Pict: indonesia kayaindonesia kaya |
Ciloteh Tanpa Suara #33 | Sejak tahun 2010 Nagari Koto Tuo Kecamatan Harau Kabupaten Limapuluh Kota memperingati sebuah rangkaian sejarah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari 19 Desember 1948 – Juli 1949. Pada tahun 2024 ini, kembali anak Nagari Koto Tuo bersama pelajar melaksanakan kegiatan napak tilas terhadap tempat-tempat yang bersejarah di nagarinya.
Peristiwa ini merupakan rangkaian sejarah pada zaman PDRI 75 tahun silam, dimana setelah Kota Payakumbuh di bumi hanguskan 23 Desember 1948 dan Belanda membuat posnya di rumah engku guru Saidi di Simpang Jalan ke Rumah Sakit Umum Payakumbuh, pos lain di rumah Dt. Patiah Baringek Balai Baru (sekarang Rumah Adat H.Marlius).
Sebuah peristiwa yang tidak bisa dilupakan oleh masyarakat Kenagarian Koto Nan Gadang adalah, pada hari Jumat tanggal 11 Februari 1949 dimana sebelum shalat Jum'at serdadu Belanda mengepung dan memasuki Masjid Gadang di Balai Gadang dan menangkap tiga orang pemuda yakni,: Hamdani, Radinas dan Matrusi dan kemudian ditembak di simpang jalan ke Masjid tersebut ,darah mulai membasahi bumi Koto Nan Gadang.
Kemudian tanggal 21 Februari 1949 kembali gugur 7 Pemuda Koto Nan Gadang dengan jebakan dibawa rapat oleh Walinagari Dt. Kiraiang bersama pesuruhnya Paduko Dewa. Ketujuh Pemuda tersebut adalah peserta rapat yang diundang rapat oleh Wali Nagari Koto Nan Gadang Dt. Kiraiang disebuah rumah adat bertiang dua belas, dekat Mushala lapangan Mangkudu. Saat rapat ketujuh Pemuda tersebut ditanyai dan ditangkap dan menjadi korban keganasan Belanda, ketujuh pemuda tersebut ialah:
- Bahar,
- Bakar,
- Syukur,
- Dt.Reno,
- Damuri,
- Andarwenis dan
- Julius
yang tangannya diikat kebelakang dengan sobekan kain sarung. Andarwenis langsung digiring kebawah rumah dan tepat dijalan depan makam Pemuda Pejuang Balai Jariang sekarang ketujuh pemuda itu gugur. Kemudian tiga hari setelah pemeriksaan, M. Noer pada tanggal 24 Februari 1949 di tembak dijembatan Ibuah (Jembatan Ratapan Ibu sekarang) oleh Sastro, kaki tangan Belanda.
Peristiwa ini mengugah pemuda dan masyarakat untuk membentuk Pasukan Mobil Teras (PMT) pada akhir bulan Awal Maret 1949 yang di prakarsai oleh Wali Perang Koto Nan Gadang Syamsuar Yahya yang mengantikan Dt. Karaiang yang berpihak kepada Belanda, Wali Perang Lubuak Batingkok Junias Janaid, Wali Perang Koto Tuo Khatib Bermawi, dan Wali Perang Gurun Dt. Bosa Nan Hitam.
Kemudian dilanjutkan dengan adanya Surat Keputusan Gubernur Militer M.Rasyid Pe.Ma./M.P Gubernur Militer No.001/Ist.Rhs tanggal 1 Maret 1949 menetapkan Mardisun (Koto Nan Gadang) sebagai Ketua dari Pemerintahan Darurat Kota Payakumbuh. Wakil Ketua dr. Adnan WD, dan anggota Djufri (Jaksa), Damir Djanid, Zaidar Noerdin dan Chaidir sebagai penghubung. Pasukan Istimewanya tercatat: Rubai, Layat, Hamzah dan Kasuan.
