MELAYU RIAU, dimanakah itu.?
Yang sebenar-benar Melayu Riau pada asalnya adalah wilayah Riau Kepulauan yg berpusat di Pulau Bintan. Nama Riau berasal dari sebutan orang Belanda yang menyebut Riouw, nama sungai Rio di pulau Bintan.
Jadi aslinya Melayu Riau adalah Kepulauan Riau yg berpusat di Pulau Bintan, yg sekarang sudah menjadi Propinsi Kepulauan Riau. Merekalah yang sejatinya disebut "Orang Riau" atau "Melayu Riau", bekas cakupan wilayah Kerajaan Johor Riau, dan lalu di jaman Kolonial Belanda menjadi "Residentie Riouw".
Bukan di daratan (Riau Daratan) yg saat ini masih bernama Propinsi Riau karena memang nama Riau tidak berakar di Riau Daratan. Sedang Riau Daratan yang sekarang hanyalah disebut wilayah Siak, dan mereka lazimnya disebut "Orang Siak", bukan Melayu Riau dan bukan Riau. Dan pada asalnya dan menurut sejarahnya orang Melayu Riau Kepulauan itu tidak pernah mengakui dan menganggap orang Riau Daratan sebagai Melayu Riau, melainkan hanya disebut "Orang Siak".[1]
Wilayah Riau Daratan hanya pernah menjadi jajahan Kesultanan Johor Riau. Dan memang Riau daratan masa itu menjadi jajahan Melayu Riau. Riau Daratan ini, penduduk asli tempatannya masa itu tidak pula dapat dikatakan asli sebagai orang Melayu model Melayu Riau Kepulauan atau beradat resam Melayu Riau, terutama Suku Sakai di sehiliran sungai Siak yang 100% bukanlah Melayu Riau. Mereka semua sebagai rakyat jajahan dari Kesultanan Johor Riau hanya dipaksa beridentitas Melayu Riau dan dipaksa beradat resam Melayu Riau.
Sejak jatuhnya Malaka ke tangan VOC, pusat Kesultanan Johor telah pindah ke Pulau Bintan, lalu mengasaskan "Kesultanan Johor Riou". Dan lalu setelah Lanun Bugis (Yang Dipertuan Muda) berkuasa, ditetapkan adat baru yg disebut dg "Adat Melayu Riou" dan kini populer disebut "Adat Resam Melayu Riau".
Nama Riou berasal dari nama Sungai Rio di pulau Bintan. Belakangan "Riou" ditulis "Riaw" dan lalu "Residentie Riouw" lalu kini disebut "Riau". Dan lalu Kesultanan Johor Riou ini mengklaim wilayah Riau Daratan sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya. Dan memang jika merujuk ke catatan Tome Pires yang ditulis antara tahun 1513-1515, maka wilayah Riau Daratan merupakan kawasan yang berada antara Arcat dan Indragiri sudah menjadi jajahan Malaka sebelum akhirnya Malaka ditaklukan oleh Portugal.
Dan Kesultanan Johor Riau ini guna memperkuat cengkeramannya terhadap wilayah Riau Daratan lalu memaksa rakyat Riau Daratan mengaku dan beridentitas sebagai "Melayu Riou" dan wajib "Beradat resam Melayu Riou". Sekalipun begitu, Melayu Riau (Johor Riau) yang dalam kekuasaan Lanun Bugis (Yang Dipertuan Muda) menganggap dan memperlakukan rakyat Riau Daratan tak lebih hanya sekelas bangsa jajahan dan budak bagi Melayu Riau.
