MEMAHAMI PERBEDAAN JAWADĪPA, JAWABUDA (ŚIWA BUDDHA)
DAN KÊJAWEN
Oleh : Damar Shashangka.
Postingan ini cukup panjang, tapi sangat berguna bagi teman-teman semua yang ingin mengetahui perbedan Jawadīpa, Jawa Buda dan Kêjawen.
Sudah beberapa tahun ini saya berusaha untuk mengumpulkan sekaligus mempelajari naskah-naskah klasik Jawa dari berbagai latar belakang ajaran yang pernah berkembang di Jawa untuk kemudian saya klasifikasikan dengan cermat demi untuk mengurai kerancuan informasi yang ada. Hasil dari mengumpulkan dan mempelajari berbagai naskah tersebut, pada akhirnya saya menemukan gambaran jelas tentang apa saja ajaran yang pernah tumbuh dan berkembang di Jawa. Setidaknya ajaran yang pernah tumbuh di Jawa bisa dibagi ke dalam tiga kategori besar:
1. Jawadīpa
Merupakan ajaran asli Jawa yang jejak-jejak ajarannya bisa dijumpai pada bentuk peranti upacara berupa nasi tumpêng; kepercayaan terhadap danghyang-danghyang di tempat-tempat tertentu; pemujaan terhadap roh-roh leluhur yang berpusat pada bangunan bernama pundhen atau candi; perhitungan wuku, windu, lambang, uriping dina (nêptu dina); dan beberapa hal lainnya. Jawadīpa sendiri berarti Pelita Jawa (dīpa: pelita). Sebutan Jawadīpa sering terkacaukan dengan istilah Jawadwīpa, yang berarti Pulau Jawa. Jawadīpa adalah istilah yang dikenal oleh masyarakat Jawa pada dekade 1960-an sebelum tergeser oleh istilah Kebatinan (diambil dari kata bathin yang berasal dari bahasa Arab), Kapitayan (pitaya berarti percaya; kecurigaan saya, Kapitayan adalah terjemahan dari kata Kepercayaan, istilah yang populer pada dekade 1980-an dan merujuk kepada Penghayat Aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa), serta berbagai istilah lain yang akhir-akhir ini baru muncul. Bisa dikatakan, nama ajaran asli Jawa belumlah diketahui secara pasti atau mungkin memang tidak memiliki nama khusus.
Ajaran Jawadīpa tercecer pada naskah-naskah klasik Jawa yang muncul pada periode selanjutnya, baik masa ketika agama Śiwa Buddha menjadi mayoritas di Jawa maupun masa ketika agama Islam menjadi mayoritas di Jawa, yaitu masa Kêjawen. Menemukan jejak-jejak ajaran Jawadīpa ini memang tidak mudah. Selain harus memahami ajaran Islam, Śiwa dan Buddha serta beberapa ajaran agama lain yang dimungkinkan pernah berkembang di Jawa, obyektifitas dalam menerima informasi baru yang datang dari naskah-naskah klasik menjadi penentu mengendus jejak-jejak ajaran tersebut. Sehingga mereka yang sangat fanatik dalam agama Islam, Kristen, Śiwa atau Buddha sendiri, saya pastikan akan mudah tergelincir ke dalam perangkap subyektifitas religius.
Salah satu jejak dari ajaran Jawadīpa bisa didapatkan pada rontal-rontal yang ditemukan di sekitar lereng Merapi Merbabu. Koleksi naskah Merapi Merbabu ditemukan sekitar tahun 1820 di lereng barat Gunung Merbabu, lalu pada sekitar tahun 1852 dibeli oleh Bataviaasch Genootschap dan sekarang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional RI (Van der Molen, 2011:135). Khasanah naskah Merapi Merbabu dahulu merupakan milik Ki Ajar Windusana, seorang pendeta Hindu yang tinggal di lereng Gunung Merbabu, Keresidenan Kedu, dan diperkirakan meninggal sebelum tahun 1759 M (ibid.hal.139). Naskah-naskah milik Ki Ajar Windusana ditulis di wilayah pegunungan di Jawa Tengah sekitar Merapi dan Merbabu, termasuk Gunung Tilamaya, Ungaran dan Sumbing. Pada tahun 1852 Friederich melaporkan bahwa naskah Merapi Merbabu di Bataviaasch Genootschap berjumlah 357 naskah, 27 naskah ditulis dalam tulisan Jawa, 330 lainnya ditulis dalam tulisan kuno (aksara Buda) (Bleeker, 1852:6). Menurut katalog naskah Merapi Merbabu (Setyawati dkk.,2002), jumlah koleksi naskah Merapi Merbabu di Perpustakaan Nasional RI saat ini berjumlah sekitar 390 buah. Sebagian besar aksara dalam naskah Merapi Merbabu yang menurut Friederich adalah tulisan kuno disebut aksara Buda atau aksara Gunung (Pigeaud, 1970:53-54). Menurut Ranggawarsita dalam naskah KGB 208 halaman 8 aksara tersebut digunakan oleh para ajar di gunung-gunung.
