Tampilkan postingan dengan label siak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label siak. Tampilkan semua postingan

Raja Kecik: Sahabat & Seteru Bugis

Ilustrasi gambar: Pesona Siak

FB Habidah Nordin - Sultan Johor-Riau yang memerintah pada tahun 1718 hingga 1722. Baginda menduduki takhta kerajaan Johor pada tahun 1718 dengan memakai gelaran Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah. Menurut Sejarah Melayu, Raja Kecil mendakwa baginda adalah putera Sultan Mahmud, Marhum Mangkat Dijulang dan ibunya, Encik Pong. Raja Kecil dibesarkan di istana Minangkabau. Baginda mendapat kebenaran daripada Puteri Jamilan mengembara ke Tambang, Limon, Batanghari, Palembang, Johor, Lawas, Siantan, Bangka dan akhirnya pulang semula ke Minangkabau.


Ketika berada di Lawas, Raja Kecil berkahwin dengan anak Dipati Mata Kucing. Di Minangkabau, Raja Kecil digelar Yang Dipertuan Kecil dan Puteri Jamilan menghadiahkan kepadanya sebilah pedang kebesaran Minangkabau serta cop yang menandakan bahawa Raja Kecil adalah putera Raja Pagarruyung.
Raja Kecil berangkat ke Bukit Batu dan Batu Bara di Siak. Di Batu Bara, baginda mengumpul tentera untuk menyerang Johor. Pada masa yang sama, Raja Kecil dikunjungi oleh Daeng Parani, Daeng Menampok dan Daeng Celak serta mereka berbincang tentang rancangan menyerang Johor.

Sinapelan & Perdagangan di Selat Malaka

Foto: potretnews

Disalin dari kiriman FB Aal Piliang

Bahwa pada permulaan abad ke-18, perdagangan dari hulu Siak mulai berkumpul di pasar penting di Pekanbaru (Senapelan). Bahwa ibu kota secara bertahap digeser oleh penguasa berturut-turut setelah Raja Kecil. Putra dan penerus Raja Kecil itu, Raja Mahmud (1746-1760) memindahkan ibukota dari Buantan (Siak Sri Inderapura), beberapa mil hingga Mempawa. Saudara dan penggantinya, Raja Alam (1761-1779), akhirnya memindahkan ke Senapelan yang melalui inisiatif penguasa baru tempat tersebut diperluas, yang kemudian berganti nama menjadi Pekan Baru. Ini mengendalikan rute ke Patapahan, di mana melalui Sungai Tapung Kiri dapat dilayari semua jalan ke pedalaman, hingga sejauh Payakumbuh. Selain itu, dengan perluasan budidaya gambir di Minangkabau pada paruh kedua abad ke-18, Pekan Baru memperoleh akses ke perdagangan makmur yang berpusat di Patapahan.
Ibu kota baru ini juga strategis dalam kaitannya dengan Kampar, dan memungkinkan digunakan juga oleh Pelalawan ke pintu Siak yang diberikan oleh Said Abdul al Rahman, putra sekutu penguasa yang berpengaruh, Assayidi Syarif Osman Syahabuddin, umumnya dikenal sebagai Said Osman. Dia bertindak sebagai wakil penguasa, menyandang predikat bandar, yang kemudian diteruskan ke anaknya, Raja Hashim.

Riau & Siak

Gambar: Newsdetik

Disalin dari kiriman FB Sutan Bagindo

MELAYU RIAU, dimanakah itu.?

Yang sebenar-benar Melayu Riau pada asalnya adalah wilayah Riau Kepulauan yg berpusat di Pulau Bintan. Nama Riau berasal dari sebutan orang Belanda yang menyebut Riouw, nama sungai Rio di pulau Bintan.
Jadi aslinya Melayu Riau adalah Kepulauan Riau yg berpusat di Pulau Bintan, yg sekarang sudah menjadi Propinsi Kepulauan Riau. Merekalah yang sejatinya disebut "Orang Riau" atau "Melayu Riau", bekas cakupan wilayah Kerajaan Johor Riau, dan lalu di jaman Kolonial Belanda menjadi "Residentie Riouw".