Tercatat pada waktu itu Ketua Pemerintah Darurat Payakumbuh juga sebagai Komandan kompi adalah Mardisun dari Koto Nan Gadang, komandan pertempuran pasukan gerilya Sektor II Payakumbuh Utara M. Sain dari Tanjung Pati dan Darisun dari Koto Nan Gadang. Yang menjadi anggota waktu itu antara lai : Rasyid Dt. Ngiang, Mawi, Rabai (Koto Tuo), Baini (Koto Tangah), Zamawi (Padang Rantang), Syamsulaini (Tanjung Pati), Imam Bise (Pulutan) dll. Penempatan untuk pleton yang dipimpin oleh M. Sain disekitar Tanjung Pati yang markasnya di Masjid Al Ikhlas di Boncah Pulutan, dan pleton yang dipimpin Darisun di Padang Rantang (Surau Haji Sulaiman ).
M.Sain Mantan Komandan Pertempuran Pasukan gerilya Sektor II Payakumbuh Utara (1985) dalam catatannya menjelaskan, bahwa Belanda masuk ke Tanjung Pati Nagari Koto Tuo pada tanggal 31 Desember 1948, yang tidak terduga berpapasan dengan rombongon CPM Divisi IX Banteng yang dipimpin oleh Letnan Muda Amir Hamzah, dengan pasukan kecilnya dikepung Belanda di Anak Kubang Tanjung Pati. Kopral Saham tertangkap dan dipotong lehernya dekat Kapolsek Harau sekarang dan sersan Mayor Darwis terluka pipi dan lehernya dan dapat diselamatkan pada malam harinya oleh Pasukan gerilya sektor II, kemudian diantar ke markan CPM Divisi IX Banteng di Limbanang.
Pada Jam 4 subuh dini hari pasukan Belanda mengepung Pasukan gerilya Front Lima Puluh Kota di Tanjung Pati yang telah menyingkir ke Batu Nan Limo Simalanggang. Dalam perjalanannya Belanda menyergap dan menangkap 3 orang anggota Badan Pengawas Nagari Kota (BPNK) Koto Tuo yang sedang ronda, dimana Dt. Anso dan Amarellah putus lehernya ditebas Belanda di Simpang jalan ke Koto Tangah. Sementara Marin Atiak setelah dibacok Belanda leher dan pipinya yang luka berpura-pura mati dan dapat diselamatkan oleh masyarakat, paginya dilarikan ke rumah sakit darurat di Suliki. Kemudian Ruin Dt. Sinaro Panjang mati ditembak Belanda di depan balai Adat Koto Tuo.
Pasukan gerilya yang pindah ke Batu Nan Limo mendengar kabar penyerangan Belanda di Koto Tuo, menyelamatkan diri ke Padang Koreh Taeh Bukik, dan rumah Bidan Nawa di Batu Nan Limo yang ditempati pasukan gerilya hangus di bakar Belanda.
Sesuai dengan instruksi Gubernur Militer untuk mempersempit ruang gerak Belanda dengan melakukan pemutusan jembatan yang ada di wilayah masing-masing. Tugas utama PMT waktu itu merobohkan jembatan yang berada di Tembok Jua, sehingga terputuslah hubungan Payakumbuh - Tanjung Pati melalui jalan raya dengan kendaraan.
Gara-gara peningkatan sabotase yang dilakukan PMT bersama masyarakat, Belanda mulai jengkel dan menempelkan pamplet di Tanjung Pati. Isinya:
HENTIKAN PENGALIAN DAN PENEBANGAN KAYU, DI SEPANJANG JALAN. BILA MASIH DITERUSKAN JUGA, BELANDA AKAN MELAKUKAN SERANGAN KE TANJUNG PATI, BATU BALANG SEKITARNYA.
Nyatanya pengumuman Belanda ini membuat serangan menjadi-jadi dengan melakukan serangan ke asrama Belanda di Payakumbuh. Dan malah setelah meruntuhkan jembatan Tembok Jua, juga meruntuhkan jembatan Tembok Padang Gantiang (Pondok Bambu sekarang). Pada minggu terakhir bulan Februari 1949, Pasukan Kompi Mardisun menerima informasi dari kurir Gerilya yang berada di Payakumbuh, yang isinya Belanda akan menyerang Tanjung Pati dan Batu Balang pada bulan Maret mendatang, harap maklum ! Merdeka !
Untuk menghadapi kemungkinan serangan itu Komandan Kompi Mardisun bermufakat dengan Komandan Pertempuran Pasukan gerilya Sektor II Payakumbuh Utara M. Sain dan Darisun. Ketiganya sepakat memanfaatkan setiap informasi, apalagi hal ini disampaikan oleh intelejen dari Payakumbuh yang layak dipercaya, dan sering menyampaikan informasi yang benar. Ditetapkan bahwa pasukan akan lebih disiagakan dan menentukan penempatan pasukan pada beberapa tempat yang akan diawasi.
