Walau kejadiannya di Luhak Limo Puluah namun tulisan ini mencoba menggambarkan kehidupan orang Minangkabau (laki-laki) pada masa dahulu terutama sekali cara inyiak-inyiak kita berpakaian yang berlainan sangat dengan langgam berpakaian orang sekarang.
____________________________________
This picture told us about the Minangkabau Man Fashion Style in the past. This is can not we find to day. The picture told us about situation in the market at Payakumbuah City in Luhak Limo Puluah Koto.
____________________________________
Minang saisuak #292:Payakumbuh: Pengangkutan kopi di masa lalu
Setiap foto lama tentu akan menghadirkan nostalgia. Foto klasik yang kami turunkan dalam rubrik ‘Minang saisuak’ kali ini mengabadikan pedati-pedati yang sarat dengan muatan kopi di pasar Payakumbuh. Di mana ada pedati, di sana tentu ada lelaki yang kebanyakan agak parewa. Diperkirakan foto ini dibuat sekitar 1920 atau 30an.
Baju dan celana kepar, kain sarung, ikat pinggang kulit yang agak lebar (yang memiliki beberapa kantong) dan belati terselip di pinggang, dan destar atau kopiah yang agak lusuh di kepala, adalah gaya penampilan lelaki Minangkabau pada zaman itu. Warna baju kepar itu sendiri dua macam: putih dan hitam atau coklat tua. Warna putih menandakan baju itu batajin. Di lapisan dalam biasanya dipakai baju kaus yang sering disebut ‘anak baju’. Warna hitam atau coklat tua berasal dari zat pewarna yang disebut uba. Oleh sebab itulah pada masa itu terkenal istilah baju bauba.
Kebanyakan kaki pribumi pada waktu itu belum beralas. Jika ada yang memakai tarompa patakuih atau sepatu, mungkin itu menandakan mereka agak berkelas. Lihatlah kesannya pada sosok beberapa laki-laki yang tampak dalam foto ini.
Setiap foto klasik memang menghadirkan nostalgia, bahkan mungkin ‘nostalgila’. Seorang penulis mengabarkan kepada kita sebagai berikut:
“Bila orang melihat bangunan-bangunan tempat-kediaman (rumah adat) di Sumatera Barat, jang bagian atapnja dihiasi dengan empat buah gondjong (puntjak) jang runtjing mendjulang langit; melihat wanita-wanita atau gadis-gadis berpakaian serba hitam serba longgar, lengan dan lehernja berhiaskan sulaman benang keemasan, sarung dan selendang jang sangat kaja dengan ukiran-ukiran urai, bertengkuluk (tutup kepala) jang pada udjung kiri-kanannja diruntjingkan sebagai djuga dengan gondjong rumah tempat kediaman mereka dan diberi dengan perhiasan-perhiasan jang serba keemasan pula; melihat laki-laki separuh baja berpakaian serba hitam, berbadju dan bertjelana longgar, dikepalanja terlilit sehelai destar jang seluruh pinggirnja disulami dengan benang emas, dipinggangnja melilit sehelai sarung hitam jang berbentuk dengan segi tiga, terkadang mereka mengepit seekor ajam djantan sabungan (djago) atau mendjindjing sangkar burung ketitiran (perkutut) atau burung balam dan pujuh dan terkadang menjandang sebatang tombak dan menjeret seekor andjing perburuan, orang akan berkata: ‘Itulah Minangkabau’.” (Dikutip dari: Djawatan Penerangan Propinsi Sumatera Tengah, Republik Indonesia: Propinsi Sumatera-Tengah. Jakarta: Kementerian Penerangan, [1953]: 917).
Ya, itulah Minangkabau, yang kini berubah dahsyat.
Suryadi – Leiden, Belanda | Singgalang, Minggu, 26 Februari 2017 (Sumber foto: Tropenmuseum, Amsterdam).
Dicopas dari blog Engku Suryadi Sunuri: https://niadilova.wordpress.com
Saya waktu kecil di kampung masih merasakan menggunakan sandal patakuih, terbuat dari semacam jelly dan agak transparan..
BalasHapusCara berpakaian dari tahun 20-an sampai ke tahun sekarang bedanya jauh banget. Jadi mikir siapa ya bapak-bapak di Minang kamu itu yang terakhir menggunakan baju seperti di atas.
Uba mengingatkan saya pada nama pensil warna yang digunakan waktu SD....
Asik juga bernostalgia :)
Maaf typo Minang kamu maksudnya Minangkabau :)
BalasHapusMantap juga kenangan dari ibu evi, bagaimana kalau ibu bagikan dengan kami semua
BalasHapus