Pict: kompaskompas |
Oleh: Saiful Guci
Ciloteh Tanpa Suara #17 – Dalam postingan saya “Minang Hanyuik” Engku Datok Amri Marzali Pensiunan Prof Antropologi Universitas Indonesia, dalam sebuah komentarnya menyebutkan “Sahaya berminat dengan tulisan Angku Saiful Guci zaman Pagaruyung dan sebelumnya. Asumsi/dugaan saya, sampai pertengahan abad ke-14 (awal kedatangan Adityawarman ke Saruaso), migrasi penduduk adalah dari Timur ke Barat. Dari Jambi atau Riau ke Sumbar”.
Hal ini juga senada dengan diskusi kami dengan Engku Syntal, dimana bermula masuknya migrasi dari luar melalui pintu timur ke pedalaman Minangkabau yang membawa Dara Petak dan Dara Jingga. Dan Galatiak Balam menanyakan Dimana kerajaan awal Minangkabau ?.
Kitab Negara Kertagama menyebutkan nama daerah di Sumatera yang berhasil dikuasai Majopahit : Kritang, Kandis, Siak, Kampar dan Rokan. Semua daerah itu terletak pada muara sungai-sungai besar yang mengalir kepantai timur yang hulunya jauh di pedalaman pulau Sumatera dari Gunung Marapi, Danau Singkarak dan Gunuang Omeh Lima Puluh Koto Sumatera Barat sekarang.
Dari catatan lama yang saya temukan terselip sebuah pantun rakyat Kandis dan apakah sampai sekarang masih melekat dalam hati rakyat Kandis ?:
Kemana jalan ke Kandis;
Ke Siak Sungai Betung;
Berapa raga Dara Gadis;
Secupak diperlancung.
Kandis dahulu Kandis pusaka;
Raja berdaulat sejak dahulu;
Datang putaran edaran masa;
Raja dibuang orang lalu.
Kandis turun datang Kuantan;
Daulat raja bergantian;
Sejak berkuah santan;
Sampai beraja ke Siantan.
Keratau Madang dahulu;
Semak resam diperladang;
Bukit Siguntang sejak dahulu;
Balai Rambahan titian medang.
Kandis turun ke Kuantan;
Kuantan turun ke Jemaja;
Di Sinan raja dinobatkan;
Daulat Sutan Srimaharaja.
Siapa yang jadi niatan;
Siapa konon jadi berita;
Kandis turun jadi Kuantan;
Negeri berdiri sendirinya.
Pantun ini pengalaman sejarah masyarakat Kuantan sebagai dinamika perjuangan mereka. Bait pertama, melambangkan peristiwa ekspedisi Pamalayu yang kembali membawa dua orang dara Melayu. Dara Petak menjadi Istri Raden Wijaya dan dara Jingga diperistri seorang pembesar kerajaan. Dara Jingga adalah putri dari Srimat Tribhuwanaraja Mauliawarmadewa, raja Kerajaan Melayu yang berpusat di Dharmasraya dan juga merupakan kakak kandung dari Dara Petak. Dara Jingga memiliki sebutan Sira Alaki Dewa, Dia Yang Dinikahi Orang yang Bergelar Dewa, Adwaya Brahman, pemimpin Ekspedisi Pamalayu. Dara Jingga berkulit hitam manis, melahirkan seorang putra, Adityawarman, Raja Pagaruyung.
Raja Melayu Tribuana Mauliwarmadewa menerima hadiah Raja Kertanegara sebuah arca Amoghapasa, enam tahun setelah keberangkatan putrinya ke Majopahit. Semaenjak itupulalah kerajaan Melayu Kandis turun derajatnya sebagai raja berdaulat. Kerajaan Kandis digantikan oleh Kuantan yang diperintah oleh raja yang bergantian dari generasi ke generasi berikutnya, bahkan sampai menjadi bagian Kerajaan Siantan.
Sejarah Rantau Kuantan yang berasal dari Bukit Siguntang, tempat awal kerajaan Melayu, dan pernah menjadi penghubung dengan kerajaan Medang di Jawa. Disana pulalah di bekas Kandis, kemudian dinobatkan Srimaharaja Diraja. Itulah dinamika kehidupan masyarakat Kandis yang berganti menjadi Kuantan, pewaris kerajaan Melayu dan Sriwijaya.
Di Bekas Kerajaan Kandis inilah kemudian berdiri Kerajaan Islam, Baserah (Basrah). Peranan Basrah dalam perniagaan bergema jauh ketanah asalnya, Damaskus. Disini pulalah akhirnya Kerajaan Pagaruyung menempatkan keluarganya menjadi wakilnya. Mereka tinggal di Koto Rajo, suatu tempat yang tiada jauh letaknya dengan lokasi penempatan Arca Amoghapasa di Dharmasraya.
Adityawarman kembali kekampung halamannya mengantikan neneknya dan mendirikan Kerajaan Pagaruyung (1339). Ia menyebut dirinya Raja Pulau Emas, nama baru untuk Pulau Suarnadwipa atau Pulau Sumatera. Adityawarman memakai gelar Sri Maharaja Diraja.
Peranan yang dimainkan oleh Kuantan dihubungkan dengan kekayaan alamnya yang selalu menjadi rebutan kerajaan-kerajaan di Nusantara bahkan luar negeri. Kuantan Mudiak penghasil emas urai di daerah yang bernama Tambang di Sungai Singingi. Dalam Tambo Minangkabau daerah ini disebut Sungai Ngiang yang diperintah Rajo Mudo. Dari Singingi Adityawarman dapat mengawasi pelayaran dan perniagaan di kedua sungai, Kuantan dan Kampar. Ia dapat mengawasi produksi emas di Silago, Sungai Dareh dan Muara Kalaban, yang tiada jauh dari Lubuak Jambi.
Daerah kaya ini kemudian ditinggalkan oleh Adityawarman karena alasan politik, sedangkan di daerah hulu Batang Kuantan banyak pula terdapat emas, di Tepi Selo, Bukit Gombak, Saruaso. Akhirnya keluarga Adityawarman pindah ke Bukit Gombak-Batang Selo yang kaya emas. Kemudian Kerajaan di sepanjang Sungai Kuantan terpecah menjadi tiga kerajaan : Rantau Kuantan, Batang Hari dan Batang Kampar.
Setelah Adityawarman mengangkat dirinya sebagai Raja Pagaruyung dengan gelar Maharaja Diraja, ia berusaha membangun kerajaanya dengan baik yang terlepas dari pengaruh asing. Dalam masa pemerintahannya yang panjang (1339-1376), ia berusaha mempertahankan daerah kekuasaanya atas Rantau Kuantan, Rantau Kampar dan Rantau Batang Hari. Mungkin ahli sejarah lain bisa menambahkan, cerita lama yang menarik ini.
Saiful Guci, Pulutan 2 Juni 2024