Gambar Ilustrasi: detik travel
FB T Raja Tolor - Banyak peneliti-peneliti dari luar yang awalnya minim pengetahuan tentang suku Toba, Mandailing, Angkola, Simalungun, Pakpak, Karo bisa dibilang mereka masih buta sejarah dan aksara suku-suku tersebut. Setelah mereka datang ke Sumatra dan masih belum tahu apa-apa, mereka berusaha dengan berbagai cara untuk melakukan penelitian. Namun mereka kewalahan karena banyaknya suku-suku di Sumatra yang harus didatangi untuk diteliti. Dan akhirnya mereka tidak mau ambil pusing dengan terburu-buru membuat kesimpulan walau belum paham sepenuhnya tentang suku-suku tersebut.
Contohnya dari segi aksara mereka secepatnya menyimpulkan bahwa aksara Toba, Mandailing, Angkola, Simalungun, Pakpak, Karo adalah kelompok aksara Batak. Sehingga mereka hanya fokus ke kesimpulan mereka tentang aksara Batak.
Bayangkan jika seorang peneliti harus meneliti satu persatu aksara masing-masing suku sudah pasti mereka kewalahan dan akan memakan waktu yang cukup lama. Mau tidak mau aksara Toba, Mandailing, Angkola, Simalungun, Pakpak, Karo mereka simpulkan secara asal-asalan dengan menyebut aksara Batak. Apalagi para peneliti-peneliti di zaman itu [masa kolonia] kebanyakan bertujuan politik. Dimana pada masa itu, pemerintah kolonial sudah pasti punya target untuk memutarbalikkan fakta sejarah dalam strategi penjajahan. Maka tidak heran sangat banyak catatan-catatan sejarah yang berbahasa Belanda.
Pribumi Sumatra malah percaya dengan catatan-catatan orang luar bodoh, yang awalnya minim pengetahuan tentang suku-suku di Sumatra (orang luar yang sedang belajar tentang suku-suku di Sumatra tidak layak untuk dipercaya penelitiannya oleh pribumi yang merupakan pelaku sejarah suku2 di Sumatra)
======================
Gambar: detik travel