Mengapa ratusan ribu penduduk Sumatera pindah ke Aceh pada masa revolusi?
Oleh Iskandar Norman.
FB Benny Blis | Untuk menjawab pertanyaan ini saya gunakan referesi buku Modal Perjuangan Kemerdekaan. Buku ini ditulis oleh jurnalis dan pelaku pejuang kemerdekaan di Aceh, Teuku Alibasjah Talsya, yang setelah Indonesia merdeka menjabat sebagai Kepala Seksi Publikasi Kementerian Penerangan Republik Indonesia.
Pada 31 Desember 1947, rakyat dari beberapa daerah di Sumatera yang sudah dikuasi oleh Sekutu/NICA, mengungsi ke Aceh untuk menghindari perang. Para penduduk yang mengungsi tersebut berasal dari beberapa daerah, diantaranya dari Binjai, Tanjung Pura, Stabat, Pangkalan Brandan, Pancur Batu, Tanjung Morawa, Lubuk Pakam, Simpang Tiga, Tebing Tinggi, Pemantang Siantar, Berastagi, dan Kebanjahe.
Malah, karena gencarnya perang di Front Medan area, penduduk dari Tanjung Pura, Binjai, Stabat dan Pangkalan Brandan, menganbil jalan pintas melalui pegunungan dan hutan belukar untuk bisa sampai ke Aceh, karena jalan darat di kawasan perbatasan Aceh dengan Sumatera Timur sering terjadi perang.
Sampai akhir tahun 1947, ada sekitar 500.000 jiwa penduduk Sumatera Timur yang sudah mengungsi ke Aceh. Sekitar 200.000 diantaranya ditampung di Kota Langsa. Suasana Kota Langsa dan kawasan Aceh Timur menjadi padat dengan penduduk pendatang baru tersebut.
Gencarnya perang di Sumatera Timur juga menyebabkan pasukan Resimen I dan Bataliyon XV Tentara Republik Indonesia (TRI) harus mundur ke daerah Tanah Alas. Bersamaan dengan itu ribuan pengungsi juga masuk ke Aceh melalui Tanah Karo di bagian tenggara Aceh.
Residen Aceh menampung semua pengungsi tersebut dan membuat dapur umum untuk mereka. Rakyat Aceh secara suka rela menyumbangkan logistik dan kebutuhan makanan untuk para pengungsi tersebut. Para pengungsi itu tidak hanya ditampung di Kota Langsa dan Aceh Tenggara, tapi sebagiannya juga direlokasi ke Kota Banda Aceh.
Karena makin ramainya pengungsi asal Sumatera Timur yang membanjiri Aceh. Timbul masala baru, yakni soal bagaimana pendidikan bagi anak-anak pengungsi tersebut. Untuk itu, pada 17 Februari 1948, Residen Aceh bersama Ikatan Pelajar Indonesia (IPI) Aceh, mendirikan sekolah-sekolah daurat untuk anak-anak pengungsi tersebut. Mereka ditempatkan di rumah-rumah kosong dan bangunan-bangunan darurat.
Kemudian pada 10 Maret 1948, para pengungsi yang ditangani oleh Jawatan Sosial Daerah Aceh, dikunjungi oleh tim United Nation Commission for Indonesia (UNCI) yang dikenal sebagai Komisi Tiga Negara Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa (DK-PBB). Tim ini dipimpin oleh Kolonel Horsefall dari Amerika Serikat. Keberadaan mereka di Indonesia untuk mengupayakan gencatan senjata dan perdamaian antara pemerintah Indonesia dengan Belanda.
Masih pada 10 Maret 1948, para pengusaha Aceh di Penang, Malaysia dan Singapura mengirim makanan dan obat-obatan untuk para pengungsi di Kota Langsa. Pengumpulan donasi dan obat-obatan untuk pengungsi dilakukan oleh para pengusaha Aceh di Semenajung Melayu itu bersama dengan Committee for the Relief of Oversea Chinese in North Sumatera di Penang.
Belum redanya perang di Front Medan Area dan Sumatera Timur, membuat gelombang pengungsi ke Aceh terus berdatangan. Sementara di sisi lain ribuan pejuang dari Aceh terus diberangkatkan ke Front Medan Area untuk menghalau Belanda dan Sekutu agar tidak masuk ke wilayah Aceh.
Untuk memenuhi kebutuhan pengungsi tersebut Residen Aceh memerintahkan setiap daerah di Aceh untuk mengumpulkan bantuan makanan dan berbagai kebutuhan pengungsi.
Menariknya, bukan hanya penduduk Sumatera Timur saja yang mengungsi ke Aceh pada masa itu, tapi Raja Siak Seri Indrapura (Riau) Sultan Syarif Kasim bersama istrinya, Syarifah Fadlun dan beberapa pejabat Kerajaan Siak ikut eksodus dari Riau ke Aceh.[]
Foto pengungsi perang dunia kedua dari Australian War Memorial hanya sebagai pelengkap jawaban.
==========