Tampilkan postingan dengan label batak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label batak. Tampilkan semua postingan

Siapakah Dalimunthe ?

 

Pict: warisan budaya nusantara

FB Sejarah Marga Dalimunte | Marga Dalimunthe adalah Marga Bangsa Melayu atau orang yang berbahasa, beradat serta berbudaya Melayu yang tinggal terutama di Gorontalo ,Angkola ,Mandailing ,Labuhan Batu dan seputar Dunia .

Perwakilan dari beberapa suku dan Negara yang menyandang nama keluarga Dalimunthe ini penulisan dan Abjad tulisan aksara tergantung pada logat dan bahasa masing-masing leluhurnya disetiap Negara dan wilayah ulayatnya masing masing.

Marga Dalimunthe di wilayah Negara Norwegia dan Bulgaria (Benua Eropa) dikenal sebutan VAN MUNTHE Kira kira dari abad ke-10 M hingga kini menyebut diri mereka dengan VAN MUNTHE.

Hindu Batak



FB Ridwan Selian - Hindu/batak - Debata Guru dan dewa pedalaman di tanah Batak pada masa hindu

Menurut kisah-kisah penciptaan tersebut, Mula Jadi Nabolon, menurut namanya "Asal Mula Wujud (atau penjadian) Yang Agung", dianalogikan dengan Brahma (Hindu) dari Upanishad, All-Soul, yang dengan wahyu diri menciptakan dunia fenomena.

Dewa tertinggi (debata, dari bahasa Sansekerta. dewata), memiliki tiga putra:
  1. Batara Guru,
  2. Soripada dan
  3. Mangala Bulan.
Kedua nama depan berasal dari bahasa Sansekerta), dari yang ketiga bagian terakhir (Bulan: moon3)) Bahasa Indonesia. Dalam bahasa Sanskerta ada kata mangala (dilafalkan manggala) yang artinya 'keselamatan' dan konsep-konsep terkait, namun persamaannya dengan bagian pertama Mangala Bulan terlihat dari pernyataan Prof. dr. Van Ronkel tidak bisa dibenarkan.

Mereka semua memainkan peran mereka dalam penciptaan tiga dunia, Banua Ginjang (dunia atas, tempat tinggal para dewa), Banua Tonga (dunia tengah, tempat tinggal orang, orang mati dan roh) dan Banoea Toroe (dunia bawah, alam Naga atau Raja Padoha, dewa dunia bawah).

Di sini kita menemukan varian cerita Wedic tentang kelahiran Surya (dewa matahari di langit), Indra Rudra (dewa badai dan hujan di atmosfer), dan Agni (dewa api di dunia ini)

Pertemuan 1926, Upaya Kaum Adat Identikkan Minangkabau dengan Sumatra Barat

Pict:


Langgam.id – Sebanyak 76 pangulu (tetua/pemuka adat) berkumpul di Bukit Tinggi. Mereka membahas rencana Pemerintah Hindia Belanda menggabungkan Keresidenan Pantai Barat Sumatra[1] dengan Keresidenan Tapanuli menjadi satu gouvernement yang dipimpin gubernur.

Sejarawan Universitas Andalas Gusti Asnan dalam tulisannya ‘Regionalisme, Hitoriografi dan Pemetaan Wilayah’ dalam Buku ‘Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an’ menulis, rapat yang digelar sejak 23 April 1926 itu, diadakan dua hari sampai ditutup tanggal 24 April 1926, atau tepat 93 tahun yang lalu dari hari ini, Rabu (24/4/2019).

Kesimpulan rapat, kaum adat menolak penggabungan dengan Tapanuli. Alasannya, tulis Gusti, karena hal itu dinilai akan menimbulkan kekacauan dalam negeri. Para pangulu tidak bersedia bila nanti ada orang Tapanuli yang akan menjadi demang atau asisten demang di Pantai Sumatra.[2]

Dalam surat yang sama, kaum adat mengusulkan, “… daripada digabungkan dengan Tapanuli, lebih baik Minangkabau disatukan dengan Jambi dan Kuantan. Sebab, antara Minangkabau dengan kedua daerah itu sudah bertali darah dan berhubungan sejarah sejak waktu yang lama.

Gusti Asnan menyebut pertemuan tersebut dengan istilah ‘Minangkabauisasi’ Sumatra Barat. Salah satu yang menandainya, menurut Gusti, maraknya penerbitan buku tentang Minangkabau, termasuk sejarah dan wilayahnya setelah pertemuan itu.

