Ilustrasi gambar: liputan6 |
Lewat sejarah kita mengenal Nagari Kototinggi di masa PDRI
FB Curito Luhak Nan Bunsu - Pada hari Kamis Desember tanggal 30 Desember 1948, Panglima Tentera Teritorial Sumatera (PTTS) Kolonel Hidayat Martaatmadja, bersama-sama Letkol A. Tahir dan Ajudan Kapten Islam Salim melewati jalan gerilya Nagari Pagadih Kecamatan Palupuah Kabupaten Agam sampai di Koto Tinggi Gunuang Omeh menemui Residen Mr. St.Moehammad Rasyid yang baru 5 (lima) hari berada didaerah tersebut. Karena Mr. St.Moehammad Rasyid juga merangkap Menteri Keamanan dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), maka pembicaraan mereka berkisar sekitar perjuangan menghadapi Belanda, terutama mengenai soal-soal Pertahanan. Yang penting disadari pada waktu itu, perjuangan mesti mempunyai Komando dan kekuatan Militer dengan Sipil mesti disatukan. Di Jawa baru saja terbentuk daerah-daerah militer yang dibagi menurut 3 propinsi, yaitu :
1. Jawa Barat, Gubernur Militernya adalah Kolonel Hasan Sadikin.
2. Jawa Tengah, Gubernur Militernya adalah Gatot Subroto.
3. Jawa Timur, Gubernur Militernya Kolonel Sungkono.
Sementara menunggu persetujuan dari ketua PDRI Mr.Syafruddin Prawiranegara, melalui pemancar–pemancar Radio Koto Tinggi pada tanggal 1 Januari 1949 yang terus menerus berhubungan dengan PDRI, maka persetujuan tersebut segera diperdapat. Maka tibalah saatnya bahwa pemerintahan yang dengan sendirinya oleh serangan Belanda telah menjadi Pemerintah Militer itu dimiliterisir secara resmi.
Maka pada tanggal 2 Januari 1949 di Nagari Kototinggi Gunuang Omeh dikeluarkanlah ketetapan Panglima Tentera dan Territorium Sumatera No.WKS/SI/Ist 038, sehingga susunan Pemerintahan Militer di Sumatera adalah :
1. Daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Gubernur Militernya adalah Teungku Daud Beurueh.
2. Daerah Sumatera Timur dan Tapanuli, Gubernur Militernya adalah Dr. Ferdinand Lumban Tobing.
3. Daerah Sumatera Barat, Gubernur Militernya adalah Mr. St.Moehammad Rasyid,
4. Daerah Riau,Gubernur Militernya adalah R.M Otojo,
5. Daerah Sumatera Selatan dan Jambi, Gubernur Militernya adalah Dr. Adnan Kapau Gani.
Dan dibawah Gubernur Militer memerintahlah Bupati Militer yang berpangkat Major Titulair, seterusnya Wedana Militer yang berpangkat Kapten Titulair, dan Camat Militer yang berpangkat Letnan I Titulair dan Wali Nageri yang dinamakan dengan Wali Nageri Perang. Polisi juga dimiliterisir sehingga disamping pangkatnya dalam kepolisian, ia juga mempunyai pangkat titulair secara ketenteraan.
Dalam penjelasan tentang kedudukan Gubernur Militer Daerah Sumatera Barat itu, dinyatakan, bahwa dengan ketetapan Panglima Tentera dan Territorium. Sumatera yang tersebut diatas sementara menanti penetapan resmi dari Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI), maka, daerah Sumatera Barat dijadikan daerah militer dengan dipimpin oleh seorang Gubernur Militer (Residen Sumatera Barat) Mr.St.Moehammad Rasyid dan wakilnya adalah Komandan Sub Territorium Letkol Dahlan Ibrahim, dan Kesatuan-kesatuan di Sumatera Barat dengan dibantu oleh staf anggotanya dan staf penasehat, serta satu staf sekretariat.
Pertimbangan-pertimbangan untuk mengadakan daerah Militer ini ialah karena kita berada dalam keadaan perang, instansi pemerintahan terpisah-pisah dan bercerai, sedangkan banyak soal-soal yang mesti mendapat keputusan cepat dan tegas, istimewa yang mengenai pertahanan. Maka didalam peperangan totalitair ini, dimana pemerintah, tentara dan rakyat bersama-sama dengan tekad yang satu menghadapi Belanda, maka untuk menjamin effektifnya jalan perjuangan, perlulah pimpinan pemerintah dipegang secara militer agar dapat dengan langsung memberi perintah dan instruksi kepada Kesatuan-kesatuan Tentera, dengan tidak mengurangi hak teknis militer dari Komandan Sub. Territorium Sumatera Barat untuk Kesatuan-kesatuan yang dibawah pimpinannya.
