REVOLUSI SOSIAL DI SUMATERA TIMUR & KETERLIBATAN PKI 3 MARET 1946
Deklarasi kemerdekaan di Sumatera Timur baru diumumkan pada tanggal 30 September 1945 dalam suatu pawai para pemuda nasionalis di Medan ibukota keresidenan Sumatera Timur. Menurut keterangan Tengku Luckman Sinar, setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan di Jakarta, berita itu masih desas-desus di Sumatera dan berusaha ditutupi oleh kantor-kantor berita pemerintah fasis Jepang. Muncul desas-desus bahwa tentara Sekutu (Belanda, Inggris, Amerika) akan masuk ke Sumatera mengurus tawanan perang Jepang setelah kekalahan Jepang terhadap Sekutu. Atas inisiatif Tengku Mansyur (kerabat Sultan Asahan) selaku Ketua Shu Sangi Kai Sumatera Timur pada tanggal 25 Agustus 1945 mengundang para tokoh pergerakan dan penguasa tradisional di Sumatera Timur berkumpul di kediamannya di Jl Raja/Jl. Amaliun Medan untuk berunding dan membentuk kepanitian untuk menghadapi kedatangan tentara sekutu. Panitia ini kemudian oleh kaum kiri diisukan sebagai Comite van Onvangst, panitia yang akan menangkap para tokoh kemerdekaan.
Pada tanggal 3 Februari 1946 raja-raja dan sultan seluruh Sumatera Timur, termasuk Sultan Siak Sri Indrapura dari Riau sudah menyatakan tekad mendukung dan berdiri di belakang pemerintah Republik Indonesia di hadapan wakil pemerintah Gubernur Mr. Teuku Mohammad Hasan yang disaksikan oleh dr. Mohammad Amir, Tengku Hafaz, Mr. Luat Siregar, Abdul Xarim MS, dan pejabat republik lainnya. Dari Simalungun hadir Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha, Raja Purba Tuan Mogang Purba Pakpak, Raja Silimakuta Tuan Padiraja Purba Girsang yang sudah aktif di Markas Agung, Raja Siantar Tuan Sawadim Damanik, Raja Raya diwakili Tuan Jan Kaduk Saragih Garingging, dan Raja Tanoh Jawa Mr. Tuan Kaliamsyah Sinaga. Dalam rapat Komite Nasional Indonesia (KNI) di Medan, Sultan Langkat mewakili seluruh pemerintah swapraja Sumatera Timur menyampaikan pidato yang berbunyi:
Meski kaum aristokrat Sumatera Timur sudah berjanji akan ikut bergabung dengan pemerintah Republik Indonesia, namun rakyat sudah terlanjur menaruh dendam dan kebencian melihat sikap dan gaya hidup mereka selama ini, yang hidup serba kemewahan dan melakukan penindasan terhadap rakyat. Penguasa Sumatera Timur yang terkenal kaya raya saat itu adalah dari kalangan Melayu yaitu Sultan Langkat dan Sultan Deli. Adapun Sultan Langkat memperoleh kekayaan dari keuntungan usaha perminyakan dan penyewaan tanah perkebunan. Demikian juga Sultan Deli banyak menuai kekayaan dari hasil penyewaan tanah perkebunan tembakau. Slogan-slogan bernada revolusioner kemudian membahana di seantero Sumatera Timur, antara lain berbunyi “Raja-raja penghisap darah rakyat”, “Kaum feodal yang harus dibunuh” dan lagu “Darah Rakyat”. Situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh kaum berhaluan kiri, khususnya kelompok komunis.
Maxinius Hutasoit sebagai saksi mata menuturkan: “Sudah tentu bahwa dalam revolusi sosial itu terselundup pula segala macam hal yang sebenarnya sama sekali tidak ada hubungannya secara obyektif dengan persoalan feodal. Kepentingan-kepentingan sendiri diboncengkan, dendam pribadi dibalas, nafsu rendah memperoleh pelampiasannya”.