Salah satu terbitan tersebut adalah tambo, historiografi tradisional Minangkabau dalam huruf Latin. “Tambo Minangkabau memang dibukukan (dilatinkan) pertama kali tidak lama setelah kongres adat di Bukit Tinggi. Tambo yang diberi judul Tambo Alam Minangkabau diterbitkan pertama kali tahun 1930 dan disusun oleh Jamaan Dt. Batuah,” tulisnya.[3]

Jamaan Dt Batuah adalah salah satu pangulu yang hadir dalam pertemuan 1926 dan ikut menandatangani permohonan pembatalan penggabungan Keresidenan Sumatra Barat dengan Tapanuli.

Di samping daerah yang saat itu menjadi wilayah Keresidenan Pantai Barat Sumatera, masih menurut Gusti, tambo tersebut juga menyebut wilayah Minangkabau termasuk sebagian daerah di Riau dan Jambi, khususnya kawasan sekitar Kampar, Kuantan dan Batanghari.

Pada 1956, menurutnya, tambo tersebut disempurnakan oleh Datuak Batuah dan Datuak Madjoindo. Dalam tambo ini ditegaskan dengan rinci Alam Minangkabau itu meliputi daerah “… mulai dari Sikilang dan Air Bangis, sampai ke riak nan berdebur, pucuk Jambi Sembilan Lurah, sampai ke Tanjung Simalidu, Kuok dan Bangkinang, Siak, Indragiri, Kampar Kiri dan Kampar Kanan.

Dalam tambo 1956 itu, tulis Gusti, penulis melengkapi bukunya dengan sebuat peta tentang Alam Minangkabau, sebuah peta yang sebelumnya tidak pernah dibuat penulis lainnya. “Dalam peta itu terlihat, Alam Minangkabau memang hampir identik dengan daerah administratif Sumatra Tengah (daratan),” tulisnya.

Upaya mengindentikkan Keresidenan Pantai Barat Sumatera dengan wilayah Minangkabau, sebenarnya sudah dimulai Pemerintah Hindia sejak lebih satu abad sebelumnya, yakni pada 1823. Saat itu, Pemerintah Hindia Belanda belum berhasil memenangkan perang dengan Kaum Padri.

Namun, Letnan Kolonel Raaff yang baru saja diangkat menjadi residen menggantikan du Puy, membagi keresidenan menjadi dua. Gusti Asnan dalam Buku ‘Pemerintahan Sumatera Barat, dari VOC Hingga Reformasi’ menyebut, dua distrik itu adalah Padang dan Minangkabau.

“Distrik Padang meliputi daerah di sekitar Kota Padang, Pariaman, Pulau Cingkuak dan Air Haji. Sedangkan Distrik Minangkabau, mencakup daerah Tanah Datar.”

Ini kemudian menjadi dasar dari beberapa pergantian wilayah adminstratif dalam pemerintahan Hindia Belanda di Pantai Barat Sumatera, sejak dari bentuk keresidenan sampai bentuk provinsi.

Kawasan Tapanuli sudah digabungkan oleh Belanda menjadi wilayah Pantai Barat Sumatera sejak 1841. Penggabungan itu dipertegas pada 1842, ketika Pemerintah Hindia Belanda membagi Gouvernement Sumatra’s Weskust (Pemerintahan Pantai Barat Sumatera) menjadi tiga keresidenan, yakni Padangsche Benedenlanden, Padangsche Bovenlanden serta Tapanuli.

Padangsche Benedenlanden wilayahnya meliputi wilayah pesisir, sejak dari Pesisir Selatan sampai ke Pasaman Barat. Sementara, Padangsche Bovenlanden meliputi daerah pedalaman Minangkabau atau luhak nan tigo (Tanah Datar, Agam, Limapuluh Kota).

Pembagian tiga keresidenan tersebut, menurut Gusti, mencerminkan adanya pemisahan dua kelompok etnis atau suku utama yang mendiami daerah itu. “Keresidenan pertama dan kedua mencakup ruang lingkup budaya Minangkabau dan keresidenan ketiga merupakan wilayah budaya Batak.”[4]

Pada 1905, Keresidenan Tapanuli dipisahkan dari Gouvernement Sumatra Barat. Sehingga, wilayahnya tinggal dua keresidenan. Dua keresidenan ini kemudian dilebur jadi satu keresidenan Sumatra’s Weskust pada 1913.

Pemisahan Tapanuli dengan dua keresidenan tersebut, menurut Gusti berawal dari ide P. Merkus, komisaris pemerintah Hindia Belanda di Sumatra Barat pada 1839-1840. Untuk memudahkan pengawasan dan pembangunan, menurut Merkus, Tapanuli dan Minangkabau mesti dipisahkan dalam dua provinsi yang berbeda.

Usul yang baru terwujud 65 tahun kemudian, pada 1905. “Pengidentikan Gouvernement Sumatra’s Westkust dengan daerah budaya Minangkabau pada tahun 1905 mendapat sambutan positif dari kalangan penghulu Minangkabau,” tulis Gusti.

