Heranlah kita melihat pencak itu, karena dengan mudah saja ia melepaskan tangkapan lawannya serta menyambut sewah (pisau) yang tak tentu datangnya itu. Terkadang-kadang kalau ia telah sama-sama asyik bermain, terpelanting pisau itu ke atas kena sepak lawannya, hingga digantinya pula dengan senjata lain seperti: pedang, penokok, dan sebagainya; itupun jangankan menolong, melainkan yang bersenjata itu jualah yang kalah dan payah. Ada kalanya empat atau lima macam yang disambut lawannya itu serta diperdua-duakan pula; itupun dengan mudah juga lawannya melepaskan dirinya.
Kalau diamat-amati benar tak ada ubahnya dengan dua orang menyamun, yang hendak menyamun seorang saudagar; bagaimanapun sekali mereka hendak menangkap saudagar itu, tetapi tiada dapat, hingga kesudahannya berhenti sendiri sajalah penyamun itu, sebab lelah yang tiada berhasil.
Permainan-permainan yang masuk bahagian pencak itu ialah: randai, dampeng, tari-kambang, tari-tadah (piring), dabus, dan sebagainya. Sekaliannya itu dimainkan oleh beberapa orang serta dengan lagu dan dendangnya; sekali-kali ditingkah pula oleh orang diluar dengan tepuk tangan dan sorak-sorak; ada pula yang dicampur dengan bunyi-bunyian seperti rebana kecil, talempong, dan lain-lain.
Adapun pencak itu dimainkan oleh dua atau tiga orang, jarang yang dimainkan oleh empat, lima orang atau lebih. Kalau dimainkan empat, lima orang, haruslah menurut aturan, yang telah dilazimkan dalam permainan itu.
Kebiasaanya dalam keramaian atau perjamuan, pencak itulah yang dipermainkan oleh anak muda-muda, karena orang tua tak sanggup lagi bermain pencak itu, sebab permainan itu harus dilakukan dengan kekuatan serta menerbikan peluh.
Pencak Bukan Silat
Silatpun masuk bahagian pencak itu juga; silat itu ada pula bahagiannya umpamanya; starlak, gelombang dan sebagainya. Lain dari pada tari-tangan dan langkah yang berbunga-bunga itu, maka silat itu hampir bersamaan jalannya dengan pencak, dan lagi orang yang bermainpun biasanya tidak berpakaian bagus-bagus. Tiada pernah silat itu dipertunjukkan orang dalam keramaian, karena gunanya hanyalah untuk penjaga diri dari pada mara bahaya dan berkelahi.
Ngeri dan seram bulu kita melihat pesilat itu, karena orang yang bermain itu tak ada menghingga lawannya sedikit jua; sebagaimana akalnya masing-masing dicobalah hendak menghempaskan dan mengurbankan lawannya; tak ada ubahnya seperti kucing atau harimau yang berkelahi. Maka barang siapa yang tercakap dan cukup mengetahui akan segala rukun dan syarat silat itu, digelari oranglah "pendekar".
Asal Usul Silat
Adapun asal-usul silat itu gelaplah oleh orang pada masa sekarang. Hanya dari kabar kekabar saja, atau menurut kabar angin yang tiada boleh dipercayai benar, silat itu dari pada seorang pengambil niralah asalnya. Kata setengan orang tua-tua; tatkala si pengambil nira itu sedang di atas pohon enau, kelihatanlah olehnya seekor harimau mengajar anaknya berkelahi, lalu diperhatikannya sungguh-sungguh pergulatan binatang itu sejak dari awalnya sampai kepada akhirnya. Sepuluh hari lamanya pengambil nira itu tak turun-turun dari pohon enau itu, sebab takut; dalam pada itu tahulah ia sudah, bagaimana induk harimau itu memberi keputusan perkelahian (silat) itu kepada anaknya. Untunglah pengambil nira itu ada membawa perbekalan, ketika ia akan pergi mengambil nira itu; kalau tidak matilah ia kelaparan. Sepulangnya ia mengambil nira itu, maka malamnya terus ia bermimpi seperti yang telah dilihatnya tadi, serta banyak pula lagi lain dari pada itu pokok tambahnya.
Di Alam Minangkabau (Sumatera Barat) itu, adalah beberapa buah negeri[14], yang ternama dan masyhur karena silat itu, misalnya; Lintau, Bayang, dan lain-lain. Akan tetapi keadaan silat satu-satu negeri itu tiadalah seberapa bedanya, hanya silat negeri itu cepat kaki dari pada tangan, silat negeri itu cepat tangan dari pada kaki dan ada pula yang sama-sama cepat keduanya. SIlat rendah dinamakan orang "main bagolek".
Kebanyakan anak-anak muda di Sumatera Barat, apabila sudah berumur 15 tahun, diajari oleh bapa dan mamaknya sendiri bermain silat itu ataupun diserahkannya kepada guru silat yang pandai dan ternama.
Adat (Cara) Belajar Silat
Jikalau seseorang hendak mempelajari (berguru) pencak atau silat itu, haruslah mengisi sepanjang adat dan memahat sepanjang baris, karena pencak itu tak boleh dipermudah-mudah saja, sebab telah turun-temurun dari pada nenek moyang, dan permainan dari pada raja-raja dan penghulu-penghulu.
