Konflik terkait proyek
Rempang Eco City yang sedang berlangsung telah mengganggu kehidupan
mereka, terutama para nelayan yang merasakan dampaknya tidak bisa melaut
dan kehilangan mata pencaharian mereka.
Penduduk Pulau Rempang ada bahkan sebelum Indonesia merdeka. Mari
sejenak kita melihat pada sejarah. Pada abad ke-17, Pulau Rempang
awalnya adalah tempat yang ditempati oleh para pelaut dari suku Bugis
yang berasal dari Sulawesi. Mereka datang ke pulau ini untuk melakukan
perdagangan dan menjadikannya sebagai tempat berlabuh kapal. Pulau ini
menjadi pusat kegiatan perdagangan yang sibuk, dengan kapal-kapal yang
datang dan pergi membawa barang dagangan dari berbagai tempat.
Pada abad ke-19, Pulau Rempang mengalami perubahan besar ketika Belanda
menduduki pulau ini. Belanda mendirikan pangkalan militer di pulau ini
untuk memantau Selat Melaka, yang merupakan jalur penting dalam
perdagangan maritim. Ini adalah awal dari masa kolonial Belanda di Pulau
Rempang yang membawa perubahan signifikan dalam kehidupan masyarakat
setempat.
Tahun 1942, Pulau Rempang juga diduduki oleh tentara Jepang selama
Perang Dunia II. Tentara Jepang menggunakan pulau ini sebagai lokasi
strategis untuk mengawasi Selat Malaka dan mengendalikan aktivitas
militer di wilayah sekitarnya. Ini adalah masa yang sulit bagi penduduk
pulau, yang harus hidup di bawah pemerintahan militer Jepang.
Namun, peristiwa paling menarik terjadi setelah penaklukan Belanda atas
Kerajaan Riau pada tahun 1784. Pulau Rempang mengalami sejumlah
perubahan dan peristiwa penting. Bukti kunjungan awal Belanda ke Pulau
Rempang tertulis dalam catatan sejarah. Penaklukan Belanda atas Kerajaan
Riau pada tahun 1784 menciptakan ketidakpuasan dan kebencian di
kalangan beberapa pemimpin Kerajaan Melayu Riau. Meskipun perlawanan
terbuka tidak lagi mungkin, sebuah gerakan rahasia yang dikenal sebagai
gerakan Lanun (penyusup laut) diselenggarakan dengan tujuan untuk
mendapatkan kembali kedaulatan Kerajaan Melayu Riau.
Pulau Rempang memainkan peran penting dalam perlawanan terhadap
kolonisasi Belanda oleh Kerajaan Melayu Riau pada tahun 1784. Pulau ini
dihuni oleh penduduk asli seperti Orang Laut (Masyarakat Laut) dan Orang
Darat (Masyarakat Daratan). Setelah itu, pada tahun 1973, Pulau Rempang
ditetapkan sebagai zona industri khusus yang membuatnya menjadi bagian
dari Kota Batam dan pusat pengembangan ekonomi di Kawasan Perdagangan
Bebas Batam-Bintan-Karimun.
Namun, sejarah Pulau Rempang tidak hanya tentang penaklukan dan
perubahan politik. Tokoh-tokoh penting seperti Sultan Mahmud Riayat Syah
dan Engku Puteri Raja Hamidah terlibat dalam perlawanan terhadap
kolonisasi Belanda pada tahun 1784. Meskipun ada informasi yang mencatat
peran mereka, tidak ada catatan lebih lanjut tentang peran Raja Haji
Fisabilillah dan tokoh-tokoh lain dari Pulau Rempang dalam perjuangan
tersebut.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat Pulau Rempang mengembangkan
berbagai mata pencaharian yang penting. Mereka mengandalkan perikanan,
pertanian, perdagangan, industri kecil, dan bahkan pariwisata. Namun,
konflik terkait proyek Rempang Eco City yang sedang berlangsung telah
mengganggu kehidupan mereka, terutama para nelayan yang merasakan
dampaknya pada mata pencaharian mereka. Komunitas Melayu lokal bersama
komunitas pribumi lainnya telah berjuang untuk melindungi hak-hak mereka
dan mencari dukungan dari pemerintah.
Inilah kisah yang menyedihkan tentang perjalanan Pulau Rempang, dari
masa lalu yang penuh sejarah hingga masa kini yang penuh tantangan.
Untuk mendukung masyarakat Pulau Rempang yang menghadapi berbagai
tantangan, kita dapat mengambil beberapa langkah.
Pertama-tama, penting untuk memahami secara mendalam masalah dan kondisi
yang dihadapi oleh masyarakat Pulau Rempang, seperti konflik terkait
proyek Rempang Eco City. Ini melibatkan upaya dalam memahami sejarah
mereka, hak-hak yang mereka miliki, dan dampak dari konflik yang sedang
berlangsung. Selanjutnya, kita dapat memberikan dukungan dengan cara
mendukung upaya advokasi dan kesadaran masyarakat tentang isu-isu yang
mereka hadapi, dengan berbagi informasi dan meningkatkan kesadaran
publik.
Dukungan finansial juga dapat sangat berarti, baik melalui donasi kepada
organisasi nirlaba yang mendukung masyarakat Pulau Rempang atau dengan
aktif berpartisipasi dalam penggalangan dana. Selain itu, memberikan
dukungan psikologis kepada mereka yang mengalami trauma akibat konflik
adalah tindakan empati yang sangat penting. Menghubungi pemerintah
setempat, regional, dan nasional untuk menyampaikan keprihatinan tentang
konflik dan dampaknya juga memiliki dampak yang signifikan.
Selain itu perlu kolaborasi dengan organisasi lokal yang fokus pada
isu-isu Pulau Rempang dapat memperkuat upaya kita. Selain itu, edukasi
tentang hak-hak mereka, perlindungan lingkungan, dan pengembangan
ekonomi bisa memberikan manfaat jangka panjang kepada masyarakat Pulau
Rempang. Selalu mendekati mereka dengan pendekatan yang bersahabat,
hormati budaya serta tradisi mereka, dan luangkan waktu untuk
mendengarkan mereka adalah kunci dalam mendukung perjuangan mereka untuk
melindungi hak-hak mereka dan menjaga kehidupan mereka yang
berharga.***
Sumber: www.riaupos.jawapos.com > Opini - Sejarah Pulau Rempang - Irfan A G (Mahasiswa S3 Pendidikan Universitas Riau)
apahabar - Pulau Rempang ternyata menyimpan sejarah
panjang. Pernah dikunjungi Belanda, dan didiami tentara Jepang di masa
Perang Dunia II.
Kasus kekerasan yang terjadi di Pulau Rempang menarik perhatian publik. Cerita perebutan penguasaan tanah yang
dilakukan penguasa jadi latar belakangnya. Demonstrasi warga berujung
tindakan represif aparat.Semua bermula dari informasi relokasi
seluruh penduduk di pulau tersebut. Tujuan relokasi adalah untuk
mendukung rencana pengembangan investasi di Pulau Rempang yang
rencananya akan dibangun menjadi kawasan industri, jasa, dan pariwisata
bernama Rempang Eco City.
Relokasi ini mendapat penolakan dari
7.500 warga yang menghuni Pulau Rempang. Sebab Rempang adalah rumah
mereka berabad lamanya. Penduduk Rempang mengatakan mereka telah tinggal
di pulau tersebut sejak tahun 1834.Turun temurun mereka menetap
dan membangun pulau tersebut. Lalu atas nama pembangunan dan investasi
mereka semua akan direlokasi. Jika mereka pindah, maka akar budaya
mereka akan hilang.
Pulau Rempang dan Otorita Batam
Pulau
Rempang adalah sebuah pulau kecil dengan luas 16.583 hektare dan
terletak di sebelah tenggara Pulau Batam. Pulau ini menjadi bagian dari
zona berikat Kawasan Industri Batam. Pulau ini diniatkan untuk
punya andil besar untuk mewujudkan cita-cita Indonesia yang ingin
menjadikan Batam sebagai wilayah yang berdaya saing dengan Singapura.
Pulau
ini hanya memiliki dua kelurahan, yakni Rempang Cate dan Sembulang.
Kedua kelurahan ini masuk dalam wilayah Kecamatan Galang, Kota Batam,
Kepulauan Riau. Awalnya Pulau Rempang adalah bagian dari Pemerintah
Daerah Provinsi Riau.[1] Pulau ini tidak masuk dalam Otorita Batam.Tapi pada tahun 1992, melalui Kepres Nomor 28
Tanggal 19 Juni 1992, pemerintah melakukan perluasan wilayah kawasan
industri Pulau Batam. Pulau Rempang dan Pulau Galang lalu menjadi bagian
dari wilayah Pulau Batam.
Kawasan tersebut kemudian dikenal
dengan Balerang, yakni Batam, Rempang, dan Galang. Pemerintah lalu
membangun enam jembatan untuk menghubungkan Pulau Batam, Pulau Tonton,
Pulau Nipah, Pulau Setokok, Pulau Rempang, dan Pulau Galang. Total ada enam jembatan yang saling menghubungkan antar pulau. Panjang enam jembatan tersebut dikabarkan mencapai 1.568 meter.