Dijelaskan selanjutnya bahwa titik berat perjuangan ini ialah kekuatan dan kesanggupan rakyat bertahan dan menyerang dan dengan dipelopori oleh tentara dan polisi, dapat setiap waktu melancarkan serangan kepada musuh. Habislah sementara perbedaan rakyat berjuang dengan tentara dan hal ini mesti diisyafi untuk menjaga kesatuan bertindak sedangkan Komando pertempuran tetap dipegang oleh ahli ketenteraan.
Selanjutnya ditegaskan benar bahwa agar jangan menimbulkan salah paham, dinyatakan bahwa pemerintah sipil dari Bupati kebawah tetap berjalan sebagai biasa, dan masing-masing diberi status militer untuk dengan lekas bertindak dan mengambil keputusan bersama-sama pimpinan tentera ditempatnya.
Jadi terbentuknya Pemerintahan Militer Sumatera Barat, maka dapatlah ia memakai alat-alat yang telah dibentuk oleh Dewan Pertahanan Daerah (DPD) ini dengan seefektif-efektifnya berupa Makas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD) yang didirikan di bulan Januari 1948 dan di pimpin oleh Chatib Sulaiman. Organiasi ini mempunyai cabang disetiap kecamatan dan nagari, yakni Markas Pertahanan Rakyat Kecamatan (MPRK), dan Markas Pertahanan Rakyat Nagari (MPRN) serta Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK). Bagaimana sifat Pemerintahan Militer ini dapatlah diperhatikan dari uraian Gubernur Militer Mr. St.Moehammad Rasyid sendiri dalam salah satu tulisannya yang petikannya antara lain sebagai berikut :
Secara Negara demokrasi tiap-tiap tindakan yang bersifat militer sedapat-dapatnya dijauhkan, tetapi keadaan yang memaksa untuk menghadapi serangan-serangan Belanda, maka, dengan terpaksa dipusatkanlah kekuasaan dalam satu tangan tetapi dibantu oleh para penasehat yang terdiri dari anggota-anggota DPD, badan Executief dan beberapa orang pemimpin rakyat. Kalau sebelum aksi militer pertama dan kedua, oleh karena hal-hal organisasi dan keuangan kita terus menerus menghadapi kesulitan, maka lebih-¬lebih terasa lagi dizaman darurat itu sulitnya menjalankan peme¬rintahan karena semua alat-alat seperti zender dan mesin-mesin tik hanya sebagian kecil yang dapat dibawa keluar. Tetapi dengan ketabahan dan kemauan yang keras serta berpegang teguh kepada cita-cita negara, semua tugas dapat dilaksanakan dengan tetap bertawakkal kepada Allah S.W.T. dan didukung oleh Pemerintah dan rakyat yang tabah hati serta diinsyafi oleh rakyat yang sadar dan mendapat penerangan secukupnya, maka dengan bantuan nasi bungkus rakyat, dengan kurir-kurir yang aktif menjalankan in¬struksi dari pemerintahan militer, dengan mengadakan pajak perang, dengan meruntuhkan jalan-jalan besar yang dapat dilalui Belanda dengan kendaraannya, dengan hanya sebagian kecil rakyat bersenjata, itupun banyak senapang berlansa, dengan timbulnya rasa keinsyafan dari pemuda-pemuda berjuang karena pemben¬tukan MPRK, maka dapat juga disemua tempat yang strategis diberi pukulan hebat kepada Belanda.
Catatan Sejarah yang terlupakan
Nama Letnan Jenderal Hidayat Martaatmadja tidak begitu mencuat ke permukaan, tetapi beliau adalah tokoh yang sangat berperan pada tanggal 19 Desember 1948 di Bukittinggi dibelakang lahirnya embrio Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk di Sumatera Barat. Sebagai seorang militer, Hidayat cepat mengambil keputusan dan tak pernah ragu-ragu. Beliau mendesak dan mendukung penuh Syafruddin Prawiranegara yang masih ragu-ragu.
Untuk mempertahankan kelangsungan pemerintah Republik Indonesia yang praktis tidak ada lagi, Mr.Syafruddin Prawiranegara bersama Mr.Teuku Muhammad Hasan sudah memikirkan untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, namun Mr, Syafruddin Prawiranegara kelihatannya belum sampai kepada keputusan yang tuntas dan masih ada keraguan.
Oleh karena itu, Letnan Jenderal Hidayat Martaatmadja sebagai Panglima Tentera Teritorial Sumatera (PTTS) bersama kawan-kawan, antara lain, Kapten Islam Salim yang menjadi ADC/Asisten Hidayat, membesarkan hati terus mendorong Mr.Syafruddin Prawiranegara dengan memberi jaminan dukungan sepenuhnya, sehingga Mr.Syafruddin Prawiranegara menjadi bulat pendiriannya membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia.
Peranan Hidayat, pada tanggal 19 Desember 1948 tersebut, di mana pasukan Belanda kembali menyerang tanah air Indonesia. Serangan ini ditujukan ke Ibu Kota Republik Indonesia di Yogyakarta, sehingga dikuasai Belanda. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta sejumlah menteri yang berada di Ibu Kota Yogyakarta ditangkap. Belanda menganggap Republik sudah tamat riwayatnya. Radio Republik Indonesia (RRI), berhenti mengudara.Suara-suara sumbang ini diperkuat Radio Belanda Hilversum, yang secara lantang menyiarkan bahwa Republik Indonesia sudah hancur. Bahkan sebagian dunia mempercayai berita itu.