Bentuk teks naskah Merapi Merbabu beragam : parwa, kakawin, kidung, dan lain-lain. Beberapa teks yang pernah diterbitkan menggunakan koleksi Merapi Merbabu antara lain : Nitisastra oleh Poerbatjaraka (1933), Arjunawijaya oleh Soepomo (1977), Kunjarakarna oleh Willem van der Molen (1983) diterjemahka dalam bahasa Indonesia tahun 2011 dan Arjunawiwaha oleh I. Kuntara Wiryamartana (1990).
Saya banyak menemukan jejak-jejak ajaran Manunggaling Kawula Gusti yang selama ini dianggap berasal dari Tassawuf Islam dan masuk ke dalam kepercayaan Jawa ternyata keberadaannya sudah bisa didapatkan pada rontal-rontal kuno termasuk salah satunya dari rontal Merapi Merbabu, sebut saja Rontal Kidung Ragadarma.
Rontal Kidung Ragadarma disalin oleh seorang Ajar bernama Ki Sunyata. Disalin di lereng Gunung Wilis, tepatnya di Pashraman Kawisora, disalin dari naskah yang lebih tua pada Syaka Warsa 1453 (1531 Masehi). Rontal bertulis aksara Buda, menuturkan tentang dua orang sahabat yang tengah mencari Kalêpasan (Pembebasan), mereka berdua bernama Ki Sandirasa dan Ki Sinangsaya. Ki Sinangsaya memilih mencari Kalêpasan (Pembebasan) di Gunung Wilis (masuk dalam wilayah enam kabupaten, Kediri, Tulungagung, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, dan Trenggalek, Jawa Timur), sedangkan Ki Sandirasa memilih mencari Kalêpasan (Pembebasan) di Gunung Kampud (Gunung Kelud sekarang, masuk dalam wilayah tiga kabupaten, Kediri, Blitar, dan Malang Jawa Timur). Isi kidung secara keseluruhan membahas tentang ajaran Kalêpasan (Pembebasan) atau ajaran Manunggaling Kawula Gusti dan sama sekali tidak berbau Tassawuf Islam. Secara keseluruhan kidung dirangkai dalam Tembang Artati atau Dhandhanggula. Perlu diketahui Tembang Artati atau Dhandhanggula bukan ciptaan Sunan Kalijaga. Tembang Artati atau Dhandhanggula sudah ada jauh hari sebelum Walisanga hadir di Jawa.
Satu bait Tembang Artati atau Dhandhanggula berbahasa Jawa Kawi (Jawa Kuno) di bawah ini menggambarkan kesadaran jernih dari manusia yang sudah menyadari sepenuhnya akan penyatuannya dengan Gusti. Gambarannya sebagai berikut:
Jagra mapadhang tan kêneng wêngi,
Pamutusira kang sampun himan,
Hani mawas padengakeh,
Tan kêna pangan turu,
Tan kasongan ring awa sandhi,
Sumilir anarawang
Saka têmpuh i ru,
Raditya wulan kasongan,
Ya narawang tan ana mangkwa ngungkuli,
Kakalih sida tunggal.
Terjemahan :
"(Kesadarannya senantiasa) terjaga terang tiada terkena malam (kegelapan),
Terputus sudah dari segala perkara tidak penting (keduniawian),
Penglihatannya tak lagi sama seperti manusia kebanyakan,
Tiada tergoda oleh kenikmatan lapar dan kantuk,
Tiada terliputi oleh segala rahasia,
(Batinnya ) mengalir jernih menerawang,
Terluput dari lesatan panah (duniawi),
Matahari dan rembulan pun terungguli,
Bersinar-sinar tiada lagi yang menyamai,
Semua karena keduanya (kawula dan Gusti) telah menyatu padu.”
(Kidung Ragadarma : 95)
Jejak-jejak ajaran Manunggaling Kawula Gusti seperti ini banyak didapatkan dari rontal yang lebih tua. Yang memuat pengajaran kuno sebelum Jawa tersentuh Islam. Yang menjadi masalah jejak-jejak ajaran kuno seperti ini tercecer dan tercampur dengan ajaran Śiwa Buddha. Dan saat ini ceceran-ceceran tersebut tengah berusaha saya kumpulkan dalam buku khusus yang saya beri judul : NALURI JAWADĪPA
Kidung Ragadarma ini disinyalir mengadopsi kidung yang lebih tua. Jika Kidung Ragadarma disalin pada tahun 1531 Masehi ~ itu sejaman dengan pemerintahan Sultan Trênggana di Dêmak (1521-1546) ~ artinya ajaran Manunggaling Kawula Gusti ini sudah menjadi pegangan masyarakat Jawa pedalaman, bukan pegangan masyarakat Jawa pesisir yang baru memeluk Islam. Dan artinya lagi, ajaran ini memang tidak berasal dari Tassawuf Islam. Sebab tahun 1531 adalah masa-masa awal pengislaman Jawa. Bagi seorang pertapa pedalaman di Gunung Wilis tentu dinamika pengislaman ini belum sepenuhnya mereka sadari. Lantas dari mana ajaran kuno tersebut berasal? Jawaban yang pasti adalah berasal dari ajaran Jawa asli yang saya sebut Jawadīpa.