Melebihi itu semua, komandan pleton Darisun mengusulkan penempatan pasukan langsung ditembok Padang Gantiang, lokasi jembatan yang baru diputus. Darisun akan mengatur penempatan anggotanya diantara rumpun padi yang sedang menguning. Kebetulan padi di kiri kanan jalan waktu itu sebagiannya sedang siap dituai. Sedangkan pasukan pertempuran gerilya M.Sain sebagai pasukan cadangan ditempat lain. Komandan kompi Mardisun menyetujui rencana tersebut, supaya sama-sama dipatuhi.
Dengan penuh kerahasiaan pada hari tanggal 6 Maret 1949 tengah malam peleton Darisun berangkat dari Surau H. Sulaiman di Padang Rantang menuju Tembok Padang Gantiang. Sesuai strategi pertahanan yang ditetapkan, Peleton Darisun mengisi sela-sela rumpun padi di sawah Padang Gantiang.
Satu pesan yang disampaikan Darisun kepada anggotanya, jangan menembak sebelum ada tembakan awal dari Komandan Peleton. Masing-masing anggota peleton supaya mengatur sasaran tembak sebaik mungkin.
Keesokannya 7 Maret 1949, di saat panas terik yang amat sangat dari jauh terdengar deru mobil yang semakin mendekat. Berkemungkinan baru sampai di jembatan Lampasi, setelah melewati Tembok Jua. Dugaan memang benar, Beberapa orang anggota pasukan Belanda turun dari truk terbuka. Dimulai Belanda hitam, ghurka[1] tentara sewaannya. Beberapa orang anggota peleton semakin gelisah melihat tepatnya sasaran tembak yang akan dilakukan. Mematuhi ketentuan semula, nafsu menembak harus ditahan, walau sasaran terasa tepat.
Sebaliknya pasukan Belanda sama sekali tak yakin akan adanya pasukan gerilya berada di rumpun padi yang sedang menguning itu. Selain tak pernah dilakukan serangan frontal siang itu, panas matahari betul-betul terasa membakar. Karena begitu panasnya matahari opsir Belanda yang dinantikan Darisun lambat turun dari mobilnya. Memperhatikan tak ada gangguan sedikit pun, barulah opsir Belanda yang duduk di bagian depan mobil, turun dengan santai, sambil memberes- kan pakaiannya.
Saat itulah yang dinantikan Komandan Peleton Darisun, sehingga senjata Darisun menyalak meyemburkan timah panas nya mengenai sasaran tembak opsir Belanda. Tembakan awal disusul dengan tembakan salvo[2] menuju sasaran tembak masing-masing, walau mungkin dengan sasaran tembak yang sama. Dengan cara mundur sambil tiarap setelah berhasil melampiaskan sakit hatinya. Peleton Darisun selamat tanpa cedera dan kembali ke induk pasukan di Padang Rantang.
Berapa jumlah korban pihak musuh waktu itu memang tidak diketahui, tapi jelas salah seorang perwiranya memang tergeletak berlumuran darah di jalan Tembok Padang Gantiang diikuti rebahnya beberapa anggota lainnya. Dipihak pasukan gerilya Suhaimi Capiak tertembak jari kakinya.
Berdasarkan informasi yang diterima dari kurir gerilya di Payakumbuh, beberapa hari sesudahnya, pasukan Belanda dalam suasana belasungkawa. Pada beberapa kantor sipil dan militer berkibar bendera merah-putih-biru setengah tiang.
Pemeriksaan terhadap penduduk mereka lakukan semakin ketat dari biasa, guna mengetahui orang yang membocorkan rencana penyerangan ke Tanjung Pati. Namun berkat lindungan-Nya, kurir kita di Payakumbuh terhindar dari tangkapan Belanda.
Dendam Belanda akibat gugurnya beberapa orang anggota pasukannya di Tembok Padang Gontiang memang tak pernah pupus sebagaimana dendamnya pasukan gerilya. Sebagai kelompok bermusuhan selalu mencari kesempatan melakukan serangan balasan.
