Tampilkan postingan dengan label pakaian. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pakaian. Tampilkan semua postingan

Busana Diraja Wanita Melayu era Sriwijaya (Abad 7-13M)


Disalin dari kiriman FB Kisah Sejarah Melayu

Busana Diraja Wanita Melayu era Sriwijaya
( Kurun 7-13)
Sebelum Sriwijaya di Sememanjung Melayu terutama di bahagian Segenting Kra,Utara dan Pantai timur telah pun wujud sebuah kerajaan purba yang dikenali Langkasuka.
Kerajaan ini mempunyai kebudayaan sama dengan kebudayaan Khmer. Langkasuka berasal mula dari pecahan Kedah Kuno.
Umumya busana yang dipakai adalah kain sarung dengan cara berkemban tanpa baju.Perempuan di kawasan ini juga memakai kain sarung melilit dada dan selendang serta sarung yang melilit bahagian pinggang hingga ke bawah seperti dhoti.

Pakaian Lelaki Minang itu?

Dubes Indonesia untuk Paris, Nazir Dt. Pamuncak dengan baju lelaki Minang (Melayu)
Foto: Suryadi Sunuri

Pakaian perempuan Minangkabau dan perempuan Melayu ialah Baju Kurung, namun tak semua orang Minangkabau tahu ataupun faham. Masih banyak yang keras kepala berbaju kebaya ataupun batik, mereka merasa lebih bangga dan lebih cantik apabila memakai kebaya ataupun batik. Menurut mereka Baju Kurung itu kuno, ketinggalan zaman, dan apabila dikenakan macam orang tua atau orang udik. Demikianlah rasa hati perempuan durhaka di Minangkabau pada masa sekarang.

Ada nan bertanya "Kalau laki-laki, macam mana pula pakaiannya?" 

Pakaian Perempuan Minangkabau



Perempuan ialah lambang kehormatan bagi orang Minangkabau, mereka dimuliakan dan dituahkan dengan Rumah Gadang dan harta pusaka. Sedangkan lelaki hanya dituahkan dengan Gelar Pusaka. Namun banyak jua orang Minang yang tak begitu faham dengan adat serta orang luar yang memandang adat Minang ini dengan penuh prasangka dan cemburu. Mereka semua berpendapat berlainan.

Pakaian kemualiaan seorang perempuan Minangkabau ialah Baju Kurung. Pakaian ini sebenarnya tidak hanya dipakai oleh perempuan Minangkabau saja, akan tetapi seluruh perempuan di Alam Melayu menggunakannya. Saat ini, hanya orang-orang Melayu di Malaysia yang masih mempertahankan pakaian ini. Sehingga banyak orang Minangkabau yang tak faham apabila disebut perihal baju kurung maka mereka akan berseru “O baju yang serupa dipakaia oleh orang Malaysia itu..?”

Alam Melayu/2. Minangkabau/9.Adat-Budaya/13.Pakaian Perempuan

Tentang Pakaian

[caption id="" align="aligncenter" width="960"] Gambar: http://blogminangkabau.wordpress.com/[/caption]

Pakaian adalah salah satu indikator tingkat keberadaban dan keadaban manusia. Tentu kita ingat istilah ‘bangsa yang masih telanjang’ yang merujuk kepada kelompok manusia yang masih hidup dalam zaman batu. Pakaian juga merupakan lambang penting yang melaluinya orang merefleksikan identitas kelompoknya. Demikianlah umpamanya, di Indonesia yang terdiri dari berbagai puak, budaya, dan agama, pakaian juga merupakan produk budaya material yang menjadi penanda etnisitas yang jelas.


Dalam konteks negara-bangsa (nationstate), pakaian melambangkan identitas nasional. Pakaian dan politik memang sudah sejak dulu berkelit kelindan. Kita mengenal ‘Hari Batik Nasional’ karena politik pakaian dan politik identitas Orde Baru.Di zaman baheula hanya kalangan ningrat yang boleh memakai belundru dan satin.

Langgam Berpakaian Lelaki Minangkabau

Walau kejadiannya di Luhak Limo Puluah namun tulisan ini mencoba menggambarkan kehidupan orang Minangkabau (laki-laki) pada masa dahulu terutama sekali cara inyiak-inyiak kita berpakaian yang berlainan sangat dengan langgam berpakaian orang sekarang.


____________________________________


This picture told us about the Minangkabau Man Fashion Style in the past. This is can not we find to day. The picture told us about situation in the market at Payakumbuah City in Luhak Limo Puluah Koto.


____________________________________




Minang saisuak #292:Payakumbuh: Pengangkutan kopi di masa lalu






payakumbuh

Setiap foto lama tentu akan menghadirkan nostalgia. Foto klasik yang kami turunkan dalam rubrik ‘Minang saisuak’ kali ini mengabadikan pedati-pedati yang sarat dengan muatan kopi di pasar Payakumbuh. Di mana ada pedati, di sana tentu ada lelaki yang kebanyakan agak parewa. Diperkirakan foto ini dibuat sekitar 1920 atau 30an.

Baju dan celana kepar, kain sarung, ikat pinggang kulit yang agak lebar (yang memiliki beberapa kantong) dan belati terselip di pinggang, dan destar atau kopiah yang agak lusuh di kepala, adalah gaya penampilan lelaki Minangkabau pada zaman itu. Warna baju kepar itu sendiri dua macam: putih dan hitam atau coklat tua. Warna putih menandakan baju itu batajin. Di lapisan dalam biasanya dipakai baju kaus yang sering disebut ‘anak baju’. Warna hitam atau coklat tua berasal dari zat pewarna yang disebut uba. Oleh sebab itulah pada masa itu terkenal istilah baju bauba.

