Gambar: http://kesbangpol.riau.go.id |
Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah memiliki dua orang putera. Putera pertama diberi nama Raja Alam merupakan anak dengan isteri yang dinikahi di daerah Musi Rawas Palembang. Perempuan tersebut adalah anak dari seorang Dipati Batu Kucing Palembang. Raja Alam lahir ketika Raja Kecik sedang melakukan perjalanan ke luar daerah ke negeri Palembang untuk mendapatkan dukungan dari orang Palembang untuk merebut tahta Johor sambil menimba ilmu dan pengetahuan.
Dalam perantauan itulah Raja Kecik memperoleh seorang anak laki-laki dan setelah menjadi Sultan, maka anak lelaki itu ikut bersamanya. Itulah sebabnya anak yang terlahir dari isteri pertamanya itu diberi nama dengan kata 'Raja' mengikuti namanya. Sedangkan Tengku Muhammad Mahmud adalah anak lelaki dari isterinya yang bernama Tengku Kamariah. Tengku Kamariah adalah salah seorang anak perempuan Sultan Abdul Jalil Riayat Shah IV yakni Sultan Johor ke -11. Itu pula sebabnya diberi nama dengan kata 'Tengku' karena cucu Sultan Johor. Mengenai kedua anak lelaki Raja Kecik tersebut, di dalam Syair Perang Siak secara jelas dituliskan mulai dari bait 70 hingga bait 81, diantaranya tertulis sebagai berikut :
Itulah kisah usul mangindra
Bagindapun sudah berputera
Dua orang sama setara
Yang seteru tidak bertara
Sudah berdaulat paduka anakanda
Menaruh cemburu sama muda
Sangatlah suka paduka ayahanda
Serta dengan anom berida
Sukanya bukan sebarang-barang
Laksana bunga kembang dikarang
Melihatkan putera yang dua orang
Cahaya yang kelam menjadi terang
Apabila dicermati kandungan syair di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Raja Kecik lebih menyayangi anak lelaki yang kedua yakni anak yang lahir dari rahim Tengku Kamariah. Sebagaimana yang tertulis di dalam Hikayat Siak bahwa Tengku Kamariah ini adalah anak perempuan terkecil dari Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV yang dipinang oleh Raja Kecik. Adapun Tengku Mahmud dikenali pula dengan nama timang-timang baginda yaitu Tengku Buwang Asmara. Mengenai nama timang-timang tersebut tidak banyak diceritakan, akan tetapi jusru nama timang-timang itulah yang dikenal oleh masyarakat Siak sehingga kini.
Ketika terjadi penabalan Tengku Mahmud sebagai Tengku Mahkota Siak, Raja Alam sebagai putera tertua merasa tersinggung karena belum mendapatkan kepercayaan dari paduka Ayahanda Raja Kecik sehingga beliau meninggalkan negeri Siak dan pergi ke Palembang, Johor, Kalimantan, Siantan, dan hidup berlanglang buana (merayau) di Selat Malaka.
Selama pemerintahan Sultan Mahmud yang bermula dari tahun 1746 sampai tahun 1765, beliau banyak mendapat rintangan dan halangan terutama di bidang perdagangan dan penindasan kepada rakyatnya oleh kompeni Belanda yang berpusat di Melaka. Sedangkan di dalam negeri pada tahun 1748 terjadi pertikaian dengan Raja Alam sehingga terjadi perang saudara.
Sebagai pengganti Raja Kecik, Dewan Kerajaan atau dan Datuk 4 suku berdasarkan wasiat Raja Kecik melantik Raja Buwang dengan gelar Sultan Muhammad Mahmud Abdul Jalil Muzaffar Syah sebagai sultan kedua kerajaan Siak. Pelantikan Raja Buwang mendapat sokongan dari Raja Minangkabau. Sultan kedua ini nama kecilnya adalah Tengku Muhammad dan dikenal juga dengan Raja Buwang. Raja Buwang adalah anak Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah dari isteri yang bernama Tengku Kamariah
Sultan Mahmud dapat dikalahkan oleh Raja Alam, kemudian Sultan Mahmud undur ke Johor dan meminta bantuan pamannya Raja Sulaiman untuk menghalau Raja Alam dari Siak. Dengan persetujuan Raja Terengganu, Raja Sulaiman dengan angkatan perangnya dapat menyelesaikan masalah sengketa dua bersaudara ini. Dengan bantuan Raja Sulaiman dari Johor, Sultan Mahmud kembali menduduki tahta kerajaan Siak. Raja Sulaiman mengusir Daeng Kemboja beserta pengikutnya ke Selangor, kemudian memindahkan pusat kekuasaannya ke Bintan serta mengambil alih posisi Yang Dipertuan Muda Riau.
