Tampilkan postingan dengan label investasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label investasi. Tampilkan semua postingan

Tanah Rakyat = Tanah Negara = Tanah Penguasa



Detik Edu - Pada 1870 pemerintah Hindia Belanda melaksanakan politik kolonial liberal atau disebut juga dengan Politik Pintu Terbuka (open door policy) yang ditandai dengan keluarnya Undang-undang Agraria. Lalu, siapa tokoh yang mengeluarkan Undang-undang Agraria 1870?
Sebelumnya dari tahun 1830, pemerintah kolonial melakukan sistem tanam paksa atau cultuurstelsel yang menuai protes karena tanah rakyat diambil alih dengan sewenang-wenang. Tahun 1870 kaum liberal menjadi mayoritas di parlemen Belanda. Sehingga Cultuurstelsel dihapuskan secara resmi.

Latar belakang dikeluarkannya Undang-undang Agraria 1870 dimulai pada masa ini yakni saat berlakunya politik kolonial yang baru yakni politik liberal. Politik liberal dasarnya berarti komersialisasi Hindia Belanda dengan demikian penanaman modal swasta dipersilakan masuk secara bebas.

Mahfud Akui Status Tanah Rempang Banyak Keliru

 

Pict: Bobogrid

apahabar - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) RI Mahfud MD menjelaskan negara telah memberikan hak atas tanah di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, kepada perusahaan. Dia mengatakan surat keputusan (SK) terkait pemberian hak atas tanah itu dikeluarkan pada 2001 dan 2002.

“Masalah hukumnya juga supaya diingat, banyak orang yang tidak tahu, tanah itu, (Pulau) Rempang itu sudah diberikan haknya oleh negara kepada sebuah perusahaan, entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha [HGU]. Itu Pulau Rempang. Itu Tahun 2001, 2002,” kata Mahfud kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (9/9). Seperti dikutip Antara.

Namun pada 2004, hak atas penggunaan tanah itu diberikan kepada pihak lain.

Konflik Tanah Pulau Rempang: Hak Rakyat, Kepentingan Swasta, dan Konflik Kepentingan Pemerintah

Pict: Gatra.com

 

Oleh: Achmad Nur Hidayat
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta

flashlombok - Konflik tanah di Pulau Rempang telah memperlihatkan betapa rumitnya pertarungan antara hak asasi rakyat, ambisi bisnis swasta, dan dilema kepentingan pemerintah. Sebagai bangsa yang berdiri di atas prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,[1] kita harus merenung: apakah kita telah memenuhi janji tersebut?

Sejarah mencatat bagaimana masyarakat adat Pulau Rempang, yang terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat, telah bermukim di pulau tersebut sejak 1834. Mereka bukanlah pendatang, melainkan bagian dari warisan budaya dan sejarah bangsa ini. Namun, ironisnya, mereka yang telah berakar kuat di tanah ini, kini terancam oleh kepentingan bisnis dan pemanfaatan tanah melalui HGU.[2]

Sejarah Pulau Rempang Yang Sudah ada Sejak Era Penjajahan, Kontroversi Pembangunan Eco City

Pict: CNN Indonesia


Radar Muko Muko - Seperti diketahui, belakangan ini tengah ramai terkait dengan Pulau Rempang di Batam. Dimana dikawasan ini akan dibangun Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam yang dikenal sebagai Rempang Eco City. Di tangan PT Makmur Elok Graha (MEG) yang berinvestasi sebesar Rp 381 triliun, wajah Pulau Rempang akan diubah menjadi kawasan investasi terpadu di atas lahan seluas 17 ribu hektare.

Rencana ini penuh kontroversi dan mendapat penolakan dari masyarakat setempat yang tak ingin digusur dari tanah dan rumah mereka sendiri. Karena bagi warga Rempang yang mayoritas Bangsa Melayu, pulau ini adalah tanah tempat tinggal mereka sejak dulu kala, jauh sebelum Indonesia merdeka.

Terkait dengan Pulau Rempang, pulai ini memiliki luas kurang-lebih 165 km², posisinya masuk dalam wilayah pemerintahan Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau yang merupakan rangkaian pulau besar kedua yang dihubungkan oleh enam buah Jembatan Barelang.  

Rempang, Pulau Penuh Sejarah Berabad Lamanya

Pict: Flash Lombok


Konflik terkait proyek Rempang Eco City yang sedang berlangsung telah mengganggu kehidupan mereka, terutama para nelayan yang merasakan dampaknya tidak bisa melaut dan kehilangan mata pencaharian mereka. Penduduk Pulau Rempang ada bahkan sebelum Indonesia merdeka. Mari sejenak kita melihat pada sejarah. Pada abad ke-17, Pulau Rempang awalnya adalah tempat yang ditempati oleh para pelaut dari suku Bugis yang berasal dari Sulawesi. Mereka datang ke pulau ini untuk melakukan perdagangan dan menjadikannya sebagai tempat berlabuh kapal. Pulau ini menjadi pusat kegiatan perdagangan yang sibuk, dengan kapal-kapal yang datang dan pergi membawa barang dagangan dari berbagai tempat. Pada abad ke-19, Pulau Rempang mengalami perubahan besar ketika Belanda menduduki pulau ini. Belanda mendirikan pangkalan militer di pulau ini untuk memantau Selat Melaka, yang merupakan jalur penting dalam perdagangan maritim. Ini adalah awal dari masa kolonial Belanda di Pulau Rempang yang membawa perubahan signifikan dalam kehidupan masyarakat setempat. Tahun 1942, Pulau Rempang juga diduduki oleh tentara Jepang selama Perang Dunia II. Tentara Jepang menggunakan pulau ini sebagai lokasi strategis untuk mengawasi Selat Malaka dan mengendalikan aktivitas militer di wilayah sekitarnya. Ini adalah masa yang sulit bagi penduduk pulau, yang harus hidup di bawah pemerintahan militer Jepang. Namun, peristiwa paling menarik terjadi setelah penaklukan Belanda atas Kerajaan Riau pada tahun 1784. Pulau Rempang mengalami sejumlah perubahan dan peristiwa penting. Bukti kunjungan awal Belanda ke Pulau Rempang tertulis dalam catatan sejarah. Penaklukan Belanda atas Kerajaan Riau pada tahun 1784 menciptakan ketidakpuasan dan kebencian di kalangan beberapa pemimpin Kerajaan Melayu Riau. Meskipun perlawanan terbuka tidak lagi mungkin, sebuah gerakan rahasia yang dikenal sebagai gerakan Lanun (penyusup laut) diselenggarakan dengan tujuan untuk mendapatkan kembali kedaulatan Kerajaan Melayu Riau. Pulau Rempang memainkan peran penting dalam perlawanan terhadap kolonisasi Belanda oleh Kerajaan Melayu Riau pada tahun 1784. Pulau ini dihuni oleh penduduk asli seperti Orang Laut (Masyarakat Laut) dan Orang Darat (Masyarakat Daratan). Setelah itu, pada tahun 1973, Pulau Rempang ditetapkan sebagai zona industri khusus yang membuatnya menjadi bagian dari Kota Batam dan pusat pengembangan ekonomi di Kawasan Perdagangan Bebas Batam-Bintan-Karimun. Namun, sejarah Pulau Rempang tidak hanya tentang penaklukan dan perubahan politik. Tokoh-tokoh penting seperti Sultan Mahmud Riayat Syah dan Engku Puteri Raja Hamidah terlibat dalam perlawanan terhadap kolonisasi Belanda pada tahun 1784. Meskipun ada informasi yang mencatat peran mereka, tidak ada catatan lebih lanjut tentang peran Raja Haji Fisabilillah dan tokoh-tokoh lain dari Pulau Rempang dalam perjuangan tersebut. Seiring berjalannya waktu, masyarakat Pulau Rempang mengembangkan berbagai mata pencaharian yang penting. Mereka mengandalkan perikanan, pertanian, perdagangan, industri kecil, dan bahkan pariwisata. Namun, konflik terkait proyek Rempang Eco City yang sedang berlangsung telah mengganggu kehidupan mereka, terutama para nelayan yang merasakan dampaknya pada mata pencaharian mereka. Komunitas Melayu lokal bersama komunitas pribumi lainnya telah berjuang untuk melindungi hak-hak mereka dan mencari dukungan dari pemerintah. Inilah kisah yang menyedihkan tentang perjalanan Pulau Rempang, dari masa lalu yang penuh sejarah hingga masa kini yang penuh tantangan. Untuk mendukung masyarakat Pulau Rempang yang menghadapi berbagai tantangan, kita dapat mengambil beberapa langkah. Pertama-tama, penting untuk memahami secara mendalam masalah dan kondisi yang dihadapi oleh masyarakat Pulau Rempang, seperti konflik terkait proyek Rempang Eco City. Ini melibatkan upaya dalam memahami sejarah mereka, hak-hak yang mereka miliki, dan dampak dari konflik yang sedang berlangsung. Selanjutnya, kita dapat memberikan dukungan dengan cara mendukung upaya advokasi dan kesadaran masyarakat tentang isu-isu yang mereka hadapi, dengan berbagi informasi dan meningkatkan kesadaran publik. Dukungan finansial juga dapat sangat berarti, baik melalui donasi kepada organisasi nirlaba yang mendukung masyarakat Pulau Rempang atau dengan aktif berpartisipasi dalam penggalangan dana. Selain itu, memberikan dukungan psikologis kepada mereka yang mengalami trauma akibat konflik adalah tindakan empati yang sangat penting. Menghubungi pemerintah setempat, regional, dan nasional untuk menyampaikan keprihatinan tentang konflik dan dampaknya juga memiliki dampak yang signifikan. Selain itu perlu kolaborasi dengan organisasi lokal yang fokus pada isu-isu Pulau Rempang dapat memperkuat upaya kita. Selain itu, edukasi tentang hak-hak mereka, perlindungan lingkungan, dan pengembangan ekonomi bisa memberikan manfaat jangka panjang kepada masyarakat Pulau Rempang. Selalu mendekati mereka dengan pendekatan yang bersahabat, hormati budaya serta tradisi mereka, dan luangkan waktu untuk mendengarkan mereka adalah kunci dalam mendukung perjuangan mereka untuk melindungi hak-hak mereka dan menjaga kehidupan mereka yang berharga.***

Sumber: www.riaupos.jawapos.com > Opini - Sejarah Pulau Rempang - Irfan A G (Mahasiswa S3 Pendidikan Universitas Riau)

Link:
https://riaupos.jawapos.com/6322/opini/18/09/2023/sejarah-pulau-rempang.html

Terima kasih telah mengunjungi website kami

apahabar - Pulau Rempang ternyata menyimpan sejarah panjang. Pernah dikunjungi Belanda, dan didiami tentara Jepang di masa Perang Dunia II. 

Kasus kekerasan yang terjadi di Pulau Rempang menarik perhatian publik. Cerita perebutan penguasaan tanah yang dilakukan penguasa jadi latar belakangnya. Demonstrasi warga berujung tindakan represif aparat.Semua bermula dari informasi relokasi seluruh penduduk di pulau tersebut. Tujuan relokasi adalah untuk mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang yang rencananya akan dibangun menjadi kawasan industri, jasa, dan pariwisata bernama Rempang Eco City.

Relokasi ini mendapat penolakan dari 7.500 warga yang menghuni Pulau Rempang. Sebab Rempang adalah rumah mereka berabad lamanya. Penduduk Rempang mengatakan mereka telah tinggal di pulau tersebut sejak tahun 1834.Turun temurun mereka menetap dan membangun pulau tersebut. Lalu atas nama pembangunan dan investasi mereka semua akan direlokasi. Jika mereka pindah, maka akar budaya mereka akan hilang.

Jalan yang semakin sempit, Kereta Api hanya bayangan, & Tol yang semakin dekat

Gambar Ilustrasi: Tajdid

 

Sabtu tanggal 24 Desember 2022 menjadi hari yang penuh kemalangan, setidaknya yang terekam oleh kami terjadi tiga kecelakaan di jalan yang menghubungkan Bukit Tinggi - Padang dan satu di Padang Pariaman. Kemalangan pertama terjadi di jalan yang menghubungkan Lubuk Alung dengan Bandar Pariaman, terjadi antara onda dengan oto, sang pengemudi onda meninggal di rumah sakit. Kejadian ini berlaku pada pukul lima pagi hari, sejauh pengetahuan kami keadaan lalu lintas pada pagi hari memiliki tingkat keganasan sendiri. Banyak oto yang melaju dengan sangat kencang karena merasa pada waktu pagi - apalagi sebelum subuh - labuh lengang. 

Kemalangan berikutnya berlaku pada pukul 2.15 (ada juga yang menyebutkan 2.55) di pendakian yang dikenal dengan 'belokan Semen Padang'[1], dimana satu buah oto terjepit diantara dua truk. Menurut sumber sementara, hal ini berlaku karena truk yang sedang ditarik mengalami putus tali derek di pendakian yang mengarah ke Padang Panjang. Akibatnya truk tersebut berjalan mundur dan melanggar oto (agya) di belakangnya.

Berselang sekitar satu jam kemudian di pendakian Sialaiang Kariang, dimana satu truk tidak kuat menanjak dan berjalan mundur sehingga melanggar satu onda matik (vario), satu oto minibus (calya), serta dua vespa. Menurut beberapa sumber terdapat korban jiwa namun pada kanal berita daring yang kami baca, menunggu keterangan selanjutnya. Kejadian ini berlaku pada pukul 3.30 petang.

Ordonansi Kuli

Picture: Phesolo


Koeli Ordonantie


Koeli Ordonantie adalah peraturan ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 138 Tahun 1881. Pada perkembangannya peraturan ketenagakerjaan ini mengalami revisi melalui Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 78 Tahun 1889.

Peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Hindia Belanda ini cukup komprehensif untuk ukuran waktu itu. Peraturan ini juga cukup berimbang, dalam artian tidak hanya memuat ketentuan untuk melindungi 'kepentingan' para tenaga kerja atau saat itu disebut sebagai ‘koeli’, namun juga memberikan kepastian hukum untuk melindungi kepentingan para investor dan pengusaha demi menjaga iklim yang kondusif guna terjaminnya kelancaran penanaman modal dan investasi.