Lihat Juga:
B. RENCANA REVOLUSI
Tengku Luckman Sinar dalam penelitiannya menyatakan bahwa tindakan segerombolan orang yang mengaku republiken itu merupakan proyek rahasia dari Markas Agung pimpinan komunis Sarwono Sastro Sutarjo, Zainal Baharuddin, dan Mohammad Saleh Umar dalam rangka menghapuskan kerajaan di Sumatera Timur yang dituduh menghalangi kemerdekaan. Sebulan sebelum aksi tersebut berlangsung Wakil Gubernur Sumatera dr. Mohammad Amir yang berpihak pada Markas Agung sengaja menyusun jadwal agar Gubernur Sumatera Mr. Teuku Mohammad Hasan pergi melakukan kunjungan ke Sumatera Tengah. Keberadaan gubernur dinilai akan menggagalkan rencana mereka. Sehari sebelum gubernur berangkat, Residen Sumatera Timur Tengku Hafaz (yang kemudian dipecat Markas Agung) mengunjungi gubernur di rumahnya, mengungkapkan firasat buruknya bahwa sepeninggal gubernur akan terjadi suatu peristiwa, ternyata firasat Tengku Hafaz terbukti. Pada 1 Maret 1946 mereka berkumpul di kediaman Mr. Luat Siregar di Medan, dihadiri anggota Volksfront Mohammad Yunus Nasution dan Marzuki Lubis bersama Divisi IV TRI Kolonel Achmad Tahir dan Mahruzar (adik Sutan Syahrir) untuk mematangkan rencana penumpasan raja-raja dan sultan di Sumatera Timur. Berdasarkan dokumen rahasia dari pihak Sekutu tanggal 2 Maret 1946 (sehari sebelum revolusi) sudah diperoleh informasi bahwa PKI dan Barisan Harimau Liar bekerjasama dalam aksi tersebut. Volksfront (Persatuan Perjuangan) dan PSI yang berdiri pertengahan Februari 1946 yang mana Pasukan Kelima dari dr. F. J. Nainggolan turut bergabung.
Adapan tokoh-tokoh, partai politik, dan organisasi yang terlibat dalam gerakan Revolusi Sosial di Sumatera Timur secara rinci sebagai berikut:
1. Abdul Xarim M.S: Ketua PKI wilayah Sumatera dan anggota Volksfront.
2. Mohammad Saleh Umar: tokoh komunis dan Ketua BHL.
3. Nathar Zainuddin: Ketua Biro Khusus PKI, anggota Volksfront, dan ipar dari Abdul Xarim M.S.
4. Sarwono Sastro Sutarjo: tokoh Pesindo, anggota Volksfront, dan pengikut gembong komunis Mr. Amir Syarifuddin di pusat.
5. Mohammad Yunus Nasution: Ketua PKI Wilayah Sumatera Timur.
6. Mr. Luat Siregar: Ketua KNI Sumatera Timur merangkap Wakil Ketua PKI Wilayah Sumatera Timur dan pernah menjadi Residen Sumatera Timur.
7. dr. Mohammad Amir (Wakil Gubernur Sumatera dan pernah bertugas sebagai dokter pribadi Sultan Langkat dan pada tanggal 23 April 1946 membelot ke NICA.
8. Jacob Siregar: putera Sutan Martua Raja Siregar, Ketua Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia), dan pendiri Barisan Harimau Liar.
9. Urbanus Pardede (tokoh PKI dan pernah menjadi Bupati Simalungun menggantikan Tuan Maja Purba).
10. Zainal Baharuddin: tokoh PKI dan anggota Volksfront.
11. Bustami: Kepala Jawatan Perekonomian PKI yang mengambil alih perkebunan harta kaum bangsawan dan asing.
12. Amir Yusuf: yang mengambil alih perkebunan asing dan harta kaum bangsawan.
13. Nunung Sirait (staf Barisan Harimau Liar)
14. Abdullah Jusuf (staf Barisan Harimau Liar)
15. Marwan: Ketua Partai Komunis Indonesia cabang Tanjung Pura dan pemerkosa puteri Sultan Langkat.
16. Amar Hanafiah: tokoh komunis di Langkat yang tinggal di Kampung Terusan Tanjung Pura.
17. Bagus Saragih: Ketua Partai Komunis Indonesia cabang Tanah Jawa, Simalungun.
18. Anggaraim Elias Saragih Ras: pemimpin penculikan dan pembunuhan untuk wilayah Simalungun yang mendapat perintah dari Saleh Umar.