Sedangkan Raja Alam mengundurkan diri dan masuk hutan lalu pergi ke Minangkabau minta perlindungan, kemudian pergi ke Batu Bara. Merasa tidak aman di Batu Bara beliau pergi pula ke Siantan di lautan Cina Selatan. Di situ Raja Alam kembali menjadi perampok lanun dan merampok kapal-kapal kompeni yang melintas di Laut Cina Selatan. Kompeni Belanda yang berpusat di Batavia dan Melaka membuat peraturan sewenang-wenang terhadap kawasan kerajaan Johor dan kerajaan Siak.
Siak adalah pusat perdagangan yang sangat strategis jika dibandingkan dengan tempat yang lainnya, yang mendatangkan barang-barang dagangan dari jantung pulau Sumatera, seperti emas, timah, lada dan hasil hutan lainnya yang dapat membuat Melaka menjadi terkemuka, karena terletak lurus dan hanya satu hari pelayaran dari sungai Siak ke Melaka.25 Semua kapal-kapal asing yang datang dari barat tidak dibenarkan berdagang candu, timah dan lada termasuk pula pedagang dari benggala. Kalau kapal-kapal tersebut tiba di Melaka harus diperiksa dengan teliti dan tidak diizinkan berlayar ke sebelah timur Melaka termasuk ke negeri Siak. Sedangkan yang dibenarkan masuk ke Siak adalah hanya penduduk Melaka dengan mendapat izin dari Kompeni Belanda bebas berlayar berniaga ke Siak.
Dengan demikian semua pedagang dari Jawa, Makasar, Siam, Cina dengan alasan apapun tidak dibolehkan masuk ke Siak. Ketentuan dan peraturan yang dibuat kompeni Belanda menimbulkan rasa tidak puas dari penduduk Siak. Jika mereka tidak dapat berniaga dan berlayar, satu-satunya jalan terbuka bagi mereka hanyalah melakukan kekerasan dengan melakukan perampokan kepada kapal-kapal kompeni dan pedagang-pedagang yang lewat di Selat Melaka.
Hal yang demikian itu membuat Sultan Muhammad marah dan ikut mendukung kegiatan tersebut dengan mempersiapkan kekuatan dan mempergunakan siasat dan taktik strategi beliau yakni mengerahkan angkatan perangnya guna menghadang kapal kompeni dan pedagang-pedagang Siam dan Cina di Selat Melaka. Barang-barang dagangan dipindahkan ke kapal mereka, bahkan kapal yang dirampok itu anak buahnya dibunuh dan kapal pun diseret dibawa masuk ke dalam sungai Siak.
Kejadian seperti ini sering terjadi sehingga kompeni Belanda melaporkan kepada pemerintahnya yang tertinggi di Batavia yang tidak dapat berbuat banyak, karena hal ini terjadi di mana-mana di sepanjang Selat Melaka dan laut cina Selatan secara serentak melakukan penghadangan kepada kompeni Belanda oleh askar Raja Alam bersama dengan orang Bugis anak buah Daeng Kemboja.
Pusat pemerintahan Belanda di Batavia membuat surat kepada Kompeni Belanda di Melaka pada tanggal 15 Oktober 1758 yang isinya bahwa Pos Belanda di Pulau Guntung ditunda penghapusannya. Hal ini bagi Sultan Muhammad Mahmud tidak ada masalah dan tidak dirisaukannya karena pada suatu saat Pos Kompeni di Pulau Guntung akan dihancurkan oleh Sultan Muhammad Mahmud. Selanjutnya Gubernur Belanda di Melaka menyampaikan surat kepada kompeni Belanda bahwa masalah larangan berniaga ke negeri Siak tidak perlu dilakukan akan tetapi anjuran ini tidak diperhatikan oleh komandan kompeni Belanda yang bernama Hansen.