Bukan di daratan (Riau Daratan) yg saat ini masih bernama Propinsi Riau karena memang nama Riau tidak berakar di Riau Daratan. Sedang Riau Daratan yang sekarang hanyalah disebut wilayah Siak, dan mereka lazimnya disebut "Orang Siak", bukan Melayu Riau dan bukan Riau. Dan pada asalnya dan menurut sejarahnya orang Melayu Riau Kepulauan itu tidak pernah mengakui dan menganggap orang Riau Daratan sebagai Melayu Riau, melainkan hanya disebut "Orang Siak".[1]
Wilayah Riau Daratan hanya pernah menjadi jajahan Kesultanan Johor Riau. Dan memang Riau daratan masa itu menjadi jajahan Melayu Riau. Riau Daratan ini, penduduk asli tempatannya masa itu tidak pula dapat dikatakan asli sebagai orang Melayu model Melayu Riau Kepulauan atau beradat resam Melayu Riau, terutama Suku Sakai di sehiliran sungai Siak yang 100% bukanlah Melayu Riau. Mereka semua sebagai rakyat jajahan dari Kesultanan Johor Riau hanya dipaksa beridentitas Melayu Riau dan dipaksa beradat resam Melayu Riau.
Sejak jatuhnya Malaka ke tangan VOC, pusat Kesultanan Johor telah pindah ke Pulau Bintan, lalu mengasaskan "Kesultanan Johor Riou". Dan lalu setelah Lanun Bugis (Yang Dipertuan Muda) berkuasa, ditetapkan adat baru yg disebut dg "Adat Melayu Riou" dan kini populer disebut "Adat Resam Melayu Riau".

Nama Riou berasal dari nama Sungai Rio di pulau Bintan. Belakangan "Riou" ditulis "Riaw" dan lalu "Residentie Riouw" lalu kini disebut "Riau". Dan lalu Kesultanan Johor Riou ini mengklaim wilayah Riau Daratan sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya. Dan memang jika merujuk ke catatan Tome Pires yang ditulis antara tahun 1513-1515, maka wilayah Riau Daratan merupakan kawasan yang berada antara Arcat dan Indragiri sudah menjadi jajahan Malaka sebelum akhirnya Malaka ditaklukan oleh Portugal.
Dan Kesultanan Johor Riau ini guna memperkuat cengkeramannya terhadap wilayah Riau Daratan lalu memaksa rakyat Riau Daratan mengaku dan beridentitas sebagai "Melayu Riou" dan wajib "Beradat resam Melayu Riou". Sekalipun begitu, Melayu Riau (Johor Riau) yang dalam kekuasaan Lanun Bugis (Yang Dipertuan Muda) menganggap dan memperlakukan rakyat Riau Daratan tak lebih hanya sekelas bangsa jajahan dan budak bagi Melayu Riau.
Hal itu berlangsung hingga kedatangan Raja Kecil (Raja Kecik) yang kemudian mendirikan Kesultanan Siak dan berhasil membebaskan rakyat Riau Daratan dari penjajahan dan perbudakan Melayu Riau.[2]

Dalam Syair Perang Siak, disebutkan Raja Kecil didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis. Hal ini bertujuan untuk melepaskan wilayah Riau Daratan dari kekuasaan dan pengaruh Kesultanan Johor Riau / Melayu Riau yang menjajah dan memaksa rakyat Riau daratan agar mengaku sebagai Melayu Riau dan "Beradat Resam Melayu Riau" dan wajib tunduk kepada "Lanun Bugis" (Yang Dipertuan Muda) Melayu Riau.

Dalam prakteknya, "Lanun Bugis" (Yang Dipertuan Muda Melayu Riau) adalah penguasa sesungguhnya dan berkuasa menetapkan segala-galanya termasuk adat istiadat yang kini populer dengan sebutan "Adat Resam Melayu Riau". Sementara Sultan Johor Riau hanya berfungsi sebagai simbol semata. Bahkan ibaratnya hidup dan mati sang Sultan, nafas yang dihirupnya, ketersediaan makanan dan pakaiannya, dan sebagainya, tak ubahnya tergantung kemurahan hati dari "Lanun Bugis" (Yang Dipertuan Muda). Itulah "Melayu Riau" yang sebenarnya.