19. Usman Parinduri: pemerkosa puteri Sultan Langkat.
20. Mandor Iyang Wijaya: pemenggal kepala pujangga Tengku Amir Hamzah.
21. Mandor Amin: algojo pemenggal kepala manusia di Langkat.
Adapun elemen organisasi dan partai politik serta laskar yang berperan dalam aksi ini adalah"
- Partai Komunis Indonesia (PKI),
- Partai Nasional Indonesia (PNI),
- Partai Sosialis Indonesia (PSI),
- sebagian anggota Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo),
- Napindo,
- Barisan Merah (PKI),
- Barisan Harimau Liar (BHL),
- dan didukung buruh Jawa dari perkebunan serta kaum tani,
A. E. Saragih Ras saat diwawancarai oleh pendiri Harian Waspada Mohammad Said sewaktu berada di penjara setelah aksi pembantaian itu, ia mengaku bahwa pada tahun 1944 ia sudah menjadi anggota Kenkoku Teisintai (Barisan Harimau Liar) yang dibentuk Inoue seorang perwira Jepang dan tahun 1945 ditugaskan memimpin BHL di daerah Simalungun. Perintah menghabisi keluarga bangsawan diperoleh atas perintah Sarwono pimpinan Markas Agung dan Sekretaris Zainal Abidin yang datang mengunjunginya untuk menyampaikan perintah rahasia. Saleh Umar pimpinan tertinggi Markas Agung ketika dimintai ketegasan hitam di atas putih oleh Saragih Ras, dijawab oleh Saleh Umar:
“Perintah ini adalah rahasia dan sayalah yang menanggung akibatnya”.
Di daerah Simalungun raja-raja yang dianggap penghalang kemerdekaan yang harus dihabisi adalah Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha, pemangku Raja Raya Tuan Jan Kaduk Saragih Garingging dan lain-lain. Harta rampasan dari para bangsawan diserahkan pada awal tahun 1949 kepada Saleh Umar yang sudah diangkat menjadi Residen Sumatera Timur (setelah menggulingkan Tengku Hafaz). Harta benda bangsawan itu pernah dipakai sebanyak dua kali, pertama untuk membiayai perbekalan TNI di Sidikalang dan kedua ketika mereka berada di Pasar Matanggor (Tapanuli Selatan) untuk membeli senjata dari Singapura yang untuk ini ditugaskan Saleh Umar kepada saudagar Tionghoa Oei Boen Tjoen yang ternyata melarikannya. Selanjutnya harta benda yang tersisa diserahkan kepada Komandan Tentara dan Teritorium I/Bukit Barisan Kolonel Alex Kawilarang pada tahun 1950.
C. JALANNYA AKSI REVOLUSI
Kekerasan pertama terjadi di Sunggal pada tanggal 3 Maret 1946, unit-unit laskar rakyat menyerang markas PADI /Pasukan kelima di dekat rumah Datuk Hitam. Dalam kerusuhan itu jatuh korban di kedua belah pihak, Datuk Hitam dan sejumlah tokoh-tokoh bangsawan termasuk Datuk Hafidz Haberham melarikan diri ke Medan. Persatuan Perjuangan cabang Sunggal menangkap sekitar 40 orang keluarga bangsawan. Bentrokan antara kedua belah pihak terus terjadi, meskipun telah diadakan cease fire. Berita kekerasan itu dengan cepat meluas ke Medan, Karo (Berastagi), Simalungun (Pamatang Siantar), Asahan, Labuhan Batu, Binjai, dan Langkat.
Di Labuhan Deli terjadi penangkapan terhadap empat puluh orang Melayu, termasuk pemimpin PADI dan para penghulu. Pasukan kelima berhasil dilumpuhkan dan dr. F.J. Nainggolan ditangkap, namun ia berhasil selamat dari usaha pembunuhan, sementara isteri dan puterinya dibunuh. Istana Sultan Deli berhasil dilindungi karena adanya benteng pertahanan tentara sekutu di Medan, demikian juga istana Kesultanan Serdang dapat dilindungi karena di Perbaungan terdapat markas pasukan TRI.
Di Tanjung Pura tempat kedudukan Sultan Langkat, dua orang puterinya diperkosa oleh kaum republiken. Demi menyelamatkan nyawa ayah mereka, mereka terpaksa bersedia melayani nafsu birahi Marwan dan Usman Parinduri. Kebiadaban mereka ini dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar, “.....kedua puteri itu meraung kesakitan dan setiap rintihan merupakan pisau sembilu menusuk jantung Sultan yang mendengarnya dari kamar sebelah.”
Di Binjai, Tengku Kamil dan Pangeran Stabat ditangkap bersama beberapa orang pengawalnya, isteri-isteri mereka juga ditangkap dan ditawan ditempat berpisah.