Peristiwa perampokan ini sangat merisaukan para petinggi Belanda di Batavia maupun Melaka sehingga Gubernur Belanda di Melaka membuat surat peringatan agar supaya Sultan Mahmud dapat menghentikan kegiatannya sebagai perampok di selat Melaka. Kalau Sultan tidak memperdulikan peringatan tersebut, maka wilayah kekuasaannya dikurangi. Tetapi Gubernur Belanda tidak dapat berbuat apa-apa malah tidak memberi pertimbangan.
Jika usaha ini gagal, Raja Terengganu yang pada saat itu memegang pemerintahan di Pahang akan membicarakannya bersama kompeni Belanda dan mengatakan bahwa Raja Alam telah mengaku setia pada Johor. Raja Alam mempunyai kecakapan sehingga dapat digunakan sebagai alat tangguh untuk menghukum Sultan Mahmud dari Siak yang dianggap tidak berterima kasih dan terang-terangan melakukan kejahatan dan kepalsuannya. Dipihak lain, Pemerintah Tinggi Belanda di Batavia berusaha dengan daya upaya bagaimana caranya untuk melumpuhkan kekuatan Sultan Muhammad yakni, dengan cara mengundang Raja Alam ke Melaka pada tanggal 21 Desember 1759 membujuk Raja Alam untuk dapat membantu kompeni menyerang Sultan Mahmud.
Sultan Mahmud semakin keras hatinya bagaikan baja. Memang tidak salah pilih ayahandanya menjadikan Sultan Muhammad sebagai gantinya dan memberikan kehormatan kepadanya untuk memimpin Kerajaan Siak. Beliau teruskan perjuangan ayahandanya Raja Kecik untuk memberi kemakmuran kepada rakyatnya.
Pada bulan Juli 1759 pemerintah Belanda di Melaka mengurangi tentaranya di pulau Guntung, dari 36 orang dikurangi menjadi 29 orang, semuanya orang Eropa Belanda. Hal ini tidak disadari oleh Belanda kekuatan sebanyak itu di Pulau Guntung tidak mampu menghadang kekuatan Sultan Muhammad Mahmud karena Sultan Muhammad mempunyai kekuatan angkatan perang yang tangguh dan setia kepadanya, terus mengadakan kekacauan dan menghancurkan kapal-kapal Kompeni di Selat Melaka dan selat-selat sekitar pulau Bengkalis, selat Pulau Padang dan lain-lainnya.
Kemudian hal ini akhirnya disadari juga oleh kompeni Belanda lalu pada bulan Oktober 1759 dikirim tentara sebanyak 29 orang yang terdiri dari orang-orang Belanda ke pulau Guntung. Selain tentara disertakan pula penambahan persenjataan yang canggih semasa itu, yakni sebanyak 19 meriam yang terdiri dari 16 buah berukuran dua belas pon, 3 draabas dan satu mortir. Tembok benteng di pulau Guntung dibuat tebal yakni setebal empat dan lima kaki, di sekeliling benteng diletakkan meriam sejauh jarak tembak meriam satu pon. Di sekitar benteng, semua pohon ditebang demikian pula semak-semak ditebas dan diterangi supaya orang Melayu tidak dapat merayap di sekitar Benteng itu.
Kekuatan tentara Belanda di Benteng pulau Guntung itu sebanyak 55 orang, diantaranya empat orang bumiputera. Persiapan perbekalan untuk tentaranya cukup banyak seperti amunisi dan persediaan makanan. Di pelabuhan benteng pulau Guntung dipersiapkan sebuah kapal yang berjenis Tanjungpura bernama “Pera” dengan lima orang Belanda dan dua orang bumiputera, sebuah kapal swasta yang disewa, Pencalang de Vier Winden dengan tiga orang Belanda dan tujuh orang bumiputera.
