Pict: Republika |
Trilogi Cinta dan Keikhlasan Sang Petualang Yang Berbuah Kemuliaan.
Kerajaan Johor di Semenanjung, pada suatu ketika telah terjadi kudeta berdarah.
Ayahanda Raja Kecik (Sultan Abdul Jalil Rachmad Syah) yaitu Sultan Mahmud Syah II dibunuh oleh Laksamana Megat Sri Rama sepulang Shalat Jum'at.
Megat Sri Rama tertipu oleh persekongkolan jahat antara Datuk Bendahara Tun Hebab dan Panglima Sri Bija Wangsa dengan kelompok lanun Bugis yang menfitnah Sultan Mahmud Syah II telah membunuh isteri Megat Sri Rama.
Sosok Megat Sri Rama dalam sejarah Melayu adalah seorang Laksamana yang tangguh. Selain amat mencintai isterinya, Wan Anom, Megat Sri Rama juga sangat mencintai tugas dan tanggung jawabnya.
Pada dasarnya, Megat Sri Rama adalah laksamana yang sangat setia dan mencintai tanah airnya. Beliau rela menyabung nyawa demi keselamatan dan keamanan negara atau kerajaan.
Namun sayang dalam suatu pemerintahan, intrik politikus selalu bermain. Intrik seperti ini juga terjadi pada saat itu dan hingga kini serta nanti. Intrik-intrik ini selalu direkayasa oleh orang dalam pemerintahan. Seperti halnya Megat Sri Rama, beliau dibenci dan diculasi oleh Sri Bija Wangsa (tangan kanan Sultan Mahmud II).
Rasa cinta dan setia Megat Sri Rama dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai laksamana selalu menghadirkan intrik di kepala Sri Bija Wangsa. Intrik ini lahir juga dari rasa iri hati Sri Bija Wangsa karena Megat Sri Rama berhasil memperistri Wan Anom. Dan Megat Sri Rama sangat mencintai istrinya.
Akhirnya, peristiwa berdarah pertama itu pun terjadi: Wan Anom dibunuh (perutnya yang sedang hamil dibelah) dan disebarkan fitnah bahwa Wan Anom telah ditikam oleh Sultan Mahmud hanya karena makan seulas nangka milik Sultan Mahmud. Tentu saja ini karena ulah Sri Bija Wangsa.
Peristiwa berdarah pertama ini merupakan puncak terjadinya peristiwa berdarah kedua: Sultan Mahmud wafat setelah ditikam Megat Sri Rama di halaman masjid pada hari Jumat. Megat Sri Rama pun sempat tertusuk keris sultan dan muntah darah karena sumpah hingga tujuh keturunan.
Amuk yang dilakukan Megat Sri Rama pada hari Jumat sebagai wujud cinta pada isterinya yang sepengetahuannya telah diperlakukan secara tidak adil. Ini membuktikan bahwa ketidakadilan akan melahirkan pemberontakan.
Begitulah tragedi cinta Panglima Megat Sri Rama dalam peristiwa sejarah Melayu Johor. Trilogi Cinta sering kali berperan dan melatar belakangi peristiwa besar sejarah peradaban umat manusia dari jaman ke jaman.
Selepas mangkatnya Sultan Mahmud lalu kekuasaan di ambil alih oleh Wangsa Bendahara. Anak dari Datuk Bendahara Tun Hebab yang bernama Tun Abdul Jalil dilantik sebagai Raja di Kerajaan Johor tersebut dengan gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV. Bagaimanapun juga dengan naiknya seorang Wangsa Bendahara sebagai Sultan menyebabkan konflik intern dalam Kesultanan Johor. Awal dari tragedi-tragedi dibelakang hari.