Jawadīpa sendiri tidak bisa dikatakan sebagai sebuah agama. Manusia Jawa sejatinya tidak punya agama resmi yang memberikan ruang doktriner bagi pemeluknya. Manusia Jawa hanya percaya kepada Sanghyang Urip yang bersemayam dalam diri setiap makhluk. Sanghyang Urip ini bisa dikategorikan sebagai Tuhan atau bukan, terserah masing-masing individu memahaminya. Hanya saja sosok Sanghyang Urip ini tidak butuh disembah dan tidak memerintahkan satu ritual penyembahan apapun. Bagaimana Dia bisa aktif memerintah penyembahan jika Dia bukan sosok person tertentu? Segala ritual larung sesaji di lautan maupun di gunung-gunung merupakan inisiatif manusia Jawa sendiri demi berucap syukur kepada Sanghyang Urip, bukan merupakan perintah Tuhan dan karenanya sejatinya tidak memiliki sanksi tertentu. Karena tidak ada doktrin tertentu, maka bentuk upacara dan pelaksanaannya akan bervariasi di setiap daerah. Semua sah karena intinya adalah mengucap terima kasih kepada semesta.
Jika demikian bukankah itu bentuk dari agama Jawa? Sebenarnya tidak ada agama. Yang ada adalah keyakinan mendalam tentang Sanghyang Urip yang tidak bisa disembah dengan cara apapun. Dan bentuk penyembahan kepada-Nya adalah melakukan mamayu hayuning bawana alias menebarkan keselamatan dan kasih kepada sesama dan alam raya.
Bagi ajaran Jawadīpa ada dua hal yang harus menjadi pegangan bagi sesiapa saja yang ingin ada di jalan kebenaran :
1. Aywa hagawe tatu tyasing sapadha-padha. (Jangan membuat sakit hati sesama)
2. Aywa hagawe pêpati samining dumadi. (Jangan melakukan pembunuhan kepada sesama makhluk.)
Dua hal ini yang disebut Pêpalining Hyang (Larangan Tuhan). Karena bagi ajaran Jawadīpa, hanya dua hal tersebut yang menjadi larangan Hyang Agung. Pertama, menyakiti hati sesama. Kedua, menumpahkan darah, merenggut kehidupan dari tubuh makhluk fana. Kedua larangan ini sudah mencakup banyak hal. Dengan menghindari berlaku menyakiti hati sesama dan menumpahkan darah makhluk hidup, maka jalan kebenaran telah terbentang lebar.
Pêpalining Hyang ini disebut pula sebagai Panêmbah Agung (Penyembahan Agung). Karena lagi-lagi bagi ajaran Jawadīpa menyembah Hyang Agung berarti mengasihi sesama. Hyang Agung tidak pernah meminta untuk disembah, tidak pernah menurunkan perintah penyembahan, tidak butuh pengakuan agar diakui oleh semua makhluk bahwa diri-Nya adalah Hyang Agung, diakui sebagai Hyang Agung satu-satunya tiada yang lain, diakui sebagai yang paling dahsyat dan ajaib. Dia sempurna. Tidak membutuhkan apapun juga. Ketika diri-Nya masih butuh pengakuan, berarti tercerabut sudah kesempurnaan dari-Nya. Bagaimana bisa sosok yang mengaku sempurna namun masih kebingungan untuk minta diakui sebagai Hyang Agung, Tuhan sarwa sekalian loka? Dan lantas marah-marah jika Dia tidak diindahkan? Sungguh, terlalu sulit bagi manusia untuk melakukan penyembahan kepada Hyang Agung yang tidak bisa diserupakan dengan apapun juga dan tidak bisa digambarkan sedikitpun walau dalam pikiran yang paling rumit. Menghadapi hakikat Tuhan semacam ini, bagaimana bisa manusia melakukan lelaku penyembahan kepada-Nya? Puja-puji, gerakan tertentu, sesajian dan sebagainya, tidak akan mampu menyentuh diri-Nya yang tak tergambarkan. Namun demikian, walaupun tak tergambarkan, hakikat Hyang Agung nyata-nyata menyatu dengan semesta dan makhluk yang hidup di dalamnya. Hyang Agung adalah hidup itu sendiri, Sanghyang Urip. Tanpa kehadiran Hyang Agung semesta dan makhluk hidup ini akan terlempar kepada maut, tidak akan ada kehidupan. Oleh karenanya, alih-alih melakukan lelaku penyembahan dengan puja-puji atau sesajian, ajaran Jawadīpa lebih memilih mengasihi sesama makhluk hidup karena di sana, di dalam diri sejati semua makhluk hidup tersebut, Hyang Agung, Sanghyang Urip bersemayam. Bersemayam secara rahasia.
Demikian sekilas ajaran Jawadīpa yang bisa saya ulik dari naskah-naskah kuno.