Terbentuknya PDRI di Sumatera Barat, sebagai salah satu tonggak sejarah yang membuktikan kepada dunia bahwa Negara Indonesia tidak bubar, meskipun para pemimpin negara Republik Indonesia ditangkap dan ditahan. Beberapa jam sebelum kejatuhan Yogya, sebuah sidang darurat kabinet berhasil mengambil keputusan historis yang amat penting. Presiden dan Wakil Presiden memberikan mandat (menguasakan) kepada Mr.Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat RI di Sumatera. Jika gagal mandat ini akan diserahkan kepada Dr.Soedarsono, Mr.Maramis dan Palar untuk membantuk exile-government di New Delhi, India. Tetapi mandat ini tidak jadi dikirim melalui telegram karena kacaunya komunikasi Yogyakarta-Bukittinggi, di samping keburu Yogya telah jatuh ke tangan Belanda.
Meski surat mandat tidak pernah sampai ke tangan Mr.Syafruddin Prawiranegara yang pada waktu itu menjabat Menteri Kemakmuran RI dan sedang berada di Bukittinggi, tetapi naskahnya telah beredar di antara para pejuang bangsa. Akhirnya, Mr.Syafruddin Prawiranegara, terutama dengan Kolonel Hidayat, yang pada waktu itu juga berada di Bukitttinggi sebagai Panglima Tentara Teritorium Sumatera, yang juga adalah Wakil I Kepala Staf Angkatan Perang mengambil inisiatif sendiri (tanpa mandat dari Pusat) membentuk PDRI. Sekarang peristiwa 19 Desember 1948, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006, ditetapkan sebagai Hari Bela Negara.
Ketika Jenderal Hidayat meninggal dunia, Senin, 24 Oktober 2005, di usia 90 tahun, tidak satu pun media massa dan elektronik memberitakannya. Bahkan wartawan senior Rosihan Anwar mengkhususkan diri menulis di Harian Kompas, Jum'at 2 Desember 2005 "Ketika Jenderal Hidayat meninggal dunia, banyak wartawan Indonesia dari generasi muda yang memegang kendali meja berita juga tidak kenal almarhum. Akibatnya tiada sepatah kata pun ada beritanya: Hidayat who ?,siapa Hidayat?," tulis Rosihan Anwar.
Hidayat Martaatmadja, Lahir di Cianjur, Jawa Barat, 26 Mei 1915, Tahun 1947-1948, Kepala Staf/Wakil Panglima Siliwangi, Tahun 1948-1949, Wakil I Kepala Staf Angkatan Perang RI, merangkap Panglima Tentara dan Teritorium Sumatra, Tahun 1949-1951, Kepala Staf Q Angkatan Perang RI, Tanggal 10 Maret 1954, Sekjen Kementerian Pertahanan RI, Tahun 1959-1960 Menteri Muda Pertahanan Kabinet Kerja I, Tahun 1960-1962, Deputi Menteri Keamanan Nasional Kabinet Kerja II, Tahun 1962-1963 Menteri Veteran Kabinet Kerja III, Tahun 1964- 1966 Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata, Kabinet Dwikora, Tahun 1966-1968 Duta Besar RI untuk Canada dan Tahun 1968-1970, Duta Besar RI untuk Australia dan Selandia Baru.
Catatan sejarah ini dipersembahkan buat Masyarakat Nagari Koto Tinggi Kecamatan Gunuang Omeh dalam rangka menyusun Buku “Peranan Masyarakat Koto Tinggi Pada Masa PDRI” yang diprakarsai oleh Imam Hipa
Pulutan 5 Juli 2022
H.Saiful.SP
----------------------------
Baca Juga:
- Mengenang Bukittinggi diserang 19 Desember 1949
- Makmur Hendrik Tarabo & Ibo Melihat Kondisi Rumah PDRI di Bukittinggi - Semangat News
- Belum Ada Anggaran untuk Rumah PDRI di Bukittinggi - Singgalang
- Pemprov Sumbar: Belum ada Anggaran Pembangunan untuk Rumah PDRI di Bukittinggi - Top Satu
- Rumah PDRI di Bukittinggi menunggu Ambruk, Pemprov Nyaris tak peduli - Singgalang
- Delapan Provinsi Awal Indonesia - risamedia
- Gubernur Wilayah Sumatera Pertama - toko.id
- Tengku Muhammad Hasan, Gubernur Sumatera Pertama dan Satu-satunya - Tirto.id
- 8 Provinsi Pertama di Indonesia hasil Sidang PPKI - kompas.com
- 19 Desember, PDRI & Hari Bela Negara - liputan6.com
- Kronologis Sejarah PDRI - pustakamarola
- Tulisan terkait PDRI
- Beberapa tulisan tentang PDRI