Namun kemudian terbukti bahwa dalam Pemerintahan Wangsa Bendahara, Sultan ternyata hanya berfungsi sebagai simbol saja. Sedang kekuasaan sepenuhnya berada ditangan Panglima Sri Bija Wangsa yang bersekongkol dengan para Daeng, kepala kelompok lanun Bugis, dan mereka berusaha membunuh orang-orang terdekat dan semua Keturunan Sultan Mahmud Syah II.
Karena perbuatan Sri Bija Wangsa dan lanun bugis tersebut banyak daerah yang berpisah dari Kerajaan Johor, mereka menyatakan memisahkan diri.
Orang-orang Suku Laut juga menolak mengakui Wangsa Bendahara yang naik tahta sebagai Sultan Johor yang baru, karena keluarga Wangsa Bendahara dicurigai terlibat dalam persekongkolan pembunuhan Sultan Mahmud Syah II tersebut.
Biasanya penguasa Melayu pada masa lalu mendapat bantuan dari Suku Orang Laut untuk menguasai pelabuhan dan mengamankan wilayahnya. Tanpa bantuan mereka maka orang Melayu akan terisolir.
Orang laut banyak beraktivitas dalam perdagangan. Mereka juga menjadi prajurit bagi kerajaan-kerajaan Melayu. Dinamika perdagangan kerajaan Melayu muncul atas bantuan armada perahu Orang Laut. Pihak kerajaan akan terisolir di pantai dan pelabuhan tanpa bisa bergerak dan beraktivitas tanpa bantuan Orang Laut.
Kala itu istri Sultan Mahmud Syah II sedang mengandung anak mereka. Dengan bantuan suku Orang Laut dan rakyat Malaka yang setia akhirnya sang ratu yang sedang mengandung ini berhasil diamankan ke suatu tempat tersembunyi dari kejaran pasukan Sri Bija Wangsa dan lanun bugis.
Setelah anak Sultan Mahmud Syah II dan istri lahir, anak ini diberi nama Raja Bujang. Prinsip "beraja ke Johor, bertuan ke Pagaruyung" rupanya tetap menjadi inspirasi bagi suku Orang Laut dan para rakyat setia Malaka ini untuk meneruskan pelarian menuju ke istana Pagaruyung. Namun karena penderitaan dalam pelarian panjang di laut itu akhirnya ibu Raja Bujang tidak mampu bertahan, jatuh sakit dan lalu meninggal.
Di istana Pagaruyung, Raja Bujang bayi langsung disambut, diasuh, dibesarkan, dan dididik langsung oleh Bundo Kanduang. Raja Bujang dididik dengan ketat tentang ilmu dunia dan akhirat, juga pengetahuan Agama, Adat Istiadat, Militer, silat, ilmu bathin, kenegaraan, kepemimpinan, dan sebagainya.
Setelah dewasa, rupanya jiwa ingin bertualang bergelora di dadanya. Ia ingin pergi bertualang dan berdagang ke Semenanjung bersama dengan para rakyat Malaka yang mengirinya dan para laskar Orang Laut yang semenjak ia bayi tetap setia mendampinginya di Pagaruyung. Namun karena rasa sayang dan telah menganggap Raja Bujang sebagai anak sendiri, Bundo Kanduang tidak rela melepasnya begitu saja.
Kepada para rakyat Malaka dan orang-orang Suku Laut, Bundo Kanduang menyampaikan dengan tegas bahwa Raja Bujang tidak boleh meninggalkan Pagaruyung kecuali Raja Bujang berani dan berhasil melalui ujian bathin khusus warisan nenek moyang Raja Pagaruyung, yakni ujian bathin yang amat berat dan bisa berakibat kematian atau menjadi gila bila gagal dilaluinya. Melalui ujian ini Raja Bujang harus mampu membuktikan bahwa dirinya benar-benar adalah anak kandung Sultan Mahmud Syah II.