Para penghulu menyebutkan, ini merupakan perwujudan Minangkabau Raya di bawah Raja Belanda. Pascaperang Padri, kaum adat memang kembali bekerja sama dengan Belanda. “Kerja sama antara kaum adat dan pemerintah itu memang menggiring citra bahwa Sumatra Barat adalah daerah kaum adat.”

Itu juga yang membuat, ketika pada 1918 diberi kesempatan membentuk dewan perwakilan rakyat, diberi nama Minangkabau Raad, bukan West-Sumatra Raad.

Karena itu, ketika ada ide untuk mengembalikan Provinsi Sumatra’s Westkust yang lama dengan menggabungkan Tapanuli pada 1926, kaum adat menentangnya. Penggabungan ini memang akhirnya tak jadi diwujudkan Pemerintah Hindia Belanda.

Saat reorganisasi pada 1929, wilayah Sumatra’s Westkust tetaplah sama dengan 1905. Hanya jumlah Afdeeling-nya saja yang dikurangi menjadi enam, yakni Padang, Kerinci-Painan, Tanah Datar, Agam, Limapuluh Kota dan Solok. Kemudian, dikurangi lagi menjadi lima Afdeeling pada 1935 dengan menggabungkan Kerinci-Painan ke dalam Afdeeling Padang.

Pembagian wilayah administratif inilah yang bertahan, hingga 1942 saat Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. (HM)

===========

Catatan Kaki Admin:

[1] Dalam tulisan asli (klik DISINI) ditulis Keresidenan Sumatera Barat, sebenarnya ini pemahaman yang salah kaprah terhadap penamaan Belanda; Sumatera Westkust. Westkust diterjemahkan sebagai Barat, padahal sesungguhnya kata ini berasal dari dua suku kata yakni West=Barat dan kust=pantai. Jadi terjemahan sebenarnya ialah Pantai Barat Sumatera. Penamaan Pantai Barat berkaitan dengan sejarah awal mula kehadiran kekuasaan Kolonial Belanda di Pulau Sumatera, kawasan Pantai Barat inilah yang mula-mula mereka kuasai, mereka rebut dari tangan Aceh setelah memperdayai penduduk pribumi. Akhirnya penamaan Pantai Barat tetap dipertahankan walaupun pada kemudiannya (1834) kekuasaan mereka telah mencengkram hingga ke pedalaman Pulau Sumatera. 

Keresiden merupakan penurunan dari status Pantai Barat Sumatera yang sebelumnya berstatus Provinsi. Sebenarnya hal ini kembali ke status awal dari Pantai Barat Sumatera yang setelah Perang Paderi dinaikkan menjadi Provinsi dan kembali diturunkan pada sekitar 1914 menjadi Keresidenan.

[2] Sebelum turun status menjadi Keresidenan, terdapat jabatan Laras yang merupakan jabatan tertinggi dalam Birokrasi Tradisional di Pantai Barat Sumatera namun pada Reorganisasi tahun 1914, jabatan ini ditukar dengan Demang dan Demang memiliki Asisten Demang, suatu level yang belum ada sebelumnya.

[3] Tambo merupakan salah satu bentuk historiografi tradisional di Negeri-negeri Melayu dan dikenal dengan berbagai nama, salah satunya ialah Tarombo atau Pustaha, dan lain sebagainya. Bentuk historiografi lainnya dalam tradisi Melayu di Minangkabau ialah Kaba. Yang dilakukan oleh para penghulu pada masa-masa awal abad 20 tersebut ialah menulis curaian Tambo yang telah mereka warisi dari generasi sebelum mereka. Oleh karena itu apabila diperhatikan, masing-masing Tambo yang ditulis oleh penulis yang berbeda akan terdapat beberapa perbedaan pula. Bukan berarti karena mereka yang menuliskan, Tambo tersebut mereka yang mengarang. Dalam Ranah Akademis tentu mereka memiliki teori dan metodelogi salah satunya ialah mengenai pembuktian bahwa tambo tersebut benar-benar curaian bukan karangan, apabila tidak dapat dipenuhi maka dengan serta merta sang ilmuwan akan menuduh bahwa itu merupakan bohong belaka dan tambo tersebut merupakan karangan Si Penulis. Berpulang kepada tuan-tuan sidang pembaca, apakah hendak berfikir moderen atau ilmiah atau hendak diakui sebagai bagaian dari Kaum Terdidik Nan Intelek atau seorang dungu, kampungan, dan tak berpendidikan seperti orang-orang Minang yang berpegang teguh pada Adat dan Syari'at ini?

