Gambar: Wikipedia |
Disalin dari kiriman FB Aal Piliang
TAPUNG
Di atas, telah disampaikan bahwa Tapung tidak bisa dianggap termasuk daerah Siak asli, tetapi mereka adalah taklukannya seperti juga disebutkan dalam traktat tahun 1858. Ikatan mereka dengan Siak lebih bersifat federatif daripada subordinatif, terutama dari situ terbukti bahwa mereka bukan hanya berada dalam posisi yang sama terhadap Siak tetapi juga Kota Intan. Sebelum ikatan dengan kerajaan Melayu terakhir ini terlepas sebagai akibat ekspedisi tahun 1876, masih ada konsep yang menunjukkan hubungan Tapung: "beraja ke Siak, bertuan ke Kota Intan."
Menurut konsep ini, raja Kota Intan di Tapung memiliki pengaruh yang lebih tinggi daripada Sultan Siak. Pada kenyataannya, kondisi ganda ini tidak begitu menyulitkan karena baik Kota Intan maupun Siak tidak menarik keuntungan dari Tapung. Ketika eksploitasi atas orang‐orang animisme mendatangkan keuntungan besar, raja Kota Intan bereaksi terhadap penolakan hak‐haknya. Ada keunikan bahwa kehadiran para pemimpin Tapung di keraton Kota Intan berbeda dengan mereka di Siak. "Ka‐ilir" (jadi di Siak) berarti menuju Tapung Kanan mengunjungi Bendahara Sikijang lebih dahulu dan "Terana" Lindai kemudian, dan di Tapung Kiri mengunjungi Bendahara Petapahan lebih dahulu dan Bendahara Tandun kemudian, sementara "ka‐ulu" (jadi di Kota Intan) terjadi sebaliknya.
Menurut berita‐berita tertua, Tapung Kiri jelas tunduk kepada raja Gasip, sementara Tapung Kanan sangat mungkin demikian. Bendahara Tandun masih memiliki sebuah perisai dan bendahara Batu Gajah masih memiliki keris dengan pegangan dari emas, yang diberikan kepada pendahulu mereka oleh raja sebagai kebesaran. Setelah pengusiran raja Gasip, Tapung tunduk pada kekuasaan Raja Kecil dan para penggantinya. Di bawah Johor mereka tidak bisa bertahan, seperti yang kemudian terbukti dari dua kenyataan berikut ini (nota Gubernur Nietscher).
Pada tanggal 14 Januari di Melaka, sebuah kontrak ditandatangani dengan para bangsawan Koto Ranah, Kabun dan Giti bagi penyerahan timah dan timah yang ditemukan di sana adalah milik Kompeni. Mereka juga menjanjikan kepada para kepala Tandun ini untuk mencoba mendorong daerah taklukkannya ikut menandatangani kontrak. Kepada mereka diberikan bendera Kompeni untuk dikibarkan di Melaka. Dalam memori tanggal 6 Oktober 1876 oleh Gubernur Melaka, B. Bort, pemilik pulau timah ini adalah suku bebas yang tidak pernah ditaklukkan siapapun dan mereka tinggal di sepanjang Sungai Siak. Melalui kontrak tanggal 21 Mei 1685 dengan Sultan Johor, disepakati bahwa orang‐orang Belanda tidak boleh berlabuh di bawah Pasir Sala, tetapi harus berlabuh lebih ke hulu agar rakyat Siak tidak bercampur dengan orang‐orang Minangkabau untuk kemudian tidak menimbulkan masalah. Meskipun Tapung dihuni oleh penduduk padat, tidak perlu diragukan lagi bahwa penduduk ini adalah keturunan dari Minangkabau.
Ini bukan hanya terbukti dari nota yang dikutip di atas, tetapi juga dari kondisi bahwa sekarang ini bahasa, adat dan kebiasaan penduduk Tapung hampir murni orang Minangkabau. Sebagai akibatnya, tidak ada yang luar biasa bagi mereka dengan pengusiran raja Johor dari hilir Sungai Siak oleh Raja Kecil yang dibantu oleh Raja Minangkabau dan kelompok Minangkabau di Siak saat itu. Bagaimanapun juga, apakah Tapung masih menganut "bertuan ke Kota Intan" menjadi tidak pasti. Menurut legenda, Tengku Husain dari Siak, sebagai akibat perpecahan di sana, melarikan diri ke Kota Intan dan menikah dengan seorang anak raja di sana yang dari perkawinannya menurunkan seorang putra, dikenal dengan nama "Marhum Mangkat di Balai" (jangan dikacaukan dengan tokoh dari Johor).