Persiapan Belanda sangat rapi di pulau Guntung guna menghadang kapal-kapal dan para penjajab Sultan Mahmud yang keluar masuk ke sungai Siak. Melihat hal yang demikian itu Sultan Mahmud tidak berani melakukan serangan secara terbuka atau membabi buta. Beliau mempersiapkan suatu siasat dan tipu muslihat dengan berpura-pura berbaik hati dengan Tuan Vandrig Hansen sebagai pimpinan serdadu Belanda di benteng pulau Guntung itu.
Pada pagi hari tanggal 6 Nopember 1759 armada Sultan Mahmud terdiri 40 buah penjajab besar, satu kits dan calup memasuki sungai Siak. Sultan Mahmud memerintahkan seorang imam berketurunan Arab menghadap komandan benteng Pulau Guntung Tuan Vandrig Hansen untuk menyampaikan pesan Sultan Mahmud bahwa sultan ingin berbaik dan berdamai. Selain itu disampaikan pula bahwa Sultan Muhammad Mahmud membawa isterinya karena ianya baru saja berkawin dengan puteri Sultan Johor dan akan memasuki sungai Siak. Hal ini adalah tipu muslihat Sultan Mahmud supaya komandan Vandrig Hansen yakin dan percaya.
Sultan Mahmud Menyampaikan salam hormatnya dan beliau berjanji serta menjamin dan merasa terikat dengan kompeni. Untuk menunjukkan keterikatannya maka ia menghadiahkan dua tong arak, lima karung beras, empat karung kacang dan dua bal kain Jawa. Oleh karena itu, mohon sudi kiranya Tuan Komandan dapat memberi izin kepada Sultan Muhammad untuk masuk ke dalam benteng. Sebenarnya anak buah Vandrig agak curiga tetapi Vandrig tidak mau mendengar saran anak buahnya sehingga Vandrig memberikan izin kepada Sultan Muhammad Mahmud masuk ke dalam Benten.
Pada tanggal 6 Nopember 1759 sekitar jam 10 pagi ketika matahari pagi sedang bersinar, Sultan Muhammad Mahmud melangkah menuju benteng pulau Guntung dengan membawa anak buahnya yang terpilih sebanyak 80 orang, membawa barang-barang persembahan untuk diberikan kepada Tuan Vandrig Hansen komandan benteng Belanda di Pulau Guntung tersebut. Barang persembahan itu diarak diletakkan di dalam peti dan sebagian di dalam dulang berkaki dan ditutup dengan tudung saji yang berlapis kain sutera berwarna warni. Peti-peti dipikul juga ditutup dengan kain sutera berwarna indah lalu dibawa oleh orang-orang Sultan Mahmud. Peti-peti tersebut di dalamnya bukanlah hadiah yang dijanjikan, tetapi senjata keris-keris dan sondang.
Sewaktu Sultan Mahmud masuk ke dalam benteng, rombongan disambut dengan tujuh kali tembakan meriam. Vandrig Hansen sama sekali tidak mempersiapkan kesiagaan anak buahnya selain hanya 5 orang anak buah mengawal Vandrig bersenjata lengkap. Dia sangat yakin bahwa Sultan Muhammad Mahmud ingin bersahabat dengannya. Sultan Muhammad diterima di tingkat atas tempat duduk komandan dan disanalah dia menyerahkan hadiah yang dibalut dengan kain putih, untuk kehormatan itu dilepaskan pula tembakan meriam sebanyak lima kali.
Panglima-panglima yang bijak dan tangkas sebanyak 50 orang dari Sultan Muhammad diberi izin masuk yang berada di pintu gerbang benteng tertutup. Begitu masuk mereka menyembah dan sujud di kaki Sultan Muhammad sambil bersabda” Kabar apa yang dibawa” dan dengan cepat sebagai pendekar terlatih, mereka menghunus kerisnya menghunjam ke lambung komandan Vandrig Hansen dan kepada pengawal komandan tersebut sehingga Vandrig terbunuh demikian pula pengawal yang menjaganya.