Dibawah ini akan diterangkan bagaimana syarat dan adat mempelajari pencak itu, seperti yang kita lihat atau dengar di Alam Minangkabau.
Mula-mula harusla diutus seorang dari pada kaum anak muda itu menjelang (pergi)[1] kepada guru pencak itu dengan membawa sirih pinang selengkapnya. Setelah sampai maka diceritakanlah dengan adat yang lazim akan maksudnya itu, yakni hendak membawa (mempersinggah, menjamu)[2] guru itu beserta muridnya ke rumah saudaranya yang hendak berguru itu.[3] Jikalau permintaan itu berkenan kepada guru itu, maka pada esok harinya malam, dijemput oranglah guru itu, dan pergilah ia diiringi oleh murid-muridnya ke rumah anak muda itu, bersuka-suka saja serta dengan bunyi-bunyiannya. Hampir-hampir akan sampai dimuka rumah itu, datanglah yang punya rumah mengalu-alukan jamu itu[4] dan seorang dari padanya membawa sebuah cerana yang berisi sirih pinang selengkapnya. Maka jamu itu disilahkan duduk di atas permadani yang telah terhampar di halaman rumah itu. Setelah sirih disirihkan dan rokokpun sudah digulung oleh jamu itu,[5] maka ketua rumah[6] melalukan permintaan kepada guru itu menurut sepanjang adat, yakni permainan mata mohon dilihat, permainan telinga minta di dengar. Kemudian bermainlah anak muda-muda (murid) itu dengan hormat dan tertibnya, seolah-olah memberi contoh kepada anak muda yang hendak belajar itu; sesudah itu bunyi-bunyianpun dibunyikan oranglah seperti: rebab, suling, serunai, dan sebagainya.
Apabila telah selesai dari pada minum dan makan,[7] barulah bapa anak muda itu menyerahkan anaknya, sebagaimana seorang bapa menyerahkan anak kepada guru.[8]
Maka anak muda itu diperkenalkan oleh guru itu dengan murid-muridnya yang lain, serta mempetuakan supaya mereka itu: ringan sama dijinjing, berat sama dipikul, seia sekata, sehina semalu, sehidup semati dan sekebat [seikat] bak sirih, serumpun bak serai, setempuh, sebondong, dan lain-lain sebagainya.
Baru saja guru itu sudah berpetua [petuah], datanglah anak muda itu membawakan hidangan yang berisi bermacam-macam barang, seraya menyembah[9] gurunya itu dan memberi salam kepada teman-temannya itu, menyatakan ia akan menurut segala petua[h] dan aturan gurunya itu. Kemudian datang ia kembali kepada gurunya serta membawa perasapan (pedupaan), lalu bersalaman dengan guru itu di atas asap kemenyan itu, seolah-olah bersumpah bahwa ia tidak akan menohok kawan seiring, memancing dalam belanga, menggunting dalam lipatan serta dengan tulus ikhlas ia akan menerima pengajaran dan aturan. Maka gurupun membacalah do'a akan "pemateri", seperti yang telah dilazimkan dan dibiasakan dalam permainan itu.
Hidangan[10] yang diletakkan dihadapan guru itu, ialah syarat berguru namanya, berisi: beras sesukat, kain putih sekabung, besi sekerat (pisau sebuah), uang serupiah, penjahit tujuh dan sirih pinang selengkapnya. Segala barang-barang itu sebenarnya kiasan saja semuanya, arti dan wujudnya: beras sesukat gunanya akan dimakan guru, selama mengajari anak muda itu; seolah-olah mengatakan: perlukanlah mengajarnya, janganlah dilalaikan anak muda itu, sebab hendak mencari penghidupan lain.
Kain putih sekabung "alas tobat" namanya; maksudnya dengan segala putih hati dan tulus anak muda itu menerima pengajaran; samalah dengan kain itu putih dan bersih hati anak itu menerima barang apa yang diajarkan gurunya; ia akan menurut suruh dan menghentikan tegah. Dan lagi, mujur tak boleh diraih malang tak boleh ditolak, kalau sekiranya ia kena pisau atau kena apa saja sedang belajar, kain itulah akan kapannya kalau ia mati.
Besi sekerat (pisau) itu maksudnya seperti senjata itulah tajamnya pengajaran yang diterimanya dan lagi janganlah ia dikenai senjata, apabila telah tamat pengajarannya.
Uang serupiah, ialah untuk membeli tembakau yang diisap guru waktu melepaskan lelah dalam mengajar anak muda itu, dan hampir searti dengan beras sesukat tadi.
Penjahit tujuh, artinya sepekan tujuh hari; hendaklah guru itu terus mengajarnya, dengan pengajaran yang tajam seperti penjahit itu. Dan meski tujuh macamnya mara bahaya yang tajam-tajam menimpa dia, mudah-mudahan terelakkanlah olehnya, berkat pengajaran guru itu, Pengajaran guru itu menjadi darah daging hendaknya kepadanya, jangan ada yang menghalangi, terus saja seperti penjahit yang dijahitkan.