Selain itu pujangga Tengku Amir Hamzah juga ikut menjadi korban. Di lingkungan kesultanan ia merupakan seorang pangeran untuk wilayah Langkat Hulu dan Langkat Hilir, serta Bendahara Paduka Raja dan pada masa pemerintahan RI sempat menjadi Asisten Residen Langkat dan Ketua Pengadilan Kerapatan Kesultanan Langkat. Amir Hamzah awalnya ditahan di sebuah rumah bekas tahanan Kempeitai di tepi Sungai Mencirim, Binjai. Tepatnya tanggal 20 Maret 1946 ia dieksekusi di sebuah lubang di Kwala Begumit. Parang Mandor Iyang Wijaya kemudian berayun menebas tengkuk hingga memutuskan lehernya.
Di Tanjung Balai, Asahan 3 Maret 1946 sejak pagi ribuan massa telah berkumpul. Mereka mendengar bahwa Belanda akan mendarat di Tanjung Balai. Namun kerumunan itu berubah haluan mengepung istana Sultan Asahan. Awalnya gerakan massa ini dihadang TRI namun karena jumlahnya sedikit, massa berhasil menyerbu istana sultan. Besoknya, semua bangsawan Melayu pria di Sumatera Timur ditangkap dan dibunuh. Hanya dalam beberapa hari 140 orang sudah ditemukan dalam keadaan terbunuh termasuk para penghulu, pegawai didikan Belanda, dan sebagian besar adalah kerabat kesultanan. Di Tanjung Balai dan Tanjung Pasir hampir semua kelas bangsawan mati terbunuh.
D. REVOLUSI SOSIAL DI SIMALUNGUN
1. Kerajaan Panei
Pada masa itu yang memerintah di Panei adalah Tuan Bosar Sumalam Purba Dasuha. Pada hari Minggu pagi, 3 Maret 1946 Tuan Mailan Purba Dasuha, anak tertua Tuan Marjandi adik kandung Raja Panei (Tuan Anggi Panei) menginformasikan kepada keluarga Raja Panei di Pamatang Panei bahwa akan terjadi gerakan revolusi sosial terhadap raja-raja dan sultan-sultan, ia mengimbau supaya raja dan keluarga segera menyelamatkan diri ke rumah pesanggerahan Raja Panei di Jl. Sekolah (sekarang Jl Sudirman) Pamatang Siantar.
Pada hari itu juga Tuan Naga Panei (berdasarakan informasi dari Richard Nainggolan) melaporkan kepada Raja Panei bahwa A. E. Saragih Ras dan laskarnya yang sudah terlatih akan datang menculik dan menjarah ke istana raja, supaya raja maklum dan segera menyelamatkan diri. Anehnya, meskipun Raja Panei sudah mengetahui akan kedatangan pasukan BHL pimpinan iparnya sendiri yaitu A. E. Saragih Ras, namun dia tidak pergi menyelamatkan diri ke Pamatang Siantar. Pihak istana hanya melakukan tindakan antisipatif dengan menempatkan pengawal yang terdiri dari laksar Pesindo dengan pengawalan Raja Muda Panei Tuan Margabulan Purba Dasuha dan adik-adiknya yang sudah dewasa.
Menurut Tuan Kamen Purba, abangnya Raja Muda pada waktu itu sudah aktif di pasukan Marsose yang berjuang melawan Belanda. Rakyat yang berkumpul pada waktu itu di sekitar istana menjaga keselamatan raja dan keluarganya. Tuan Aliamta Purba yang masih berumur 5 tahun pada waktu itu sedang sakit dikelilingi oleh keluarga besar raja. Di tengah malam tiba-tiba listrik padam, rupanya pasukan BHL sudah mengepung istana. Pasukan pengawal tidak berdaya menghadapinya, ada yang tewas dan sebagian diikat.
Pasukan BHL berjumlah lebih kurang 50 orang itu naik ke istana, mereka tidak berbicara dan memakai penutup wajah. Serempak mereka masuk dan menjarah seluruh istana raja membawa karung masuk ke dalam kamar perbendaharaan raja, mengambil emas banyak sekali dari peti, uang perak gulden dan uang kertas Jepang. Senjata revolver Raja Muda turut dirampas. Seluruh isi istana dijarah, Raja Panei Tuan Bosar Sumalam Purba dan kedua anaknya yaitu Tuan Margabulan Purba (Raja Muda) dan Tuan Jautih Purba serta seluruh perempuan dewasa diikat tangannya. Ditambah 28 rakyat yang tidak rela meninggalkan rajanya turut diikat, mereka kemudian dinaikkan ke dalam 2 unit truk.
