Tampilkan postingan dengan label minangakabau. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label minangakabau. Tampilkan semua postingan

Nagari Tuo; Maek

 CTS #115 : BERCERITA TENTANG NAGARI MAEK, NAGARI TERTUA DI LIMO PULUAH KOTO[1]

Gambar: Winny Marlina[/caption]

Ciloteh Tanpa Suara | Kemarin saya kedatangan tamu anak muda bernama Mutiara Fransiska asal dari Nagari Maek Kecamatan Bukik Barisan Kab. Lima Puluh Kota. Kami berciloteh bersuara dengannya.

“Selamat buat ananda Mutiara Fransiska lulus Program Studi S2 Kajian Sejarah Universitas Andalas “ujar saya menyapa pertama kali saat datang kerumah.

“Terimakasih engku, untuk itu kami bertambah semangat untuk mengkaji sejarah kampung kami, Maek sebagai Nagari Tertua “ Ujarnya.

“Jika tiara mengkaji Maek berdasarkan Tambo tidak akan selesai penelitiannya, tetapi dikaji dengan arkelogis, linguistis, letak wilayah, kenapa Menhir itu ada di nagari Maek dan mengumpulkan uji karbon, mungkin bisa pendekatan melalui itu. Uji golongan darah kenapa di Nagari Maek banyak golongan dari A dan AB seperti ras Mongoloid atau tubuhnya pendek-pendek seperti Tiara ini perlu juga dikaji. Oh ya, apa yang Tiara ketahui tentang arti Maek atau Mahek ?” Tanya saya.

ALAM TAKAMBANG JADIKAN GURU

 

Pict: the living philosophy

Oleh: Saiful Guci

Ciloteh Tanpa Suara # 13 - Sering kita mendengar kalimat falsafah “Alam Takambang Jadikan Guru”. Falsafah di atas mengandung arti agar manusia selalu berusaha menyelidiki, membaca, serta mempelajari ketentuan-ketentuan yang terdapat pada alam semesta sebagai sunnatullah. Dan hendaknya manusia selalu berusaha menggali dan menganalisis suatu permasalahan atau ilmu sampai menemukan kesimpulan yang dapat digunakan sebagai kompetisi yang berguna bagi manusia.
Alam Takambang Jadikan guru.
Timbul pertanyaan : Apa itu alam ?, Apa itu takambang ? dan apa itu yang bisa dijadikan guru.
Alam dalam makna filosofis adalah makna non materi. Alam dalam pengertian non materi ini berarti pemikiran, ide dan gagasan yang berawal dari intuisi dan imajinasi.
Intuisi adalah istilah untuk kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui penalaran rasional dan intelektualitas. Intuisi juga merupakan bentuk perkiraan yang samar-samar, sering setengah disadari, tanpa diiringi proses berpikir yang cermat sebelumnya, namun kemudian dapat menuntun pada satu keyakinan, yaitu secara tiba-tiba dan pasti memunculkan satu keyakinan yang tepat.

Akar Tunggang Yang Terancam

 


SKB 3 menteri jangan dilupakan !

"Dalam air keruh banyak yang menangguk, sehingga tercabutlah pohon sampai ke urat tunggangnya".
"Akar Tunggang Yang Terancam"
Dalam surat al-Nur ayat 31, Allah swt memerintahkan untuk memakai kerudung hingga menutupi dada dengan kalimat yang sangat jelas :
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ
"..Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung kedada mereka.."
dan melarang memperlihatkan aurat dengan ungkapan yang sangat terang:
ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ
"..dan janganlah menampakkan perhiasan mereka..."

Ghazwul Fikri


"Membiarkan Racun Pemikiran Disebarkan, Saudara-saudara Bertanggung Jawab Kelak di Hadapan Allah swt"

Bila menutup aurat dengan memakai khimar (kerudung), dan memakai jilbab (baju menutup tubuh wanita dari kepala sampai ke kaki) hanya difahami sebagai tradisi dan pembeda antara wanita merdeka dan budak, maka kesimpulannya sudah terbaca yaitu:
Karena budak sudah tidak ada lagi maka tak perlu lagi pakaian yang membedakan antara wanita merdeka dan budak. Jadi, menurut orang-orang ini "kerudung atau jilbab dalam istilah kita, tidak diperlukan lagi dan tak perlu dijadikan ia sebagai ukuran kesalehan seorang wanita".
Walaupun saya ingin mengingatkan lagi tentang kejujuran dalam melihat suatu pandangan yaitu tentang "ukuran kesalehan". Sebenarnya itu kalimat yang tak tepat. Ulama tidak mengatakan ukuran kesalehan tapi "salah satu ukuran kesalehan". Dua pernyatan yang jauh berbeda bagi orang yang berakal !!!
Baik, mari kita lanjutkan !
Kalau mereka ini melanjutkan kajian tentang aurat itu, maka mereka juga akan bertemu ada perbedaan aurat wanita budak dengan wanita merdeka.

Diplomasi Ala The Great Oldman

Ilustrasi Foto: blog ayrooms


Disalin dari kiriman FB Rabbani Bekam 

MASYHUDUL HAQ

Dalam Konferensi Meja Bundar, dalam suasana rehat. Semua orang terganggu. Karena ruagan penus asap. Asap itu beraroma rempah rempah terbakar. Mata orang tertuju kepada gaek berjanggut yang berdiri di pojok ruangan sedang merokok. Rokok blotot yang merupakan campuran tembakau, cengkeh, lada. Delegasi Amerika Serikat datang mendekati pria gaek itu yang tampak tidak terganggu tatkala dipandangi. Kemudian beberapa orang dari Belanda, Australis, Swedia ikut nimbrung. Liat pria gaek itu merokok di ruang para diplomat.
“ Apakah tuan tidak punya rasa hormat? “ Kata delegasi Belanda.
Pria gaek itu hanya tersenyum dan dia hembuskan asap rokok itu ke udara menyerupai hurup O.
“ Apa maksud tuan dengan rasa hormat ?" Katanya.
“ Asapnya, aromanya. Itu menyengat, Mengganggu kami semua.”
“ Tahukah tuan. Aroma itu berasal dari tembakau Deli, Cengkeh dari Sulawesi, Lada dari Lampung. Ketiga komoditas itulah yang mendorong niat tuan berlayar datang ke negeri kami. Akhirnya menjajah kami. Tanpa tembakau, cengkeh, lada, apakah tuan masih mau datang ke negeri kami” Kata pria gaek itu dengan sopan dalam bahasa diplomat berkelas.