Marhum menjadi raja di Kota Intan. Para bangsawan Tapung memihak kepada Tengku Husain yang melarikan diri (dan kemudian putranya), mungkin karena begitu dekat di lingkungan mereka dan didukung oleh raja Kota Intan. Bagaimanapun juga dengan tinggal di Siak, hubungan Tapung ditetapkan oleh konsep "beraja di Siak, bertuan di Kota Intan". Dalam perjanjian perdamaian tanggal 11 September 1876, raja Kota Intan secara resmi melepaskan semua haknya atas kedua daerah Tapung, sementara Sultan Siak dalam plakat tanggal 10 Syawal 1293 segera memberitahukan kepada para kepala adat dan penduduk di sana pada pasal 1: ”Adalah seperti antara segala bendahara‐bendahara serta kerapatan isi negeri semuanya yang selaras Tapung Kiri dan selaras Tapung Kanan lalu ka Lindai antara dengan raja Kota Intan telah sudahlah putus pertaliannya, dan tidak sekali‐kali lagi ada persangkutannya daripada adat dan pusaka, hanyalah segala yang tersebut tertinggal di bawah pemerintahan duli kita di Siak”, sementara pada pasal 2 disampaikan bahwa mereka tetap menganut “beraja dan bertuan di Siak”.
Batas‐batas daerah ini diterima oleh Tapung:
- Di timur, seiring aliran dengan Siak di Tapung Kanan (batas Bendahara Sikijang dengan Batin Sigalas) pada aliran kiri Sungai Pudu dan di aliran kanan Sungai Mancah Sakti; dan di Tapung Kiri (batas Bendahara Petapahan dan Batin Sigalas) dan Sungai Seketuk.
- Di utara dan barat laut, berbatasan dengan Kota Intan aliran Sungai Tapung Kanan dan Rokan Kiri, sementara di utara dan timur laut berbatasan dengan daerah Mandau aliran sungai antara Tapung Kanan dan Mandau.
- Di selatan, batas dengan V Koto dari barat dimulai dengan Sungai Telangkah Kecil, Sungai Leboi Tengah dan selanjutnya batas antara Tapung Kiri dan Kampar Kanan yang disebut Titian Teras.
- Di barat dengan Rokan IV Koto adalah aliran sungai antara Rokan Kiri dan kedua Tapung, melalui Tapung Kiri dengan Bukit Suligi dan melalui Tapung Kanan dengan Bukit Langgak.
Tanah antara batas‐batas tersebut diketahui dikuasai oleh dua persekutuan, yaitu Tapung Kiri dan Tapung Kanan, yang masing‐masing membentuk kerajaan kecil yang juga tidak saling berhubungan.
Sultan di daerah Tapung diwakili oleh seseorang keturunan Arab bernama Tengku Sayid Hamid yang kemudian menikah dengan bibi dan saudari Sultan. Orang ini merupakan semacam kuasa Sultan. Semua tindakan pemerintahan biasanya berasal darinya dan para bangsawan Tapung. Akibatnya, ia sangat jarang muncul di Siak dan biasanya hanya cukup dengan menunjukkan penghormatan kepada Sultan. Tengku Said Hamid diberi penghasilan Batin Sigalas oleh Sultan, seperti halnya bandar Pekanbaru dengan penghasilan Batin Senapelan.
----------
Dinukil dari "Nota Omtrent het Rijk van Siak" oleh Hijsman van Anrooij pada 1885 M. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Wilaela, Nur Aisya Zulkifli, dan Khaidir Alimin dan diterbitkan oleh Asa Riau di Pekanbaru pada 2016 M dengan judul "Het Rijk van Siak".
Gambar rumah tradisional di Tapung yang ditinggalkan dan terbengkalai.