2. Jawa Buda (Śiwa Buddha)
Merupakan ajaran agama Śiwa yang sudah bercampur dengan ajaran agama Buddha Mahāyāna/Tantrayāna (Wajrayāna) dan ajaran Jawadīpa. Ajaran ini mencapai puncak keemasannya pada masa Majapahit. Masyarakat Jawa sering kali menyebut ajaran ini dengan istilah agama Buda (baca: agomo Budo) saja dan penganutnya disebut wong Jawa Buda (baca: wong Jowo Budo). Naskah-naskah Jawa Baru sering juga menyebut istilah agama Buda ini. Kadangkala istilah tersebut dipakai untuk menunjuk suatu masa ketika agama Islam belum menyebar secara merata di tanah Jawa. Istilah yang kerap dipakai adalah “Jaman Buda”. Dalam kitab primbon keris atau dhuwung, tangguh (model) keris tertua masih disebut dengan tangguh Buda. Buda di sini tidak merujuk kepada agama Buddha belaka, melainkan lebih kepada sinkretisme dari ajaran agama Śiwa, agama Buddha Mahāyāna/Tantrayāna (Wajrayāna), dan ajaran Jawadīpa. Dalam lontar-lontar pra-Islam di Jawa, nama ajaran ini dengan sangat jelas disebut sebagai Śiwa Buddha atau Buddha Wiśwa atau Śiwa Sogata. Ajaran Jawa Buda lantas berkembang pesat di Bali. Di Bali sendiri terjadi pemisahan antara ajaran agama Śiwa dan ajaran agama Buddha. Pemisahan ini diprakarsai oleh Danghyang Dwijendra—yang lantas dikenal dengan nama Danghyang Nirartha atau Panḍita Śakti Wawu Rawuh—seorang brahmana asal Daha (Kediri) pada abad 15 yang menyingkir ke Bali seiring hancurnya Majapahit dan berkuasanya Kesultanan Dêmak Bintara di tanah Jawa. Ajaran agama Śiwa yang menyempal dari ajaran Jawa Buda kemudian dikenal di Bali dengan nama agama Tīrtha. Pada perkembangan selanjutnya, seiring teguhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), agama Tīrtha lantas dikenal dengan nama agama Hindhu Bali yang sampai hari ini masih dipeluk oleh mayoritas penduduk Bali. Nama Hindhu sendiri tidak dikenal oleh masyarakat Jawa dan Bali setidaknya sampai abad 19.
Apa yang disebut ajaran Śiwa Buddha ini, sebagaimana sudah dituturkan sebelumnya, mendapat sentuhan halus dari apa yang dinamakan ajaran Jawadīpa. Hampir semua ajaran Jawadīpa diadopsi dengan apik ke dalam ajaran Śiwa Buddha. Mulai dari perhitungan wêwaran (perhitungan hari), perhitungan pranata mangsa, danghyang-danghyang lokal dan masih banyak lagi. Bahkan disinyalir, semua tempat suci Śiwa Buddha didirikan di titik-titik lokasi tempat suci Jawadīpa masa lalu. Bahkan saya juga mencurigai, tempat di mana Candi Borobudur berdiri adalah bekas Sanggar Pamujyan kuno milik ajaran Jawadīpa. Walaupun Jawadīpa melebur sedemikian rupa dengan Śiwa Buddha, namun ada satu hal yang tidak bisa ditutupi dan mencolok, yaitu kepercayaan manusia Jawa dalam Jawadīpa yang tidak bisa menerima keberadaan Tuhan Personal semacam dewa-dewa Trimurti.
Sepanjang bertumbuhnya ajaran Śiwa, Wiṣṇu, Brahma, Kala, Śakta dan semacamnya di Jawa, walau orang Jawa bersedia memeluk agama-agama tersebut namun karakter asli Jawadīpa tetap tidak tergantikan. Orang Jawa tetap memandang semua dewa-dewa tersebut sebagai dewata semata, bukan sebagai sosok Tuhan yang tak tergambarkan, yang dikenali oleh orang Jawa sebagai Sanghyang Urip atau Sanghyang Hayu atau Sanghyang Widhi atau Sanghyang Taya. Jika di India, Trimurti dipuja sebagai Tuhan tertinggi, di Jawa Trimurti tak lebih hanya sekedar dewata biasa. Hal ini bisa kita lihat dari rontal-rontal berbahasa Jawa Kuno yang masih bisa kita dapati saat ini. Kita ambil contoh dari rontal Sanghyang Tattwa Jñana berbahasa Kawi (Jawa Kuno) di bawah ini :
Tripuruṣa ngarannya: bhaṭṭāra brahmā, wiṣṇu, iśwara, sira ta pinakadi sattwa, ika tang adisattwa, yan pramāda kurang yoga, pañca ṛṣi têmahannya. Pañca ṛṣi kurang yoga, sapta ṛṣi têmahannya. Sapta ṛṣi kurang yoga, dewa ṛṣi kurang yoga, dewatā têmahannya. Dewatā ṛṣi kurang yoga, widyādhara têmahannya. Widyādhara kurang yoga, gandharwa têmahannya. Gandharwa kurang yoga, dānawa têmahannya. Dānawa kurang yoga, detya têmahannya. Detya kurang yoga, rākṣasa têmahannya. Rākṣasa kurang yoga, bhūta yakṣa têmahannya. Bhūta yakṣa kurang yoga, bhūta ḍêngên têmahannya. Bhūta ḍêngên kurang yoga, bhūta kāla têmahannya. Bhūta kāla kurang yoga, bhūta piśaca têmahannya..