Pada pagi hari tanggal 30 Maret 1949, Belanda menyerang pasukan gerilya sektor II dan Markas Pasukan Sabil (MPS) yang berlokasi di Boncah Pulutan, setelah menangkap Muis, kurir pasukan Gerilya di jembatan Tanjung Pati. Muis dipaksa menunjukkan markas perjuangan pasukan Gerilya.
Dengan kesigapan seorang anggota Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK) Bakhtiar Toduang melihat tanda-tanda mencurigakan dari tempat ronda di pinggir Sinamar di Kayu Gadang, ia meniup "puput tanduk" sebagai tanda masuknya Belanda dan menyampaikan laporan kepada pejuang-pejuang yang berada di Pulutan.
Muis setelah disiksa dan dipukuli serta tubuhnya disulut dengan api rokok serta tangannya diikat ke belakang kemudian di tembak Belanda di belakang surau Boncah di Pulutan yang menjadi markas Komandan Pasukan pertempuran Gerilya Sektor II Front Utara Payakumbuh, jenazah Muis di kebumikan di Padang Tinggi Pulutan dan pada tahun 1950 dipindahkan ke pemakaman Divisi Bukik barisan.
Pada tanggal 9 April 1949 diadakan rapat di Tanjung Pati untuk membahas bagaimana membuat kekacauan dan menggangu pasukan Belanda di Kota Payakumbuh sehubungan dengan akan dilancarkan serangan ke pusat markas Belanda di Kota Bukit Tinggi pada malam harinya. Hadir dalam pertemuan diantaranya anggota pasukan CPM Brigade Mustang dipimpin oleh Sersan Mayor Albert dari Limbanang. Anggota BN Merapi Sersan Mayor Wahid dan Sersan Dumai AURI dari Mungo. Kemudian anggota pasukan pertempuran Gerilya sektor II yang dipimpin oleh M. Sain.
Dalam rapat dapat diambil keputusan bahwa pasukan dibagi dua, pasukan pertama dipimpin oleh Sersan Mayor Wahid yang bertugas menggangu Belanda di Payakumbuh. Dan pasukan kedua dipimpin oleh Sersan Mayor Albert yang menunggu pasukan Belanda di jembatan Simpang Tanjung Pati. Setelah pasukan yang dipimpin Sersan Mayor Wahid yang bertugas menggangu Belanda di Payakumbuh, sebelum kembali ke Tanjung Pati pasukan dibagi dua, separuh lewat Tebing Tinggi dan separuh lagi lewat Tanjung Anau untuk menjaga-jaga apabila Belanda melakukan serangan balik ke Tanjung Pati dan disepakati bertemu di jembatan Lampasi Talang Anau.
Pada malam harinya, setelah berhenti tembak menembak di Payakumbuh Belanda melakukan serangan balik ke Tanjung Pati. Di simpang empat Tanjung Pati, Belanda berhasil menangkap kurir pasukan gerilya bernama Anin. Dalam pertempuran dengan Belanda pasukan gerilya Suan mati di sawah rawang ditusuk dengan bayonet oleh pasukan Belanda. Sementara Sersan Amir Zon dan Praptu Markat gugur di pinggir jalan didepan Radio Total sekarang, dengan tubuhnya disayat-sayat.
Sukiman agen satu polisi negara tertangkap di kebun getah Padang Rajo dan kemudian dibunuh Belanda di Simpang Empat Tanjung Pati. Anin dibawa ke Limbanang, Amir Zon dibawa ke Mungo, dan Suan dikuburkan di Padang Ambacang sementara Sukiman dikuburkan di Tanjung Pati yang kemudian dipindahkan oleh anaknya ke makam pahlawan.
Pagi hari tanggal 10 April 1949, pasukan Belanda yang kembali ke Payakumbuh berhasil dihadang di jembatan Tembok Jua lampasi oleh pasukan yang dipimpin oleh Sersan Mayor wahid dan menewaskan 12 orang pasukan Belanda. Pada tanggal 15 April 1949, Belanda dengan menggunakan 2 buah pesawat mustang menembaki Tanjung Pati sampai ke sarilamak, Batu Balang dan tidak ada korban jiwa hanya 2 ekor ternak mati tertembak di III Alur.