Iringan BHL berjalan menuju ke Tigaras, sepanjang perjalanan Raja Panei disiksa dan akhirnya seluruh rombongan dibunuh dengan sadis di Nagori dekat Tiga Sibuntuon. Raja Panei yang kebal dengan senjata tajam dibunuh dengan cara ditombak melalui duburnya hingga mengenai leher, setelah itu kepalanya dipenggal dan lidahnya dicabut paksa. Demikian juga kedua anaknya juga dibunuh dengan cara dipenggal. Beruntung anaknya yang lain yaitu Tuan Margaidup Purba, Tuan Iden Purba, Tuan Abraham Purba, dan adik-adiknya berhasil melarikan diri dari istana menuju Naga Huta melewati kebun teh ke tempat markas tentara Jepang yang pada minggu siang sempat berkunjung ke istana. Dari sana mereka berangkat ke Pagar Jawa dan dijemput pasukan TRI dan diamankan di Pamatang Siantar (rumah Tuan Maja Purba Bupati Simalungun).
Anak Raja Panei yang lain Tuan Kamen Purba pada malam itu bersama dengan Inang Bona, isteri Raja Panei sedang berada di ladang di Naga Huta. Sementara abangnya Tuan Nalim Purba sedang bersekolah di Pamatang Siantar. Rumah pesanggerahan raja Panei di Jl. Sekolah (sekarang Jl. Sudirman) sudah dikuasai BHL dan dijadikan markas mereka. Mobil pribadi Raja Panei dirampas dan dipakai Urbanus Pardede yang sudah mengkudeta Tuan Maja Purba sebagai Bupati Simalungun. Harta Raja Panei habis disikat dan istana (rumah panggung berarsiterktur semi Melayu) kemudian dibakar atas pimpinan seorang marga Sinaga. Sedangkan Rumah Bolon yang merupakan istana lama utuh tetapi puluhan tahun tidak terawat runtuh dimakan usia, karena ketiadaan perawatan.
Sesudah berita penculikan Raja Panei terdengar oleh TRI, maka tentara pun mengejar jejak BHL ke arah Saribu Dolog dan Tigaras. Akhirnya mereka menemukan mayat keluarga aristokrat Panei berikut rakyatnya sudah tewas mengenaskan di Sibuntuon. Mayat Raja Panei kemudian dimakamkan di dekat istananya yang sudah rata dengan tanah di Pamatang Panei, berikut seluruh keluarga dan rakyat kerajaan yang ikut jadi korban. Sampai Raja Panei meninggal, dia masih bertahan dengan agama animisme.
Selain keluarga Raja Panei, para pejabat di lingkungan kerajaannya juga ikut dibantai yaitu Anak Boru Panei Tuan Jademan Saragih Garingging dari Dolog Saribu (ayah Prof. Dr. Boas Saragih), kemudian Tuan Naga Panei Tuan Jamonang Purba Sidadolog juga tewas dibunuh. Pembantaian terhadap keluarga Raja Panei terus berlanjut hingga bulan April 1947, putera-putera raja Panei yang sudah aktif di perjuangan yaitu Tuan Margaidup Purba akhirnya tewas dibunuh BHL, menyusul Tuan Kortas dari Marjandi dan Tuan Mintari Purba kerani Kerajaan Panei. Nyaris saja seluruh keluarga bangsawan Panei punah bila tidak diselamatkan dengan sangat rahasia di Belawan.
2. Tanoh Jawa
Raja Muda Tanoh Jawa Tuan Omsah Sinaga dan saudaranya Raja Tanoh Jawa Tuan Kaliamsyah Sinaga selamat dari penculikan BHL, karena saat itu mereka berada di Pematang Siantar. Tetapi saudaranya Tuan Dolog Panribuan yaitu Tuan Mintahain Sinaga dan puteranya Raja Muda Tuan Hormajawa Sinaga (ayah Mayor Jatiman Sinaga) tewas dibunuh BHL beberapa bulan kemudian, yaitu 16 Agustus 1946. Menurut Killian Lumbantobing, mayatnya dicincang dan dicampur dengan daging kerbau serta disuguhkan untuk santapan pasukan BHL. Menurut Tuan Gindo Hilton Sinaga masih banyak korban revolusi sosial di Tanoh Jawa yang masih belum terungkap.
