Pakaian adalah salah satu indikator tingkat keberadaban dan keadaban manusia. Tentu kita ingat istilah ‘bangsa yang masih telanjang’ yang merujuk kepada kelompok manusia yang masih hidup dalam zaman batu. Pakaian juga merupakan lambang penting yang melaluinya orang merefleksikan identitas kelompoknya. Demikianlah umpamanya, di Indonesia yang terdiri dari berbagai puak, budaya, dan agama, pakaian juga merupakan produk budaya material yang menjadi penanda etnisitas yang jelas.
Dalam konteks negara-bangsa (nation–state), pakaian melambangkan identitas nasional. Pakaian dan politik memang sudah sejak dulu berkelit kelindan. Kita mengenal ‘Hari Batik Nasional’ karena politik pakaian dan politik identitas Orde Baru.Di zaman baheula hanya kalangan ningrat yang boleh memakai belundru dan satin.
Kita tentu masih ingat pemilu presiden Indonesia baru-baru ini. Kubu Jokowi yang akhirnya memenangkan pemilu itu mengusung pakaian dengan motif kotak-kotak. Pakaian dengan motif seperti ragi kain kasur itu menjadi lambang kubu Jokowi. Belum ada analisa kultural mengapa Jokowi menggunakan pakaian dengan motif kotak-kotak itu. Apakah motif kotak-kotak itu asosiatif dengan kesederhanaan atau keudikan? Atau apakah ada simbol-simbol lain yang dibawanya? Mungkin ahli semiotik bisa menganalisanya lebih dalam.
Pakaian tentu juga merefleksikan status sosial seseorang. Di dunia Melayu sampai hari ini pakaian dengan warna kuning asosiatif dengan raja-raja. Orang pakai jas licin dan dasi yang menjumbai diasosiasikan dengan kelas menengah perkotaan, terpelajar, dan mungkin juga dianggap punya banyak duit. Kepopuleran jas dan dasi di dunia sekarang, termasuk di Indonesia, juga merupakan bagian dari kesuksesan penetrasi budaya asing (Barat) di dunia.
Sebenarnya sudah cukup lama terjadi persitegangan budaya melanda masyarakat Indonesia akibatfashion impor ini. Di awal abad 20, seperti dicatat oleh Nico J.G. Kaptein dalam artikelnya, ‘Southeast Asian debates and Middle Eastern inspiration: European dress in Minangkabau at the beginning of the 20th century’, dalam Southeast Asia and the Middle East: Islam, movement, and the longue duree(ed. Eric Tagliacozzo), Singapore: NUS Press; Stanford: Stanford University Press, 2009, hlm. 176-195, di Minangkabau telah terjadi polemik hebat soal pakaian ini antara kubu yang berkiblat ke Timur Tengah melawan mereka yang berorientasi Eropa. Kelompok yang pertama mengeritik pemakaian jas, pantalon, dan dasi, sementara kelompok yang kedua menganggap jubah panjang dan sorban lebih merupakan simbol budaya Arab ketimbang Islam.
Kita melihat bahwa sebagai unsur budaya manusia yang penting, nilai simbolik pakaian makin lama makin mengecambah dan membiak. Di zaman modern sekarang, tampaknya pakaian telah semakin mendapatkan nilai-nilai baru yang gayut dengan budaya konsumerisme. Lebih dari sekedar alat pembungkus badan, kini pakaian sudah tidak lagi sekedar menjadi penunjuk status, tapi juga sebagai ajang pamer diri dan untuk mengumbar nafsu duniawi. Dunia mode telah mendorong nafsu konsumtif manusia sampai ke pinggir neraka dan mempengaruhi politik tubuh homo homini lupusini. Industri pakaian yang dikelola oleh para kapitalis Eropa-Amerika menancapkan tonggak pabrik-pabriknya di negara-negara miskin seperti Bangladesh dan Indonesia tempat upah bulanan kaum buruh lebih murah dari harga lipsitik dan celana dalam perempuan-perempuan pesolek di Paris, London, dan New York.
Mungkin Indonesia adalah salah satu contoh yang nyata di pelupuk mata: orang-orang kota makin menunjukkan kegilaan yang aneh menyangkut pakaian. Hal itu dapat dilihat dalam berbagai peristiwa, sejak dari pelantikan anggota DPR sampai pada acara perkawinan. Kelompok-kelompok keagamaan menampilkan pakaian tersendiri pula, sementara kaum wanitanya sudah lama disihir oleh ideologi mode yang datang dari berbagai arah.
Namun, dalam kehilangan manusia modern terkait dengan fashion ini, selalu saja ada kelompok yang cuek bebek. Salah satunya adalah para akademisi. Jonathan Wolff, professor filsafat di University College of London menulis di The Guardianedisi 21 Oktober 2014: ‘Why do academics dress so badly?’(Mengapa akademisi berpakaian begitu buruk?).
Di antara berbagai jenis pekerjaan profesional, mungkin para dosen di universitaslah yang paling kurang memperhatikan penampilan. Profesi dosen memang tidak mensyaratkan penampilan yang harus rapi jali, apalagi dengan harga pakaian yang mahal, untuk tampil di depan kelas. Ini berbeda dengan kerja profesional yang lain, seperti pegawai pemerintah, pegawai bank, atau orang yang bekerja di perusahaan. Akan tetapi, tentu saja kita tetap dapat menemukan dosen dan professor yang berpakaian necis dan serasi, tapi lebih banyak lagi yang cuek saja dengan penampilan.
Jonathan menyitir pikiran Karl Marx. Dalam naskah bukunya tentang ekonomi dan filsafat (1844) Marx, demikian Jonatahan, mengeksplorasi ide tentang ‘alienated labour’ (tenaga kerja yang terasing). Dia mengatakan, seiring dengan maraknya kapitalisme, kerja, terutama di lini produksi, telah tidak lagi merupakan keterampilan, tapi telah menuju titik di mana buruh dilatih di tempat kerja dengan sama sekali tanpa mempertimbangkan aspek kemanusiaannya, dan oleh karena itu hakekatnya merucut menjadi semata-mata hanya sebagai ‘kegiatan abstrak dan urusan perut’. Dalam keadaan seperti itu, manusia mencari penghiburan diri layaknya ‘fungsi binatang’ belaka, yang meliputi ‘makan, minum, berprokreasi… dan berdandan’.
Jonathan: akademisi berpakaian sebagaimana adanya, karena mereka begitu bebas dengan pekerjaan mereka. Mereka mungkin pengecualian dari fenomena umum di zaman ini yang dalam derap budaya kapitalisme yang makin kencang telah menyeret makin banyak manusia menjadi mesin berdaging yang kian konsumtif dan cenderung mencari penghiburan diri sebagai fungsi ‘binatang belaka’.
Padang Ekspres | Minggu, 16 November 2014.
___________________________________
Disalin dari blog Engku Suryadi Sunuri: https://niadilova.wordpress.com