Pada awal Mei 1949 terbetik berita bahwa Belanda akan membuat posnya di Tanjung Pati dan atas perintah Mayor Thalib Komandan Front Limo Puluah Kota memerintah untuk membakar kedai-kedai dan rumah-rumah di sekitar Tanjung Pati yang kemungkinan akan menjadi markas Belanda termasuk diantaranya sekolah desa, sekolah perguruan Islam dan Kantor Camat Tanjung Pati di bumi hanguskan.
Selama satu bulan lebih Belanda tidak melakukan serangan hanya yang ada patroli sampai ketembok Jua Lampasi. Jalan yang dibuat lobang sedalam 10 meter oleh gerilya setelah ditimbun oleh Belanda malamnya digali kembali oleh rakyat. Belanda semakin marah, sebelum melakukan serangan, Belanda memang sudah memberikan peringatan keras dengan menempelkan beberapa lembar pamflet di tembok "pilar" persimpangan di Simpang Empat Tanjung Pati. Isinya:
Seluruh pasukan gerilya supaya menyerah dan menghentikan perlawanan dan sabotase. Bila masih dilakukan, Belanda akan melakukan penyerangan besar-besaran dan menghanguskan seluruh bangunan yang ada sejak dari Tanjung Pati, Pulutan dan Koto Tuo. Termasuk Nagari Batu Balang.
Isi pamflet Belanda jelas menyinggung perasaan para gerilyawan dan pasukan lainnya. Himbauan Belanda ditolak gerilyawan dan pasukan yang ada di Front Tanjung Pati. Cuma saja karena begitu ketatnya Belanda menjaga kerahasiaan, kurir kita di Payakumbuh gagal mendapatkan informasi yang akurat untuk disampaikan tentang waktu penyerangan balasan.
Tindakan pengamanan hanya disampaikan pimpinan pejuang, supaya masyarakat meninggalkan Tanjung Pati, Koto Tuo dan membawa peralatan yang dapat dibawa ke tempat pengungsian. Tinggalkan rumah dalam keadaan kosong.
Melaksanakan imbauan kedua kali itu, masyarakat memang melaksanakan pengungsian ke Koto Tangah, Tigo Balai dan Gurun serta Balai Tinggi. Sehingga Tanjung Pati betul-betul lengang bagai nagari dialahkan garudo. Jalan antara Tanjung Pati dan Koto Tuo dipenuhi kayu tebangan berbelintangan.
Sayangnya perintah pengungsian tidak diimbangi dengan strategi pertahanan yang memungkinkan terhalangnya Belanda memasuki wilayah Tanjung Pati. Kecuali tenaga BPNK yang melakukan ronda pada pos-pos tertentu. Namun sulit juga menyesali, karena keterbatasan peralatan yang dimiliki pasukan kita waktu itu, kecuali semangat yang membara. Melawan senjata otomatis Belanda terasa sulit dengan senapan belangsar dan bedil rakitan bikinan Sungai Puar.
Beberapa orang warga Tanjung Pati memang belum sempat melaksanakan pengungsian seperti direncanakan. Sebagian penduduk sekitar Kayu Gadang dan Kampung Dalam, terutama perempuan masih menempati rumahnya, walau dengan perasaan gelisah akan datangnya serangan Belanda. Sedangkan tempat yang diperkirakan aman, jauh dari rumah.
Pada tanggal 1 Juni 1949 Belanda melakukan serangan disaat sebagian penduduk Tanjung Pati sedang siap melaksanakan sholat subuh. Belanda memasuki Tanjung Pati Nagari Koto Tuo, tanpa memperdengarkan letusan sedikitpun. Untuk apa mereka menembak, karena memang tak ada lawan yang patut ditembaknya. Seluruh rumah di Simpang IV memang kosong dari penghuninya. Dimulai dari rumah Sila-Nawi di pangkal jembatan (Kantor Koperasi sekarang) memang kosong, namun beberapa barang yang tak sempat dibawa mengungsi masih tersimpan di situ. Karena adanya barang-barang, pintu dikunci rapat.
Pembakaraan diteruskan ke Tanjung Tangah. Kecuali rumah Datuk Katumanggungan, Datuk Paduko Tan Kayo, dan Datuk Sindo, kantor Kepala Nagari, Balai Adat, selebihnya menjadi abu tanpa tersisa. Terhindarnya pembakaran rumah Datuk Sindo berkat kegigihan Asril Lansuan (kini bergelar Datuk Sindo) yang di tahun 1949 itu masih kanak-kanak bersama kakaknya bersikeras melarang Belanda membakar. Setiap Belanda menyiramkan minyak, setiap itu pula Dt. Sindo dengan kakaknya menyiramkan air.