ASAL USUL NAMA SERI MENANTI, BANDAR DIRAJA NEGERI SEMBILAN

Gambar: reseachgate

 

Disalin dari kiriman Aal Piliang pada grup Pembela Adat & Syarak Alam Minangkabau


Di daerah Kuala Pilah terletak bandar diraja Negeri Sembilan, Seri Menanti, jaraknya dari bandar Seremban kira-kira 30 kilometer. Seri Menanti pada masa dahulu termasuk di dalam Luak Johol.
Menurut cerita, Seri Menanti asalnya nama sebatang sungai. Hulu sungai tersebut terletak di gunung yang memisahkan daerah Rembau daripada daerah Kuala Pilah.
Kawasan berhampiran sungai itu telah didatangi satu rombongan dari Minangkabau. Rombongan itu diketuai oleh Datuk Putih daripada Suku Seri Lemak. Mereka datang ke Tanah Melayu untuk mencari penghidupan baru. Datuk Putih adalah seorang bomoh besar yang juga pawang negeri di Sungai Layang.
Setelah melalui beberapa perkampungan, akhirnya Datuk Putih menemui tempat yang dirasakan amat sesuai untuk mendirikan sebuah perkampungan. Ahli-ahli rombongannya bersetuju dengan cadangannya itu. Mereka bermuafakat membuka kawasan baru itu untuk bercucuk tanam.
Datuk Putih kemudian bertanya kepada hampir semua ahli rombongan itu nama yang sesuai untuk kampung mereka. Namun tidak seorang pun yang memberi jawapan yang memuaskan. Dengan demikian perkampungan itu tidak memiliki nama untuk beberapa lama selepas dibuka.

Curaian tentang dasar adat Minang Kabau



Kalau tidak berbudi baik artinya Tak Beradat. Dalam pengertian tidak berprikemanusiaan. Jadi salah satu dasar adat Minangkabau itu adalah:

1.Perikemanusian
Oleh Karena Budi baik itu digali dalam Lembaga Mufakat di Balerong [balairung] Adat dengan hikmat kata sepakat dalam permusyawaratan di bawah pimpinan lembaga adat Minang Kabau, munculah dasar kedua;

2.Musyawarah terpimpin
Lantaran sidang permusyawaratan Kerapatan Adat itu terdiri dari bermacam suku yang berbeda Tapi bersatu dalam kesatuan nagari Minang Kabau, sifat kesatuan nagari itu berdasarkan yang ketiga;

Perihal Pamalayu & Dharmasraya



Kenapa Mongol tidak menyerang Melayu
Ekspedisi pamalayu...
1268 Kertanegara menjadi raja
1271 Kublai Khan menjadi raja
1275 Ekspedisi Pamalayu pertama dikirim Kerta Negara, membantu mertuanya raja Dharmasraya menghadapi penguasaan Cina atas jalur pelayaran dan bersekutu dengan kerajaan Champa.
1285 Mongol menyerang Champa, tapi gagal
1286 Ekspedisi Pamalayu kedua dan pengiriman Arca oleh Kertanegara ke Dharmasraya. Kemungkinan karena penobatan Srimat Mauliawarmadewa sebagai raja
1287 Mongol menyerang Hanoi
1288 Mongol menyerang Burma
1289 Mongol mengirim utusan ke Jawa
1292 pemberontakan Jayakatwang. Kertanegara gugur
1293 tentara Mongol sampai di Jawa...dan di usir pulang kampung..

Diskusi di kolom komentar:

Padri, Antara Fakta & Khayal Orientalis

 

Ilustrasi Gambar: Insan Pelajar


OPERASI INTELIJEN BELANDA LEWAT 'PREMAN ' UNTUK MEMPROVOKASI PERANG DI MINANGKABAU.
Perang Bad'r Minangkabau 1803 - 1845 (Bagian Pertama)
MASYARAKAT Minangkabau dahulu menyebut perang itu Perang Putih atau Perang Bad'r Minangkabau.[1] Sebab perang ini bagi Orang Minangkabau adalah perang suci yang semata-mata karena panggilan jihad dalam rangka menjalankan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar melawan kafirun Eropah yang tengah gencar menjalankan Gerakan 3G (Gospel, Glory, Gold).[2]
 
Seperti telah ditulis dalam banyak literasi Gerakan 3G dari kafir Penjarah Eropah ini bertujuan untuk memaksakan syahwat mereka untuk menjajah dan menjarah kekayaan tarutama dari negeri-negeri Islam. Menuntaskan dendam kekalahan mereka dalam Perang Salib dengan cara memurtadkan aqidah warga pribumi (liberalisasi/kristenisasi). Serta untuk kemudian meraih kemenangan dengan cara menaklukkan, menunggangi dan atau menguasai kekuasaan. Berdirinya negara Amerika Serikat dan Australia adalah diantara contoh radikal dari sukses total mereka dalam merampok, mengalahkan, dan mengambil alih ulayat masyarakat bumiputera. 
 
PERANG BAD'R MINANGKABAU Vs PERANG PADERI.

