ILustrasi Foto: minangkabaunews |
Disalin dari kiriman FB Irwan Effendi
NAN SABINJEK
KALIMAT nan sabinjek sering kita dengar di dalam kosa kata masyarakat Minangkabau. Nan sabinjek paling sering didengar saat anak nagari belajar silat di sasaran-sasaran tradisional. Pada saat akan memutus kaji atau silat, sang guru selalu berpetuah pada muridnya. Petuahnya kira-kira begini:
“Pada suatu saat kalau kamu akan mengajarkan silat kepada orang lain nan sabinjek jan diagiahkan.”
Makna nan sabinjek tersebut dipahami dengan menyimpan beberapa jurus pamungkas yang tidak boleh diturunkan pada murid. Alasan menyimpan itu untuk antisipasi jika suatu kelak murid melawan guru bersilat dan “satu jurus” atau sabinjek masih dipegang guru.
Jika demikian artinya, tidak semua ilmu yang dimiliki sang guru diturunkan pada si murid. Ilmu nan sabinjek tersebut disimpan oleh sang guru sampai batas waktu tak terbatas. Konsekuensi sabinjek yang tak diturunkan guru itu berakibat putusnya satu ilmu. Dan lamakelamaan makin habis karena guru membawa mati ilmu tersebut. Rentetan dan hokum alamnya, setiap guru melakukan hal yang sama. Dan seseorang yang sebelumnya murid, kelak menjadi guru silat, juga melakukan hal yang sama kepada muridnya. Nan sabinjek tetap tak diturunkan. Akhirnya sabinjek demi sabinjek ilmu atau kepandaian yang disimpan menjadi tidak utuh tersampaikan dan habis atau punah. Maka kini yang ilmu silat yang diterima hanya tinggal bagian kulitkulitnya saja. Dan ini sudah berlangsung ratusan tahun.
Jika falsafah nan sabinjek memang menjadi pakaian bagi orang Minang dalam proses belajar dan mengajar, tentu saja hal ini menjadi kontra produktif untuk sebuah pengembangan ilmu di ranah ini, lama kelamaan semua ajaran yang ada tidak akan berkembang sebagai mana mestinya baik ajaran adat, agama, silat dan pengetahuan lain semakin jadi dangkal.
Kenyataan hari ini, tidak banyak lagi kita temukan anakanak kita yang menaruh hormat pada orangtua, sanak saudara, mamak, guru dan lingkungan. Di sekolah-sekolah para murid tidak lagi mengenal gurunya kecuali yang masuk ke kelasnya saja. Di rumah, anak-anak tidak lagi mengenal mamak, datuk dan inyiaknya. Para inyiak, mamak, datuk dan para orangtua juga tidak lagi mengenalkan hubungan relasi antar sanak familinya pada anak-anak mereka. Mereka juga telah kehilangan kearifan. Karena nan sabinjek tetap menjadi rahasia yang tidak lagi diketahui oleh para pewarisnya.
Menurut pendapat penulis, nan sabinjek mengandung pengertian yang hakiki dalam kedirian manusia yakni harga diri. Karena harga diri tidak boleh dijual maupun terjual. Harga diri atau nan sabinjek adalah ilmu pamungkas yang harus dipertahankan. Jika demikian adanya, tentu sudah benar kearifan yang diwariskan oleh budaya Minangkabau yang menyatakan nan sabinjek nambek diagiahkan.
Padahal ungkapan nan sabinjek dalam falsafah adat Minangkabau merupakan sesuatu yang dekat dengan kedirian, sesuatu yang sifatnya sangat personal, yakni harga diri. Puncak pencarian dari segala pengetahuan gunanya untuk membentuk harga diri, sehingga tercipta karakter manusia yang kuat.
Jika kita, bangsa ini sudah kehilangan harga diri, tidak penting apakah dia seorang guru, pejabat, walikota, anggota dewan, gubernur sampai presiden, maka berarti mereka sudah kehilangan nan sabinjek.
Nan sabinjek bagi orang Minangkabau adalah nan kuriak kundi dan merah sago, nan baiak budi nan indah baso. Pertanyaanya, dalam kondisi saat ini, masihkah nan sabinjek itu, ada bertahan dalam diri kita, dalam diri orang Minangkabau.
Allahualam bisawab?
Sumber : Epaper Harian Haluan, MINGGU 9 JANUARI 2011