Dalam cakap orang Riau Daratan dulu (setelah terbentuknya Kesultanan Siak), maka "Adat Resam Melayu Riau" lebih sering diplesetkan dengan sebutan olok-olok "Adat Resam Lanun Bugis".
Jadi menurut sejarahnya bahkan orang-orang Riau Daratan pun dari awal sudah menolak masuk menjadi bagian dari Melayu Riau dan menolak beradat resam Melayu Riau. Dengan terbentuknya Kesultanan Siak maka semakin dipertegas pemisahan dan perbedaan antara Siak (Riau daratan) dengan Melayu Riau.

Sultan Siak yg tidak ingin berkuasa sendirian lebih mempertegas lagi perbedaan itu dengan membentuk sistem pemerintahan dan adat istiadat istana yang sama sekali berbeda dg Kesultanan Johor Riau (Melayu Riou).

Tidak pula ada posisi "Yang Dipertuan Muda" sebagaimana yang di Melayu Riau adalah hak dan hegomoni dari "Lanun Bugis", dimana Sultan Johor Riau hanya berfungsi sekedar simbol saja, sementara yang berkuasa atas segala sesuatunya termasuk mengangkat Sultan adalah "Lanun Bugis". Dan dalam prakteknya Sultan memang wajib tunduk kepada "Lanun Bugis".
Sultan Siak menetapkan bahwa setelah posisi Sultan hanya terdapat Dewan Menteri. Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengangkat Sultan Siak. Sama dengan "Undang Yang Ampat" di Negeri Sembilan, Malaysia.

Sultan Siak telah menetapkan bahwa tidak boleh ada kekuasaan tunggal dalam hierarki pemerintahan Kesultanan Siak. Dewan Menteri bersama dengan Sultan, menetapkan undang-undang serta peraturan bagi masyarakatnya.

Dewan menteri ini mirip dengan kedudukan dan fungsi "Basa Ampek Balai" di Kerajaan Pagaruyung.
Dewan menteri Kesultanan Siak terdiri dari:

1. Datuk Tanah Datar.
2. Datuk Limapuluh.
3. Datuk Pesisir.
4. Datuk Kampar.

Dari sinilah mulai ditetapkan untuk kembali kepada jati diri dan identitas semula sebelum dipaksa menjadi beridentitas "Melayu Riau" dalam paksaan dan tekanan Lanun Bugis. Dan dengan bersandar kepada Kesultanan Siak, mulailah mereka menyebut identitas jati diri mereka sebagai "ORANG SIAK", bukan lagi Orang Melayu Riau.
Betapa hebatnya Kesultanan Siak Sri Indrapura bukan rahasia lagi. Pengaruhnya meliputi hingga Sumatera Timur. Dari awal terbentuknya, dukungan penuh dari rakyatnya sendiri terhadap Raja Kecil yang berhasil membebaskan Riau Daratan dari penjajahan Johor Riau (Melayu Riau) telah memberi power yang luar biasa terhadap percepatan perkembangan Kesultanan Siak Sri Indrapura dan Negeri Siak.

Pada abad ke-18, Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir Timur Sumatra. Tahun 1780, Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut dalam pengawasannya, termasuk wilayah Deli dan Serdang. Di bawah ikatan perjanjian tidak saling menyerang dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak menyerang dan menundukkan Selangor setelah sebelumnya berhasil menundukkan pulau Penyengat dan pulau Bintan (pusat Melayu Riau).
Mulailah "Orang Siak" (Riau Daratan) berkuasa atas "Melayu Riau".

Maka tidaklah layak bila hari ini masih saja ada orang Riau Daratan (Orang Siak) yang merendahkan diri menggunakan identitas taklukannya (Melayu Riau).
Sejarah mencatat bahwa Kesultanan Siak Sri Indrapura, sebagai satu-satunya kerajaan maritim nusantara yang hingga kini masih meninggalkan bukti sejarah baik dari sisa-sisa peninggalan pusat kerajaan antara lain: Istana Siak Sri Indrapura yang masih berdiri kokoh hingga saat ini.