Letusan barang-barang terbakar itulah yang memberi tahu penduduk lainnya yang berada di Kayu Gadang dan Kampung Dalam, bahwa Belanda memasuki negerinya. Saidan yang sedang berdiang di dapur rumahnya Kampung Dalam tak sempat menghindar dari kedatangan Belanda. Apalagi tak pula mengetahui bahwa di Simpang Ampek dan Tanjung Tangah sedang bergejolak api melalap rumah penduduk. Saidan ditarik keluar, ditendang dan dipukul. Dari luka-luka di tubuh Saidan diperkirakan Saidan melawan kepada Belanda. Tapi karena melawan tanpa senjata, Saidan ditembak dan gugur di halaman rumahnya.
Masih di kampung Dalam, Belanda menemukan Kaida dan Miti yang tidak sempat melarikan diri dan keduanya menjadi sasaran peluru Belanda dan gugur seketika itu juga. Sebelum meneruskan perjalanan ke Pulutan, Belanda singgah di salah satu rumah bergonjong seberang jalan Kampung Dalam. Di rumah itu, Belanda selain menemukan perempuan juga menemukan Ahmad Syamsidar, Kepala Sekolah Rakyat di Tanjung Pati. Akhmad Syamsidar yang biasanya dipanggilkan dengan Guru Asam ditarik Belanda turun dari rumah secara paksa.
Setiba di halaman, Guru Asam ditembak Belanda, tapi tidak mengakhiri hidupnya pada waktu itu. Sorenya setelah Belanda meninggalkan Koto Tuo, Guru Asam segera dilarikan ke Limbanang untuk mendapatkan perawatan semestinya.
Namun berapa bulan kemudian, setelah mendapatkan perawatan semampunya di Limbanang, Guru Asam meninggal yang dikuburkan pada pandam pekuburan orang Limbanang. Dari keseluruhan rumah di Tanjung Pati, hanya 3 rumah milik Datuk Katumanggungan, Datuk Paduko Tan Kayo dan Datuk Sindo yang selamat dibakar Belanda dan rumah keluarga Ahmad Syamsidar dan rumah kemenakan Datuk Tundiko di Kampung Dalam semuanya habis dimakan api
Belanda meneruskan pembumi hangusan di Tanjung Pati dan meneruskan kegiatan yang sama ke Pulutan. Seperti di Tanjung Pati, Belanda tak menemukan perlawanan sedikitpun. Malah tak menemukan laki-laki, kecuali perempuan berusia lanjut yang menghuni rumahnya. Namun sempat melakukan pembakaran rumah penduduk di Pulutan.
Pada hari Jumat tanggal 10 Juni 1949, ada cara perkawinan di Koto Tuo antara Ainal Hauri dengan Saeram kepala Markas Pasukan Sabil yang berkedudukan di Pulutan. Belanda memperkirakan seluruh pasukan Gerilya akan hadir pada acara kenduri tersebut. Pasukan Belanda dengan kendaran lapis waja turun di dekat Tembok Jua Lampasi. Walaupun dilakukan tembakan rintangan dari Balik Batang Sinamar di Manggih Tanjuang, namun Belanda tidak menghiraukannya, dengan gerak cepat terus berlari ke arah Koto Tuo dan sesampainya di Koto Tuo menembaki seluruh laki-laki yang kelihatan oleh Belanda. Anwar seorang anggota MPRN Koto Tuo gugur setelah melakukan perlawanan di pinggir Batang Sinamar, di pinggir kolam dibelakang Mesjid Koto Tuo dimakamkan di Piliang Koto Tangah dan Darus Dt.Ajo Malano kena tembak kakinya. Beberapa pemuda pada Jumat berdarah itu dapat menyelamatkan diri seperti: Munsik, Nisa`i, Bermawi, S. Dt. Majo Bosa, dan Hasan Bari Dt. Majo Indo hanya dapat melihat kekejam Belanda dari kejauahan bahwa Koto Tuo telah menjadi lautan api.