[4] Hingga kini masih dalam perdebatan oleh saudara-saudara kita di bagian Utara perihal Hakikat dari Batak itu sendiri. Beberapa orang saudara kita, terutama yang beragama Islam tak hendak disebut Batak, mereka menyebut diri mereka Tapanuli, Mandahiling, Angkola, Aru, Karo, dan beberapa nama lain. Memanglah dalam sudut pandang orang-orang di Sumatera Barat, seluruh daerah Utara dipukul rata sebagai Batak. Padahal bagi orang-orang di Utara sendiri, wilayah Mandahiling Selatan atau Madina lebih dipandang mirip atau dekat atau bahkan bagian dari Minangkabau itu sendiri karena terdapat keserupaan agama dan pada beberapa elemen adat mereka. Sebut sahaja agelar 'sutan' yang juga dipakai disana serta asal usul Marga Nasution, Tanjung, dan Lubis yang dikaitkan dengan Pagaruyuang dan Minangkabau. Bahkan di daerah Toba pada beberapa arsip lama didapat istilah "Dato" atau "Datu".

Barus-Islam-Batak

FB R PandjaitanAgama yang datang pertama ke Tanah Batak yaitu agama Islam tepatnya di Barus, pada masa kerajaan Raja Uti. Di Abad ke - 7. Pada masa Tahta kerajaan Raja Uti, aliran kepercayaan di anut masyarakat Batak Toba, sama persis seperti ajaran Nabi Musa, bakar kemenyan, punya sawan, ada kurban kerbau di saat acara.

Dimasa kerajaan Raja Uti suku Batak belum ada yang bermarga, Batak di sebut sebagai Proto Melayu Tua,[1] yang lebih dulu mendiami Pulau Sumatra.[2] Adapun Batak Proto Melayu Tua yaitu:
  1. Alas,
  2. Toba,
  3. Karo,
  4. Pakpak,
  5. Angkola,
  6. Mandailing,
  7. Simalungun.[3]
Proto Melayu Tua meneruskan nama Ayahnya di belakang nama, yang menjadi Marga secara turun temurun. Masyarakat Batak Toba, yang meneruskan tahta kerajaan, dari keturunan Tuan Saribu Raja. Marga Pasaribu, di Barus.

Tapanuli tahun 1668


 Jumlah suku melayu di tapanuli bermarga pasaribu pada tahun 1668 ...........................................................

FB Tanah Alas - (Tahun 1668) Di bagian dalam, Baros berbatasan dengan sejumlah penduduk Batta, diperintah oleh seorang Rajah yang sesuai dan delapan Panghulus (Raja huta).
4. Beberapa mil di selatan Baros seseorang datang ke Daerah Sorkam, yang memiliki populasi sekitar 1000 jiwa dan diperintah oleh seorang Raja dan dua Dato yang berada di bawah otoritas Pemegang Pos | minyak Tappan. Perjalanan sehari ke pedalaman berbatasan dengan lanskap ini dengan banyak populasi Battasche dari suku (marga) Pasarieboe, dan memasok sekitar 4.000 pi (kols Benzoin, 5 pikol kamper, dan 20 kuda setahun) untuk diperdagangkan.
5. Lebih jauh ke selatan datang ke Daerah Kolang, memiliki populasi sekitar 200 jiwa Batttas, yang menunjukkan subordinasi Raja-raja Sorkam,

Tungkat Malekat dan Tungkat Tunggal Panalun.

FB Sutan Bandaro Sati - Ada dua tongkat mistik khas suku Karo yang biasa digunakan dalam ritual pengusiran makhluk halus pengganggu :
1. Tungkat Malekat.
2. Tungkat Tunggal Panalun (bukan Panaluan).
Tingkat spritual dari Tungkat Malekat adalah lebih tinggi daripada Tungkat Tunggal Panalun.
Tungkat Malekat digunakan oleh 'Guru Pakpak Pitu Pertandang'. Pakaian ritualnya adalah jubah berwarna putih. Sedang Tungkat Tunggal Panalun digunakan oleh bawahannya yakni 'Guru Simeteh Wari Telu Puluh'. Pakaian ritualnya adalah jubah berwarna merah.
Kenapa harus pakai JUBAH.?
Kenapa harus warna MERAH dan PUTIH.?
Jangan berpikir pakaian jubah adalah budaya Arab.

Kaum TUBBA' = Suku TUBBAK = Suku TOBA.