Terjemahan :
"Tripuruṣa adalah Bhaṭṭāra Brahmā, Wiṣṇu, dan Iśwara; beliau adalah Sattwa dan Adisattwa. Manakala beliau bertiga lengah, kurang melakukan Yoga, beliau bertiga akan terlahir-kembali menjadi Pañca Ṛṣi. Pañca Ṛṣi yang kurang melakukan Yoga akan terlahir-kembali menjadi Sapta Ṛṣi. Sapta Ṛṣi yang kurang melakukan Yoga dan Dewa Ṛṣi yang kurang melakukan Yoga akan terlahir-kembali menjadi Dewatā. Dewatā Ṛṣi yang kurang melakukan Yoga akan terlahir-kembali menjadi Widyādhara. Widyādhara yang kurang melakukan Yoga akan terlahir-kembali menjadi Gandharwa. Gandharwa yang kurang melakukan Yoga akan terlahir-kembali menjadi Dānawa. Dānawa yang kurang melakukan Yoga akan terlahir-kembali menjadi Detya. Detya yang kurang melakukan Yoga akan terlahir-kembali menjadi Rākṣasa. Rākṣasa yang kurang melakukan Yoga akan terlahir-kembali menjadi Bhūta Yakṣa. Bhūta Yakṣa yang kurang melakukan Yoga akan terlahir-kembali menjadi Bhūta Ḍêngên. Bhūta Ḍêngên yang kurang melakukan Yoga akan terlahir-kembali menjadi Bhūta Kāla. Bhūta Kāla yang kurang melakukan Yoga akan terlahir-kembali menjadi Bhūta Piśaca."
(Sanghyang Tattwa Jñana : 21)
Dengan sangat jelas disebutkan bahwasanya Bhaṭara Brahma, Bhaṭara Wiṣṇu dan Bhaṭara Śiwa bukanlah Tuhan Yang Tak Tergambarkan. Manakala mereka kurang melakukan yoga maka pada kelahiran selanjutnya akan jatuh menjadi Pañca Ṛṣi. Jika lahir menjadi Pañca Ṛṣi kurang melakukan yoga maka kelahiran berikutnya akan menjadi Sapta Ṛṣi. Jika kelahiran Sapta Ṛṣi kurang melakukan yoga maka kelahiran selanjutnya akan menajdi Dewa Ṛṣi. Jika lahir menjadi Dewa Ṛṣi kurang melakukan yoga maka kelahiran selanjutnya akan menjadi Dewatā, demikian seterusnya. Sebuah penuturan yang menunjukkan bahwa Bhaṭara Brahma, Bhaṭara Wiṣṇu dan Bhaṭara Śiwa bukanlah Tuhan Tertinggi.
Atau kalau mau mengambil contoh lagi, bisa disimak pada rontal Sanghyang Nawaruci di mana ketiga dewata Trimurti bisa ditaklukkan oleh Rahadyan Bhīma yang sudah menemukan diri sejatinya sendiri yaitu Sanghyang Nawaruci sehingga Rahadyan Bhīma mendapat gelar Sang Bhīma Suci. Dituturkan Sang Bhīma Suci membalikkan kutuk Bhaṭara Wiṣṇu yang mengingini agar Sang Bhīma Suci menghentikan tapanya karena sangat mengkhawatirkan seluruh penghuni kahyangan terutama membuat khawatir Bhaṭara Śiwa. Sebab dengan tapa brata yang sedemikian hebat maka bisa jadi Sang Bhīma Suci akan meraih kedudukan sebagai Raja Para Dewa menggantikan Bhaṭara Śiwa. Karena Sang Bhīma Suci tidak mau menghentikan tapa, Bhaṭara Wiṣṇu melemparkan sapatha atau kutuk. Namun kutuk berbalik kepada Bhaṭara Wiṣṇu sendiri sehingga akhirnya Bhaṭara Wiṣṇu memohon ampunan kepada Sang Bhīma Suci. Berikutnya Bhaṭara Brahma yang hadir membuat huru-hara dengan tujuan agar tapa Sang Bhīma Suci terganggu. Namun Bhaṭara Brahma harus menerima perbuatannya karena sapatha berbalik menyerang dirinya dan seluruh dewata yang membuat huru-hara. Api maha dahsyat berkobaran mengacaukan pasukan Brahma sehingga hampir-hampir membakar Śuralaya.Terakhir Bhaṭara Śiwa sendiri yang turun. Dan kali ini, Bhaṭara Śiwa juga terkena sapathanya sendiri yang berbalik. Demikian dikisahkan dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno) :
Umênêng pādanira sanghyang, runtik ta sira amijilakêna tīkang upadrawa ājñāna nirmala, amastwani ring sang mahāmuni: wastu kita angkusprāṇa dadia dānawa. Sira manih bhaṭṭāra guru, dadia dānawa kalawan nawadewatā. Mandi sapamuwuse sang mahāmuni. Sinambhrama ring kêtug, linḍu, gêntêr, patêr, riris salah māsa pamuwuse sang angkusprāṇa. Apan antuk bala widhi sira, sira sang agawe pramāṇa wiśeṣa, sira sang agawe manon wêkasning manon, sira sang agawe urip wêkasning urip. Angilo sanghyang parameśwara ring tīrtha nirmala, owah rūpanira mwang nawadewatā. Kanḍêhan ing upadrawa ājñāna nirmala. Asalit asiyung, agimbal romanira, pati blêntong [tīkang] śarīranira. Añjrit masinghanāda, angrak anguwuh, sumambuta ring sang angkusprāṇa, taḍahên rimah-rimahên.