Dan sejarah mencatat Negeri Siak dan Kesultanan Siak Sri Indrapura adalah salah satu Negeri dan Kesultanan paling kaya dan paling makmur di nusantara.
Walaupun pada awal kemerdekaan RI 1946, kerajaan ini resmi berakhir itupun bukanlah dikarenakan “kebangkrutan” secara ekonomi ataupun karena serangan musuh. Berakhirnya kesultanan Siak Sri Indrapura dilakukan secara sukarela oleh Sultan XII sendiri tanpa suatu tekanan baik secara politik maupun militer. Penyerahan tahta dilakukan secara total selain mahkota kerajaan, bangunan istana, asset-asset kerajaan bahkan sultan juga menyumbangkan kekayaan berupa uang tunai sejumlah 13 juta gulden (setara 1 trilyun rupiah). Hal itu dilakukan karena sultan menyadari betul bahwa sistim pemerintahan di era kemerdekaan sudah dianggap tidak lagi relevan dengan semangat Kemerdekaan & NKRI.
Memang lucu jadinya jika hari ini masih saja ada orang Riau Daratan yang tetap merasa dan mengklaim diri sebagai orang Riau atau Melayu Riau. Mereka masih lebih nyaman dengan identitas sebagai "Orang Melayu Riau" ketimbang sebagai "Orang Siak".

Logikanya tidaklah layak bila hari ini masih saja ada orang Riau Daratan (Orang Siak) yang merendahkan diri menggunakan identitas taklukannya (Melayu Riau). Tapi biarkan sajalah. Mau bagaimana lagi.?

Mungkin mereka hari ini juga memakai kedua identitas itu bersamaan, yakni sebagai "Orang Siak" sekaligus sebagai "Orang Melayu Riau", walaupun secara administratif wilayah Melayu Riau telah memisah dan membentuk propinsi sendiri dengan nama yang dari awal memang miliknya sendiri yakni Propinsi Kepulauan Riau.
-
šŸ™
Salam damai.
-
-
Postingan terkait :
"ORANG KAMPAR".
Seputar polemik apakah identitas Orang Kampar itu adalah "Orang Minangkabau" ataukah "Orang Melayu".?

==========================
Catatan Kaki:
[1] 'Orang Siak' merupakan sebutan/gelar yang pada kebanyakan Negeri Melayu mengacu kepada orang yang faham agama, orang ini dapat sahaja bukan anak negeri (penduduk) dari Kesulthanan Siak. Atau di Jawa sama dengan golongan santri.

[2] Terkait lahirnya Kesultanan Siak, silahkan klik DISINI



Tentang Siak versi Belanda

Foto: Riaumagz*

Disalin dari kiriman FB Aal Piliang

Dalam sub unsur‐unsur penduduk Siak, van Anrooij memaparkan kondisi penduduk Siak pada saat itu yang terdiri atas berbagai bagian. Pembagian masyarakat terkait dengan daerah asal dan dengan posisi sosial. Status orang Minang cukup tinggi di Kerajaan Siak. Sebelum kedatangan Raja Kecil di Siak, ada banyak orang Minangkabau tinggal di sana. Para penghulu ini ada yang tinggal di Senapelan (kemudian disebut Pekanbaru). Banyak orang Johor yang bermukim di Siak setelah kerajaan ini diletakkan di bawah perlindungan raja Johor. Mereka lebih banyak bercampur dengan penduduk Siak daripada dengan orang Minangkabau, yang menduduki posisi khusus.
Kerajaan Siak dikuasai oleh Raja Kecil di Johor, terutama atas bantuan orang‐orang Minangkabau yang banyak tinggal di sana, dan dengan demikian wajar bila orang Minangkabau memiliki hak atas pampasan perang.[1] Tetapi mereka tidak memperoleh tanah. Tanah dikuasai penduduk yang telah menggarapnya sebelum kedatangan Raja Kecil. Raja Kecil tidak hanya percaya bahwa orang‐orang pedalaman yang tinggal di Siak tetap berada di bawah pimpinan mereka sendiri, yang terlepas dari kekuasaan raja tetapi para kepala adat ini bersama raja dianggap sebagai mewakili kekuasaan. Jika raja merupakan wujud dari kerajaan, mereka menjadi tiang kerajaan (sebagai tiang yang menopang bangunan kerajaan). Di luar kerajaan mereka tidak berarti apapun, tetapi sebaliknya kerajaan ini tidak bisa ada tanpa mereka.[2]