SEJARAH HUBUNGAN MINANGKABAU, KEDAH DAN PULAU PINANG (PENANG) MALAYSIA

 

Menurut Profesor Dr. Ahmad Murad Merican, dosen Departemen Manajemen dan Humaniora, Universitas Teknologi Petronas, yang telah mempelajari sejarah perintis pulau Pinang (Penang) sejak akhir 1990-an, mengatakan:

PERIHAL CANDI MUARA TAKUS

 


Dalam tulisan F.M. Schnitger, Ph.D
 
Bagaimana sebenarnya sejarah penemuan dari Candi Muara Takus itu sendiri? Di dalam catatan sejarah candi tersebut ditemukan oleh seorang bernama Yzerman, tepatnya pada tahun 1893. Pada saat itu ia berkelana di hutan-hutan yang ada di Sumatera. Sampai akhirnya ia tertegun ketika melihat sebuah gundukan tembok yang berlapis-lapis. Diduga gundukan tersebut adalah Candi Muara Takus sebagai peninggalan agama Budha yang ada di Koto Kampar. Pada pendapat lainnya, disebutkan bahwa candi yang awalnya cuma bekas gundukan tanah ini untuk pertama kalinya ditemukan pada tahun 1860 oleh seorang arkeolog yang bernama Cornet D. Groot.
 
Selanjutnya, pada tahun 1935, seorang arkeolog berkebangsaan Belanda bernama Dr. F.M. Schnitger datang langsung guna untuk meneliti keberadaan candi tersebut. 
 
Candi Muara Takus memiliki banyak misteri. Candi campuran Hindu dan Budha ini bahkan dinyatakan oleh beberapa ahli sebagai pusat kerajaan Sriwijaya. Digali kembali oleh orang Belanda-Jerman bernama F.M. Schnitger, Ph.D di tahun 1935, 1936, 1938 dan 1939 lalu diukur dan diteliti ulang, Candi Muara Takus tetap menyimpan misteri. Sama misterinya dengan fenomena gajah yang selalu berlutut dan memberi hormat kepada candi ini pada saat-saat tertentu. Semua ini ditulis oleh F.M. Schnitger, Ph.D di tahun 1938 dalam bukunya The Forgotten Kingdoms in Sumatra yang berbahasa Inggris.
 
Buku The Forgotten Kingdoms in Sumatra (Sumatera) sendiri terdiri dari beberapa bagian yang salah satunya menceritakan atau tepatnya laporan Schnitger atas kegiatan penggalian dan penelitian di Candi Muara Takus (Tjandi Moeara Takoes) Kampar. Bagian tulisan dari buku berwarna kuning itu berjudul "KAMPAR".
 
Poin-poin penting yang hendak diangkat dalam sajian ini antara lain :
 
  1. Candi Moeara Takoes mungkin adalah kuburan para tokoh kerajaan. Orang Melayu mengatakan bahwa penguasa Hindu diubah menjadi gajah, dan karena alasan inilah kawanan gajah besar secara teratur mengunjungi reruntuhan untuk memberi penghormatan kepada arwah leluhur mereka yang telah meninggal. 
  2. Penduduk tertua Moeara Takoes adalah keturunan Poetri Seri Doenia, yang datang bersama keluarganya dari Pariangan Padang Pandjang (Menangkabau). Kecantikannya menjadi sangat terkenal sehingga seorang penguasa Hindu melamar dia. Sang putri menerima lamarannya dengan syarat bahwa dia harus membangun istana untuknya. Ini yang dilakukan radja, dan sisa-sisa istana ini masih dapat dilihat di Moeara Takoes. Kemudian radja kembali ke negaranya sendiri untuk membuat persiapan pernikahan.
  3. Poetri Sri Doenia menikah dengan seorang datoe dari Menangkabau. Dia melahirkan seorang anak laki-laki, yang dia sebut Indo Doenia dan sampai saat ini ada sebuah tempat di Moeara Takoes bernama Galangan lndo Doenia. Pemuda ini kemudian menjadi penguasa Moeara Takoes dan digantikan oleh Radja Pamoentjak (Datoe di Balai), yang dikenal dalam sejarah pada masa ketika negara itu masuk Islam.
  4. Moeara Takoes sebelumnya disebut Si Djangkang (tumbuhan) atau Telago Oendang. Nama tersebut konon berasal dari Takoet, nama anak sungai Kampar, dinamakan demikian karena di tempat ini masyarakat mulai takut pada penguasa Moeara Takoes (takoet = takut). Kerajaan ini pernah menguasai seluruh negara sekitarnya, dan ingatan akan fakta ini belum memudar. Sampai hari ini penguasa Rokan harus berziarah ke Moeara Takoes sebelum penobatannya agar kepalanya diolesi dengan jus lemon.
  5. Saat bulan purnama fenomena alam yang luar biasa terjadi di Kampar. Gelombang pasang besar bergulung dalam jarak 60 hingga 70 km dari laut, menghancurkan semua yang ada di jalurnya. Tembok air mendidih setinggi enam kaki terlihat mendekat, yang menabrak tepian dengan suara seperti guntur, menyeret seluruh pohon ke dalam pusaran airnya yang mendidih. Bagaimana bono ini berasal tidak diketahui. Itu juga terjadi di Rokan, tetapi tidak begitu tinggi tidak begitu berbahaya seperti di Kampar.
  6. Pernah adanya serangan pasukan "Batak" yg besar namun dapat ditewaskan semuanya. Mayat2 mereka berdesakan di sungai dg bau busuknya yang menyengat. Orang setempat memberi nama sungai itu Soengei Siboesoek. Dari sini jenazah masuk ke Kampar dan hanyut melewati tempat yang selanjutnya disebut Bangkai-inang atau Bangkinang (Batak untuk jenazah). Nama "inang", yang berarti "ibu", digunakan untuk bahasa Batak, karena ketika ketakutan atau terkejut mereka selalu berteriak, "inang".
Hal ini membuktikan istilah "Batak" sudah lama digunakan oleh penulis asing dan sama sekali tidak merujuk kepada "Batak Toba" apalagi ke keturunan Siraja Batak Pusuk Buhit.
 
Berikut ini terjemahan bebas (google translate) dari bagian tulisan yg berjudul "Kampar".
----
KAMPAR. (Halaman 33 - 46).
 