Terjemahan :
"Terdiam Sanghyang, marahlah dia dan segera mendatangkan malapetaka dari kekuatan Ājñānanirmala, memberikan kutuk kepada Sang Mahāmuni: “Sungguh dirimu, Angkusprāṇa, jadilah Dānawa!” (Memberikan kutukan balik Sang Angkusprāṇa): “Dirimulah, Bhaṭṭāra Guru, jadilah Dānawa beserta Nawadewatā!” Lebih ampuh apa yang dikatakan Sang Mahāmuni. Disambut suara dentuman, gempa, gemuruh, guntur, hujan salah masa ucapan Sang Angkusprāṇa. Dia mendapatkan kekuatan dari Widhi, dari Dia Sang Pembuat Pramāṇa Wiśeṣa, dari Dia Sang Pembuat Penglihatan Di Atas Penglihatan, dari Dia Sang Pembuat Hidup Di Atas Hidup. Segera berkaca Sanghyang Parameśwara pada Tīrtha Nirmala, berubah wajahnya begitu juga Nawadewatā. Tertimpa malapetaka yang berasal dari Ājñānanirmala. Menonjol taringnya, gimbal bulu tubuhnya, bernoda menjijikkan tubuhnya. Menjerit bagai singa, mengamuk, berteriak-teriak, menyambar Sang Angkusprāṇa, hendak memakan dan menguyahnya!"
(Sanghyang Nawaruci :54)
Dengan sangat jelas dalam Rontal Sanghyang Nawaruci dituliskan ada entitas yang sira sang agawe pramāṇa wiśeṣa, sira sang agawe manon wêkasning manon, sira sang agawe urip wêkasning urip (Dia Sang Pembuat Pramāṇa Wiśeṣa, dari Dia Sang Pembuat Penglihatan Di Atas Penglihatan, dari Dia Sang Pembuat Hidup Di Atas Hidup), satu entitas yang lebih tinggi dari Bhaṭara Śiwa dan yang membuat sapatha Bhaṭara Śiwa berbalik kepada dirinya. Darimana keyakinan ini berasal? Mudah untuk dijawab, dari ajaran Jawadīpa!
3. Kêjawen
Merupakan ajaran Islam Tassawuf yang berbalut ajaran Jawa Buda. Kêjawen baru muncul pasca-Majapahit dan diprakarsai oleh Wali Sanga, terutama oleh Kangjêng Susuhunan ing Ngampeldênta dan Kangjêng Susuhunan ing Kalijaga, oleh karenanya Kêjawen sangat beraroma Islam Tassawuf. Ajaran-ajaran Kêjawen tidak terbatas pada ajaran mistik atau spiritualitas belaka. Ajaran Kêjawen bahkan juga mengajarkan ilmu-ilmu gaib (kesaktian, pengasihan, penumbalan, ajimat, doa, dll.) dan ilmu petung (semacam Feng Shui) yang juga sangat berorama Islam Tassawuf. Ajaran Kêjawen ditulis dalam bahasa Jawa Baru dan naskah-naskahnya hampir seluruhnya masih tersimpan rapi di Keraton Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegaran, Pakualaman, dan Kacirebonan.
Kemunculan Kêjawen tak lebih adalah sebuah metode dakwah Islam yang dirancang sedemikian rupa oleh Kangjeng Sunan Ampel. Tanpa melalui pendekatan ajaran lama yang sudah berkembang di Jawa maka Islam tidak mungkin bisa diterima di Jawa. Dengan kata lain Kêjawen adalah ajaran untuk menarik pemeluk agama lama kepada ajaran Islam dengan cara yang halus dan tidak kentara. Dari luar ritual-ritual agama lama dipergunakan sedemikian rupa, namun doa-doa yang dipanjatkan telah diganti dengan doa-doa Islami atau setidaknya sudah dimasukkan terminologi Tassawuf Islam.