TAPUNG, KAMPAR, PROVINSI RIAU

 

Gambar: Wikipedia

Disalin dari kiriman FB Aal Piliang


TAPUNG
Di atas, telah disampaikan bahwa Tapung tidak bisa dianggap termasuk daerah Siak asli, tetapi mereka adalah taklukannya seperti juga disebutkan dalam traktat tahun 1858. Ikatan mereka dengan Siak lebih bersifat federatif daripada subordinatif, terutama dari situ terbukti bahwa mereka bukan hanya berada dalam posisi yang sama terhadap Siak tetapi juga Kota Intan. Sebelum ikatan dengan kerajaan Melayu terakhir ini terlepas sebagai akibat ekspedisi tahun 1876, masih ada konsep yang menunjukkan hubungan Tapung: "beraja ke Siak, bertuan ke Kota Intan."
Menurut konsep ini, raja Kota Intan di Tapung memiliki pengaruh yang lebih tinggi daripada Sultan Siak. Pada kenyataannya, kondisi ganda ini tidak begitu menyulitkan karena baik Kota Intan maupun Siak tidak menarik keuntungan dari Tapung. Ketika eksploitasi atas orang‐orang animisme mendatangkan keuntungan besar, raja Kota Intan bereaksi terhadap penolakan hak‐haknya. Ada keunikan bahwa kehadiran para pemimpin Tapung di keraton Kota Intan berbeda dengan mereka di Siak. "Ka‐ilir" (jadi di Siak) berarti menuju Tapung Kanan mengunjungi Bendahara Sikijang lebih dahulu dan "Terana" Lindai kemudian, dan di Tapung Kiri mengunjungi Bendahara Petapahan lebih dahulu dan Bendahara Tandun kemudian, sementara "ka‐ulu" (jadi di Kota Intan) terjadi sebaliknya.

Sejarah Laksamana Raja Di Laut

Ilustrasi: Twitter

Siapa Datuk Lasamana Raja Dilaut?

Disalin dari kiriman FBG Melayu Merindu

Laksamana merupakan gelar sekaligus titah dari Kerajaan Siak untuk menjaga di pesisir pantai Selat Malaka.
Konon Datuk/Encik Ibrahim disebut-sebut Datuk Laksamana Raja Di Laut I yang berkuasa pada tahun 1767 M-1807 M. Ada empat datuk yang memerintah di Bukit Batu, tiga penerusnya adalah Datuk Khamis, Datuk Abdullah Shaleh dan Datuk Ali Akbar. Mereka digelari Datuk Laksamana II sampai IV.
Rumah Datuk Laksamana Dilaut IV, Laksamana Ali Akbar terletak Di Desa Sukajadi, sekitar 35 kilometer dari Kota Sungai Pakning, Bengkalis - Riau. Rumah peninggalan Laksamanan berbentuk panggung. Sekilas terlihat seperti rumah adat/ rumah tradisi di Riau. Berbentuk panggung dengan motif-motif melayu dibeberapa ornamen bangunannya.

Banyak kisah-kisah mistis yang diungkapkan oleh warga setempat, terutama harimau jadi-jadian, buaya penunggu dan lain-lain. Ini terkait sumpah selama 100 tahun yang keramat. Nilai mistisnya menjadi penarik sekaligus faktor hambat bagi sebagian orang yang penasaran dengan makam Laksamana Raja Di Laut.

