Picture: Phesolo |
Koeli Ordonantie
Koeli Ordonantie adalah peraturan ketenagakerjaan yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda melalui Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 138 Tahun 1881. Pada perkembangannya peraturan ketenagakerjaan ini mengalami revisi melalui Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 78 Tahun 1889.
Peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal pemerintah kolonial Hindia Belanda ini cukup komprehensif untuk ukuran waktu itu. Peraturan ini juga cukup berimbang, dalam artian tidak hanya memuat ketentuan untuk melindungi 'kepentingan' para tenaga kerja atau saat itu disebut sebagai ‘koeli’, namun juga memberikan kepastian hukum untuk melindungi kepentingan para investor dan pengusaha demi menjaga iklim yang kondusif guna terjaminnya kelancaran penanaman modal dan investasi.
Dalam peraturan ini terdapat beberapa pasalnya yang bertujuan untuk melindungi kepentingan para tenaga kerja, seperti hak para koeli untuk meminta dikirimkan dan diongkosi kepulangannya kembali ke kampung halamannya bila masa kerja pada kontrak kerjanya telah usai. Juga tentang hak para koeli untuk mendapatkan tempat tinggal dan MCK serta makan maupun upah yang selayaknya. Tak lupa juga para koeli diberikan pas keterangan untuk mengadukan perlakuan para ondernemer yang tak sesuai dengan ketentuan dalam kontrak.
Hebatnya lagi dalam peraturan ketenagakerjaan atau Koeli Ordonantie pemerintah kolonial Hindia Belanda mengharuskan para biro jasa pencari tenaga kerja untuk memberikan honorarium awal kepada para koeli setelah menanda tangani kontrak kerja, walaupun belum efektif bekerja karena belum sampai ke tempat tujuan kerjanya. Uang honorarium awal itu, pada saat itu disebut sebagai ‘uang panjar’.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda juga cukup cerdas dan arif bijaksana. Dalam rangka menjaga stabilitas dan harmonisasi di daerah tujuan penanaman modal dan investasi itu, maka beberapa pasalnya memuat aturan yang memastikan para koeli untuk mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku di daerah itu. Para koeli juga diwajibkan untuk mencatatkan diri pada Pemerintah Daerah setempat.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda yang sangat berkepentingan menciptakan iklim yang kondusif untuk memajukan dan mendorong laju pertumbuhan ekspornya juga membuat peraturan yang bertujuan melindungi kepentingan para investor sebagai penanam modal dan pengusahanya.
Beberapa aturannya mencakup juga ketentuan jam kerja selama 10 jam sehari yang harus dipatuhi oleh para koeli. Juga aturan yang memastikan para koeli akan melaksanakan pekerjaannya selama masa kontrak kerja, serta tak boleh meninggalkan dan melarikan diri dari tempat bekerjanya. Untuk itu para koeli akan dihukum jika desersi, melarikan diri, melawan perintah, melawan dan mengancam atasan, menghasut, mengganggu ketenangan kerja, bermabuk-mabukan, berkelahi, dan sebagainya yang akan mengganggu kelancaran proses produksi.
Namun maksud baik dan mulia dari pemerintah kolonial Hindia Belanda agar tercipta iklim investasi yang kondusif seraya membuka lapangan kerja bagi para penganggur yang miskin. Namun dalam prakteknya lebih mengikat dan merugikan kepentingan para koeli. Inilah awal dari cerita yang didalam sejarah dicatat sebagai zaman penuh penderitaan bagi para koeli orang-orang Jawa. Begitu mengenaskan sehingga ada catatan dalam sejarah yang mencatat beberapa penggal kisah para koeli orang Jawa ini selayaknya cerita kehidupan para budak saja.
Aturan pemerintah kolonial Hindia Belanda dalam Koeli Ordonantie yang semula bermaksud mulia, melindungi hak koeli namun sekaligus juga melindungi investasi para investor perkebunannya. Namun pada pelaksanaannya telah diselewengkan oleh para pemilik perkebunan. Karena lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh para oknum aparatur pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang seolah menutup saja terhadap praktik-praktik ini. Pemerintah kolonial Hindia Belanda pada hakikatnya hanya memikirkan bagaimana agar investasi pada sektor produktif lancar sehingga ekspor komoditi andalannya menjadi lancar dan semakin meningkat. Selanjutnya pada giliran akhirnya akan mengalirkan keuntungan finansial bagi kas pemerintah kolonial serta menggendutkan kantung para pejabatnya.
Aturan yang memastikan para koeli akan melaksanakan pekerjaannya selama masa kontrak kerja, serta tak boleh meninggalkan dan melarikan diri dari tempat bekerjanya, serta hak menghukum para koeli yang desersi, melarikan diri, melawan perintah, melawan dan mengancam atasan, menghasut, mengganggu ketenangan kerja, bermabuk-mabukan, berkelahi, dan sebagainya yang akan mengganggu kelancaran proses produksi, telah diselewengkan makna tujuannya untuk menghukum para koeli yang membangkang dengan hukuman yang kejam. Sangsi penjara, dirantai, dihukum cambuk, direndam air, tidak diberi makan dan minum adalah hal yang lumrah saja dan jamak dilakukan oleh para pemilik perkebunan kepada para koeli bumiputera.
Pada tahun 1902, pernah ada seorang pengacara Belanda yang mencoba melanggar aturan itu. Pengacara Belanda itu, J Van den Brand dalam sebuah majalah lokal pernah menuliskan sebuah tulisan yang melukiskan kekejaman yang dilakukan oleh para pemilik perkebunan tembakau terhadap para koeli mereka. Dalam tulisannya itu ia menuduh pemerintah sengaja menutup mata terhadap segala tindakan kejamnya para pemilik perkebunan tembakau. Tulisan itu seperti membenarkan kabar angin yang sudah beredar sebelumnya dikalangan terbatas.
Untuk meredam kabar itu, selang dua tahun setelah tulisan itu, tepatnya tahun 1904, pemerintah kolonial Hindia Belanda menugaskan seorang jaksa yang bernama JTL Rhemrev untuk mengadakan penyelidikan dan pendalaman terhadap masalah itu. Namun laporan hasil penyelidikan dan pendalaman atas masalah itu, oleh pemerintah dinyatakan sebagai bersifat sangat rahasia, sehingga tidak boleh dipublikasikan kepada publik.
Pada tahun-tahun berikutnya undang-undang ini mendapat tanggapan yang serius dari berbagai kalangan. Di dalam sidang Volksraad, masalah ini diperjuangkan oleh Thamrin. Menurutnya, sanksi yang dikenakan kepada buruh di perkebunan Sumatera Timur jika lalai atau lari dari kontrak, berupa ketentuan perusahaan yang sangat mengikat. Ia memperoleh bukti bahwa para kuli di perkebunan itu diperlakukan sewenang-wenang. Buruh yang dianggap malas dihukum dengan dengan pukulan atau disiksa dengan kejam. Hasil penyelidikan Thamrin ini dibeberkan di media masa sehingga menimbulkan pemboikotan tembakau Deli oleh Eropa dan Amerika
Disalin dari kiriman Riff ben Dahl