Heranlah kita melihat pencak itu, karena dengan mudah saja ia melepaskan tangkapan lawannya serta menyambut sewah (pisau) yang tak tentu datangnya itu. Terkadang-kadang kalau ia telah sama-sama asyik bermain, terpelanting pisau itu ke atas kena sepak lawannya, hingga digantinya pula dengan senjata lain seperti: pedang, penokok, dan sebagainya; itupun jangankan menolong, melainkan yang bersenjata itu jualah yang kalah dan payah. Ada kalanya empat atau lima macam yang disambut lawannya itu serta diperdua-duakan pula; itupun dengan mudah juga lawannya melepaskan dirinya.
Tampilkan postingan dengan label silat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label silat. Tampilkan semua postingan
Di Alam Minangkabau (Sumatera Barat) adalah suatu permainan laki-laki yang amat digemari orang, yaitu pencak namanya. Pencak itu adanya bukanlah pada waktu sekarang saja, melainkan telah turun-temurun sejak zaman purbakala. Kegemaran dan keinginan hati orang melihat pencak itu, pertama ialah karena melihat pakaian orang yang bermain; kedua, melihat langkah yang bermacam-macam serta tegap dan tari tangan yang menarik pemandangan, istimewa pula memperhatikan mata kedua belah pihak yang tajam seperti mata burung elang itu, intai-mengintai lawannya yang terlengah atau terlalai dan menanti langkah lawannya sumbang (salah). Maka langkah dan tari tangan itu diiringi pula oleh sepak-menyepak, tumbuk-menumbuk, tinju-meninju, kesudahannya tangkap-menangkap, dan empas-mengempaskan berganti-ganti; tak ada ubahnya dengan orang berkelahi. Lebih-lebih asyik bercampur ngeri lagi melihatnya, jika pergulatan itu disertai senjata tajam, seolah-olah akan keluar sajalah isi perut mereka itu kena tikaman senjata itu; tetapi mudah-mudahan tiadalah kena-mengena sedikit juga.
![]() |
Ilustrasi Foto: Odisimy |
Disalin dari kiriman FB Kisah Sejarah Melayu
Dalam sebuah dokumentari berjudul 'Pusaka Kita Maruah Kita', salah seorang saksi yang masih hidup dan pernah mendengar kisah ini secara langsung dari mulut Dato Meor Abdul Rahman menceritakan detik-detik pertarungan di lapangan terbang itu.
Ia terjadi ketika Dato Meor dalam perjalanan ke Jepun. Sewaktu beliau transit di Hong Kong, iaitu 45 minit sebelum meneruskan penerbangan, tiga orang lelaki telah datang menemui beliau di sebuah Coffee House. Salah seorang daripada lelaki itu mengenakan jubah China. Lelaki itu bertanya kepada Dato Meor, "Betulkah kamu ini (ahli) seni mempertahankan diri orang Melayu yang paling
hebat
?"Dato Meor membalas, "Ya, saya." Jawapan Dato Meor ini diberikan kerana beliau menganggap sebagai orang Melayu, beliau perlu menjaga maruah bangsa.
![]() |
ILustrasi Foto: minangkabaunews |
Disalin dari kiriman FB Irwan Effendi
NAN SABINJEK
KALIMAT nan sabinjek sering kita dengar di dalam kosa kata masyarakat Minangkabau. Nan sabinjek paling sering didengar saat anak nagari belajar silat di sasaran-sasaran tradisional. Pada saat akan memutus kaji atau silat, sang guru selalu berpetuah pada muridnya. Petuahnya kira-kira begini:
“Pada suatu saat kalau kamu akan mengajarkan silat kepada orang lain nan sabinjek jan diagiahkan.”
Makna nan sabinjek tersebut dipahami dengan menyimpan beberapa jurus pamungkas yang tidak boleh diturunkan pada murid. Alasan menyimpan itu untuk antisipasi jika suatu kelak murid melawan guru bersilat dan “satu jurus” atau sabinjek masih dipegang guru.