Malam yang luas dan sunyi mengerumuni kami dan dari jauh terdengar suara gajah. Selama seminggu kami berkemah di sini di hutan Moeara Takoes, terletak di Kampar, sebuah sungai yang melengkung di sekitar khatulistiwa seperti gulungan ular yang perkasa. Di sini sepi, bulan purnama memancarkan cahaya aneh dan menyeramkan di atas reruntuhan.
 
"Toean," kata pelayanku lembut, "aku takut."
 "Takut?" aku bertanya, heran.
 "Ya, saat bulan purnama bersinar para gajah menyeberangi sungai dan pergi ke kuil suci. Kemudian mereka berkumpul dalam lingkaran di sekitar menara tinggi dan berlutut sebagai penghormatan kepada arwah raja mereka yang telah meninggal, yang terkubur di sana. ... "
 
Malam yang sunyi dan megah; jangkrik bernyanyi dan suara mereka bercampur dengan gumaman sungai. "Dan mengapa gajah tidak berlutut kepada pemimpin mereka yang mati?" Saya pikir. 
 
Anda mendengar cerita mencekik seperti itu di Timur sini. Tapi ayolah, kita di sini bukan untuk bermimpi tetapi untuk menggali, dan itu kerja keras. Besok Akan menjadi hari yang sibuk lagi, karena gerbang yang baru saja saya temukan di dinding utara yang mengelilingi bangunan candi harus dibersihkan dan diukur. Maka saya membentangkan alas tidur saya di tanah dan berbaring ...
 
Saya mengantuk sebentar. Betapa indahnya rumah kayu kecil yang kami miliki, begitu dekat dengan tepi Kampar. Seorang mantan gubernur membangunnya sebagai penginapan untuk pesta berburu. Tahun lalu gajah memainkannya dan mengubahnya menjadi reruntuhan! Tapi rumah baru itu lebih kuat dan selain itu ... sungai menyanyikanku dengan lembut untuk tidur ...
 
Sudah lewat tengah malam ketika aku terbangun dengan kaget. Di sekitarku berdiri sekelompok penduduk asli. Midon, pekerja terbaik saya, membungkuk di atas saya. Lipatan sorban putihnya menyapu wajahku. Di tangannya dia memegang senapan besar bergaya kuno.
 
"Semoga jari kaki memaafkanku. Awalnya kami tidak ingin membangunkanmu, tapi sekarang."Sebuah raungan teredam menyela dia, suara yang belum pernah kudengar, yang memiliki kekuatan untuk membuat hati yang paling kuat bergetar, suara hutan ...
 
“Di desa kami mendengar terompet dan auman gajah, mereka turun dari gunung berkabut Soeligi. Mereka menyeberangi sungai, langsung menuju ke rumah kaki katak. Lalu kami takut dan teringat bahwa jari kaki itu sendirian ... "
 
"Ayo. Ayo," selaku, tidak sabar. "Dimana mereka sekarang?"
 
"Mereka perlahan mendekat. Seperempat jam lagi mereka mungkin sudah di sini ... Kita tidak bisa melarikan diri."
 
Dengan susah payah aku memusatkan pikiranku dan mencoba menghitung peluang untuk melarikan diri ... Jika kita berada di pelataran kuil, di atas reruntuhan tertinggi kita akan aman. Tapi bagaimana menuju ke sana? Jarak dari rumah sekitar 100 m. Jika salah satu lari keras ... Tidak, tidak mungkin. Dalam imajinasi saya sudah melihat gajah berlari keluar dari semak-semak!
 
Namun masih ada kemungkinan lain. Di dekat penginapan, Kampar memiliki tebing curam yang tiba-tiba menurun. Tidak ada gajah yang berani memanjat tebing. Jika kita hanya bisa mencapai bank ini, kita aman. Jadi berkata, sudah selesai. Diam-diam seperti kucing kita turun dan menunggu.
 
Seperempat jam kemudian tanah mulai bergetar dan raket yang luar biasa memenuhi udara. Gemuruh perut gajah mungkin terdengar bermil-mil jauhnya, tapi belum pernah kami mendengarnya begitu dekat. Suara itu keras seperti klakson dan disebabkan oleh keretakan daun dan dahan muda yang dilucuti oleh binatang besar dari pepohonan dengan kenikmatan terbesar. Sementara itu, mereka tampak berbicara dan tertawa dengan suara parau yang divariasikan dengan peluit yang melengking dan suara terompet yang menggelegar.
 
Gajah kecil tersayang yang pernah saya temui di kebun binatang di Fort de Kock, betapa sering saya memberi Anda makan kacang dan gumpalan gula. Anda mengatakan kepada saya bahwa Anda memiliki kerabat di hutan Moeara Takoes, sepupu dan bibi dan seorang keponakan tua melalui pernikahan.
 
Yah, mereka benar-benar membuat keributan malam itu. Sepanjang waktu mereka tetap bermain dan berjalan di sekitar halaman kuil dan tidak sampai pagi mereka beristirahat di semak-semak.
 
Pagi itu saya akan mengingat selama saya hidup. Saat matahari terbit, lelah dan menggigil, saya mendaki tepi sungai yang tinggi dan melihat-lihat hutan. Namun, saya tidak bermeditasi lama, tetapi mengambil kaset dan buku catatan saya dan pergi ke halaman bait suci. Ayo, saya akan mengukur gerbangnya.
 
Saat aku berdiri menulis, terdengar suara teredam, tidak jauh dari tempatku berdiri. Seolah-olah ada sesuatu yang berat jatuh di atas grotmd. Untuk sesaat saya memiliki kecurigaan yang samar-samar, tetapi diam-diam melanjutkan pekerjaan saya. Segera suara itu datang lagi, —seolah-olah seseorang sedang mengumpulkan kayu bakar ... dan itu pasti pekerja yang luar biasa, karena tiba-tiba suara itu meningkat.
 