Ilustrasi Gambar: wikipedia

Dari FB Sutan Bandaro Sati

Teori lama asal kata TOBA begini :
Kata TO berakar dari kata TAO.
'Tao' artinya tepian danau atau perairan dekat tepian seperti Tao Balige, Tao Muara, Tao Silalahi.
Sedang nama danaunya pada masa itu adalah 'Lawut Tawar'.
Orang Toba jaman dulu kalau ditanya "Mau pergi kemana.?"
Maka jawabnya:
"Au mau ke TAO bah..."
Selalu ada tambahan kata 'Bah'.
Lama-lama akhirnya negeri mereka oleh orang luar dinamakan TAOBAH dan akhirnya disebut TOBA, maknanya adalah 'orang dari Negeri Toba'.
Kata 'Toba' akhirnya dipakai juga untuk nama danau, menggantikan sebutan tradisional 'Lawut Tawar'.

TRIBE TUBBAK = SUKU TUBBAK = SUKU TOBA.

Pict: Maritim


FB Sutan Bandaro Sati - Adalah John Anderson, seorang Scotlandia menjadi tokoh penting yang menulis buku dan hingga kini menjadi rujukan utama pada saat menjelaskan aspek historis kawasan Pantai Timur Sumatra (Sumatra East Cost). Pada awalnya, buku itu adalah catatan harian Anderson selama enam bulan (1Januari-Juli 1823) perjalanannya yang kemudian diterbitkan dan diberi judul: Mission To The East Coast of Sumatra.

Ia diutus oleh W. E. Philip, Gubernur Jenderal Inggris yang berkedudukan di Pulau Pinang dalam rangka misi politik ekonomi (politico-commercial mission). Surat Tugas atau Memorandum for Guidance ditandatangani pada 1 Januari 1823 yang tujuan utama misi itu yaitu: ‘commercial character’ dan ‘purely of a commercial nature’ di Pantai Timur Sumatera mulai dari Tamiang (Aceh) hingga Siak (Riau).

PADA 2023 MANDAILING GENAP BERUSIA 1000 TAHUN.

Gambar: Wiki edunitas

Mandailing Bukan Batak.

***********************
FB Sorik Marapi News - Adanya bukti sejarah dengan serangan Rajendra Cola dari India tahun 1023 M, antara lain ke Panai, Sumatera Timur,,, menunjukkan suatu ekspedisi militer untuk menaklukkan kerajaan di satu wilayah.
*
Bila menyelusuri jejak kerajaan Mandailing tidak bisa lepas dari kerajaan yang menguasai daerah lain, dimulai dari Portibi Gunung Tua Kabupaten Padang Lawas Utara sekarang,,, sampai ke daerah Pidoli di Panyabungan.
*
Berbarengan dengan itu muncullah sebutan Mandala Holing (pemukinan keling) cikal bakal dari Mandailing. Bertolak dari tahun 1023 sejak Mandala Holing dikenal di Pidoli, berarti Mandailing sudah berusia 999 tahun dan pada 2023 nanti genap 1000 tahun. Sesuatu yang luar biasa,,,! Mandailing jauh lebih tua ratusan tahun dari daerah lain di kawasan ini.

Sistem Penanggalan Batak Kuno

 

Ilustrasi Gambar: Tribun Medan

Horas masude tumaradu koum sisolkot
FB Suparhan Hasibuan - Kita sebagai warga Batak tidak boleh lepas dan melupakan sejarah. Batak memiliki peradaban yg tinggi. Dan kerajaan-kerajaan sebelum datangnya Islam maupun Nasrani. Salah satu kerajaan kuat setelah era Kerajaan Aru Barumun adalah DINASTY SISINGA MANGARAJA (SSM) dengan paham ideologi PARMALIM.
Saya terinpirasi dengan galian sejarah oleh saudara TANAH ALAS. Bahwa SSM memiliki para datu-datu di sekitarnya. Dan saya pun melacak ilmu-ilmu apa saja yang ada di era Parmalim.
Sewaktu di Jawa saya belajar ilmu Kejawen dan pernah melakukan ritual puasa mutih. Atau Pati Geni. Kejawen memiliki penaggalan Saka[1] yang 78 tahun berbeda dengan penaggalan mesehi. Tahun Saka dihitung dengan peredaran bulan dan memilki hari pasaran yaitu Kliwon, Legi, Paing, Pon, Wage. Dengan hari pasaran itu dikembangkan dengan adanya Primbon. Dan prediksi-prediksi. Orang Jawa tetap menjaganya hingga 3 presiden kita Sukarno, Suharto dan Jokowi penganut kejawen.