Tidak hanya sebatas ritual keagamaan, apa yang saya namakan Kêjawenisasi juga dilakukan dalam segala bidang yang menyentuh kehidupan masyarakat Jawa. Dicatat dalam Sêrat Walisana dan Primbon pribadi yang disimpan oleh K.H.R Mohammad Adnan, gerakan Kêjawenisasi tercatat sebagai berikut :
1. Sunan Ampel membuat peraturan-peraturan yang Islami untuk masyarakat Jawa (Susuhunan ing Ngampeldênta handamêl pranataning agama Islam, kanggenipun ing titiyang Jawi).
2. Raja Pandhita di Grêsik merancang pola kain batik, tenun lurik, dan perlengkapan kuda (Raja Pandhita ing Grêsik amewahi ing polanipun ing sinjang, sinjang batik, kaliyan sinjang lurik, saha amewahi ing wangunipun kakapaning kuda).
3. Susuhunan Majagung mengajarkan mengolah berbagai macam jenis masakan lauk-pauk, memperbarui alat-alat pertanian, membuat gerabah (Susuhunan ing Majagung amewahi wangunipun ing olah-olahan, dhadhaharan hutawi ulam-ulaman, kaliyan amewahi parabotipun ing among tani, utawi andamêl garabah).
4. Sunan Gunung Jati di Cirebon mengajarkan tata cara berdoa dan membaca mantra, tata cara pengobatan, serta tata cara membuka hutan (Kangjêng Susuhunan ing Gunung jati ing Cirêbon, amewahi donga hakaliyan mantra, utawi pirasat miwah jajampi utawi amewahi dadamêlipun tiyang babad wana).
5. Sunan Giri membuat tatanan pemerintahan di Jawa, mengatur perhitungan kalender siklus perubahan hari, bulan, tahun, windu, menyesuaikan siklus pawukon, juga merintis pembukaan jalan (Kangjêng Susuhunan ing Giri andamêl pranatanipun ing karaton Jawi, kaliyan amewahi lampahing pawukon sapanunggalipun, kaliyan malih amiwiti damêl dalan tiyang Jawi).
6. Sunan Bonang menggajar ilmu suluk, membuat gamelan mengubah irama gamelan (Kangjêng Susuhunan Bonang, andamêl susuluking ngelmi kaliyan amewahi ricikanipun ing gangsa, utawi amewahi lagunipun ing gêndhing).
7. Sunan Darajat, mengajarkan tata cara membangun rumah, alat yang digunakan orang untuk memikul orang seperti tandu dan joli (Kangjêng Susuhunan Darajat, amewahi wanguning griya, utawi tiyang ingkang karêmbat ing tiyang, tandhu joli sapanunggalanipun).
8. Sunan Kudus, merancang pekerjaan peleburan, membuat keris, melengkapi peralatan pande besi, kerajinan emas, juga membuat peraturan undang-undang hingga sistem peradilan yang diperuntukan bagi orang jawa (Kangjêng Susuhunan Kudus amewahi parabotipun bêkakasing pandhe, kaliyan kêmasan, saha andamêl anggêr-anggêripun hingga pangadilan hukum ingkang kenging kalampahan ing titiyang Jawi).
Pada tahap selanjutnya, setelah Kangjêng Sunan Ampel wafat dan Majapahit sudah runtuh (1478), seiring berdirinya Negara Dêmak, para wali berkumpul untuk merumuskan ajaran Islam Jawa atau Kêjawen tersebut. Ada delapan wali yang merumuskan ajaran Kêjawen dan mewejangkan apa yang disebut pegangan bagi orang Islam Jawa atau Kêjawen, yaitu Wêjangan Wolung Pangkat (Wejangan Delapan Tingkat) seperti di bawah ini :
1. Susuhunan ing Giri Kadhaton, mewedar wejangan Wisikan Ananing Dat.
2. Susuhunan ing Tandhês, mewedar wejangan Wêdharan Wahananing Dat.
3. Susuhunan ing Majagung, mewedar wejangan Gêlaran Kahananing Dat.
4. Susuhunan ing Benang, mewedar wejangan Tata Malige ing Dalêm Betal Makmur.
5. Susuhunan ing Muryapada, mewedar wejangan Tata Malige ing Dalêm Betal Mukaram.
6. Susuhunan ing Kalinyamat mewedar wejangan Tata Malige ing Dalêm Betal Mukadas.
7. Susuhunan ing Gunungjati, mewedar wejangan Panêtêp Santosaning Iman.
8. Susuhunan ing Kajênar, mewedar wejangan Sasahitan.
Kemudian, untuk kedua kalinya ajaran Islam Jawa atau Kêjawen dibabar pada masa akhir Negara Dêmak, tepat menjelang berdirinya Negara Pajang. Ada delapan wali juga yang mewejangkan intisari ilmu tersebut. Mereka adalah sebagai berikut:
1. Susuhunan ing Giri Parapen, mewedar wejangan Wisikan Ananing Dat.
2. Susuhunan ing Darajat, mewedar wejangan Wêdharan Wahananing Dat.
3. Susuhunan ing Ngatas Angin, mewedar wejangan Gêlaran Kahananing Dat.
4. Susuhunan ing Kalijaga, mewedar wejangan Tata Malige ing Dalêm Betal Makmur.
5. Susuhunan ing Têmbayat, setelah mendapat izin dari gurunya Susuhunan ing Kalijaga, mewedar wejangan Tata Malige ing Dalêm Betal Mukaram.