Setelah itu Belanda melakukan serangan membabi buta dan membumi hanguskan Koto Tuo. Barang-barang yang diperkiranya berharga bagi Belanda, mana yang dapat diangkat dibawanya. Selesai pemeriksaan, baru menyiramkan bensin dan melemparkan api ke rumah. Mengepullah api di rumah bergonjong. Api dengan mudah menyala, karena kebiasaan rumah bergonjong selalu diberi sasak dari bambu. Bagian itu dengan mudah dimakan api. Apalagi sasak dari bambu itu sebagian sampai ke singok rumah. Dalam waktu sekejap rumah jadi datar dengan tanah, karena memang sengaja dibakar.
Anggota pasukan lainnya melakukan pembakaran yang sama tanpa membedakan rumah kayu, rumah bergonjong, atap seng, atap lalang semuanya menjadi lalapan api pagi itu. Koto Tuo terang benderang menjadi lautan api termasuk yang dibakar sebuah surau, mesjid, sekolah Tarbiyah Islamiyah dan sekolah Muhammadiyah sehingga hanya tersisa 2 buah rumah gadang milik kaum, yaitu rumah Dt.Anso dan Dt. Mangun.
Kemudian Belanda kembali ke Payakumbuh melewati sawah bandang dan menuju ke Pulutan dan membakar rumah-rumah yang masih ada terus ke Tanjuang dan Simpang Empat Tanjung Pati.
Bangunan yang dibakar selama Agresi Belanda di Jorong Koto Tuo 61 rumah Dijorong Tanjung Pati 36 rumah. Dan di Jorong Pulutan hanya 1 rumah gonjong yang di Bakar Belanda.
Untuk Mengenang Sejarah Koto Tuo Lautan Api marilah kita simak sebuah lagu gubahan dari guru Mardana Dt. Tundiko
Tanggal sepuluh, di bulan yang ke enam.
Tahun empat sembilan
Negeri Koto Tuo menjadi lautan api
Rumah dan lumbung habis...
Masa itu jadi sejarah selama-lamanya
Tapi kami tak bimbang benar menderitanya
Teman sejawat negeri yang berdekatan
Layangkan pandang sejenak
Kenanglah kami yang sedang dirundung malang
Luka parah tidak terobat
Sudah nasib suratan kami di Koto Tuo
Padi habis lumbung terbakar pemuda gugur
Tapi kami patuh setia pada negara
Hari petang matahari turun malam lah tiba
Orang pulang ke rumah bagus bersuka ria
Kami pulang ke gubuk buruk hidup sengsara
Kami bertanya kepada angin lalu
Adakah kita senasib
Hanya terdengar rayuan pembujuk rayu
Sedesir bak angin lalu
Ringkas kata singkat gubahan sekian saja
Ampun dan maaf kami ucapkan pada saudara
Untuk penutup kami ucapkan salam merdeka
Merdeka...merdeka,,,merdeka..!!!!!!!!
(Jum`at, 10 Juni 1949, Mardana Dt. Tundiko)
Demikianlah Rangkaian Peristiwa Koto Tuo Lautan Api yang merupakan rangkaian sejarah PDRI.
Sumber :
1. Mardisun “ Peristiwa Sejarah Pemuda Gerilya Antara Koto Nan Gadang dan Payakumbuh Pada Agresi ke II PDRI , 1995.
2. H Effendi Koesnar Dt.Bagindo Said “ Koto Tuo Lautan Api” 2008.
3. Saiful.SP” Luhak Limopuluah Kota Basis Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)”. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, 2009
4. Catatan dari M.Sain “ tentang Pejuangan Nagari Koto Tuo “tahun 1985.
Saiful Guci Dt. Rajo Sampono, Pulutan 9 Juni 2024
============
Catatan Kaki oleh Admin:
[1] Ghurka merujuk kepada salah satu brigade dalam angkatan bersenjata kerajaan Inggris, terkenal dengan pakaian khas mereka. Berasal dari India dan sebagian sumber menyebutkan dari Nepal.
[2] Salvo adalah pelepasan artileri atau senjata api secara bersamaan termasuk penembakan senjata untuk mencapai sasaran atau untuk memberi hormat . Sebagai taktik dalam peperangan , tujuannya adalah untuk melumpuhkan musuh dengan banyak pukulan sekaligus dan mencegah mereka melakukan serangan balik. (Selengkapnya di wikipedia)