Secara naluriah saya menjatuhkan semua yang saya pegang di tangan saya, bergegas ke Tjandi Toea, reruntuhan terbesar, terbang menaiki tangga dan berjongkok di belakang menara pusat. Untuk sesaat tidak terjadi apa-apa, untuk sesaat keheningan yang mematikan. Kemudian dengan suara gemuruh sebuah pohon tumbang tepat di tempat saya baru saja berdiri; seluruh gerbang ditutupi oleh cabang-cabangnya. Pada saat yang sama, suara tabrakan lain terdengar, cabang-cabang patah, semak-semak robek. Dua gajah besar bergegas ke pelataran kuil, berkelahi dan menjerit, saling menyerang dengan belalai mereka yang berwarna gelap dan kemudian, tiba-tiba saat muncul, mereka menghilang lagi ke dalam hutan di sisi lain.
 
Jantungku berdegup kencang, karena keluar dari hutan sekarang muncul gajah ketiga. Dia tetap berdiri di bawah sinar matahari, membuka telinganya yang besar. Perlahan kopernya terayun ke depan dan ke belakang, sepertinya mencari sesuatu dan kemudian tetap diam.
 
Rupanya hewan itu mencium bahaya; di kejauhan terdengar suara pekerja mendekat. Gajah itu mendengarkan, lalu berjalan diam-diam melintasi pelataran candi. Di dekat menara besar dia berhenti, menggaruk dirinya ke dinding, melihat sekeliling sejenak dan kemudian berjalan termenung ke dalam hutan ...
 
Di Moeara Takoes, di tepi kanan Kampar Kanan, terdapat sejumlah reruntuhan dari abad ke-11 dan ke-12. Mereka merupakan bagian dari kota, yang seluruhnya dikelilingi oleh tembok tanah. Ruang tertutup berukuran sekitar 1,25 km. Bangunan-bangunan tersebut dikelilingi oleh dinding batu pasir berukuran 74 X 74 m. Pada bulan April 1935, saya menggali fondasi bata sebuah gerbang besar, kira-kira di tengah tembok utara. Karena tembok sekeliling dibangun di atas pondasi ini pada sisi yang berlawanan, maka yang terakhir harus dari tanggal yang lebih awal.
 
Tepat di seberang gerbang, di sisi selatan halaman, berdiri bangunan terawat terbaik: Stupa Maligai yang ramping dan anggun. Pondasi berbentuk persegi panjang dengan ukuran 9,44 X 10,60 m. Di dalam, 52 cm di belakang dinding luar, ada fondasi tua yang dihiasi pilaster. Di sisi utara naik tangga, yang telah dua kali dibangun kembali seiring berjalannya waktu. Ada kemungkinan bahwa pada suatu waktu mereka menopang tembok pembatas dengan dua gajah yang berlutut. Mungkin galeri juga memiliki dinding penahan yang rendah.
 
Di atas pondasi berdiri pedimen 28 sisi, dihiasi balok-balok batu pasir kuning. Dari alas ini naik menara bundar. Seperti yang terlihat dari gambar, tubuh stupa bertumpu pada bantalan teratai ganda. Di dalam bunga ini ada teratai yang lebih tua. Mahkota stupa tampaknya memiliki 36 sisi; di empat sisi ditempatkan duduk singa dari batu pasir. Bagian bersudut 36 diikuti oleh segi delapan biasa di atasnya yang membentangkan dekorasi dengan 16 kepala singa. Kubahnya terdiri dari teratai batu pasir, yang pasti dulunya menopang stupa. Di tengah menara pernah ada lubang, dengan kedalaman sekitar 2 m, di mana terdapat tiang kayu, bantalan beberapa pelindung matahari, satu di atas yang lain. Di sebelah timur Maligai Stupa terdapat teras persegi panjang, 5,10 X 5,70m dengan perpanjangan dan tangga di sisi utara. Di dinding luar ada pilaster.
 
Di sebelah barat stupa ini terdapat teras serupa yang disebut Tjandi Boengsoe. Dulunya menopang fondasi 20 sisi, dengan stupa dalam rangkaian stupa yang lebih kecil. Itu mengingat teras atas dari Boroboedoer.
 
Pada periode selanjutnya, teras dari batu bata ini diperbesar di sisi utara dengan sebuah stupa batu pasir. Di sisi timur naik tangga. Pada alas tinggi 20 sisi bertumpu pada alas 36 sisi rendah yang mengalahkan bunga teratai. Di dalam teratai ini ditemukan sebuah lubang berisi tanah dan abu. Di antara abu tergeletak tiga keping daun emas dan piring emas, diukir dengan wajra dan tiga huruf. Di ketinggian alas bersisi 20 itu ada sebuah batu dengan 9 huruf dan di tengah tiap sisinya ada wajra.
 
Tepat di utara Tjandi Boengsoe berdiri Tjandi Toea, bangunan Moeara Takoes terbesar (meski bukan yang tertinggi). Panjang terbesar 31,65 rn, lebar terbesar 20,20 m. Cerita dasar menunjukkan tanda-tanda rekonstruksi; jalur prosesi memiliki luas yang sangat tidak teratur. Teras kedua lebih rendah, tetapi seperti yang pertama dihiasi dengan pilaster batu kapur. Di timur dan di sisi barat naiklah tangga dengan singa. Stupa yang tepat bertumpu pada alas 36 sisi. Di dalam teratai hanya ditemukan lubang kosong.
 
Di sebelah timur Tjandi Toea I ditemukan pondasi batupasir berukuran 13,20 X 16,60 m, sedangkan di sebelah selatan reruntuhan tersebut terungkap pondasi 5,75 X 5,75 m.
 
