Foto: potretnews |
Disalin dari kiriman FB Aal Piliang
Bahwa pada permulaan abad ke-18, perdagangan dari hulu Siak mulai berkumpul di pasar penting di Pekanbaru (Senapelan). Bahwa ibu kota secara bertahap digeser oleh penguasa berturut-turut setelah Raja Kecil. Putra dan penerus Raja Kecil itu, Raja Mahmud (1746-1760) memindahkan ibukota dari Buantan (Siak Sri Inderapura), beberapa mil hingga Mempawa. Saudara dan penggantinya, Raja Alam (1761-1779), akhirnya memindahkan ke Senapelan yang melalui inisiatif penguasa baru tempat tersebut diperluas, yang kemudian berganti nama menjadi Pekan Baru. Ini mengendalikan rute ke Patapahan, di mana melalui Sungai Tapung Kiri dapat dilayari semua jalan ke pedalaman, hingga sejauh Payakumbuh. Selain itu, dengan perluasan budidaya gambir di Minangkabau pada paruh kedua abad ke-18, Pekan Baru memperoleh akses ke perdagangan makmur yang berpusat di Patapahan.
Ibu kota baru ini juga strategis dalam kaitannya dengan Kampar, dan memungkinkan digunakan juga oleh Pelalawan ke pintu Siak yang diberikan oleh Said Abdul al Rahman, putra sekutu penguasa yang berpengaruh, Assayidi Syarif Osman Syahabuddin, umumnya dikenal sebagai Said Osman. Dia bertindak sebagai wakil penguasa, menyandang predikat bandar, yang kemudian diteruskan ke anaknya, Raja Hashim.
Pada periode Said Ali (1791-1821), Siak memiliki kekayaan yang cukup besar, akan tetapi berasal dari perdagangan yang berpusat di Pekan Baru. Untuk mendukung kerajaan, keuntungan dari perdagangan ini meletakkan dasar bagi “komunitas sejahtera” dari pedagang Arab yang terlibat dalam berkembang pesatnya perdagangan Siak dengan Singapura dan Penang. Perdagangan Arab berada pada tingkatan besar, tergantung pada jaringan komersial Minangkabau yang menghubungkan rantai mereka dari diaspora di sepanjang sistem sungai utama. Dari Patapahan, pantai bisa dicapai dalam 8 hari dan lebih lanjut selama 3 hari melalui laut menuju Pulau Pinang. Pengusaha Minangkabau, dibantu oleh ratusan pedlars, mengambil keuntungan dari perluasan gambir dan kopi di pedalaman, untuk terlibat dalam perdagangan bulking dan pertukaran barang untuk impor dari Selat, terutama garam, kain, dan opium.
Satu realita, bahwa ramainya perdagangan telah mendorong pendirian pemukiman Minangkabau di Siak.
Pada awal abad ke-19, jumlah mereka di Siak diperkirakan sekitar 10.000 jiwa dari total populasi 17.000, bahkan Hijman van Anrooij mengatakan bahwa sebelum didirikannya kerajaan Siak oleh Raja Kecil, telah banyak orang Minangkabau bermukim di Siak, bahkan sangat banyak. Harmonisasi kegiatan Hulu-hilir di Siak, berbeda dengan subordinasi entitas hulu untuk otoritas politik Hilir di Palembang dan Jambi yang memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan spektakuler aktivitas pedagang pribumi di daerah. Di sisi lainnya, gejala rasionalisasi hubungan darat - pesisir di Kesultanan Siak adalah bertepatan dengan terjadinya penurunan yang signifikan dalam perdagangan Belanda Melaka dengan pedalaman. Sebagai perbandingan total tahunan sekitar 3.000 tahil emas Belanda di Melaka yang diperkirakan telah diterima sebelumnya dari Sumatera, pada 1789 diimpor hampir 200 tail saja.
Dinukil dari buku “Riau Daratan: Dari Darat Sampai Pesisir” tulisan Tressi A. Hendraparya yang diterbitkan Soreram Media, Cetakan II, Pekanbaru, 2016.
Foto: Istana Siak tempo dulu
Baca Juga:
- Lahirnya Kesultanan Siak Sri Indra Pura
- Sia Sri Indrapura Darul Ridzwan
- Sinapelan, Cikal Bakal Pekan Baru