Pasukan 80 hulubalang dan 50 panglima mengamuk dan membunuh semua laskar kompeni Belanda di benteng pulau Guntung itu, kecuali dua orang Eropa, seorang portugis dari Melaka dan seorang kelasi orang bumiputera. Semuanya tidak lepas dari amukan hulubalang dan para panglima Sultan Muhammad. Banyak korban dari pihak serdadu kompeni, semua perlengkapan dan alat perang seperti senjata dan amunisi dibawa oleh anak buah Sultan Mahmud. Semua kapal-kapal dirampas termasuk penjajab dan pencalang yang ada di pelabuhan Guntung diangkut ke kota Mempura pusat pemerintahan Kerajaan Siak.
Armada Sultan Muhammad semakin besar dan kuat sebanyak 50 buah kapal dan 30 buah dikirim ke Selat Melaka untuk menghancurkan kapal Cina dan Siam yang bersekutu dengan kompeni Belanda dan merampas barang-barang dagangannya. Ketiga orang yang tertangkap, dibiarkan hidup dengan syarat ia harus masuk agama Islam. Yang tewas dalam amukan panglima dan hulubalang Sultan Mahmud itu antara lain serdadu kompeni berjumlah 52 orang, anak buah kapal berjumlah 6 orang , anak buah kapal swasta berjumlah tujuh orang, jadi semuanya berjumlah 65 orang. Dari jumlah 72 orang hanya 3 orang dari kapal swasta yang dapat menyingkir dan mereka inilah yang melaporkan berita peristiwa amukan Sultan Mahmud di benteng Pulau Guntung tanggal 6 Nopember tahun 1759.
Menurut sejarah Bugis, Panglima yang membunuh Komandan Kompeni Belanda di Benteng pulau Guntung itu bernama Said Umar, menantu Sultan Mahmud dan keris yang digunakan bernama Jambu Awan. Di Kerajaan Siak pada masa pemerintahan Sultan Mahmud ada tiga bentuk keris yang ternama yaitu keris Sepukal, keris Tuasik, Tilam Upih. Keris Tilam Upih tidak diperbolehkan dipakai lagi oleh hulubalang Sultan Muhammad karena sewaktu dipakai di pulau Guntung keris tersebut tidak mampu membunuh musuh dengan cepat, sebab keris itu mempunyai racun dan sifatnya lentur, kalau kena keris Tilam Upih ini racun menjalar ke tubuh sedangkan si penderita lambat matinya.
Pada tanggal 7 Desember 1759 datang surat dari petinggi Belanda di Melaka mengatakan kekecewaannya atas kejadian penyerangan Sultan Mahmud ke Benteng pulau Guntung yang terletak di Wilayah kekuasaan kerajaan Siak. Ini terjadi adalah kesalahan besar yang diperbuat oleh komandan Vandrig Hansen dan dialah yang bertanggung jawab atas pembantaian dan kericuhan yang terjadi. Sudah berulang kali diperingatkan kepada mereka jangan memandang ringan kepada orang Melayu, harus waspada dan teliti membaca situasi karena orang melayu itu lunak dan berhati keras dan memberontak apabila dia disakiti dan dihina.
Dipihak lain, Daeng Kamboja di Johor ingin menjalin persahabatan untuk memerang kompeni (V.O.C) di selat Melaka dikarenakan kebenciannya yang sangat mendalam. Dari pada bermusuh dengan iparnya Raja Alam lebih baik membantu kemenakannya Raja Haji. Daeng Kamboja mengirim kapal-kapalnya dalam usaha membuat perdamaian dengan Raja Sulaiman yakni antara melayu dengan Bugis. Dengan demikian Johor akan kembali kebesarannya.
Raja Terengganu telah membersihkan pengaruh Bugis dari Riau dan telah dapat memulihkan supremasi Melayu, dan membuat ikatan baru antara Melayu dengan Bugis yang tidak merugikan pihak Melayu. Sementara Raja Sulaiman sudah uzur dan sakit-sakitan sehingga tidak mampu memimpin kerajaan Riau Lingga dan tidak dapat mengurus kepentingan rakyatnya, maka beliau memberikan maaf kepada Bugis. Oleh sebab itu Daeng Kemboja dapat duduk kembali dalam pemerintahan sebagai Yang Dipertuan Muda Riau.