Ada Jejak Jepang dan Belanda di Rempang
Melansir
Keprionline.co.id, di Pulau Rempang terdapat 16 kampung permukiman
warga asli, yang terdiri dari suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku
Orang Darat. Mereka diyakini sudah tinggal di Pulau Rempang sejak 1834. Di
sumber lain disebutkan, ada juga kelompok Tionghoa, dan kelompok
masyarakat adat Pulau Rempang-Galang yang dikenal sebagai Orang Darat
atau Orang Oetan (Orang Hutan).
Menurut legenda, Orang Oetan
berasal dari Lingga dan mereka dikatakan mirip dengan suku asli Johor
dan Melaka, yakni Orang Jakun. Masyarakat adat Orang Oetan hidup
terpisah dari masyarakat umum. Mereka tinggal di dalam hutan-hutan Pulau
Rempang yang belum banyak terjamah. Sayangnya, populasi Orang Oetan terus menyusut. Pada tahun 2008, dikabarkan jumlah mereka hanya tersisa 30 jiwa.
Sedangkan keberadaan Orang Darat di Pulau
Rempang ini disebutkan dalam sejumlah arsip kolonial Belanda. Ada
sejarah yang menyampaikan, Pulau Rempang adalah bagian dari penaklukkan
Belanda terhadap Kerajaan Melayu Riau pada 1784. Salah satunya
adalah catatan kunjungan Controleur Onderafdeeling Tanjungpinang, P Wink
yang mengunjungi Orang Darat di Pulau Rempang pada 4 Februari 1930.
Cerita
itu tertuang dalam artikel bertajuk Verslag van een bezoek aan de Orang
Darat van Rempang, 4 Februari 1930 atau Laporan Sebuah Kunjungan ke
Orang Darat di Pulau Rempang pada 4 Februari 1930.Popularitas
Pulau Rempang di mata mancanegara juga sudah lama dikenal. Selain
kunjungan Belanda, sejak masa Perang Dunia ke-2, pulau ini pernah
didiami lebih dari 27.000 tentara Jepang.Tahun 1981, untuk
mengabadikan pulau tersebut sebagai pulau yang juga jadi sejarah bagi
orang Jepang, dibangun Tugu Minamisebo, yang sekarang dikenal sebagai
Tugu Jepang.
-----------------------------------
Oleh Tim Redaksi Kamis, 14 September 2023 11:59 WIB
Editor: Endah Lismartini
Konflik terkait proyek
Rempang Eco City yang sedang berlangsung telah mengganggu kehidupan
mereka, terutama para nelayan yang merasakan dampaknya tidak bisa melaut
dan kehilangan mata pencaharian mereka.
Penduduk Pulau Rempang ada bahkan sebelum Indonesia merdeka. Mari
sejenak kita melihat pada sejarah. Pada abad ke-17, Pulau Rempang
awalnya adalah tempat yang ditempati oleh para pelaut dari suku Bugis
yang berasal dari Sulawesi. Mereka datang ke pulau ini untuk melakukan
perdagangan dan menjadikannya sebagai tempat berlabuh kapal. Pulau ini
menjadi pusat kegiatan perdagangan yang sibuk, dengan kapal-kapal yang
datang dan pergi membawa barang dagangan dari berbagai tempat.
Pada abad ke-19, Pulau Rempang mengalami perubahan besar ketika Belanda
menduduki pulau ini. Belanda mendirikan pangkalan militer di pulau ini
untuk memantau Selat Melaka, yang merupakan jalur penting dalam
perdagangan maritim. Ini adalah awal dari masa kolonial Belanda di Pulau
Rempang yang membawa perubahan signifikan dalam kehidupan masyarakat
setempat.
Tahun 1942, Pulau Rempang juga diduduki oleh tentara Jepang selama
Perang Dunia II. Tentara Jepang menggunakan pulau ini sebagai lokasi
strategis untuk mengawasi Selat Malaka dan mengendalikan aktivitas
militer di wilayah sekitarnya. Ini adalah masa yang sulit bagi penduduk
pulau, yang harus hidup di bawah pemerintahan militer Jepang.
Namun, peristiwa paling menarik terjadi setelah penaklukan Belanda atas
Kerajaan Riau pada tahun 1784. Pulau Rempang mengalami sejumlah
perubahan dan peristiwa penting. Bukti kunjungan awal Belanda ke Pulau
Rempang tertulis dalam catatan sejarah. Penaklukan Belanda atas Kerajaan
Riau pada tahun 1784 menciptakan ketidakpuasan dan kebencian di
kalangan beberapa pemimpin Kerajaan Melayu Riau. Meskipun perlawanan
terbuka tidak lagi mungkin, sebuah gerakan rahasia yang dikenal sebagai
gerakan Lanun (penyusup laut) diselenggarakan dengan tujuan untuk
mendapatkan kembali kedaulatan Kerajaan Melayu Riau.
