Tampilkan postingan dengan label simalungun. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label simalungun. Tampilkan semua postingan

Lidah Jawa yang Sangat Mengganggu

 


FB Masrul Purba - Tolong jangan salah paham, saya tidak pernah membenci suku Jawa, saya hanya sekadar mengingatkan agar suku Jawa mau mengintrospeksi diri atas kekurangan mereka. Saya sudah lama merasa risih dengan banyaknya nama perkampungan di tanah leluhur saya yang mereka plesetkan. Manusia yang benar seharusnya mau introspeksi diri bukan malah merasa dipojokkan. Ini beberapa nama kampung di tanah leluhur saya di Kabupaten Simalungun yang mereka plesetkan.

EKSKLUSIFISME SUKU JAWA



FB Masrul Purba - Orang Batak, orang Karo, orang Simalungun Atas, orang Pakpak, orang Angkola dan orang Mandailing tidak merasa terusik dengan keberadaan orang Jawa, sebab di daerah mereka penduduk lokal masih mayoritas. Tapi coba tanah leluhur anda berada di Kabupaten Simalungun, di mana suku Jawa menempati posisi 46% dari total penduduk, suku Batak 31%, justru suku Simalungun yang tinggal di Kabupaten Simalungun hanya sekitar 17%. Bahkan Wakil Bupati Simalungun saat ini adalah suku Jawa bernama Jonni Waldi.

Tanah Simalungun satu-satunya daerah di luar tanah Melayu yang jadi sasaran masuknya kuli kontrak Jawa, karena tanah Simalungun yang paling subur dari semua tanah suku bermarga di Sumatera Utara. Tanah Simalungun dari segi topografi terbagi 2, Simalungun Atas dataran tinggi dan berhawa sejuk. Suku Jawa di sini minoritas, sehingga suku Simalungun yang tinggal di Simalungun Atas merasa santuy. Lalu Simalungun Bawah dataran rendah di mana banyak berdiri perkebunan sawit dan karet. Di kawasan ini area perkebunan lebih luas dibanding pemukiman penduduk. Suku Jawa anak turunan kuli kontrak sangat mudah ditemukan di area perkebunan dan jumlah mereka mayoritas melampaui suku Batak dan suku Simalungun.

Diversty on Sumatera

Gambar Ilustrasi: detik travel

FB T Raja Tolor
- Banyak peneliti-peneliti dari luar yang awalnya minim pengetahuan tentang suku Toba, Mandailing, Angkola, Simalungun, Pakpak, Karo bisa dibilang mereka masih buta sejarah dan aksara suku-suku tersebut. Setelah mereka datang ke Sumatra dan masih belum tahu apa-apa, mereka berusaha dengan berbagai cara untuk melakukan penelitian. Namun mereka kewalahan karena banyaknya suku-suku di Sumatra yang harus didatangi untuk diteliti. Dan akhirnya mereka tidak mau ambil pusing dengan terburu-buru membuat kesimpulan walau belum paham sepenuhnya tentang suku-suku tersebut.

Contohnya dari segi aksara mereka secepatnya menyimpulkan bahwa aksara Toba, Mandailing, Angkola, Simalungun, Pakpak, Karo adalah kelompok aksara Batak. Sehingga mereka hanya fokus ke kesimpulan mereka tentang aksara Batak.