Disalin dari kiriman
FB Aal PiliangDalam sub unsur‐unsur penduduk Siak, van Anrooij memaparkan kondisi penduduk Siak pada saat itu yang terdiri atas berbagai bagian. Pembagian masyarakat terkait dengan daerah asal dan dengan posisi sosial. Status orang Minang cukup tinggi di Kerajaan Siak. Sebelum kedatangan Raja Kecil di Siak, ada banyak orang Minangkabau tinggal di sana. Para penghulu ini ada yang tinggal di Senapelan (kemudian disebut Pekanbaru). Banyak orang Johor yang bermukim di Siak setelah kerajaan ini diletakkan di bawah perlindungan raja Johor. Mereka lebih banyak bercampur dengan penduduk Siak daripada dengan orang Minangkabau, yang menduduki posisi khusus.
Kerajaan Siak dikuasai oleh Raja Kecil di Johor, terutama atas bantuan orang‐orang Minangkabau yang banyak tinggal di sana, dan dengan demikian wajar bila orang Minangkabau memiliki hak atas pampasan perang.[1] Tetapi mereka tidak memperoleh tanah. Tanah dikuasai penduduk yang telah menggarapnya sebelum kedatangan Raja Kecil. Raja Kecil tidak hanya percaya bahwa orang‐orang pedalaman yang tinggal di Siak tetap berada di bawah pimpinan mereka sendiri, yang terlepas dari kekuasaan raja tetapi para kepala adat ini bersama raja dianggap sebagai mewakili kekuasaan. Jika raja merupakan wujud dari kerajaan, mereka menjadi tiang kerajaan (sebagai tiang yang menopang bangunan kerajaan). Di luar kerajaan mereka tidak berarti apapun, tetapi sebaliknya kerajaan ini tidak bisa ada tanpa mereka.[2] Van Anrooij juga menganalisis bahwa sekalipun kondisi warga keturunan Minangkabau di Siak lebih baik dari masyarakat lainnya, tetapi mereka bukan orang Siak. Para kepala adat sadar bahwa mereka bukan raja, namun hubungan para kepala adat dengan kawula mereka bersifat patriakal. Kawula mereka juga bukan hamba atau rakyat seperti yang dilakukan Sultan, melainkan anak buahnya. Sebaliknya raja Siak berasal dari daerah lain. Mereka tidak berasal dari kalangan penduduk setempat dan harus menaklukkannya. Kawula mereka bukan rekan sesama suku melainkan taklukkannya.[3] Jarak yang memisahkan raja Melayu dari kawulanya ini sebagai akibatnya di sini sangat besar, dan ini terjadi ketika Said menduduki tahta Siak. Penjelasan ini cukup memadai untuk menunjukkan bahwa di Siak ada dua kategori orang yang saling berbeda: kawula Sultan langsung dan warga keturunan Minangkabau atau anak empat suku.
Dinukil dari "Nota Omtrent het Rijk van Siak" oleh Hijsman van Anrooij pada 1885 M. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Wilaela, Nur Aisya Zulkifli, dan Khaidir Alimin dan diterbitkan oleh Asa Riau di Pekanbaru pada 2016 M dengan judul "Het Rijk van Siak".
*Dahulu terdapat kubah pada Istana Sulthan Siak
Baca juga:
- Trilogi Cinta dan Keikhlasan Sang Petualang yang berbuah Kemuliaan - Ihwal Pendirian Kesultanan Siak
- Siak Sri Indrapura Darul Ridzwan -
- Abdul Jalil Shah IV (1699-1720)
- Ismail Abdul Jalil Syah (1765-1781)
- Mahmud Abdul Jalil Muzafar Syah (1746-1765)
- Tengku Embung Badariah
- Sulthan Siak melarang menjual tanah
Catatan Kaki:
[1] Siak tidak dikuasai oleh Raja Kecil melainkan beliau didaulat (dibai'at) oleh rakyat sepanjang Sungai Siak dan negeri-negeri di Riau Daratan sekarang yang masa itu berkumpul di Bengkalis .sebagai raja yang terjadi pada tahun 1723. Raja Kecik menjadi raja pertama dengan gelar Sulthan Abdul Jalil Rahmat Shah dengan ibu negeri kerajaan di Buantan.
[2] Raja Kecil tatkala mula-mula mendirikan kerajaan menetapkan bahwa kekuasaan di kesultanan tidak boleh bersifat tunggal melainkan dibagi kepada majelis empat orang besar yang mengambil konsep Majelis Basa Ampek Balai yang di Negeri Sembilan disebut Undang Yang Empat. Karena dibesarkan di Pagaruyuang maka konsep pemerintahan Kesultanan Siak mengambil bentuk (model) seperti yang berlaku di Pagauyuang dimana Raja bukanlah orang yang dominan dan memiliki kekuasaan mutlak terhadap rakyat. Konsep kepemimpinan di Minangkabau ialah "didahulukan selangkah, ditinggikan serantin" dimana seorang pemimpin itu ada karena orang yang dipimpinnya. Ia didahulukan dan ditinggikan, bukan dia yang membesarkan diri.
[3] Tidak ada istilah 'menaklukan' dalam penyebaran orang dan kebudayaan Minangkabau. Menyebarnya kebudayaan dan orang Minang karena proses dari penyebaran penduduk dan pertalian keluarga dengan para pembesar di daerah Melayu lainnya. Raja Kecik tidak pernah menaklukan Siak melainkan ia didaulat (dinobatkan/dibai'at) oleh masyarakat Siak yang ketika itu berkumpul di Bengkalis. Demikian juga dengan orang Minangkabau yang ada disana bukan datang untuk menjajah, kedatangan mereka selain karena proses merantau, diantara mereka juga merupakan pengiring Raja Kecik semenjak dari Pagaruyuang.