Para rakyat Malaka dan orang Suku Laut menenangkan dan meyakinkan Raja Bujang yang ketakutan, kebingungan dan ragu-ragu menyikapi tantangan Bundo Kanduang itu, bahwa mereka adalah saksi bahwa Raja Bujang benar-benar adalah anak kandung Sultan Mahmud Syah II, dan bahwa merekalah yang mendampingi kelahiran Raja Bujang saat dalam pelarian menuju Pagaruyung.
Raja Bujang akhirnya menerima tantangan ujian bathin itu dan sukses melalui tahapan-tahapan ujian dengan selamat sentosa. Diantara tahapan ujian itu antara lain :
1. Dia disuruh memegang sebatang kayu yang terbalut oleh teras tumbuhan jelatang. Raja Kecik tidak rusak oleh getah Jelatang.
2. Mampu tidak kena tulah mahkota perak keramat warisan Sangsapurba saat dimahkotai oleh Yam Tuan Sakti dengan ritual khusus.
3. Selamat saat tidur 7 hari 7 malam di atas batu kasur ujian. Batu Kasur ini merupakan satu tempat ujian bagi anak-anak raja Pagaruyung dan mereka mesti lulus sebelum ditabalkan menjadi raja.
Mereka harus tidur 7 hari 7 malam diatas batu ini yang dilapik dengan daun jelatang yang sangat gatal disamping godaan dan gangguan gaib lain yang mengerikan selama berada diatasnya. Hanya mereka yang bertahan dalam tempo tersebut dianggap telah lulus ujian dan akan berhak bertindak mengatas namakan Raja Pagaruyung.
Raja Malewar (Raja Negeri Sembilan) juga telah lulus ujian tidur di batu kasur ini dan seterusnya ditabalkan menjadi Raja Negeri Sembilan. Batu Kasur ini terletak diantara Batusangkar dan Pagaruyung yaitu sekitar 3 km dari Kota Batusangkar.
Dengan demikian Raja Pagaruyung, Bundo Kanduang, dan orang-orang besar istana telah meyakini bahwa Raja Bujang memang anak seorang raja. Raja Kecik yang sebelumnya bernama Raja Bujang lalu resmi dikaruniai gelar "YAM DIPERTUAN KECIL" dan nama pribadinya dikenal sebagai "Raja Beralih" tapi lebih populer dengan sebutan "RAJA KECIK" dan berhak mengaku sebagai anak Raja Pagaruyung dan berhak bertindak mengatas namakan Raja Pagaruyung jika ia berada di negeri rantau.
Bundo Kanduang yang sedih merasa kehilangan mau tidak mau harus merelakan kepergian Raja Bujang (Raja Kecik) untuk bertualang dan merantau. Sebelum Raja Kecik berangkat ke Bukit Batu-Siak, Raja Pagaruyung membekali Raja Kecik dengan antara lain,
1. Tuah Sangsapurba yang disusupkan ke dadanya lewat mahkota perak keramat warisan Sangsapurba.
2. Sebilah pedang Saurajabe hadiah Raja Kuantan.
3. Sekapur sirih, seuntai rambut yang panjangnya 30 kaki, dua kulit kupang dan sebuah cap. Cap itu menerangkan bahwa pembawaannya adalah putera pemerintah Pagaruyung dan semua orang Minangkabau supaya memberikan bantuan bila dibutuhkan.
4. Beberapa orang pendamping atau hulubalang yaitu Datuk Lebinasi, Datuk Kerkaji, Raja Mandailiang dan Sultan Pakadalian.
Sedang menurut Lintasan Sejarah Siak Sri Indrapura, waktu Raja Kecil berangkat dengan para rakyat Malaka dan orang-orang Suku Laut, juga diiringi oleh 40 orang atau 20 orang atau 17 orang dengan hulubalang:
1. Syamsuddin gelar Sri Perkirma Raja ( Datuk Tanah Datar).
2. Bebas gelar Sri Bejuangsa (Datuk Lima Puluh).
3. Syawal gelar Sri Dewa Raja (Datuk Pesisir).
4. Yahya gelar Maharaja Sri Wangsa (Datuk Hamba Raja dari Kampar).
5. Hamzah gelar Buyung Ancak (Putra Tuanku Titah Sungai Tarab).
Sesampai di Bukit Batu - Siak, Raja Kecik mulai berlayar dan berniaga dengan menggunakan kapal Nakhoda Penangkok. Lalu bermarkas di Bengkalis. Saat itulah orang-orang Suku Laut yang tercerai berai kemudian kembali berkumpul dan bersatu. Mereka dengan perahunya dan ketangguhannya berlayar di laut telah menjadi yang terdepan dalam petualangan dan pelayaran berdagang Raja Kecik ke berbagai negeri yang jauh.
Wahyu Raja Pagaruyung yang dimilikinya mampu mengumpulkan orang-orang dan para pedagang Minangkabau yang tersebar di Bengkalis dan kepulauan Riau agar bersatu dibelakangnya. Ketika menyeberang ke Johor, batin-batin di Bengkalis yaitu Batin Hitam di Senggaro, Batin Putih di Ketamputih dan Batin Tua di Bantan juga juga bergabung membantu Raja Kecik.
Raja Kecik dibantu rekan-rekan yang mendukungnya berusaha mengambil kembali Kekuasaan Ayahnya yang telah dikuasai oleh Datuk Bendahara Tun Hebab. Akhirnya, jatuhlah tahta Datuk Bendahara Tun Hebab dan Kekuasaan jatuh kembali ketangan Raja Kecik.
Raja Kecik memerintah Kerajaan Johor tetapi hanya sebentar karena terjadi Sengketa Cinta antara Raja Kecik dan keluarga calon Permaisuri (Tengku Mah Bungsu).
Sengketa Cinta Raja Kecik ini adalah sebuah kisah trilogi cinta segitiga tentang Raja Kecik yang saat memerintah Kerajaan Johor mencintai putri penghuni istana Johor saat itu, bernama Tengku Mah Bungsu (putri Raja Johor yang digulingkan Raja Kecik). Tetapi dalam percintaan mereka terhalang oleh sang kakak (Tengku Tengah). Tengku Tengah juga mencintai Raja Kecik tetapi konon tidak dengan rasa cinta yang tulus. Sang adik (Tengku Mah Bungsu) ingin mengalah dengan meng-ikhlaskan Raja Kecik jatuh ke pelukan sang kakak (Tengku Tengah).
Tetapi keinginan Tengku Tengah dihalangi oleh Mak Inang Juara, karena Tengku Tengah diketahui memiliki tujuan yang jahat, dia diketahui bekerja sama dengan Raja Sulaiman untuk menggulingkan Raja Kecik. Mereka ingin membalaskan dendam kepada Raja Kecik karena Raja Kecik adalah orang yang telah menggulingkan tahta ayahnya dan memisahkan mereka dengan sang Ayah.
Raja Sulaiman dan Tengku Tengah mendatangi Daeng Perani (kepala kelompok lanun dari Bugis) untuk meminta bantuan menyerang Kerajaan Johor yang diperintah oleh Raja Kecik, dengan perjanjian sebagai imbalannya Daeng Perani diijinkan untuk mempersunting Tengku Tengah sebagai Permaisuri.
Perjanjian itu tersebut di sanggupi oleh Daeng Perani dan ia berjanji akan membalaskan dendam Raja Sulaiman dan Tengku Tengah kepada Raja Kecik. Namun persekongkolan itu akhirnya berhasil dipatahkan oleh Raja Kecik. Daeng Perani dan para pasukannya dapat dikalahkan oleh pasukan Kerajaan Johor dan Datuk Tanah Datar. Daeng Perani tewas.
Namun kematian Daeng Perani tidak membuat perang berakhir. Perang saudara ini justru berlangsung berlarut-larut. Kondisi ini membuat Tengku Mah Bungsu sangat sedih, Betapa tidak.?