3. Kerajaan Siantar
Pemangku raja Siantar Tuan Sauadin Damanik luput dari pembunuhan BHL, karena pada waktu itu beliau berada di rumahnya di Pamatang Bandar dilindungi oleh pendatang Batak Toba yang menggarap sawah di sana. Tetapi di Sipolha, beberapa kaum bangsawan tewas dibunuh, termasuk Tuan Sipolha yaitu Tuan Sahkuda Humala Raja Damanik (ayah Tuan Jabanten Damanik). Bangsawan di Sipolha yang paling banyak mengalami pembantaian oleh BHL, berhubung dengan lokasinya yang relatif lebih terisolir di pantai Danau Toba, jauh dari pengawasan TRI. Banyak keluarga Tuan Sipolha yang menyelamatkan diri ke daerah Parapat bahkan mengungsi sampai ke luar negeri. Diperkirakan ada ratusan korban tewas dibantai oleh BHL di Sipolha. Tuan Sidamanik sendiri Tuan Ramahadim Damanik bersama Raja Muda Sidamanik yaitu Mr. Tuan Djariaman Damanik sudah mengetahui gelagat buruk ini, mereka menyingkir ke Pamatang Siantar. Setelah bermufakat di rumah pesanggerahan Tuan Sidamanik bersama Tuan Bisara Sinaga dari Jorlang Hataran, Tuan Baja Purba dari Dolog Batu Nanggar, dan Tuan Jansen Saragih dari Raya Kahean mereka pergi berlindung ke kantor polisi RI. Beberapa hari kemudian Tuan Jariaman Damanik menemukan buku kecil berwarna merah beredar di kota Pamatang Siantar yang berjudul “Revolusi Perancis dan Revolusi Soviet” di sampul terdapat lukisan palu arit yang merupakan simbol partai komunis. Melihat keadaan yang semakin memanas, Tuan Jariaman Damanik memilih berangkat ke Tapanuli bergabung dengan TKR RI atas saran Komandan TKR Pamatang Siantar Rikardo Siahaan.
4. Kerajaan Purba
Meskipun Raja Purba Tuan Mogang Purba telah mengungsi ke Markas Langit bersama anaknya Tuan Jamin Purba, tetapi keduanya tewas secara misterius. Tuan Jamita Purba dan Tuan Lintar Purba tewas disekitar Tigaras. Semuanya berlangsung di sekitar bulan April tahun 1947. Pantai Haranggaol pada masa itu dikabarkan penuh dengan mayat-mayat manusia yang tewas dibantai dengan sadis, sampai-sampai orang tidak mau memakan ikan dari danau Toba, karena sering kedapatan jari manusia dalam perut ikan. Pada tahun 1947 pemangku Kerajaan Purba Tuan Karel Purba tewas terbunuh oleh BHL di Haranggaol. Anaknya Tuan Maja Purba pejabat pemerintah RI pernah menjadi Bupati Simalungun dan pejabat Gubernur Sumatera Utara. Adapun keturunan Raja Purba yang selamat yaitu Mr. Tuan Jaidin Purba pernah menjabat sebagai walikota Medan. Kemudian Tuan Jomat Purba, terakhir Kolonel TNI aktif memimpin pasukan Blaw Pijper Negara Sumatera Timur.
5. Kerajaan Silima Huta
Raja Silima Huta Tuan Padiraja Purba Girsang yang sudah aktif di Markas Agung juga tewas dan tidak diketahui di mana makamnya, sewaktu mengungsi ke Tanah Karo. Bersama beliau turut tewas dokter pertama Simalungun dr. Jasamen Saragih. Konon mayat Raja Silima Huta dihanyutkan di sungai Lau Dah dekat Kabanjahe. Turut juga ditangkap Pangulubalei Jaudin Saragih dan ditahan di Raya Berastagi tetapi beliau mujur masih hidup diselamatkan oleh TRI.