Sultan Siak Melarang Menjual Tanah



MAJALAH ABOEAN GOEROE-GOEROE (EDISI MARET-APRIL 1929) MEMAPARKAN KEBIJAKSANAAN ALMARHUM AS-SYED AL-SHARIFF AL-SULTAN KASSIM (II)

Artikel ini diiterbitkan di Majalah Aboean Goeroe-Goeroe, Edisi Maret-April 1929, Fort de Kock (sekarang dikenali sebagai Bukittinggi). Ia mengandungi pemerhatian dan pandangan terhadap ekonomi di dalam dan luar negara.

Di dalam edisi ini, kebijaksanaan Almarhum As-Syed Al-Shariff Al-Sultan Kassim (II) Abdul Jalil Saifuddin terserlah dalam menangani masalah tanah-tanah kerajaan yang tergadai.

Ismail Abdul Jalil Shah (1765-1781)

Ilustrasi gambar: Go Sumatera


Kerajaan Siak Seri Indrapura dibangun oleh Raja Kecik dari serpihan Kerajaan Johor-Riau. Figur populer, kontroversial dan pemberani di Siak yang mewarisi Raja Kecik, yakni Tengku Ismail. Dalam literatur Eropa, Tengku Ismail digambarkan sebagai perompak paling kejam yang pernah ada di Alam Melayu. Ia dilahirkan sekitar tahun 1745 di Buantan, Siak. merupakan putra dari Sultan Mahmud Abdul Jalil Shah, sultan kedua dari Kerajaan Siak Seri indrapura.
Walau sejarah awal berdirinya Kerajaan Siak Seri Indrapura bermula akibat terjadi perselisihan di kerajaan Johor-Riau, dimasa Sultan Mahmud Adbul Jalil Muzaffar Shah perselisihan dengan Raja Sulaiman dapat diatasi. Selama empat belas tahun Sultan Mahmud bersama Raja Sulaiman memimpin kerajaan kerajaan Siak-Johor ini sebagai satu kesatuan, kelanjutan kerajaan Johor-Riau dan tetap menjalankan tata cara pemerintahan yang sama.

Mahmud Abdul Jalil Muzaffar Shah (1746-1765)

Gambar: http://kesbangpol.riau.go.id


Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah memiliki dua orang putera. Putera pertama diberi nama Raja Alam merupakan anak dengan isteri yang dinikahi di daerah Musi Rawas Palembang. Perempuan tersebut adalah anak dari seorang Dipati Batu Kucing Palembang. Raja Alam lahir ketika Raja Kecik sedang melakukan perjalanan ke luar daerah ke negeri Palembang untuk mendapatkan dukungan dari orang Palembang untuk merebut tahta Johor sambil menimba ilmu dan pengetahuan.
Dalam perantauan itulah Raja Kecik memperoleh seorang anak laki-laki dan setelah menjadi Sultan, maka anak lelaki itu ikut bersamanya. Itulah sebabnya anak yang terlahir dari isteri pertamanya itu diberi nama dengan kata 'Raja' mengikuti namanya. Sedangkan Tengku Muhammad Mahmud adalah anak lelaki dari isterinya yang bernama Tengku Kamariah. Tengku Kamariah adalah salah seorang anak perempuan Sultan Abdul Jalil Riayat Shah IV yakni Sultan Johor ke -11. Itu pula sebabnya diberi nama dengan kata 'Tengku' karena cucu Sultan Johor. Mengenai kedua anak lelaki Raja Kecik tersebut, di dalam Syair Perang Siak secara jelas dituliskan mulai dari bait 70 hingga bait 81, diantaranya tertulis sebagai berikut :