6. Susuhunan ing Padusan, mewedar wejangan Tata Malige ing Dalêm Betal Mukadas.
7. Susuhunan ing Kudus, mewedar wejangan Panêtêp Santosaning Iman.
8. Susuhunan ing Gêsêng, mewedar wejangan Sasahitan.
Seluruh wejangan di atas bersumber dari wejangan Kangjêng Susuhunan ing Ngampeldênta (Ampel) guru para wali di tanah Jawa.
Ketika sampai pada masa Negara Mataram, beliau Sang Nata Ingkang Sinuwun Kangjêng Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma (1613-1645) berkenan menghimpun seluruh wejangan delapan tingkat tadi berikut wejangan tambahannya dengan maksud supaya muktamada (dapat dijadikan acuan) maknanya. Semua wejangan lantas dijadikan satu. Setelah bersepakat dengan para ahli ngelmu kesempurnaan, atas kehendak beliau, lantas beliau berkenan memutuskan siapa saja yang mendapat izin dan berhak untuk mengajarkan wejangan tersebut. Mereka adalah sebagai berikut:
1. Panêmbahan Purubaya
2. Panêmbahan Juminah
3. Panêmbahan Ratu Pêkik
4. Panêmbahan Juru Kithing
5. Pangeran ing Kadilangu
6. Pangeran ing Kudus
7. Pangeran ing Kajoran
8. Pangeran ing Têmbayat
9. Pangeran ing Wangga
Wejangan tersebut lantas diterima oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita pada masa Kasunanan Surakarta berdiri abad 19. Dan dikumpulkan dalam sebuah sêrat yang diberi judul Sêrat Wirid Hidayat Jati.
Silakan buka naskah primbon, sêrat, wirid atau suluk Jawa Baru, bisa diteliti dengan benar apa-apa yang tertulis di sana, terutama terkait dengan mantra. Maka akan Anda dapati semuanya tak lebih bermuatan Tassawuf Islam. Saya ambil contoh mantra di bawah ini dalam bahasa Jawa Anyar (Jawa Baru) :
Sadat Panêtêp Panatagama
Sadat Panêtêp Panatagama, Kang jumênêng Ruh Ilapi, Kang ana têlênging ati, Kang dadi Pancêring Urip, Kang dadi lajêre Allah, Madhêp maring Allah, Iku wayangan-Ingsun Ruh Muhammad, Iya iku Sajatining Manungsa, Iya iku kang Wujud Sampurna. Ya Hu Allah.
“Kesaksian Pengokoh Inti Agama, Adalah sebagai Ruh Idhofi, Yang ada di pusat bathin, Yang adalah sumber kehidupan, Yang merupakan satu keadaan dengan Allah, Yang senantiasa menghadap kepada Allah, Itulah bayangan/percikan-KU yang disebut Ruh atau Muhammad (Sejati), Itulah Sejatinya Manusia, Itulah Wujud Sempurna, Ya Hu Allah.”
Dan masih banyak mantra-mantra Islami serupa dalam naskah-naskah Kêjawen. Namun demikian, ironisnya banyak masyarakat Jawa terkecoh dan menganggap Kêjawen adalah ajaran asli Jawa yang sudah ada semenjak zaman purba. Setiapkali saya lempar pertanyaan : apakah ada bukti bahwasanya Kêjawen adalah ajaran Jawa purba, misal nama Kêjawen tercatat dalam naskah Jawa Kuno berbahasa Kawi atau dalam inskripsi Jawa Kuno yang juga berbahasa Kawi? Mereka tidak bisa memberikan bukti namun tetap saja ngotot dengan pendapatnya.
Pada perkembangan selanjutnya, disebabkan oleh ketidaktahuan dan kesimpangsiuran informasi, Kêjawen banyak diklaim sebagai aliran di luar Islam oleh beberapa kelompok Islam Fiqih yang keberadaannya mulai menjamur pada kisaran abad 19. Penganut Kêjawen lantas dikucilkan dan diberi stigma negatif oleh mereka. Keadaan ini memicu reaksi keras dari penganut Kêjawen. Mereka lantas melakukan perlawanan dan mencoba memisahkan diri—setidaknya tidak mengakui sebagai bagian- dari Islam. Ketika hubungan Kêjawen dengan Islam memburuk, saat inilah muncul wacana ahistoris yang menyatakan bahwa Kêjawen adalah ajaran asli Jawa. Wacana ini jelas-jelas absurd. Karena secara historis, Kêjawen lahir dari rahim Islam Tassawuf yang didakwahkan oleh Wali Sanga di tanah Jawa.