Jika demikian artinya, tidak semua ilmu yang dimiliki sang guru diturunkan pada si murid. Ilmu nan sabinjek tersebut disimpan oleh sang guru sampai batas waktu tak terbatas. Konsekuensi sabinjek yang tak diturunkan guru itu berakibat putusnya satu ilmu. Dan lamakelamaan makin habis karena guru membawa mati ilmu tersebut. Rentetan dan hokum alamnya, setiap guru melakukan hal yang sama. Dan seseorang yang sebelumnya murid, kelak menjadi guru silat, juga melakukan hal yang sama kepada muridnya. Nan sabinjek tetap tak diturunkan. Akhirnya sabinjek demi sabinjek ilmu atau kepandaian yang disimpan menjadi tidak utuh tersampaikan dan habis atau punah. Maka kini yang ilmu silat yang diterima hanya tinggal bagian kulitkulitnya saja. Dan ini sudah berlangsung ratusan tahun.
![]() |
Foto: bukalapak |
Disalin dari FB Tumanggung Djimat Joyonegoro
tentang kerambit si kecil yang mematikan
Kerambit merupakan jenis senjata asli Minangkabau, termasuk senjata khas andalan yang sangat berbahaya. Dalam aksen Minangkabau disebut “kurambik”. Pada masa dahulu, permainan senjata kerambit di Minangkabau hanya diwarisi oleh para Datuk atau kalangan Raja, tidak sembarang orang menguasai permainan yang dianggap rahasia dan hanya untuk kalangan tertentu saja.[1]
Dalam klasifikasi senjata genggam paling berbahaya, kerambit sebagai senjata mematikan menempati urutan kedua setelah pistol. Sabetan senjata kerambit bila mengenai tubuh lawan, dari luar memang tampak seperti luka sayatan kecil, namun pada bagian dalam tubuh bisa menimbulkan akibat yang sangat fatal karena urat-urat putus. Dan apabila mengenai perut, maka usus terpotong atau tercabik-cabik didalam.
![]() |
Ilustrasi Gambar: Super Advanture |
Pada awalnya, orang Minangkabau menempatkan Silat, atau Pencak Silat dan berbagai permainannya sebagai warisan tradisi yang disako-i (sako yang dipusaka-i) dari korong kampung dalam nagari mereka sendiri. Dari korong kampung inilah, seorang anak kemanakan mewarisi ilmu Silat/Pencak Silatnya. Warisan tersebut dalam adat dinamakan Sako Tuhuak Parang Korong Kampung.
Sako Tuhuak Parang, adalah seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan fisikal beserta norma-norma adat yang mengatur segala sesuatu berkenaan dengan aktifitas dan kreatifitas membela, dan menjaga korong kampung, dari setiap ancaman bahaya luar dalam, lahir dan bathin. Sako Tuhuak Parang ini digunakan untuk mempertahankan diri, kaum, korong dan kampung dari setiap ancaman dan serangan yang datang baik dari luar atau dari dalam, agar korong kampung berserta warga kaumnya tetap aman dan selamat.
Oleh karena itu Sako Tuhuak Parang adalah suatu kemuliaan dalam mempertahan kan hak, mempertahankan diri, mempertahankan kebersamaan kaum, korong kampung atau nagari bila diserang musuh. Taktik dan strategi dalam mempertahankan diri, kaum dan korong kampung ini dalam adat disusun dalam aturan-aturan tertentu yang kemu dian menjadi bagian nilai-nilai adat (sako nan dipusako-i) sebagai warisan budaya yang diterima dan diwariskan kepada anak kemenakan secara turun temurun.
![]() |
Gambar: https://www.facebook.com |
Jika dirujuk dari buku berjudul Filsafat dan Silsilah Aliran-Aliran Silat Minangkabau karangan Mid Djamal (1986), maka dapat diketahui bahwa para pendiri dari Silek (Silat) di Minangkabau adalah Sebagai berikut:
(1) Datuak Suri Dirajo diperkirakan berdiri pada tahun 1119[1] Masehi di daerah Pariangan, Padang panjang, Luhak Tanah Data.
(2) Kambiang Utan (diperkirakan berasal dari Kamboja).
(3) Harimau Campo (diperkirakan berasal dari daerah Champa).[2]
(4) Kuciang Siam (diperkirakan datang dari Siam atau Thailand).[3]
(5) Anjiang Mualim (diperkirakan datang dari Persia).
Pada masa Datuak Suri Dirajo, silek Minangkabau pertama kali diramu dan tentu saja gerakan-gerakan beladiri dari pengawal yang empat orang tersebut turut mewarnai silek itu sendiri (menurut: Djamal, Mid. "Filsafat dan Silsilah Aliran-Aliran Silat Minangkabau". Penerbit CV. Tropic - Bukittinggi.1986).
Langganan:
Postingan (Atom)