Kebanyakan kaki pribumi pada waktu itu belum beralas. Jika ada yang memakai tarompa patakuih atau sepatu, mungkin itu menandakan mereka agak berkelas. Lihatlah kesannya pada sosok beberapa laki-laki yang tampak dalam foto ini.

Setiap foto klasik memang menghadirkan nostalgia, bahkan mungkin ‘nostalgila’. Seorang penulis mengabarkan kepada kita sebagai berikut:

“Bila orang melihat bangunan-bangunan tempat-kediaman (rumah adat) di Sumatera Barat, jang bagian atapnja dihiasi dengan empat buah gondjong (puntjak) jang runtjing mendjulang langit; melihat wanita-wanita atau gadis-gadis berpakaian serba hitam serba longgar, lengan dan lehernja berhiaskan sulaman benang keemasan, sarung dan selendang jang sangat kaja dengan ukiran-ukiran urai, bertengkuluk (tutup kepala) jang pada udjung kiri-kanannja diruntjingkan sebagai djuga dengan gondjong rumah tempat kediaman mereka dan diberi dengan perhiasan-perhiasan jang serba keemasan pula; melihat laki-laki separuh baja berpakaian serba hitam, berbadju dan bertjelana longgar, dikepalanja terlilit sehelai destar jang seluruh pinggirnja disulami dengan benang emas, dipinggangnja melilit sehelai sarung hitam jang berbentuk dengan segi tiga, terkadang mereka mengepit seekor ajam djantan sabungan (djago) atau mendjindjing sangkar burung ketitiran (perkutut) atau burung balam dan pujuh dan terkadang menjandang sebatang tombak dan menjeret seekor andjing perburuan, orang akan berkata: ‘Itulah Minangkabau’.” (Dikutip dari: Djawatan Penerangan Propinsi Sumatera Tengah, Republik Indonesia: Propinsi Sumatera-Tengah. Jakarta: Kementerian Penerangan, [1953]: 917).

Ya, itulah Minangkabau, yang kini berubah dahsyat.

Suryadi – Leiden, Belanda | Singgalang, Minggu, 26 Februari 2017 (Sumber foto: Tropenmuseum, Amsterdam).

Dicopas dari blog Engku Suryadi Sunuri: https://niadilova.wordpress.com



Lelaki Minangkabau

[caption id="" align="aligncenter" width="481"] Picture: Minangkabau Heritage[/caption]

Have you see the man from Minangkabau with their clothes? Easy to see the woman but the man almost none. This is the situation in one of village in Minangkabau (the located unknow). Looked the man, looked their clothes (except the man in the right side). Almost all of them not use the sandal. This picture taken during 1932-1940.
_________________________________________


Minangkabau village, 1932-1940, lokasi tidak diketahui (Foto Repro karena belum ada foto berwarna tahun tersebut)
[Tropenmuseum]


Sepertikah pakaian lelaki Minangkabau pada masa dahulu? Tidak banyak yang tahu, kalau pakaian perempuan sudah sering kita lihat. Gambar ini memperlihatkan keadaan pada salah satu kampung di Minangkabau dalam masa 1932-1940. Namun sayang tidak diketahui dimana gambar ini diambil.

Pakaian Perempuan Minangkabau nan Sebenarnya

[caption id="" align="aligncenter" width="467"] Picture: Rizky Perdana[/caption]

This is Minangkabau Lady in the year 1867. This is exactly the fashion syle in Minangkabau World with clothes covered all body, not like in present time who the said "This is modern.." in fact the back to uncivilized era. This lady has implements the philosophy "Adat Basandi Syara' - Syara' Basandi Kitabullah" (Custom Law based on Sharia Law - Sharia Law based on Al Qur'an)
_____________________________________

Pasar di Bukit Tinggi

[caption id="" align="aligncenter" width="657"] Picture: Minangkabau Heritage[/caption]

Pasar (market) in Bukit Tinggi in the year 1937, we can see the female merchant there. We can not see the tent there because in that time the tent is not popular like now. The merchant use Payuang (umbrella) or the big umbrella were made from bamboo. Also a kid  stand there he wearing short with belt and kopiah (cap) on his head. I think this kid from the city not kampung (village). Also a European Woman go shopping to one of merchant on this market.
__________________________________

Bukit Tinggi memiliki beberapa buah pasar yang menjadi tempat bertemu sekalian penduduk dari berbagai nagari (kampung) di Luhak Agam[1]. Gambar ini bertahunkan 1937 (sesuai keterangan pada foto). Pada gambar ini dapat kita lihat beberapa orang pedagang perempuan yang salah satu dari mereka sedang melayani seorang perempuan berkebangsaan Eropa.

Bendi di Kampuang Cino

[caption id="" align="alignnone" width="476"] Sumber Gambar: Minangkabau Heritage[/caption]

Bendi in Chinese Town, a Minangkabau Man with his traditional cloth who difficult to see on this time.

________________________________________

Bendi di Kampuang Cino, belum ada mobil yang parkir, masih lengang. Menarik melihat tulisan pada papan petunjuk yang berbunyi "Disini Menyeberang"