6. Kerajaan Raya
Nasib naas menimpa pemangku Raja Raya Tuan Jaulan Kaduk Saragih Garingging gelar Tuan Raya Kahean. Beliau seorang maestro seni Simalungun dan perintis pembangunan jalan penghubung Sondi Raya-Sindar Raya. Semasa dia menjabat sebagai penguasa swapraja di Raya sungguh banyak pembangunan yang dirasakan masyarakat seperti pengadaan listrik dan air minum serta transportasi bus yang diberi nama “Sinanggalutu” dengan rute Pamatang Siantar-Pamatang Raya. Beliau ditangkap pasukan BHL sewaktu menghadiri acara keluarga saudaranya Tuan Manak Raya, bersama Opas Radan Sitopu dan Penilik Sekolah (Schoolopziner) Saulus Siregar. Ketiganya ditangkap dan dibawa ke bawah jembatan Bah Hutailing (dekat Sirpang Sigodang). Opas Radan Sitopu dapat meloloskan diri dengan berpura-pura mati dan menjatuhkan dirinya ke sungai, sedangkan Saulus Siregar dan Tuan Jaulan Kaduk tewas dipenggal lehernya dan dihanyutkan ke sungai Bah Hutailing tersebut. Mayatnya kemudian ditemukan TRI lalu dibawa ke Pamatang Siantar dan dimakamkan secara agama Kristen. Keturunannya yang terkenal di antaranya adalah Tuan Bill Amirsjah Rondahaim Saragih (Bill Saragih) yang dikenal sebagai seorang komponis jazz yang lama berdiam di Australia dan Prof. Dr. Bungaran Saragih, M.Si mantan Menteri Pertanian RI era Presiden Abdurrahman Wahid. Adapun Tuan Anggi Raya yaitu Tuan Pusia Saragih Garingging memilih gantung diri daripada ditangkap oleh BHL. Keluarga bangsawan Raya lainnya ada yang melarikan diri ke hutan atau tempat yang aman. Selain kaum bangsawan, orang-orang di luar kerabat kerajaan juga ikut terbunuh seperti Bisa Lingga, Willem Saragih, Bungaronim Damanik, dan Parudo Girsang. Sasaran BHL bukan hanya kaum bangsawan, tetapi juga mereka yang kebetulan posisinya sebagai pejabat sipil, tenaga medis (dokter, mantri, bidan), guru bahkan mereka yang busananya terlihat kebarat-baratan juga ikut menjadi korban.
Pada 1 September 1947, Tengkoe Mochtar Aziz, adik dari Sultan Langkat menyampaikan pidato di Pusat Radio Resmi Indonesia. “Di sini, bukan maksud saya hendak membuat propaganda, melainkan menerangkan apa yang sebenarnya terjadi. Supaya seluruh rakyat di Kepulauan Indonesia dapat mengetahui dan menimbangnya dengan sebaiknya," ujar Mochtar Aziz membuka pidatonya. Pidato Mochtar Aziz ini dimuat di harian Pandji Ra'jat pada 2 September 1947. Koran ini, dan koran-koran lama lainnya dikumpulkan oleh sebuah lembaga bernama Institute for War, Holocaust and Genocide Studies di Belanda.
Bagian awal pidato Mochtar Aziz berisi penjelasan tentang kesediaan kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur bekerja sama dengan pemerintah Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Dia menerangkan, sebulan sebelum pembantaian dilakukan, raja-raja dan Komite Nasional Pusat Sumatera Timur mengadakan pertemuan di Kota Medan. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan untuk membentuk daerah Sumatera Timur dengan demokrasi. Para raja menargetkan pemerintahan yang baru di bawah naungan Republik Indonesia bisa berjalan mulai Mei tahun 1946. Namun sayangnya pembantaian membuat apa yang mereka sepakati bersama pemerintah pusat tidak pernah terjadi.
“Saya pertama kali diambil dari rumah saya dengan janji akan diperiksa sebentar di markas, walaupun waktu itu jam 2 malam, saya lalu ikut saja karena saya percaya saya tidak akan dapat kesusahan oleh karena saya adalah anggota dari komite nasional. Sayang, perikemanusiaan tidak ada lagi. Saya sampai di markas, terus di bawa ke satu tempat, 40 kilometer dari tempat saya, dengan tidak sempat hendak memberi kabar pada isteri dan anak saya ke mana saya dibawa. Dari sana, saya dibawa ke Berastagi. Waktu itu pada isteri dan keluarga saya yang tinggal, dikatakan saya telah dibunuh. Inilah yang kami tanggungkan selama 17 bulan, dengan tidak tahu pada siapa kami mengadukan hal yang kami derita," cerita Mochtar dalam pidatonya.
“Selama di tahanan, tidak sedikit penghinaan diberikan pada kami. Kami orang tahanan diberi gelar kambing, dari itu, kami tak bisa bergaul dengan manusia biasa. Buat makan, kami dilainkan. Buat mandi seminggu sekali, mirip dengan hewan," lanjut Mochtar.
