti menjadi "Kota Payakumbuh".

Saya menulis karena berpikir,
Saya berpikir karena membaca,
Saya membaca untuk menjawab pertanyaan para sahabat.
Ditulis kembali oleh Saiful Guci di Lapau Kasiah Bundo, 4 Juni 2025

=========

Catatan Kaki oleh Admin:

[1] Mungkin maksudnya Afdeeling Lima Puluh Kota, karena pada masa Belanda tidak dikenal 'Kabupaten' di Sumatera Barat. 

[2] Maksudnya wilayah Kota Payakumbuh sekarang tidak sama dengan wilayah Kota Payakumbuh masa Kolonial Belanda. Tidak hanya Payakumbuh, kota lain di Sumatera Barat juga demikian, contohnya Bukit Tinggi, silahkan lihat Peta Bukit Tinggi DISINI.

[3] Bogi atau Bugi, merupakan jenis kereta kuda beroda dua yang dapat memuat satu orang kusir dan satu orang penumpang yang duduk disebelahnya. Contoh Kereta Bugi ini dapat dilihat di Museum Rumah Kelahiran Bung Hatta.

Mengurai Jejak Kolonialisme: Peranan Belanda dalam Merusak Tatanan Adat Minangkabau



Oleh: Muhammad Jamil, S.Ag. Lb. Sampono  
Studi Kasus Perjanjian Plakat Panjang 1833 dan Perjanjian Bukittinggi 1865

-----
Disalin dari media online Pasbana | Diterbitkan tanggal 17 November 2024
-----

Pasbana | Pada 25 Oktober 1833, sebuah perjanjian bersejarah ditandatangani di Padang antara pemerintah kolonial Belanda dan masyarakat Minangkabau. Perjanjian ini dikenal dengan nama Plakat Panjang

Dalam dokumen tersebut, Belanda menetapkan sejumlah aturan, di antaranya:  

1. Larangan peperangan di wilayah Minangkabau, termasuk konflik adat.  
2. Pembatasan pejabat Belanda agar tidak mencampuri pemerintahan nagari.  
3. Pengangkatan penghulu sebagai wakil pemerintah Belanda dengan imbalan gaji.  
4. Janji perlindungan dari pemerintah Belanda kepada masyarakat Minangkabau.  
5. Larangan pemungutan pajak tradisional dengan syarat perluasan penanaman kopi.