Berbaiknya Raja Sulaiman dengan Daeng Kamboja sangat menguntungkan VOC. Daeng Kemboja menyatakan bahwa dia tidak ikut campur dalam sengketa antara kompeni Belanda dengan Sultan Mahmud Siak. Kompeni Belanda di Melaka meminta Daeng Kemboja membantu kompeni mengendalikan Sultan Mahmud, tetapi permintaan kompeni ditolak oleh Daeng Kemboja dengan alasan tidak mempunyai dana.
Raja Sulaiman mangkat pada tanggal 29 Agustus 1760, beliau dimakamkan di sungai Baru, dekat cabang sungai Batangan, maka disebut 'Marhum Mangkat di Batangan'. Dengan mangkatnya Raja Sulaiman, Daeng Kamboja melangkah lebih jauh dan membuat beberapa masalah yang sengaja merendahkan Raja keturunan Melayu. Beliau mengangkat putera almarhum Raja di Baruh dan dinobatkannya menjadi Sultan Johor-Riau-Lingga-Pahang dengan gelar Sultan Ahmad Riayat Syah, Sultan Ahmad pada waktu itu baru berusia 8 tahun, tidak mendapat asuhan dari ibunya Tengku Putih, karena meninggal seminggu setelah ayahanda Tengku Besar mangkat karena diracun. Sedangkan di kerajaan Riau Lingga, Daeng Kamboja mengangkat kemanakannya Raja Haji sebagai Yang Dipertuan Muda dengan gelar Raja Kelana. Tidak lama setelah itu Sultan Ahmad mangkat akibat kena racun juga.
Pada Tahun 1761 Tengku Ismail menyerang Bintan. Beliau mengambil alih Yang Dipertuan Muda Riau Daerah yang menjadi tujuan berikutnya adalah adalah Siantan yang merupakan gugusan Pulau Tujuh. Gugusan pulau-pulau di Laut Cina Selatan, dikenal dengan sebutan Pulau Tujuh merupakan satu kesatuan. Untuk mempertahankan kendali de facto atas kesultanan Johor, Daeng Kemboja melarikan cucu Raja Sulaiman yakni Mahmud Ri'ayat Shah yang masih berusia 1 tahun kemudian mengangkatnya sebagai Sultan Johor. Semenjak itu Daeng Kamboja bebas leluasa memerintah di Wilayah kerajaan Johor-Pahang.
Menurut catatan pemerintah Belanda di Batavia menceritakan bahwa pemerintah Belanda di Melaka Gubernur Jendral dan Dewan Hindia sudah mempersiapkan angkatan perangnya untuk menuntut balas kepada kerajaan Siak yang dipimpin oleh Sultan Mahmud yang dikenal nama kecilnya Tengku Buwang Asmara putra Raja Kecik, atas penghinaan dan pembunuhan secara masal terhadap tentara Belanda di pulau Guntung. Belanda menghasut Raja Alam sahabat barunya untuk ditempatkan ke atas tahta kerajaan Siak sebagai pengganti Sultan Mahmud. Dan sebelum kabar itu dicanangkan terlebih dahulu dibuat perjanjian antara Belanda dengan Raja Alam pada tanggal 16 Januari 1761 yang berbunyi antara lain:
Raja Alam (Tengku Alam) menyerah kepada kompeni Belanda dan berjanji bersahabat dengan Johor serta permusuhan dengan Raja Alam dihentikan untuk selama-lamanya. Dengan bantuan kompeni, Siak dapat direbut dan Raja Alam menyerahkan kembali benda-benda yang dirampas oleh Sultan Mahmud beserta semua hutangnya kepada kompeni Belanda. Kompeni Belanda segara menduduki pulau Guntung kembali dan berhak mendirikan benteng di manapun di wilayah kerajaan Siak dan bebas melayari sungai-sungai. Kompeni Belanda bebas cukai. Raja Alam boleh memungut cukai dari pihak lain sebesar 2.1/5 % bagi barang keluar dan masuk. Pimpinan –pimpinan kelompok pembunuh harus diserahkan kepada kompeni. Sahabat kompeni adalah sahabat Raja Alam. Musuhnya juga musuh Raja Alam, karena itu harus bersama dalam memberantas perampokan di Selat Melaka.