E. NEGARA SUMATERA TIMUR
Sebulan sebelum pidato Mochtar Aziz, 1 Agustus 1947, Surat Kabar Deli Courant koran berbahasa Belanda menyebutkan adanya demonstrasi massa dalam berita berjudul "Bevolking van der Oostkust Sumatera Wenst Zelfstandigheid". Dalam Bahasa Melayu, judul itu berarti penduduk Sumatera Timur menginginkan Kemerdekaan. Lalu dibentuklah sebuah komite untuk melindungi pribumi negeri itu dan kepentingan-kepentingannya. Nama-nama yang tercatat membentuk komite ini adalah Tengku Mansyur, Tengku Hafaz, Tengku Zulkarnain, Tengku Malaikul Bahar, Datuk Hafiz Haberham, Tuan Kaliamsyah Sinaga, Tuan Jomat Purba, Mr. Tuan Jaidin Purba, Tuan Maja Purba, Ngerajai Sembiring Meliala, dan OK Ramli. Tuan Jomat Purba ditunjuk sebagai juru bicara.
Keinginan mereka satu, terwujudnya Daerah Istimewa Sumatera Timur. Pada 25 Desember 1947, keinginan itu tercapai. Catatan sejarah tentang pembentukan Negara Sumatera Timur ini dituliskan oleh Tengku Mansyur Adil Mansyur, cucu dari Tengku Mansyur. Ia lahir di Medan pada 1948. Pada 1962, karena situasi politik ia melarikan diri ke Belanda dan hingga kini menetap di sana. Ia menuliskan dalam Bahasa Inggris dari kumpulan catatan berbahasa Belanda. Tulisan itu kemudian dipublikasikan di Lentera Timur dalam Bahasa Melayu Indonesia.
“Kondisi kaum bangsawan dan masyarakat Simalungun yang mengenaskan, kecemasan orang-orang Cina dan India, serta orang-orang Indonesia yang kelaparan dan merasa kecewa akibat republik, bisa jadi menjadi jawaban untuk pertanyaan mengapa Negara Sumatera Timur didirikan," tulisnya. Setelah pembantaian para anggota keluarga kerajaan, Sumatera Timur memang diduduki kaum republiken.
Pemerintah pusat melalui Komite Nasional Indonesia tidak membenarkan aksi pembantaian tersebut. Para menteri seperti Sultan Hamengkubowono IX, Mrs. Maria Ulfah Santoso, Mr. Mohammad Roem dan Mr. Syarifuddin Prawiranegara pernah berjanji bahwa para keluarga korban revolusi sosial tahun 1946 akan dikembalikan kehormatannya dan harta benda mereka dikembalikan oleh negara.
Di bawah ini saya lampirkan beberapa foto raja-raja di Simalungun yang terbunuh dan berhasil selamat.
1. Raja Panei, Tuan Bosar Sumalam Purba Sidasuha (terbunuh).
2. Raja Purba, Tuan Mogang Purba Sidapakpak (terbunuh).
3. Raja Silima Huta, Tuan Padiraja Purba Girsang (terbunuh).
4. Raja Raya, Tuan Jaulan Kaduk Saragih Garingging (terbunuh).
5. Raja Dolog Silou, Tuan Bandar Alam Purba Tambak (selamat).
6. Raja Siantar, Tuan Sauadin Damanik Bariba (selamat).
7. Raja Sidamanik, Tuan Ramahadim Damanik Bariba (selamat).
8. Raja Tanoh Jawa, Tuan Kaliamsyah Sinaga Dadihoyong (selamat). Pada tahun 1947-1950 mendapat amanah menjadi Wakil Wali/Wakil Presiden Negara Sumatera Timur dan tahun 1949 ikut menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. (Sumber : Bangun dan runtuhnya kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Karya Tengku Luckman Sinar, 2007).
Tulisan asli oleh Masrul Purba
Baca juga:
- Rev. Sosial Sumatera Timur - Muslim Jawi Perca
- Revolusi Sosial Biadab di Simalungun yang Terlupakan - realitykenyataan.blogspot.com
- Lagu Darah Rakyat (youtube) tentang lagu klik DISINI
- Tragedi SUmatera Timur - carigold
- Revolusi Sosial di Sumatera Timur, 3 maret 1946 - Lira Media
- REVOLUSI SOSIAL BERDARAH DI SIMALUNGUN TAHUN 1946 - FB Melayu Sumatera Timur