Oppu Namora Sende

 

FB Suparhan Hasibuan - Makam Oppu Namora Sende terletak di LOBU BATARA GURU di Desa Parau Sorat pasar Matanggor Paluta. Yang menurunkan Marga Hasibuan, yang ada di paluta palas dan rokan hulu maupun labusel. Secara ulayat adalah exsistensi Marga Harahap.
Namora artinya Orang Kaya, Sende artinya kain /pakaian atau boleh di singkat saudagar kain di janannya. Beliau turunan Raja Bonandolok (sibolga) yang berasal dari Huta Toruan Rura Silindung (Tarutung). Dengan panggilan hati pahulu-pahulu Aek Parsariran Batangtoru sampai ke Lobu Harahap di sekitar pargarutan dan palsabolas sekarang. Dan berhasil memperistri Boru Panggoaran, Si Sambilan Jogi Harahap. (Wanita yang memiliki kesempurnaan).

Hikayat Malim Leman dari Batak

 

Ilustrasi Gambar: Moco Cerpen
Legenda/turi2an(dongeng2) ""i""
Datuk tongku aji malim leman
Haruaya parsilaungan banir parkolip2an (pemimpin tempat bernaung dan berlindung)
-'-----------------------------------
FB Suparhan Hasibuan - Di Negeri Barumuni yang disebut Kerajaan Haruaya yang makmur pasir sungainya mengandung emas tanahnya subur dgn padi yang melimpah. Hewan ternak yang gemuk-gemuk, kerbau, lembu, kambing, dan lain-lain.
Hutannya penuh dengan kijang, rusa, bodat, dan lain-lain. Serta burung yang beraneka ragam, piccala batu, dan piccala gunung, attarias paspaskuring andalodo sandang garigit toktok baliung onggang alihi dan lain-lain sebagainya. Ikan sungainya beragam, haporas, sulum, gamak, garing, lelan tilan ihan mera iccor udang gala sikating haruting tikkalang baung dllsbg tak mungkin di sebut semuanya.
Dari Bagas Godang, Putra Soripada (permaisuri) Siakkaan, diberi nama Aji Malim Leman. Sudah mengusai berbagai ilmu langka termasuk PIDORAS dan MOCCAK. Namun belum mendapat rokkap nitondi /pasangan hidup.
Suatu malam Tula /purnama menjelang pagi dia menatap kearah hulu melihat cahaya turun dari langit di Sungai Manggu di kaki Gunung Sibalanga. Dia pun bergegas memanggil kuda sibata-boti (harimau) untuk tunggangan, dengan sekejap sampai. Ternyata ke sebuah tapian marpangir/pemandian 7 bidadari yang cantik-cantik. Membuat sekitarnya begitu harum semerbak. Dia meneliti satu persatu ternyata ada gadis tercantik diantara para bidadari .

Hikayat Oppu Martimus dan Si Doli

 

Ilustrasi gambar: manis madu

Legenda/turi-turian/dongeng batak ""9""
Datuk Tongku Aji Malim Leman
Batang pangitean handor parsianggunan
(Peminpin penyambung lidah rakyat)
-----------------------------'
FB Suparhan Hasibuan - Oppu Martimus orang sakti pembuka perkampungan yg disebut PAYA ROBA. Yang semula sungai dan rawanya dipenuhi ular dan buaya. Hingga tidak aman buat pemukiman. Namun beliu menahlukkannya dengan keahlian berkolaborasi dengan mengendalikan jin penguasa angker tersebut. Hingga negeri itu makin ramai oleh pendatang baru dan mengangkat beliau sebagai peminpin. seperti pepatah HAPORAS MANJALAKI AEK NALAN. Warga mencari kehidupan yang aman.
Dengan kesaktiannya mampu membuat lubuk larangan, siapapun yang memakan ikan tersebut akan kembali hidup didalam perut. Yang bisa menyebabkan kematian kecuali di tabas/di obati oleh pembuat lubuk larangan tersebut.
Oppu martimus mengendalikan ATTU AYOR /hantu air.

Perihal Labuhan Deli

 

Foto: FB Gahara

FB Gahara - Keadaan ibukota Labuhan Deli yang semakin maju pada tahun 1870 dengan adanya lampu-lampu jalan dan jalan raya sampai ke Kampung baru (dekat Medan yang masuk wilayah Sukapiring).
Labuhan Deli dulunya merupakan cikal bakal lahirnya Pelabuhan Belawan. Labuhan Deli dulunya merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Deli yang kesohor di kawasan Sumatera Timur. Bandar Labuhan Deli terletak di tepi Sungai Deli. Di sebelah Utara mengalir Sungai Belawan. Konon kawasan Labuhan Deli berdiri di abad ke VII Masehi. Hal ini ditandai dengan penemuan arkeologi berupa uang logam di Labuhan Deli yang bertarikh 800 Masehi. Ternyata sejak abad ke-VII Masehi, kawasan Labuhan Deli merupakan pusat perdagangan para pedagang dari Cina dan India. Malah pada jaman purba, Labuhan Deli yang terletak di Pantai timur Sumatera sudah dihuni manusia. Fakta sejarah menyebutkan mereka datang dari Cina dan India.
Sejak lama kedua bangsa ini telah melakukan hubungan dagang. Pada awalnya hubungan dagang antara Cina dan India dilakukan dengan jalan darat yang dikenal dengan “Jalan Sutra” atau “Silk Road”. Karena pertimbangan aspek keamanan perhubunan perdagangan dilakukan lewat laut.
Akibat perubahan ini Selat Malaka semakin ramai. Hal ini berdampak pada kian sibuknya pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai Timur Sumatera. Ketika itu Labuhan Deli sudah merupakan pelabuhan besar dan menjadi pusat perdagangan. Pernah ditemukan patung Buddha Siwa, dan uang syiling zaman Tang dan Song.