Raja Alam meminta kepada kompeni Belanda supaya dapat diberi keampunan kepada anaknya Muhammad Ali dan Muhammad Ali menyerahkan diri serta dapat menyerahkan pimpinan pembunuhan orang-orang kompeni Belanda pada masa perang di pulau Guntung. Banyak perjanjian kompeni yang dibuat untuk menanamkan kekuasaan dan penjajahannya di kerajaan Siak. Ini semua disetujui oleh Raja Alam, yang penting maksud dan tujuannya dapat tercapai untuk duduk di tahta kerajaan Siak. Beliau ingin membangun negeri yang telah dibina dan dibangun oleh ayahandanya. Dan akan terus melanjutkan perjuangan adiknya Sultan Mahmud.
Raja Alam dengan Sultan Mahmud, ibarat ait dicencang tidak akan putus dan ayahandanya berpesan jangan berperang dengan saudara karena sangatlah besar balanya. Pengiriman ekspedisi pertama ke Siak pada tanggal 21 Januari 1761 dengan empat buah kapal brigantin, satu pencalang bernama Draak, De Vrijheid, De Buls dan De Paari d amour yang dipimpin oleh Letnan Lc Buis dan Jurumudi Utama Jacob Wiek. Selain itu ditambah anak kapal dan 89 orang serdadu Belanda, 91 orang serdadu orang Bugis semuanya bergabung dengan kekuatan Raja Alam. Dalam ekspedisi tersebut diharapkan tidak terjadi peperangan dan tidak pula bertentangan dengan janji yang di buat. Kalau tidak didapati damai barulah diambil kekerasan senjata.
Tanggal 25 Januari 1761 ekspedisi pertama kompeni Belanda dengan Raja Alam sampai di kuala Siak dan berlabuh di pulau Guntung. Mereka tidak melihat pasukan dari Siak sehingga pasukan kompeni naik ke darat pulau Guntung. Di sana mereka melihat sisa-sisa peperangan pasukan Sultan Mahmud dengan serdadu Belanda. Sisa pertempuran itu terlihat dengan banyaknya tengkorak dan tulang-tulang manusia yang bergelimpangan dan berserakan di bumi pulau Guntung.
Raja Alam berusaha menghubungi Sultan Mahmud dan puteranya Tengku Muhammad Ali untuk berdamai atau kalau tidak mau bergabung pergilah meninggalkan Siak atau kembali ke Batu Bara. Permintaan Raja Alam tidak mendapat tanggapan dari Sultan Mahmud dan Muhammad Ali. Namun pada petang hari tanggal 7 April 1761 terjadi perang terbuka antara pasukan Sultan Mahmud dengan lima belas kapalnya yang bertemu dengan kapal patroli Belanda yang bernama 'Zeepaard' dan 'de Buis'. Kedua kapal ini mendapat tembakan dari pasukan Sultan Mahmud. Terjadi pertempuran selama satu jam setengah, karena arus air sungai Siak kuat maka kedua belah pihak mundur. Waktu perang terbuka tersebut kapal Belanda yang bernama Zeepaard kena tembakan 5 kali sehingga depan kapalnya rusak dan tiang layarnya hancur.
Pertempuran pasukan Sultan Mahmud dengan kompeni Belanda terus menerus berlangsung siang dan malam, korban banyak berjatuhan baik dari pihak Belanda maupun dari pihak Sultan Mahmud. Kapal Belanda yang berlabuh di sungai Siak diserang dengan mempergunakan raket-raket yang dibakar dan dihanyutkan kepada kapal-kapal belanda. Di sungai Siak dibentangkan rotan-rotan besar untuk menghalangi kapal Belanda masuk dan di samping itu balok-balok kayu dilintangkan di sungai Siak sehingga kapal Belanda tidak dapat berbuat apa-apa dan sangat kewalahan menghadapi jebakan-jebakan hulubalang Sultan Mahmud.
