[caption id="" align="aligncenter" width="2652"] Gambar: https://i2.wp.com/jejakislam.net[/caption]Bahkan dalam batas-batas dunia Melayu, Minangkabau adalah budaya yang terkenal akan kekuasaan Kaum Perempuannya. Perempuan mengontrol rumah tangga dan sawah; moralitas borjuasi Belanda dan sopan santun Jawa yang masih terkungkung masih belum masuk ke dataran tinggi Minangkabau. Jadi, perhatian perempuan Minangkabau tidak sepenuhnya cocok dengan Feminisme Jawa dan Eropa yang lebih tertindas dan bersikap menentang.
[Jeffrey Hadler. Sengketa Tiada Putus. Freedom Institut. Jakarta, 2010. Hal.251]
Perempuan Minangakabau pada masa dahulu dipanggilan dengan panggilan Rangkayo yang bermakna Orang Kaya. Suatu panggilan yang amat mulia sekaligus menggambarkan posisinya dalam masyarakat Minangkabau. Kaum perempuanlah pemilik sekalian harta pusaka serta berkat restu darinya pulalah senator (Penghulu/datuk) dapat diangkat yang akan mengemban tanggung jawab membawa aspirasnya ke parlemen (Balai/Kerapatan Penghulu) di nagari.
Namun sebagian besar perempuan masa sekarang tidak menyadari akan posisi kuat yang dimilikinya itu. Mereka tenggelam dalam pengaruh kebudayaan luar yang datang dimana Kaum Perempuan diposisikan sebagai pihak yang lemah yang hanya mengurusi perkara tempat tidur dan dapur saja.
Pada masa dahulu, bagi perempuan yang menyadari maka mereka akan mengambil sikap tegas di hadapan Kaum Lelaki. Apabila seorang perempuan telah berkata "Keluar tuan dari rumah ini..!" maka seorang lelaki apalagi seorang Datuk akan menjadi raja tanpa kerajaan.
Tak jarang kami dengar beberapa perempuan yang bersuara lantang di hadapan kaum lelaki "Cobalah tuan jual harta pusaka itu, saya runtuhkan tuan ke balai.." Meruntuhkan ialah memakzulkan atau memecat seorang penghulu. Di Minangkabau, Jabatan Penghulu yang biasa dipanggil Datuk bukanlah jabatan yang tak terlepaskan. Ia dapat dipecat dari jabatan tersebut apabila melakukan kesalahan yang terpantang dalam pandangan adat & syari'at.
Kini masa telah bertukar, kehidupan telah berputar. Perempuan-perempuan Minangkabau memandang rendah adat resam negeri mereka akibatnya mereka sendiri menjadi lemah karena meninggalkan pusaka yang telah turun temurun diturunkan oleh orang tua mereka. Pada pandangan mereka adat itu menghalang kemajuan, sama halnya dengan syari'at. Namun sejarah telah membuktikan bahwa justeru dengan meninggalkan adat & syari'at kehidupan orang Minangkabau kembali ke Masa Jahiliyah atau Barbar atau terbelakang.