Hal itu berlangsung hingga kedatangan Raja Kecil (Raja Kecik) yang kemudian mendirikan Kesultanan Siak dan berhasil membebaskan rakyat Riau Daratan dari penjajahan dan perbudakan Melayu Riau.[2]
Dalam Syair Perang Siak, disebutkan Raja Kecil didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis. Hal ini bertujuan untuk melepaskan wilayah Riau Daratan dari kekuasaan dan pengaruh Kesultanan Johor Riau / Melayu Riau yang menjajah dan memaksa rakyat Riau daratan agar mengaku sebagai Melayu Riau dan "Beradat Resam Melayu Riau" dan wajib tunduk kepada "Lanun Bugis" (Yang Dipertuan Muda) Melayu Riau.
Dalam prakteknya, "Lanun Bugis" (Yang Dipertuan Muda Melayu Riau) adalah penguasa sesungguhnya dan berkuasa menetapkan segala-galanya termasuk adat istiadat yang kini populer dengan sebutan "Adat Resam Melayu Riau". Sementara Sultan Johor Riau hanya berfungsi sebagai simbol semata. Bahkan ibaratnya hidup dan mati sang Sultan, nafas yang dihirupnya, ketersediaan makanan dan pakaiannya, dan sebagainya, tak ubahnya tergantung kemurahan hati dari "Lanun Bugis" (Yang Dipertuan Muda). Itulah "Melayu Riau" yang sebenarnya.
Dalam cakap orang Riau Daratan dulu (setelah terbentuknya Kesultanan Siak), maka "Adat Resam Melayu Riau" lebih sering diplesetkan dengan sebutan olok-olok "Adat Resam Lanun Bugis".
Jadi menurut sejarahnya bahkan orang-orang Riau Daratan pun dari awal sudah menolak masuk menjadi bagian dari Melayu Riau dan menolak beradat resam Melayu Riau. Dengan terbentuknya Kesultanan Siak maka semakin dipertegas pemisahan dan perbedaan antara Siak (Riau daratan) dengan Melayu Riau.
Sultan Siak yg tidak ingin berkuasa sendirian lebih mempertegas lagi perbedaan itu dengan membentuk sistem pemerintahan dan adat istiadat istana yang sama sekali berbeda dg Kesultanan Johor Riau (Melayu Riou).
Tidak pula ada posisi "Yang Dipertuan Muda" sebagaimana yang di Melayu Riau adalah hak dan hegomoni dari "Lanun Bugis", dimana Sultan Johor Riau hanya berfungsi sekedar simbol saja, sementara yang berkuasa atas segala sesuatunya termasuk mengangkat Sultan adalah "Lanun Bugis". Dan dalam prakteknya Sultan memang wajib tunduk kepada "Lanun Bugis".
Sultan Siak menetapkan bahwa setelah posisi Sultan hanya terdapat Dewan Menteri. Dewan Menteri ini memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengangkat Sultan Siak. Sama dengan "Undang Yang Ampat" di Negeri Sembilan, Malaysia.
Sultan Siak telah menetapkan bahwa tidak boleh ada kekuasaan tunggal dalam hierarki pemerintahan Kesultanan Siak. Dewan Menteri bersama dengan Sultan, menetapkan undang-undang serta peraturan bagi masyarakatnya.
Dewan menteri ini mirip dengan kedudukan dan fungsi "Basa Ampek Balai" di Kerajaan Pagaruyung.
Dewan menteri Kesultanan Siak terdiri dari:
1. Datuk Tanah Datar.
2. Datuk Limapuluh.
3. Datuk Pesisir.
4. Datuk Kampar.
Dari sinilah mulai ditetapkan untuk kembali kepada jati diri dan identitas semula sebelum dipaksa menjadi beridentitas "Melayu Riau" dalam paksaan dan tekanan Lanun Bugis. Dan dengan bersandar kepada Kesultanan Siak, mulailah mereka menyebut identitas jati diri mereka sebagai "ORANG SIAK", bukan lagi Orang Melayu Riau.