Kuil Moeara Takoes mungkin adalah kuburan para tokoh kerajaan. Orang Melayu mengatakan bahwa penguasa Hindu diubah menjadi gajah, dan karena alasan inilah kawanan gajah besar secara teratur mengunjungi reruntuhan untuk memberi penghormatan kepada arwah leluhur mereka yang telah meninggal. Di dekat kuil terdapat arungan dangkal, yang dilintasi hewan setiap kali mereka turun dari Gunung Soeligi ke dataran. Sungguh luar biasa bahwa sejak dahulu kala, pelataran stupa telah menjadi tempat bermain favorit mereka, tempat mereka berjalan-jalan dan melepaskan diri sepanjang malam di bawah cahaya bulan.
 
Selama penggalian bulan April 1955, kami dapat memverifikasi fenomena aneh ini dari pengalaman pribadi. Ketika seseorang mempertimbangkan jejak binatang kuno di hutan dan konservatisme ekstrim gajah, nampaknya bahkan berabad-abad yang lalu hewan-hewan itu membawa diri mereka ke Moerara Takoes, dan karena alasan inilah tempat itu berbau kesucian. Orang Melayu pasti menganggapnya sebagai tempat menari gajah, seperti yang masih dikenal di India.
 
Ini mungkin juga menjadi alasan mengapa Hindus membangun kuil mereka di tempat khusus ini. Selama kota terletak di sini, gajah secara alami menjauh, tetapi setelah kehancurannya, hutan mendapatkan kembali haknya dan Penguasa Hutan mengembalikan jalan kuno mereka.
 
Pada tahun 1003 raja Se li chu la wu ni fu ma tiau (Cri Cudamaniwarmadewa) mengirim dua utusan ke China untuk membawa upeti; mereka memberi tahu bahwa di negara mereka sebuah kuil Buddha telah didirikan untuk berdoa agar kaisar berumur panjang, dan bahwa mereka menginginkan nama dan lonceng untuknya, yang dengannya kaisar akan menunjukkan bahwa dia menghargai niat baik mereka. Sebuah dekrit dikeluarkan dimana kuil tersebut mendapat nama Cheng tien wan shou (Tjandi Boensoe / Tjandi Boengsoe) dan lonceng dibunyikan untuk diberikan kepada mereka.
 
Penduduk tertua Moeara Takoes adalah keturunan Putri Poetri Seri Doenia, yang datang bersama keluarganya dari Pariangan Padang Pandjang (Menangkabau). Kecantikannya menjadi sangat terkenal sehingga seorang penguasa Hindu melamar dia. Sang putri menerima lamarannya dengan syarat bahwa dia harus membangun istana untuknya. Ini yang dilakukan radja, dan sisa-sisa istana ini masih dapat dilihat di Moeara Takoes. Kemudian radja kembali ke negaranya sendiri untuk membuat persiapan pernikahan.
 
Sementara itu pasukan Batak yang besar berbaris di kota. Seorang kerabat putri, bernama Soetan Palembang, menulis surat kepada penguasa Hindu, memberikan sekeranjang (gantang) benih kepada utusan tersebut. Sebanyak benih dalam keranjang, begitu banyak pula orang Batak. Namun, penguasa Hindu tidak kembali.
 
Ketika orang Batak tiba di Moeara Takoes mereka menemukan seluruh kota kosong. Poetri Sri Doenia bersama para pengikutnya telah pindah ke hutan dan menikah dengan seorang datoe dari Menangkabau. Dia melahirkan seorang anak laki-laki, yang dia sebut Indo Doenia dan sampai saat ini ada sebuah tempat di Moeara Takoes bernama Galangan lndo Doenia. Pemuda ini kemudian menjadi penguasa Moeara Takoes dan digantikan oleh Radja Pamoentjak (Datoe di Balai), yang dikenal dalam sejarah pada masa ketika negara itu masuk Islam.
 
Legenda lainnya adalah sebagai berikut. Salah satu penguasa terakhir Moeara Takoes (atau Takoei) bernama Radja Bitjau. Kota itu begitu besar sehingga seekor kucing bisa berkeliaran dari atap ke atap selama tiga bulan sebelum mencapai rumah terakhir. Raja hanya memiliki anak perempuan. Ketika si sulung hendak menikah dengan maharadja Djohore, segala macam orang datang untuk menghadiri pesta dan sabung ayam itu.
 
Di antara para tamu adalah saudara Singa Mendjadian dan Singa Mendedean, yang baru saja menetap di Goenoeng Malelo (hulu) dan yang berasal dari Rau. Namun, yang lainnya menegaskan bahwa mereka berasal dari Palembang. Salah satu dari mereka meminta tangan (melamar) salah satu putri raja, tetapi ditolak karena dia menderita penyakit kulit yang mengerikan.
 
Dia sekarang mengirim anak saudara perempuannya (kamanakan) dengan sekeranjang biji-bijian dan saputangan kepalanya sendiri kepada saudaranya, Singa Merdekeh, radja dari Koeamang (Panti) dan memintanya untuk mengirim tentara sebanyak biji-bijian di dalam keranjang. Orang Batak sekarang datang dengan pasukan besar dan menyerang Moeara Takoes. Dalam pertempuran ini radja terakhir, Pandjang Djoengoer, kehilangan nyawanya.
 
Di Batoe Besoerat, orang Batak melemparkan batu kaligrafi ke sungai dan berkata, "Jika batu ini muncul lagi di atas air, kami juga akan kembali".
 
Namun di Pamatang Gadang, mereka menemui perlawanan. Di sini pohon-pohon besar ditumpuk dan dilemparkan ke atas mereka. Banyak mayat berdesakan di sungai dan bau busuknya yang menyengat memberi nama Soengei Siboesoek. Dari sini jenazah masuk ke Kampar dan hanyut melewati tempat yang selanjutnya disebut Bangkai-inang atau Bangkinang (Batak untuk jenazah). Nama "inang", yang berarti "ibu", digunakan untuk bahasa Batak, karena ketika ketakutan atau terkejut mereka selalu berteriak, "inang".
 