Peperangan dan perselisihan antara Sultan Mahmud dengan kompeni Belanda tidak dapat didamaikan karena Belanda sangat ambisi membelas dendam tentang kejadian di pulau Guntung. Sultan Mahmud yang dibantu oleh anak saudaranya Tengku Muhammad Ali (Putra Raja Alam) sebagai panglima perang dan putra Sultan Muhammad Tengku Ismail dan panglima-panglima yang gagah berani menentang kompeni Belanda ini, yang berlangsung sepanjang hari, sepanjang bulan dan tahun sampai mangkatnya Sultan Muhammad pada tahun 1765.
Masa pemerintahan Sultan kedua ini bermula dari tahun 1746 sampai tahun 1765. Selama 19 tahun ianya memimpin kerajaan namun tidak banyak meninggalkan bukti-bukti peninggalan yang dapat disaksikan sekarang seperti mesjid, istana dan lain-lainnya. Hanya saja pada tahun 1750 Sultan Mahmud (Tengku Buwang Asmara) gelar Sultan Mahmud Abdul Jalil Muzaffar Syah, Sultan kedua ini memindahkan pusat pemerintahan kerajaan dari Buantan ke negeri Mempura yang terletak di dalam sungai Mempura anak sungai Siak
Pindahnya pusat pemerintahan kerajaan Siak dari dari Buantan ke Mempura adalah untuk membuat pertahanan dari serangan kompeni Belanda yang semakin gencar. Di dalam Syair Perang Siak tertulis pada bait 123-132 antara lain berbunyi :
Ada kepada suatu hari Lalu bertitah raja bestari
Mengampungkan orang isi negeri Serta hulubalang wazir menteri
Datang menghadap sekaliannya rata
Lalu bertitah Duli Mahkota
Apa bicara sekarang kita
Cari mufakat pulak serta
Mufakat dicari dengan bicara
Sebab terkenang akan saudara
Lalu bertitah Sri Betara
Kita hendak menyusup Mempura
Tidak tersebut kisah dan peri
Perkenan baginda membuat negeri
Di Bandar yang bahari
Zaman ini sukar dicahari
Kerajaan baginda di Indrapura
Yang seteru tidak bertara
Wartanya masyhur tidak terkira
Melaka hendak dikira-kira
Setelah pemerintahan kerajaan dipusatkan di Mempura; maka selanjutnya pertahanan kerajaan semakin diperkuat dengan angkatan laut yang memadai dan dilengkapi dengan meriam. Kubu-kubu pertahanan ditumbuhkan dan dipimpin oleh panglima handalan. Armada angkatan laut dilengkapi dengan kapal perang, baik kapal besar semacam kapal induk maupun kapal-kapal kecil yang mengelilingi kapal induk. Diantara nama-nama kapal perang itu adalah Harimau Buas, Jembalang Guntung dan medan sabar. Di dalam Syair Raja Siak 32 secara jelas disebutkan nama-nama serta perlengkapan yang digunakan pada masing-masing kapal. Sebagai kerajaan yang awal berdirinya bermula dari pemisahan diri akibat terjadi perselisihan dengan saudara di Johor, maka kerajaan int tetap menjalankan tata cara pemerintahan kerajaan Johor.
Setelah Sembilan belas tahun memimpin kerajaan Siak, maka pada tahun 1765 Sultan Mahmud juga dikenal Tengku Buwang Asmara dengan gelar Sultan Abdul Jalil Muzaffar Syah Sultan kerajaan Siak kedua ini mangkat dan dimakamkan di kota Mempura di pusat pemerintahannya dan digelar Marhum Mempura.
Bacaan :
Syair Perang Siak telah dianalisis oleh Donald J. Goudie dan diterbitkan oleh The Malaysian Branch of the Royal Asiatic Society pada tahun 1996.
Disalin dari kiriman FB: Riff ben Dahl