Tengku Embung Badariah

Foto: FB Riff ben Dahl


Beliau merupakan putri dari Tengku Alamuddin Shah bin Sultan Sultan Abdul Jalil Rahmad Shah, Yang Dipertuan Besar Negeri Siak, hasil perkawinan beliau dengan Daeng Tijah binti Daeng Pirani.
Tengku Embung Badariah diperkirakan lahir pada tahun 1751 di Siantan, Kesultanan Sambas. Beliau menikah dengan Syed Osman Syahabuddin' Ali Ba' Alawi, Mufti Kesultanan Sambas. Konon mas kawinnya berupa sekeranjang/seraga mata lanun yang sering mengganggu jalur perdagangan Kerajaan Siak.
Perkawinannya dengan Syed Osman diperkirakan terjadi pada tahun 1771. Dalam silsilah Raja-raja Siak Sri Indrapura, Pelalawan dan Tebing Tinggi mencatat bahwa turunan Tengku Embung Badariah dengan suaminya Syed Osman inilah yang menurunkan Raja-raja Siak dan Pelalawan serta menjadi penguasa Tebing Tinggi. Keturunan ini pula yang namanya hampir lengkap ditulis oleh para pencatat nasab keturunan Kerajaan Siak Sri Indrapura.

Lahirnya Kesultanan Siak Sri Indra Pura

 

Pict: Republika



Trilogi Cinta dan Keikhlasan Sang Petualang Yang Berbuah Kemuliaan.

Kerajaan Johor di Semenanjung, pada suatu ketika telah terjadi kudeta berdarah.

Ayahanda Raja Kecik (Sultan Abdul Jalil Rachmad Syah) yaitu Sultan Mahmud Syah II dibunuh oleh Laksamana Megat Sri Rama sepulang Shalat Jum'at.

Megat Sri Rama tertipu oleh persekongkolan jahat antara Datuk Bendahara Tun Hebab dan Panglima Sri Bija Wangsa dengan kelompok lanun Bugis yang menfitnah Sultan Mahmud Syah II telah membunuh isteri Megat Sri Rama.
Sosok Megat Sri Rama dalam sejarah Melayu adalah seorang Laksamana yang tangguh. Selain amat mencintai isterinya, Wan Anom, Megat Sri Rama juga sangat mencintai tugas dan tanggung jawabnya.

Siak Sri Indrapura Darul Ridzuan

 


Siak Sri Indrapura Darul Ridzuan

( Ų³ŁŠŲ§Ł‚ سري Ų§ŁŠŁ†ŲÆŲ±Ų§Ś¤ŁˆŲ±Ų§ ŲÆŲ§Ų± الرّŲ¶ŁˆŲ§Ł†)

Konon nama Siak berasal dari nama sejenis tumbuh-tumbuhan yaitu siak-siak yang banyak terdapat di situ. Sebelum kerajaan Siak berdiri, negeri Siak berada dibawah kekuasaan Johor. Yang memerintah dan mengawasi daerah ini adalah raja yang ditunjuk dan di angkat oleh Sultan Johor. Daerah ini diawasi oleh Syahbandar yang ditunjuk oleh Sultan Johor untuk memungut cukai hasil hutan dan hasil laut.
Kerajaan Siak Sri Indrapura didirikan pada oleh Rajo Kecik yang bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah putera Raja Johor, Sultan Mahmud Syah II dengan istrinya Encik Pong, dengan pusat kerajaan berada di Buantan dan seterusnya kemudian Rajo Kecik pada 1723 mendirikan negeri baru di pinggir Sungai Buantan, anak Sungai Siak. Demikianlah awal berdirinya kerajaan Siak di Buantan. Namun Raja Siak tidak menetap di Buantan, dalam waktu yang lama daerah ini tidak ada yang memerintah secara langsung.

Abdul Jalil Shah IV (1699-1720)


Abdul Jalil Shah IV (1699-1720)

Kesultanan Johor lama yang terkadang juga disebut Kesultanan Johor-Riau, didirikan di paruh pertama abad ke-16 oleh sultan Melaka yang digulingkan, yang kemudian memerintah bersama dengan para ahli warisnya. Di antara kerajaan-kerajaan serta para penguasa Melayu, Johor merupakan salah satu dari kekuatan politik atau negara yang bersaing ketat untuk memantapkan perannya sebagai ahli waris Melaka; demikian pula ketika kawasan tersebut mulai dikuasai oleh kekuatan kolonial Eropa. Hinga akhir abad ke-16, penguasanya terkadang juga disebut “Kaisar dari Para Raja Melayu”.