Diceritakan bahwa pada zaman dahulu terdapat aliran bawah tanah yang menghubungkan Kampar Kanan dengan Kampar Kiri. Legenda menceritakan tentang seorang Indo Chatib dari soekoe Bondang, yang pernah memancing di lingkungan Koto Ajer Tiris. Dia mengejar seekor ikan yang bersembunyi di cekungan di tepi sungai. Tapi lndo Chatib tetap menggenggam erat tali tempat ikan ditangkap sehingga bisa dengan mudah mengikuti buronan itu. Akhirnya dia sampai di Kampar Kiri.
 
Kisah yang lebih kredibel menceritakan bahwa dahulu ada gua stalaktit di dekat desa Batoe Balah. Air yang berhamburan membentuk aliran yang mengalir di bawah tanah menuju Goenoeng Sahilan.
 
Moeara Takoes sebelumnya disebut Si Djangkang (tumbuhan) atau Telago Oendang. Nama tersebut konon berasal dari Takoet, nama anak sungai Kampar, dinamakan demikian karena di tempat ini masyarakat mulai takut pada penguasa Moeara Takoes (takoet = takut).
 
Kerajaan ini pernah menguasai seluruh negara sekitarnya, dan ingatan akan fakta ini belum memudar. Sampai hari ini penguasa Rokan harus berziarah ke Moeara Takoes sebelum penobatannya agar kepalanya diolesi dengan jus lemon. Dan pada hari ulang tahun Ratu, ketika semua panghoelo di Bangkinang datang untuk memberikan penghormatan kepada Controleur, panghoeloe dari Moeara Takoes memimpin prosesi, di bawah payung emas.
 
Di sebelah timur bangunan candi adalah Sungai Ampamo, dinamakan demikian karena airnya berwarna merah seperti emas. Lebih jauh ke timur terletak Boekit Katangta.
 
Sungguh mulia bisa mandi di sini di Kampar. Aliran air melewati tepian batu tulis yang luas. Seseorang hanya duduk dan membiarkan air dingin menggulung tubuh seseorang. Tepian tinggi terdiri dari tebing merah kecoklatan dan abu-abu perak, lembut seperti kue, di mana tumbuh banyak pakis yang anggun. Tupai, dengan ekor wol yang lucu dan menjulur ke atas, menyelinap di semak-semak, memandang si penyusup dengan mata nakal.
 
Saat matahari terbenam, penduduk asli berdiri berdoa di tanjung kecil, para wanita seluruhnya diselimuti kerudung putih dan ungu. Doa yang tak terhitung jumlahnya telah diucapkan di bank-bank ini selama berabad-abad. Angin malam penuh dengan bisikan, sungai gelap penuh bayang-bayang. Dengan lembut mereka meluncur ke lautan luas. Malam tiba di atas Kampar. Di hutan tak berujung berdiri sebuah stupa yang sepi ...
 
Saat bulan purnama fenomena alam yang luar biasa terjadi di Kampar. Gelombang pasang besar bergulung dalam jarak 60 hingga 70 km dari laut, menghancurkan semua yang ada di jalurnya. Tembok air mendidih setinggi enam kaki terlihat mendekat, yang menabrak tepian dengan suara seperti guntur, menyeret seluruh pohon ke dalam pusaran airnya yang mendidih. Bagaimana bono ini berasal tidak diketahui. Itu juga terjadi di Rokan, tetapi tidak begitu tinggi tidak begitu berbahaya seperti di Kampar.
Dulunya hiduplah di muara Kampar sebuah suku bernama Singo Bono. Di dekat Tandjoeng Semajang ada tempat suci, di mana banyak orang datang untuk berdoa. Ketika bono mendekat, di sungai muncul perahu misterius, didayung oleh tangan tak terlihat. Munculnya kapal roh ini membawa keberuntungan bagi seluruh negeri.
 
Pada zaman dahulu, hiduplah seorang kepala suku yang hebat di Kampar, yang memiliki seorang putri yang cantik. Namun, dadanya setengah wanita, setengah pria. Banyak pria meminta tangannya tetapi sia-sia. Teman satu-satunya gadis itu adalah seekor anjing. Suatu hari dia menjadi seorang ibu dan melahirkan tujuh anak. Ayahnya diliputi rasa malu dan membuang hewan-hewan itu ke sungai.
 
Tapi setiap kali ada bono, anjing-anjing itu terlihat kembali, mencari induknya. Mereka melompat dan menggeram dan menghancurkan segala sesuatu di jalan mereka. Tapi selalu mereka kelelahan dan kembali lagi ke laut.
 
Diceritakan juga bahwa bono disebabkan oleh tujuh ekor kuda liar, yang datang ke sungai dalam sebuah kawanan. Suatu kali seorang kepala menembak ke arah mereka dan bono itu menjauh empat kali. Tetapi pria itu sakit parah dan tidak bisa berjalan lagi. Kita manusia harus berhati-hati ...
 
Di Koto Toeo, dekat Moeara Takoes, sejumlah relik emas telah dilestarikan, yang diceritakan dalam legenda berikut. Datoe Djalo Mangkoeto pernah bermimpi bahwa dia akan memperoleh emas jika dia memberikan emas itu darah karbau putih. Kemudian dia membuat karbau hitam putih dengan tepung beras dan menyembelihnya, di mana emas dalam ruangan muncul dari sungai dalam bentuk kura-kura. Datoe mengikatnya ke tiang rumahnya. Tetapi ketika kura-kura itu mendengar bahwa dia telah ditipu dengan karbau yang memutih, dia melepaskan diri. Seorang budak mengambil perisainya. Kemudian hewan itu pergi ke ibu budaknya untuk meminta perisainya yang hilang. Dia mengembalikannya dan sekarang dia memberikan emas kepada ibu yang membeli kemerdekaan putranya dari Datoe Djalo Mangkoeto.
 
Dahulu kala ada seorang laki-laki dari Djambi yang berlayar ke Rokan, dan di tanah Rokan dia mengakhiri perjalanannya dan menetap selama beberapa bulan. Namanya Pendek Alang Berkokok. Dia hanya menyukai pekerjaan yang mudah, jika ada seorang wanita cantik di desa dia menaklukkannya dan setiap hari dia membuat pertengkaran baru. Radja dari Rokan ingin mengusirnya atau membunuhnya dan mencari seseorang di negerinya sendiri yang cukup berani untuk melakukan perbuatan ini.
 