Sirih pinang selengkapnya, artinya ialah akan dikunyah guru, waktu ia menghentikan lelah tiap-tiap sesudah mengajar anak muda itu, dan lagi sirih pinang itu telah menjadi adat yang biasa di Minangakabau.
Pada tiap-tiap sasaran (tempat bermain)[11] biasanya diadakan seorang guru-tua (murid yang terpandai)[12], gunanya akan menolong guru, mengulangkan permainan dan mengumpulkan iuran apa saja yang dimupakati, karena belanja guru itu ditanggung oleh muridnya, baik tentang makan minumnya, baikpun tentang kain bajunya. Guru tua itu derajatnya hampir sama dengan guru besar dan ia bebas dari segala iuran apa saja yang dimufakati murid-muridnya.
Syahdan pencak itu bukanlah hanya gunanya untuk penyenangkan hati dan untuk permainan saja, tetapi untuk kesehatan badan juga amat besar faedahnya, karena pencak itu hampir-hampir bersamaan dengan gymnastik, boksen dan lain-lain permainan orang Eropa, yang wujudnya untuk menguatkan dan menyehatkan badan, karena pencak itu mengeluarkan peluh serta menggerakkan segala anggota.
Jadi boleh dikatakan pencak itu terutama sekali bagi kesehatan badan.
Mudah-mudahan bertambah-tambah majulah pencak itu dan makin lama makin bergeraklah hati anak muda-muda hendak mempelajarinya. Terlebih-lebih lagi lagi amtenar-amtenar[13], yang selalu bekerja menulis saja, lagi jarang bekerja kuat akan menggerakkan anggotanya, baik benar paedahnya pencak itu.
--------------------------------
Sumber: Volksalmanak Melajoe 1922, Tahoen Ke IV, Serie No. 561. Weltevreden: Drukkerij Volkslectuur, 1921, hlm. 211-sebelum 216. [Foto terletak antara hlm.214 dan 215]
Catatan Admin:
Foto terletak pada bagian paling bawah selepas Catatan kaki.
Weltevreden ialah Gambir
----------------------------
Disalin dari kiriman engku Suryadi Sunuri pada blog beliau niadilova
Baca Juga Pencak di Sumatera Barat
==================
Catatan kaki oleh Admin:
[1] Manjalang berarti pergi atau menziarahi atau menurut atau bersilaturahmi
[2] Mengundang
[3] Maksudnya saudara lelaki atau anak lelaki dari saudara perempuannya. Berarti yang menurut ini ialah saudara lelaki yang tua atau mamak dari si anak yang hendak belajar silat.
[4] mengelu-elukan, jamu berarti tamu yang hendak dijamu
[5] Sirih disirihkan, maksudnya sirih telah disuguhkan kepada jamu. Rokok pada masa itu dari daun enau yang digulung bersama tembakau di dalamnya. Sudah menjadi kebiasaan para lelaki di Minangkabau merokok.
[6] Ketua rumah, maksudnya mamak yang menjadi kepala keluarga di rumah tersebut. Dalam Adat Minang, keluarga ialah keluarga ibu dengan mamak (saudara lelaki) ibu sebagai kepala keluarganya.
[7] Minum maksudnya hidangan yang dijadikan sebagai hidangan pembuka atau terkadang dijadikan hidangan penutup. Terdiri dari kalamai, pinyaram, sipulut, dan makanan ringan lain. Makan ialah memakan nasi dengan lauk pauk khas Minangkabau.
[8] Disini tampak perbedaan peran antara mamak dengan bapa (ayah) dalam keluarga di Minangkabau. Terdapat pembagian wewenang dan kewajiban dan saling mengisi antara mamak dengan ayah dalam peran mereka pada keluarga.
[9] Sembah, maksudnya etika perilaku dan ucapan. Ketika menghadap gurunya dengan membawa berbagai barang ia berucap beberapa patah kata yang sebelumnya telah diajari oleh mamaknya. Sembah dalam 'adat' Minangkabau tidak sama dengan sembah yang ditujukan kepada tuhan, tidak ada hubungan dengan sisi religius melainkan etika dan tatakrama dalam percakapan resmi.
[10] Barang-barang yang diberikan si calon murid kepada gurunya, terkait catatan kaki No.9
[11] Sasaran maksudnya Padepokan atau Perguruan
[12] Menjadi asisten guru atau mentor bagi kawan-kawannya
[13] Pegawai pemerintah, PNS
[14] Nagari merupakan sistem pemerintahan terendah dalam Sistem Ketatanegaraan di Minangkabau. Berupa republik mini atau dapat disamakan dengan Polis di Yunani Kuno. Memiliki wewenang penuh untuk mengendalikan pemerintahan, membentuk undang dan perangkat peraturan lainnya. Masing-masing nagari memiliki corak adat yang berlainan, tidak hanya adat namun dari segi bahasa antara nagari yang berjiran (tetangga) juga berbeda dialek Bahasa Minang mereka. Nagari di Minangkabau memiliki luas setidaknya 3x luas Desa di Jawa.
================================
Foto-foto: