Tampilkan postingan dengan label agresi belanda II. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label agresi belanda II. Tampilkan semua postingan

NAGARI KOTO TUO DALAM RANGKAIAN SEJARAH PEMERINTAH DARURAT REPUBLIK INDONESIA (PDRI)

 

Pict: indonesia kayaindonesia kaya

Melalui Tulisan Kita Mengenal Sejarah

Ciloteh Tanpa Suara #33 | Sejak tahun 2010 Nagari Koto Tuo Kecamatan Harau Kabupaten Limapuluh Kota memperingati sebuah rangkaian sejarah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari 19 Desember 1948 – Juli 1949. Pada tahun 2024 ini, kembali anak Nagari Koto Tuo bersama pelajar melaksanakan kegiatan napak tilas terhadap tempat-tempat yang bersejarah di nagarinya.
Peristiwa ini merupakan rangkaian sejarah pada zaman PDRI 75 tahun silam, dimana setelah Kota Payakumbuh di bumi hanguskan 23 Desember 1948 dan Belanda membuat posnya di rumah engku guru Saidi di Simpang Jalan ke Rumah Sakit Umum Payakumbuh, pos lain di rumah Dt. Patiah Baringek Balai Baru (sekarang Rumah Adat H.Marlius).
Sebuah peristiwa yang tidak bisa dilupakan oleh masyarakat Kenagarian Koto Nan Gadang adalah, pada hari Jumat tanggal 11 Februari 1949 dimana sebelum shalat Jum'at serdadu Belanda mengepung dan memasuki Masjid Gadang di Balai Gadang dan menangkap tiga orang pemuda yakni,: Hamdani, Radinas dan Matrusi dan kemudian ditembak di simpang jalan ke Masjid tersebut ,darah mulai membasahi bumi Koto Nan Gadang.

Rumah Orang Tua Khatib Sulaiman





FB Saiful Guci | Berkunjung Kerumah Orangtua Chatib Sulaiman di Sumpur. Nagari Sumpur terletak di Kecamatan Batipuh Selatan, Kabupaten Tanah Datar. Wilayah ini terletak di tepian Danau Singkarak dengan keindahan alam memukau. Selain itu, Sumpur juga terkenal kukuh menjaga adat dan istiadatnya.
Terbayang bagi saya luasnya Afdeeling (Kabupaten Agam) dari Simawang, Sumpur Danau Singkarak sampai Bonjol Pasaman. Dan baru di tahun 1868 Batipuah X Koto menjadi Afdeeling sendiri Yang wilayahnya dari Simawang sampai Pandai Sikek.[1]
Di Nagari Sumpur, banyak lahir anak bangsa yang menjadi pionir dalam berbagai bidang, dan jasa mereka tetap dikenang hingga kini. Sumpur dikenal sebagai pusat pemikir dan pejuang selama perjuangan kemerdekaan, menghasilkan tokoh seperti :

Revolusi Fisik 1947: Gelombang Pengungsi Sumatera Timur ke Aceh

 


Mengapa ratusan ribu penduduk Sumatera pindah ke Aceh pada masa revolusi?
Oleh Iskandar Norman.

FB Benny Blis | Untuk menjawab pertanyaan ini saya gunakan referesi buku Modal Perjuangan Kemerdekaan. Buku ini ditulis oleh jurnalis dan pelaku pejuang kemerdekaan di Aceh, Teuku Alibasjah Talsya, yang setelah Indonesia merdeka menjabat sebagai Kepala Seksi Publikasi Kementerian Penerangan Republik Indonesia.
Dalam buku itu Talsya menjelaskan, gelombang pengungsi dari beberapa daerah di Sumatera sudah memasuki Aceh sejak pertengahan tahun 1947. Namun puncaknya terjadi pada akhir tahun 1947 dan awal tahun 1948.
Pada 31 Desember 1947, rakyat dari beberapa daerah di Sumatera yang sudah dikuasi oleh Sekutu/NICA, mengungsi ke Aceh untuk menghindari perang. Para penduduk yang mengungsi tersebut berasal dari beberapa daerah, diantaranya dari Binjai, Tanjung Pura, Stabat, Pangkalan Brandan, Pancur Batu, Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Simpang Tiga, Tebing Tinggi, Pemantang Siantar, Berastagi, dan Kebanjahe.

MENGENANG PERJALANAN MR.MOHAMMAD RASYID DARI HALABAN KE KOTO TINGGI

 

Ilustrasi Gambar: tribun pekan baru

Lewat sejarah kita mengenal PDRI
Saiful Guci - Sehari sesudah dideklarasikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) berdiri 22 Desember 1948 di Halaban, atau hari Kamis pagi tanggal 23 Desember 1948 pihak intelijen melaporkan bahwa pasukan Belanda sedang bergerak dari Bukittinggi menuju Payakumbuh. Bila Belanda berhasil menduduki kota Payakumbuh dan mengetahui kedudukan PDRI di Halaban, besar kemungkinan tokoh-tokoh PDRI akan tertangkap. Komodor Udara Soejono yang sudah diangkat sebagai Kepala Staf AURI PDRI menemui Mr.Syafruddin Prawiranegara dan lain-lain dan menyarankan. "Saya tidak setuju Tuan-tuan tetap berada di Halaban ini. Kalau Belanda tidak tahu, ya tidak apa. Tempat ini bisa dicapai Belanda hanya dalam tempo sekitar sepuluh atau dua belas jam saja." Soejono menyarankan agar rombongan PDRI berangkat ke daerah Kampar, Riau.
Saran Soejono disetujui oleh Mr.Syafruddin Prawiranegara. Akan tetapi, tidak semua tokoh PDRI bersedia mengungsi ke Kampar. Sebuah rombongan yang dipimpin oleh Mr.Mohammad Rasyid mengungsi ke Kototinggi, masih dalam daerah Kabupaten Lima Puluh Kota. Selain sebagai menteri dalam kabinet PDRI, Mr.Mohammad Rasyid masih memegang sebagai Residen Sumatera Barat. Jabatan terakhir itulah yang menyebabkan ia merasa perlu tetap berada di daerah Sumatera Barat.

DI KOTO TINGGI TEMPAT DIBENTUKNYA DAERAH MILITER SUMATERA

 

Ilustrasi gambar: liputan6

Lewat sejarah kita mengenal Nagari Kototinggi di masa PDRI
FB Curito Luhak Nan Bunsu - Pada hari Kamis Desember tanggal 30 Desember 1948, Panglima Tentera Teritorial Sumatera (PTTS) Kolonel Hidayat Martaatmadja, bersama-sama Letkol A. Tahir dan Ajudan Kapten Islam Salim melewati jalan gerilya Nagari Pagadih Kecamatan Palupuah Kabupaten Agam sampai di Koto Tinggi Gunuang Omeh menemui Residen Mr. St.Moehammad Rasyid yang baru 5 (lima) hari berada didaerah tersebut. Karena Mr. St.Moehammad Rasyid juga merangkap Menteri Keamanan dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), maka pembicaraan mereka berkisar sekitar perjuangan menghadapi Belanda, terutama mengenai soal-soal Pertahanan. Yang penting disadari pada waktu itu, perjuangan mesti mempunyai Komando dan kekuatan Militer dengan Sipil mesti disatukan. Di Jawa baru saja terbentuk daerah-daerah militer yang dibagi menurut 3 propinsi, yaitu :
1. Jawa Barat, Gubernur Militernya adalah Kolonel Hasan Sadikin.
2. Jawa Tengah, Gubernur Militernya adalah Gatot Subroto.
3. Jawa Timur, Gubernur Militernya Kolonel Sungkono.
Sementara menunggu persetujuan dari ketua PDRI Mr.Syafruddin Prawiranegara, melalui pemancar–pemancar Radio Koto Tinggi pada tanggal 1 Januari 1949 yang terus menerus berhubungan dengan PDRI, maka persetujuan tersebut segera diperdapat. Maka tibalah saatnya bahwa pemerintahan yang dengan sendirinya oleh serangan Belanda telah menjadi Pemerintah Militer itu dimiliterisir secara resmi.