Raja Kecik adalah satu-satunya lelaki yang dicintainya, sedangkan Tengku Tengah adalah saudara kandungnya sendiri. Tengku Mah Bungsu lalu meminta Raja Kecik untuk mengakhiri Peperangan.
Maka demi cintanya, Raja Kecik pun mengabulkan permintaan Tengku Mah Bungsu, ia bahkan memutuskan untuk mengalah dengan menyingkir ke Lingga dan kemudian ke Bengkalis untuk menghindari terulangnya perang saudara. Tengku Mah Bungsu yang juga terancam pembunuhan oleh Raja Sulaiman akhirnya ikut Raja Kecik ke Bengkalis.
Beberapa tahun kemudian Raja Kecik dan Tengku Mah Bungsu sepakat menikah, lalu hendak pulang ke Pagaruyung untuk menghadapkan calon isterinya itu ke Bundo Kanduang. Namun ia terpaksa menunda kepulangannya karena didaulat oleh orang-orang besar, para kepala suku, dan para batin disepanjang aliran sungai Siak yang saat itu berkumpul di Bengkalis.
Dalam Syair Perang Siak, disebutkan Raja Kecik didaulat menjadi penguasa Siak atas mufakat masyarakat di Bengkalis dan Riau Daratan umumnya. Hal ini bertujuan untuk melepaskan wilayah Riau Daratan dari kekuasaan dan pengaruh Kerajaan Johor yang telah berubah menjadi Kesultanan Johor Riau / Melayu Riau telah pindah berpusat di tepian Sungai Riouw, pulau Bintan Kepulauan Riau, yang mengklaim berdaulat sebagai pewaris Malaka atas wilayah Riau daratan dan memaksa rakyat Riau daratan agar mengaku sebagai Melayu Riau dan "Beradat Resam Melayu Riau" dan wajib tunduk kepada "Lanun Bugis" (Yang Dipertuan Muda) Melayu Riau.
Dalam prakteknya, "Lanun Bugis" (Yang Dipertuan Muda Melayu Riau) adalah penguasa sesungguhnya dan berkuasa menetapkan segala-galanya termasuk adat istiadat yang kini populer dengan sebutan "Adat Resam Melayu Riau".
Selanjutnya berdirilah Kesultanan Siak Sri Indrapura pada tahun 1723 M. Raja Kecik dibaiat menjadi sultan pertama dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rachmad Syah. Berpusat di Kota Buantan, Siak Sri Indrapura.
Sultan Siak menetapkan bahwa setelah posisi Sultan hanya terdapat Majelis Orang Besar (Dewan Mentri). Majelis Orang Besar ini memiliki kekuasaan untuk memilih dan mengangkat Sultan Siak. Sama dengan "Undang Yang Ampat" di Negeri Sembilan, Malaysia.
Sultan Siak telah menetapkan bahwa tidak boleh ada kekuasaan tunggal dalam hierarki pemerintahan Kesultanan Siak. Majelis Orang Besar bersama dengan Sultan, menetapkan undang-undang serta peraturan bagi masyarakatnya. Majelis Orang Besar ini mirip dengan kedudukan dan fungsi "Basa Ampek Balai" di Kerajaan Pagaruyung.
Majelis Orang Besar Kesultanan Siak terdiri dari:
1. Datuk Tanah Datar.
2. Datuk Limapuluh.
3. Datuk Pesisir.
4. Datuk Kampar.
Dari sinilah mulai ditetapkan untuk kembali kepada jati diri dan identitas semula sebelum dipaksa menjadi beridentitas "Melayu Riau" dalam paksaan dan tekanan Lanun Bugis. Dan dengan bersandar kepada Kesultanan Siak, mulailah mereka menyebut identitas jati diri mereka sebagai "ORANG SIAK", bukan lagi Orang Melayu Riau.
Akhirnya Raja Kecik menikah dan hidup bahagia bersama Tengku Mah Bungsu sebagai Sultan dan Permaisuri Kesultanan Siak Sri Indrapura. Kematian Tengku Mah Bungsu membuat Raja Kecik sedih karena cintanya yang ikhlas dan mendalam telah terkubur bersama jasad isterinya. Tidak lama kemudian Raja Kecik dengan gelar Sultan Abdul Jalil Rachmad Syah mangkat menyusul Permaisurinya.
Beliau disemayamkan di Kota Buantan, Siak Sri Indrapura. Bagi orang-orang yang memahami kisah cinta Raja Kecik dan Tengku Mah Bungsu, maka makam Raja Kecik dan makam isterinya menjadi simbol keabadian dan keikhlasan cinta.
Di Pagaruyung, Bundo Kanduang tak henti-hentinya menangisi telah berpulangnya Sang Petualang yang simpatik dan penyabar. Berhari-hari lamanya Pagaruyung menjadi sepi dan lengang. Keramaian hanya terpusat di sekitar istana Pagaruyung, dimana rakyat Pagaruyung dan orang-orang besar berkumpul dalam suasana yang hening. Para kerabat dari jauh dan dekat datang memenuhi halaman istana.
Tiada suguhan, tiada makanan, tiada minuman walau sekedar air agak segelas, mereka datang membawa bekal makanan dan minuman sendiri-sendiri dari luar istana. Mereka bukan datang untuk makan minum ataupun bicara. Mereka datang berkumpul hanya untuk menghibur Bundo Kanduang.
Tak perlu bicara, cukup datang dan berkumpul bersama Bundo Kanduang. Sang petualang telah berpulang ke haribaan illahi. Dan kitapun akan menyusul jika waktunya tiba kelak..
Beberapa waktu lamanya perniagaan antara pusat tanah Minangkabau dengan Negeri Siak seperti kehilangan gairah karena para pedagang Minangkabau seperti telah menjadi lesu. Mereka lebih sering berkumpul di lepau-lepau, berpantun dan bersyair, berpencak dan randai, mendengarkan tukang kaba dan rabab, yang membawakan tembang dan rintihan musik saluang serunai dan irama bansi yang mengilukan hati, dari pagi hingga petang, dari malam hingga subuh.
Akhirul kalam...
Betapa hebatnya Kesultanan Siak Sri Indrapura bukan rahasia lagi. Pengaruhnya meliputi hingga Sumatera Timur.
Dari awal terbentuknya, dukungan penuh dari rakyatnya sendiri terhadap Raja Kecik yang berhasil membebaskan Riau Daratan dari penjajahan Johor Riau (Melayu Riau) telah memberi power yang luar biasa terhadap percepatan perkembangan Kesultanan Siak Sri Indrapura dan Negeri Siak.
Pada abad ke-18, Kesultanan Siak telah menjadi kekuatan yang dominan di pesisir Timur Sumatra. Tahun 1780, Kesultanan Siak menaklukkan daerah Langkat, dan menjadikan wilayah tersebut dalam pengawasannya, termasuk wilayah Deli dan Serdang. Di bawah ikatan perjanjian tidak saling menyerang dengan VOC, pada tahun 1784 Kesultanan Siak menyerang dan menundukkan Selangor setelah sebelumnya berhasil menundukkan pulau Penyengat dan pulau Bintan (pusat Melayu Riau).
Mulailah "Orang Siak" (Riau Daratan) berkuasa atas "Melayu Riau".
Maka tidaklah layak bila hari ini masih saja ada orang Riau Daratan (Orang Siak) yg merendahkan diri menggunakan identitas taklukannya (Melayu Riau). Sejarah mencatat bahwa kesultanan Siak Sri Indrapura, sebagai satu-satunya kerajaan maritim nusantara yang hingga kini masih meninggalkan bukti sejarah baik dari sisa-sisa peninggalan pusat kerajaan antara lain: Istana Siak Sri Indrapura yang masih berdiri kokoh hingga saat ini.
