gambar: bpad |
Aliran Vajrayana di Nusantara adalah cabang dari aliran Mahāyāna yang berasal dari India, kemudain dikembangkan di Sumatra pada zaman Kerajaan Sriwijaya. Dikisahkan Serlingpa Dharmakirti, seorang Pangeran daei SriVijayendra-Raja yang masih termasuk dalam silsilah Dinasti Syailendra, yang juga dikenal sebagai guru besar Buddhis di Sumatra pada abad ke-10. Bhikkhu Atisa asal India datang ke Sumatera untuk berguru dibawah telapak kakinya, belajar dan membawa ajaran ini ke negaranya. Atisha kemudian menjadi pendiri salah aliran utama di Tibet.
Dalam aliran Vajrayana/Tantrayana, Kala adalah salah satu pelindung Dharma yang berkuasa atas Waktu (Roda Waktu atau Roda Dhamma). Adapun di Tibet juga dikenal kata Kalacakra, namun bukan sebagai penolak sial, melainkan utk ber-kultivasi secara spiritual, dan merupakan salah satu Sadhana tingkat tinggi dalam aliran Tantra.
Semenjak kehancuran Kerajaan Majapahit dan ditutup atau dihancurkannnya sejumlah Candi dan juga Sanggar Pamujan sebagai tempat ibadah berakibat, aliran Vajrayana di Jawa tidak lagi dilakukan di tempat terbuka. Untuk selanjutnya praktek dilakukan secara diam-diam pada tengah malam supaya tidak diketahui orang banyak. Hal ini dilakukan di batin saja, oleh sebab itu disebut kebatinan. Salah satu varian dalam Kebatinan Jawa adalah versi distorsi dari Agama Buddha aliran Vajrayana yang dulu berkembang di Jawa dalam bentuk Kasogatan.
Mantra ini dipercayai sebagai penolak bala, oleh para generasi setelah invasi budaya arab/islam masuk dan menghancurkan kerajaan Majapahit. Dipercaya bahwa Kala adalah pembawa sial. syllable yang disebut sbg 10 Bijjakshara, maksudnya 10 aksara (Om Ah Hung: HOH HAM KSHAH MA LA VA RA YA HUM PHET ).
Ada perbedaan antara mantra kalacakra dijawa, yang silabel berjumlah 32, yakni
YAMARAJA…….JARAMAYA
YAMARANI……….NIRAMAYA
YASILAPA…………PALASIYA
YAMIRODA……….DAROMIYA
YAMIDOSA……….SADOMIYA
YADAYUDA………..DAYUDAYA
YASIYACA………...CAYASIYA
YASIHAMA……….MAHASIYA
Mantra yang mempunyai 32 aksara, yakni Mantra Yamantaka. Yamantaka yang dikenal sebagai Vajra Bhairava. Dalam legenda di Tibet, di kenal dewa hindhu bernama Yama, yakni Dewa diantara para Yaksa di alam kematian. Konon Yama sewaktu di tibet sering mencabut nyawa banyak orang karena kurang sesembahan (sesajen). Boddhisattva Manjuçri mengambil bentuk ‘Murka’ menjadi Yamantaka Sang Pelindung Dharma.
Yamantaka (Vajra Bhairava) adalah pelindung Dharma yang berkepala 9, berwajah hitam seperti sapi, bertanduk, 1 penciptaan 1 penghabisan. Punya 34 tangan yang memakai mudra Tarjani/Mudra 34+pikiran+tubuh+perkataan disebut 37 Bantuan pencerahan. Serta punya 16 kaki yg artinya 16 tingkat kekosongan. Yamantaka adalah bentuk murkanya Bodisatva Manhjuçri. Untuk mengalahkan Yama, Manjuçri mengambil bentuk seperti Yama hanya lebih sempurna dan ampuh serta tak terbatas.
Yamantaka tidak sama dengan yama. Yamantaka, alias Vajra Bhairava adalah musuh penghancur Yama. Sadhana Yamantaka Tantra (Patrap Yamantaka [mengalahkan Yama/kematian] aliran Tantra). Tujuan sadhana ini asalah untuk berumur panjang mengalahkan hidup dan mati.
Dalam sebuah kita kuno dari aliran Gelug-pa di tibet. Kitab ini berjudul 'Sarvatathagatakayavakcitta-Krsnayamaritantra'. Sampai sekarang, sadhana ini masih terus di pakai baik di Tibet dan Nepal :
1.Om Ah Hung
2.YA MA RA JA
3.SA DO ME YA
4.YA ME DO RU
5.Ya YO DA YA
6.YA DA YO NI
7.RA YA KSHI YA (Ya Kshi Ya sebetulnya dibaca Yaksi’a, artinya para Yaksa2)
8.YAk SHI YA CA
9.NI RA MA YA
10.Hum Hum Phat Phat Svaha
Dalam Kamus Bahasa sansekerta, ada beberapa kata yg berhasil dicari artinya :
Yama raja= Dewa Yama
Sadomaya=Sado(Pasukan) +Ameya(Yg tak terbatas dan tak terkalahkan)
Yamedoru=Yama[e](Yamantaka)+Dor[u](Punya tangan banyak)
Dayodaya=Dayo(Pengampunan)+Udaya(Perbuatan/produksi)
Yadayoni Ra Yak Shi Ya= Yad)+Ayo-NiRaYak-Shi’Ya (Karena kamu mampu menghancurkan Neraka Besi
Niramaya=Nir+Amaya(Aku berkeinginan memujamu, wahai penghancur penyakit[kematian])
Jadi ini sebetulnya adalah mantra pemujaan memohon perlindungan pada Bodhisattva Yamantaka untuo menghancurkan YAMA.
Sadomaya adalah perwujudan Yamantaka. Yamidosa adalahkebalikan dari Sadomaya, padahal Sadomaya yang tidak ada hubungannya sama pembuat dosa/jasa.Versi distorsinya tidak mengerti lagi tujuan, arti dan makna mantra ini, kemudian terjadi distorsi sekedar enak didengar dengan memakai cocokologi diartikan sendiri menjadi :
YAMARAJA……….JARAMAYA
siapa yang menyerang,berbalik menjadi berbelas kasihan
YAMARANI………..NIRAMAYA
siapa datang bermaksud buruk, malah akan menjahui
YASILAPA…………PALASIYA
siapa membuat lapar akan malah memberi makan
YAMIRODA……….DAROMIYA
siapa memaksa malah menjadi memberi keleluasaan/kebebasan
YAMIDOSA……….SADOMIYA
siapa membuat dosa, berbalik membuat jasa
YADAYUDA………..DAYUDAYA
siapa memerangi berbalik menjadi damai
YASIYACA……….CAYASIYA
siapa membuat celaka berbalik menjadi membuat sehat dan sejahtera
YASIHAMA……….MAHASIYA
siapa membuat rusak berbalik menjadi membangun dan sayang.
Semenjak keruntuhan Kerajaan Majapahit, para pengikut Agama Buddha aliran Vajrayana atau Kasogatan di Jawa ‘dipaksa’ pindah agama islam. Ajaran ini kemudian mendistorsi menjadi ‘kalacakra’. Sepenggal mantra tidak komplit yang tersiksa sudah terlupakan judul dan tujuan asalnya, hanya diingat tujuannya agar berumur panjang. Kemudian Pengetahuan ini didefinisi ulang sebagai penolak sial. Adapun ‘kolo’ dalam bahasa jawa ngoko berarti sial, namun bukanlah seperti ‘Kala’ di versi Tantra Aslinya.
Semoga bermanfaat