Sekarang di Tandjoeng (Kampar) ada seorang pemberani bernama Datoek Rangsang Kampar (D. nan Gadang Tjintjin), dan Datoek Pedoeko Sangsamo diutus untuk menjemputnya.
 
Mereka bertemu di pegunungan antara negeris Pendalian dan Sibiroeang; di sana anjing menggonggong satu sama lain.
 
Sangsamo berkata bahwa dia sedang dalam perjalanan untuk menemukan Tjintjin. Yang terakhir, tidak ingin mengkhianati dirinya sendiri, mengatakan bahwa dalam 7 hari dia akan membawa Tjintjin ke Rokan.
 
Kemudian Sangsamo berkata, “Dimana anjing kita baru saja menggonggong adalah batas antara Kampar dan Rokan loeak,” dan sampai saat ini pegunungan tersebut disebut Boekit Kalaran Andjing.
Tjintjin kembali ke Tandjoeng, memanggil putranya, Si Djoeang Pahlawan, dan 6 hari kemudian pergi bersamanya ke Rokan. Di sana dia berjanji untuk membantu penguasa, setelah itu dia dan putranya menemukan Berkokok dan membunuhnya.
 
Sekarang Tjintjin menginginkan sebagai hadiah sesuatu yang tidak akan ada akhirnya. Keinginan ini menimbulkan kekhawatiran besar di Rokan.
 
Radja mengirimkan utusan. Salah satunya datang ke Pendalian dan di sana ia menemukan seorang anak yang ia bawa ke Rokan. Anak itu berkata, “Biarlah ini pahala, bahwa Rokan dan Tandjoeng bersatu”. Dan begitulah.
 
----------------------------------
Hal menarik lainnya pada Halaman 56 buku tersebut tertulis:
 
Pada tahun 1514, ekspedisi Portugis berlayar ke Sungai Siak untuk bertemu dengan penguasa kerajaan yang termasyhur. Beberapa penduduk asli dikirim terlebih dahulu ke pedalaman, mencapai soeltan dan dikembalikan dengan beberapa barang perdagangan, termasuk emas. Segera di sana berkembang perdagangan emas yang berkembang pesat antara Menangkabau dan Malaka. Mungkin Kampar diikuti agak jauh, lalu melalui darat ke Siak dan menyusuri sungai ini ke laut.
---
Postingan terkait :
ORANG KAMPAR.
Seputar polemik apakah identitas Orang Kampar itu adalah "Orang Minangkabau" atau bukan.?
MELAYU RIAU, dimanakah itu.?
-
Foto & Deskripsi disalin dari: FB St.Bandaro Sati

Tarikh\5.Tokoh\6.Usmar Ismail

 Klik pada judul untuk menuju tulisan dimaksud:

  1. Usmar Ismail - Badan Bahasa Kemdikbud
  2. Usmar Ismail - wikipedia
  3. Usmar Ismail: Dimusuhi Rekan, Dikhianati Bangsa Sendiri - Tirto
  4. Kiprah Usmar Ismail Akan Selalu Dikenang - kompas
  5. Usmar Ismail dianggap Pantas Bergelar Pahlawan Nasional - Republika
  6. Usmar Ismail - Kumpulan Berita Tempo


Curaian Yus Dt. parpatiah

 Silahkan Klik Pada judul untuk menuju tulisan:

  1. Pitaruah Ayah I
  2. Pitaruah Ayah II
  3. Pitaruah Ayah: Calon Pangulu-Muqaddimah
  4. Pitaruah Ayah: Calon Pangulu-Curaian
  5. Kepribadian Minang I – Muqaddimah
  6. Kepribadian Minang II – Muqaddimah
  7. Kepribadian Minang III – Tarikh
  8. Kepribadian Minang IV – Makna Tambo
  9. Kepribadian Minang V – Pertanyaan Kritis
  10. Kepribadian Minang VI – Orang Minang Mengutamakan Rasa
  11. Kepribadian Minang VII – Minang Bukan Keturunan
  12. Kepribadian Minang VIII – Keutamaan Perempuan Minang
  13. Kepribadian Minang IX – Peranan Laki-laki Minang
  14. Kepribadian Minang X – Ikatan Minang dan Rantau

 

 

Gutsa' al-Sail (03)

Sumber: https://www.facebook.com
"Gutsa' al-Sail"
(Buih Gelombang) (03)

Kamu kalah berhadapan dengan kemaksiatan, akhirnya menghalalkan kemaksiatan.
Perzinaan menjadi-jadi dan penyakit bertebaran maka solusinya, lokalisasi pelacuran dan bagi-bagikan alat pengaman.

Kekerasan seksual meningkat, solusinya adalah halalkan hubungan tanpa pernikahan.

Adat & Syari'at nan Berbuhul Mati


Sumber: https://www.facebook.com

الحمد لله الذي ألّف بين قلوبنا
أشهد أن لا إله إلا الله و أشهد أن محمد رسول الله
اللهم صل و سلم على سيدنا محمد صلى الله عليه و سلم و على آله و أصحابه و من والاه
أما بعد

Hadirin yang mulia.
Semoga Allah swt menuntun kita semua agar setiap yang terucap dan yang terperbuat, tidak menjadi beban yang memberatkan kita si kemudian hari. 
Mari kita ingat firman Allah swt

The Resident House

[caption id="" align="aligncenter" width="700"] Picture: Tropen Museum[/caption]

De woning van de resident te Fort de Kock, Sumatra`s Westkust || The house of the resident to Fort de Kock, Sumatra`s West Coast. circa 1895.


The house of Resident or Asisten Resident, no information about that.


____________________________


Rumah Residen untuk Bukit Tinggi, Pantai Barat Sumatra. Sekitar 1895