Dan sejarah mencatat Negeri Siak dan Kesultanan Siak Sri Indrapura adalah salah satu Negeri dan Kesultanan paling kaya dan paling makmur di nusantara.
Walaupun pada awal kemerdekaan RI 1946, kerajaan ini resmi berakhir, namun itupun bukanlah dikarenakan “kebangkrutan” secara ekonomi ataupun karena serangan musuh. Berakhirnya kesultanan Siak Sri Indrapura dilakukan secara sukarela oleh Sultan XII sendiri tanpa suatu tekanan baik secara politik maupun militer. Penyerahan tahta dilakukan secara total selain mahkota kerajaan, bangunan istana, asset-asset kerajaan bahkan sultan juga menyumbangkan kekayaan berupa uang tunai sejumlah 13 juta gulden (setara 1 trilyun rupiah). Hal itu dilakukan karena sultan menyadari betul bahwa sistim pemerintahan di era kemerdekaan sudah dianggap tidak lagi relevan dengan semangat Kemerdekaan & NKRI.
Memang lucu jadinya jika hari ini masih saja ada orang Riau Daratan yang tetap merasa dan mengklaim diri sebagai orang Riau atau Melayu Riau. Mereka masih lebih nyaman dengan identitas sebagai "Orang Melayu Riau" ketimbang sebagai "Orang Siak". Logikanya tidaklah layak bila hari ini masih saja ada orang Riau Daratan (Orang Siak) yg merendahkan diri menggunakan identitas taklukannya (Melayu Riau).
Tapi biarkan sajalah. Mau bagaimana lagi.?
Mungkin mereka hari ini juga memakai kedua identitas itu bersamaan, yakni sebagai "Orang Siak" sekaligus sebagai "Orang Melayu Riau", walaupun secara administratif wilayah Melayu Riau telah memisah dan membentuk propinsi sendiri dengan nama yang dari awal memang miliknya sendiri yakni Propinsi Kepulauan Riau.
Nama Riau sejatinya adalah asli milik Johor Riau di Pulau Bintan Kepulauan Riau, yakni nama Sungai Riouw di Pulau Bintan, pusat Kesultanan Johor Riau, bukan milik Riau Daratan.
Sejarah mencatat bahwa nama Propinsi Riau dipilih karena Kota Tanjung Pinang di pulau Bintan ini pernah menjadi ibu kota Provinsi Riau pada tahun 1958, yang meliputi Kepulauan Riau dan Riau Daratan. Lalu ibu kota Propinsi Riau dipindahkan ke Kota Pekanbaru tahun 1960.
-
Tragedi, sengketa, dan trilogi kisah cinta anak manusia memang sering kali berbuah kepahitan. Namun akan berujung kemuliaan bagi pelakunya dan orang-orang di sekitarnya, jika dilakoni oleh orang-orang yang menggenggam cinta dengan ikhlas, mampu bersabar dan mengalah demi cintanya. Begitu jugalah adanya dengan akhir kisah cinta sang petualang.
Salam damai.
---
--
Postingan terkait :
Melayu Riau, dimanakah itu.?
"ORANG KAMPAR".
Seputar polemik apakah identitas Orang Kampar itu adalah "Orang Minangkabau" ataukah "Orang Melayu".?
Disalin dari kiriman FB: Sutan Bandaro Sati
Foto: bahanamahasiswa.co
=====================
Baca Juga:
- Trilogi Cinta dan Keikhlasan Sang Petualang yang berbuah Kemuliaan - Ihwal Pendirian Kesultanan Siak
- Sejarah Johor Riau
- Siak Sri Indrapura Darul Ridzwan -
- Abdul Jalil Shah IV (1699-1720)
- Ismail Abdul Jalil Syah (1765-1781)
- Mahmud Abdul Jalil Muzafar Syah (1746-1765)
- Tengku Embung Badariah
- Sulthan Siak melarang menjual tanah