Betapa hebatnya Kesultanan Siak Sri Indrapura bukan rahasia lagi. Pengaruhnya meliputi hingga Sumatera Timur. Dari awal terbentuknya, dukungan penuh dari rakyatnya sendiri terhadap Raja Kecil yang berhasil membebaskan Riau Daratan dari penjajahan Johor Riau (Melayu Riau) telah memberi power yang luar biasa terhadap percepatan perkembangan Kesultanan Siak Sri Indrapura dan Negeri Siak.
Pada abad ke-18, Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir Timur Sumatra. Tahun 1780, Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut dalam pengawasannya, termasuk wilayah Deli dan Serdang. Di bawah ikatan perjanjian tidak saling menyerang dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak menyerang dan menundukkan Selangor setelah sebelumnya berhasil menundukkan pulau Penyengat dan pulau Bintan (pusat Melayu Riau).
Mulailah "Orang Siak" (Riau Daratan) berkuasa atas "Melayu Riau".
Maka tidaklah layak bila hari ini masih saja ada orang Riau Daratan (Orang Siak) yang merendahkan diri menggunakan identitas taklukannya (Melayu Riau).
Sejarah mencatat bahwa Kesultanan Siak Sri Indrapura, sebagai satu-satunya kerajaan maritim nusantara yang hingga kini masih meninggalkan bukti sejarah baik dari sisa-sisa peninggalan pusat kerajaan antara lain: Istana Siak Sri Indrapura yang masih berdiri kokoh hingga saat ini.
Dan sejarah mencatat Negeri Siak dan Kesultanan Siak Sri Indrapura adalah salah satu Negeri dan Kesultanan paling kaya dan paling makmur di nusantara.
Walaupun pada awal kemerdekaan RI 1946, kerajaan ini resmi berakhir itupun bukanlah dikarenakan “kebangkrutan” secara ekonomi ataupun karena serangan musuh. Berakhirnya kesultanan Siak Sri Indrapura dilakukan secara sukarela oleh Sultan XII sendiri tanpa suatu tekanan baik secara politik maupun militer. Penyerahan tahta dilakukan secara total selain mahkota kerajaan, bangunan istana, asset-asset kerajaan bahkan sultan juga menyumbangkan kekayaan berupa uang tunai sejumlah 13 juta gulden (setara 1 trilyun rupiah). Hal itu dilakukan karena sultan menyadari betul bahwa sistim pemerintahan di era kemerdekaan sudah dianggap tidak lagi relevan dengan semangat Kemerdekaan & NKRI.
Memang lucu jadinya jika hari ini masih saja ada orang Riau Daratan yang tetap merasa dan mengklaim diri sebagai orang Riau atau Melayu Riau. Mereka masih lebih nyaman dengan identitas sebagai "Orang Melayu Riau" ketimbang sebagai "Orang Siak".
Logikanya tidaklah layak bila hari ini masih saja ada orang Riau Daratan (Orang Siak) yang merendahkan diri menggunakan identitas taklukannya (Melayu Riau). Tapi biarkan sajalah. Mau bagaimana lagi.?
Mungkin mereka hari ini juga memakai kedua identitas itu bersamaan, yakni sebagai "Orang Siak" sekaligus sebagai "Orang Melayu Riau", walaupun secara administratif wilayah Melayu Riau telah memisah dan membentuk propinsi sendiri dengan nama yang dari awal memang miliknya sendiri yakni Propinsi Kepulauan Riau.
-
Salam damai.
-
-
Postingan terkait :
"ORANG KAMPAR".
Seputar polemik apakah identitas Orang Kampar itu adalah "Orang Minangkabau" ataukah "Orang Melayu".?
==========================
Catatan Kaki:
[1] 'Orang Siak' merupakan sebutan/gelar yang pada kebanyakan Negeri Melayu mengacu kepada orang yang faham agama, orang ini dapat sahaja bukan anak negeri (penduduk) dari Kesulthanan Siak. Atau di Jawa sama dengan golongan santri.
[2] Terkait lahirnya Kesultanan Siak, silahkan klik DISINI