𝗡𝗮𝗴𝗮𝗿𝗶 𝗕𝗶𝗱𝗮𝗿 𝗔𝗹𝗮𝗺: 𝗗𝗮𝗿𝗶 𝗣𝗲𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺𝗮𝗻 𝗠𝗶𝗻𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮𝗯𝗮𝘂, 𝗜𝗻𝗱𝗼𝗻𝗲𝘀𝗶𝗮 𝗗𝗶𝘀𝗲𝗹𝗮𝗺𝗮𝘁𝗸𝗮𝗻

Picture: Langgam

 

𝗡𝗮𝗴𝗮𝗿𝗶 𝗕𝗶𝗱𝗮𝗿 𝗔𝗹𝗮𝗺: 𝗗𝗮𝗿𝗶 𝗣𝗲𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺𝗮𝗻 𝗠𝗶𝗻𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮𝗯𝗮𝘂, 𝗜𝗻𝗱𝗼𝗻𝗲𝘀𝗶𝗮 𝗗𝗶𝘀𝗲𝗹𝗮𝗺𝗮𝘁𝗸𝗮𝗻

Inilah Rumah Lama Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Rumah ini dijadikan markas persembunyian bagi pimpinan PDRI, Sjafruddin Prawiranegara, dan sebagai pos keamanan serta tempat berlangsungnya sidang kabinet PDRI dari Januari sampai April 1949. Rumah ini berada di Nagari Bidar Alam, Solok Selatan, Sumatra Barat.
Dijadikannya Bidar Alam sebagai basis perjuangan berawal dari peristiwa pengeboman pusat PDRI di Bukittinggi oleh Belanda. Untuk tetap bertahan, Sjafruddin dan kawan-kawan memutuskan untuk bergerilya menghindari serangan Belanda guna menyusun kekuatan. Perjalanan rombongan merapah hutan-hutan dan kampung-kampung di pedalaman Sumatra Barat.
Di Bidar Alam, banyak peninggalan sejarah PDRI. Antara lain Rumah Jama Sjafruddin Prawiranegara, surau Bulian yang menjadi stasiun pemancar radio AURI yang dibawa dari Bukittinggi, masjid Nurul Falah Mr. Sjafruddin Prawiranegara, tugu peringatan basis PDRI Bidar Alam, dan beberapa rumah penduduk yang pernah ditempati oleh Sjafruddin Prawiranegara.
𝗗𝗮𝗿𝗶 𝗦𝘂𝗿𝗮𝘂 𝗕𝘂𝗹𝗶𝗮𝗻, 𝗦𝗲𝗯𝘂𝗮𝗵 𝗦𝘁𝗮𝘀𝗶𝘂𝗻 𝗥𝗮𝗱𝗶𝗼 𝗠𝗲𝗻𝗴𝘂𝗺𝗮𝗻𝗱𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮𝗻 𝗕𝗮𝗵𝘄𝗮 𝗜𝗻𝗱𝗼𝗻𝗲𝘀𝗶𝗮 𝗠𝗮𝘀𝗶𝗵 𝗔𝗱𝗮

Bukittinggi & Agresi Belanda II

[caption id="" align="aligncenter" width="476"] Picture: Minangkabau Tempo Dulu[/caption]

Bukit Tinggi in the revolution period, this picture taken in the Dutch Agression II at December 1948. The detail location of this picture was unknown, maybe there was Mount Singalang.
____________________________________

Gambar ini memperlihatkan keadaan salah satu sudut Kota Bukit Tinggi dimasa Agresi Belanda II sekitar bulan Desember 1948. Lokasi detail tidak diketahui namun di kejauhan tampak sebuah gunung yang mungkin Gunung Singgalang yang sedang berawan.