Pulau Rempang memainkan peran penting dalam perlawanan terhadap
kolonisasi Belanda oleh Kerajaan Melayu Riau pada tahun 1784. Pulau ini
dihuni oleh penduduk asli seperti Orang Laut (Masyarakat Laut) dan Orang
Darat (Masyarakat Daratan). Setelah itu, pada tahun 1973, Pulau Rempang
ditetapkan sebagai zona industri khusus yang membuatnya menjadi bagian
dari Kota Batam dan pusat pengembangan ekonomi di Kawasan Perdagangan
Bebas Batam-Bintan-Karimun.
Namun, sejarah Pulau Rempang tidak hanya tentang penaklukan dan
perubahan politik. Tokoh-tokoh penting seperti Sultan Mahmud Riayat Syah
dan Engku Puteri Raja Hamidah terlibat dalam perlawanan terhadap
kolonisasi Belanda pada tahun 1784. Meskipun ada informasi yang mencatat
peran mereka, tidak ada catatan lebih lanjut tentang peran Raja Haji
Fisabilillah dan tokoh-tokoh lain dari Pulau Rempang dalam perjuangan
tersebut.
Seiring berjalannya waktu, masyarakat Pulau Rempang mengembangkan
berbagai mata pencaharian yang penting. Mereka mengandalkan perikanan,
pertanian, perdagangan, industri kecil, dan bahkan pariwisata. Namun,
konflik terkait proyek Rempang Eco City yang sedang berlangsung telah
mengganggu kehidupan mereka, terutama para nelayan yang merasakan
dampaknya pada mata pencaharian mereka. Komunitas Melayu lokal bersama
komunitas pribumi lainnya telah berjuang untuk melindungi hak-hak mereka
dan mencari dukungan dari pemerintah.
Inilah kisah yang menyedihkan tentang perjalanan Pulau Rempang, dari
masa lalu yang penuh sejarah hingga masa kini yang penuh tantangan.
Untuk mendukung masyarakat Pulau Rempang yang menghadapi berbagai
tantangan, kita dapat mengambil beberapa langkah.
Pertama-tama, penting untuk memahami secara mendalam masalah dan kondisi
yang dihadapi oleh masyarakat Pulau Rempang, seperti konflik terkait
proyek Rempang Eco City. Ini melibatkan upaya dalam memahami sejarah
mereka, hak-hak yang mereka miliki, dan dampak dari konflik yang sedang
berlangsung. Selanjutnya, kita dapat memberikan dukungan dengan cara
mendukung upaya advokasi dan kesadaran masyarakat tentang isu-isu yang
mereka hadapi, dengan berbagi informasi dan meningkatkan kesadaran
publik.
Dukungan finansial juga dapat sangat berarti, baik melalui donasi kepada
organisasi nirlaba yang mendukung masyarakat Pulau Rempang atau dengan
aktif berpartisipasi dalam penggalangan dana. Selain itu, memberikan
dukungan psikologis kepada mereka yang mengalami trauma akibat konflik
adalah tindakan empati yang sangat penting. Menghubungi pemerintah
setempat, regional, dan nasional untuk menyampaikan keprihatinan tentang
konflik dan dampaknya juga memiliki dampak yang signifikan.
Selain itu perlu kolaborasi dengan organisasi lokal yang fokus pada
isu-isu Pulau Rempang dapat memperkuat upaya kita. Selain itu, edukasi
tentang hak-hak mereka, perlindungan lingkungan, dan pengembangan
ekonomi bisa memberikan manfaat jangka panjang kepada masyarakat Pulau
Rempang. Selalu mendekati mereka dengan pendekatan yang bersahabat,
hormati budaya serta tradisi mereka, dan luangkan waktu untuk
mendengarkan mereka adalah kunci dalam mendukung perjuangan mereka untuk
melindungi hak-hak mereka dan menjaga kehidupan mereka yang berharga
Sumber: www.riaupos.jawapos.com > Opini - Sejarah Pulau Rempang - Irfan A G (Mahasiswa S3 Pendidikan Universitas Riau)
[1] Sebelum ditetapkan, Pulau Rempang dan Pulau Galang masuk ke dalam
Otorita Batam, Pemerintah Daerah Riau memang sempat agak keberatan.
Sebabnya adalah, bila kedua pulau ini dimasukkan menjadi wilayah kerja
Otorita Batam, dikhawatirkan kegiatan penyeludupan semakin meningkat dan
sulit dicegah, karena semakin banyaknya pintu keluar atau masuk ke
wilayah kawasan berikat dan terbatasnya sarana untuk melakukan
pengawasan. Selengkapnya Baca; Pulau Galang dari Masa ke Masa