GUru Patimpus & Sisingamangaraja

Gambar: FB Ajan

FB Ajan - NASKAH HAMPARAN PERAK ASLI BERTULISKAN HURUF KARO DAN SALINAN HURUF ARAB MELAYU MUSNAH DALAM REVOLUSI SOSIAL

Diketahui dalam Revolusi Sosial Sumatera Timur tahun 1946, Raja-raja dan kaum Bangsawan MELAYU, KARO dan SIMALUNGUN serta segala sejarah yang terkait dengan mereka termasuk bangunan dan peninggalan lainnya dibumihanguskan.
Naskah Hamparan Perak asli yang bertuliskan huruf surat Haru dan semua salinannya turut musnah dalam Revolusi sosial di Sumatera Timur tersebut.
Kemudian ada pembuatan naskah Hamparan Perak baru, tampa ada bukti dari naskah Asli atau salinannya yang dibuat dalam situasi Trauma/Ketakutan akibat Revolusi Sosial yang mengerikan itu.
Pembuatan naskah tersebut juga tampa dikompromikan lebih dulu dengan para keturunan dari dua kali pernikahan Gurupatimpus di Dataran Tinggi Karo.

ASAL MULA ADAT DALIAN NA TOLU DI TAPSEL

 

Ilustrasi gambar: akhirmh
Reepost...

ASAL MULA ADAT DALIAN NA TOLU.
FB pak Dara Siregar - Masyarakat Tapanuli umumnya menganut sistem adat Dalian Na Tolu (DNT). Sebagai falsafah hidup dalam sosial kemasyarakatan. Namun banyak diantara masyarakat Tapanuli itu sendiri tidak tau lagi darimana dan bagaimana asal muasal datangnya Adat DNT tersebut. Ya, itu sesuatu yang wajar, karena kejadian dan kisahnya sudah berlangsung cukup lama.
Disini saya akan coba menyampaikan sekilas asal mula adat DNT tersebut. Dulu masyarakat Padang Lawas/Tapsel memilki kepercayaan/kenyakinan adanya sang pencipta Alam Semesta yaitu Oppu MULAJADI NABOLON. Dimana dalam ajarannya mengenal Dewa-dewa (Debata/Dibata) sebagai perantara Mulajadi Nabolon dengan manusia.
Yakni :

Sisinga Mangaraja & Minangkabau

Ilustrasi Gambar: travel kompas


FB Gahara - Dikatakan bahwa Singa Mangaraja memiliki bintik hitam atau lebih tepatnya seberkas kecil rambut hitam di lidah. Oleh karena itu tidak ada keraguan bahwa ini adalah Dari dialah Burton dan Ward pernah mendengar. Di sini tampaknya menjadi tradisi yang sangat jelas mengenai asal mula lembaga Singa Mangaraja dari Minangkabau. Seperti yang saya tunjukkan di atas, gagasan bahwa raja-raja adalah titisan Saiva mungkin telah mencapai Batak melalui perantara kerajaan Malayu, di mana Minangkabau hanyalah kelanjutannya. Memang benar bahwa raja-raja Melayu-Minangkabau beragama Buddha, tetapi Buddhisme Tantra mereka tentu saja tidak mengesampingkan gagasan Siwa.[1]
Namun, tradisi kerajaan seperti Saiva hanya bisa berasal dari Minangkabau selama negara ini belum diislamkan. Secara umum diterima bahwa konversi Minangkabau ke agama Islam terjadi sekitar pertengahan abad keenam belas.[2] Kunjungan Singa Mangaraja yang pertama kepada Sultan Atche tidak mungkin terjadi sebelum tahun 1524. Untuk alasan-alasan yang akan dibahas nanti, saya bahkan bersedia untuk menempatkannya pada atau setelah tahun 1539. Orang Minangkabau, yang sudah dalam proses menjadi Muslim,[3] akan apakah dia masih memasang di negeri Batak sebuah dinasti yang berkarakter Siwa? Ini tidak sepenuhnya tidak mungkin, tetapi itu tidak mungkin. Tampaknya bagi saya jauh lebih mungkin bahwa apa yang dipelajari Burton dan Ward di negara Silindung pada awalnya bukan menyangkut Singa Mangaraja, melainkan sebuah dinasti sebelumnya, yang tradisinya akan diambil alih oleh Singa Mangaraja pertama.

Diversty on Sumatera

Gambar Ilustrasi: detik travel

FB T Raja Tolor
- Banyak peneliti-peneliti dari luar yang awalnya minim pengetahuan tentang suku Toba, Mandailing, Angkola, Simalungun, Pakpak, Karo bisa dibilang mereka masih buta sejarah dan aksara suku-suku tersebut. Setelah mereka datang ke Sumatra dan masih belum tahu apa-apa, mereka berusaha dengan berbagai cara untuk melakukan penelitian. Namun mereka kewalahan karena banyaknya suku-suku di Sumatra yang harus didatangi untuk diteliti. Dan akhirnya mereka tidak mau ambil pusing dengan terburu-buru membuat kesimpulan walau belum paham sepenuhnya tentang suku-suku tersebut.

Contohnya dari segi aksara mereka secepatnya menyimpulkan bahwa aksara Toba, Mandailing, Angkola, Simalungun, Pakpak, Karo adalah kelompok aksara Batak. Sehingga mereka hanya fokus ke kesimpulan mereka tentang aksara Batak.

Tuanya Kebudayaan Orang Sumatera

 


MANUSIA BAR BAR BERDAGANG ?
Kalau ada orang yang menyebut dirinya Melayu Sumatera Utara. Dan bisa menunjukkan kepada saya silsilah, yang mungkin hanya mencapai abad ke 15 masehi, dan itu hanya butuh sejumlah nama 20 - 25 generasi. Dan memiliki catatan bahwa Leluhurnya tersebut adalah mereka yang membuka Bandar - Bandar di sepanjang Pesisir Sumatera dari Tamiang hingga Rokan sebelum abad ke 12. Dan atau adanya catatan, tentang leluhur mereka yang merupakan pendatang dari Melayu Malaka, Jambi dan atau Palembang. Barulah saya percaya tentang adanya eksistensi sebuah masyarakat dengan istiadat Melayu sebagai 'Kebangsaan' yang mendiami wilayah dari Tamiang - Rokan sebelum abad 11 masehi.
Bahkan seluruh peneliti sejarah dan arkeolog paling rajin dan dedikatif, hingga saat ini, yang tentunya mereka bukan seorang pembaca artikel sejarah online, belum mampu untuk menemukan pusat Kerajaan Haru ( abad 12 - 17 masehi ) yang katanya berada di pesisir. Mereka hanya bisa menduga - duga. Dan, Mereka tidak akan pernah menemukan itu. Karena, Haru bukanlah sebuah nama entitas kebangsaan dan atau etnik. Tapi nama untuk menunjukkan sebuah entitas Politik di zamannya.

Ihwal Orang Sumatera

 

Ilustrasi Gambar: art of the acessor

SIM SALABIM .... ???!!!!!
FB Avicenna Albiruni - Pelaku penyebaran awal pertama tentang adanya masyarakat pedalaman yang disebut 'Bata' dan Kanibal yang menakutkan justru disebarkan oleh orang Timur-Tengah. Praktik Kanibal yang diketahui orang Arab hanyalah karena berdasar pada suatu bentuk hukuman. Inipun terjadi di Barus. Seorang Kriminal dan atau musuh yang digantung terbalik kemudian di sayat-sayat. Orang Eropa kemudian mengutip-ngutip Hantu Kanibal ini. Pertama Nicolo Conti, kemudian Tom Pires, Pinto Mendez dan seterusnya hingga ke periode lebih modern.
Asal muasal kata 'Bata', jauh ratusan tahun muncul di teks-teks orang Arab, lalu orang Eropa mengutipnya dan membumbuinya. Penggunaan kata 'Bata' untuk menyebut suku Bangsa dari masyarakat dataran tinggi tidaklah ada ditemukan kecuali hingga dimulai abad ke-19. Kolonial Belanda lalu mengukuhkannya dengan mensponsori penerbitan-penerbitan buku teks untuk memperkukuh sekat identitas.
Sebelum abad ke-19, seluruh masyarakat dataran tinggi di Sumatera Utara menyebut Klan-nnya berdasarkan nama 'Huta'-nya atau nama Marga dari leluhurnya. Bahkan, penggunaan sebutan etnis 'Karo' untuk mengeneralisir masyarakat dataran tinggi yang berbatasan dengan Aceh kemungkinan barulah terjadi di abad ke-19.