Pict: kepingan minangkabaukepingan minangkabau |
Oleh: Saiful Guci
Ciloteh Tanpa Suara #18 - Waktu kubuka FB dalam kotak percakapan tertulis “Engku Saiful Guci, bapak mempunyai buku Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang (Sinar Harapan, Jakarta 1981) yang ditulis Rusli Amran. Kalau punya saya pinjam mau difoto copy” tulis Juniwal.
“Saya memang mempunyai buku Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang, silakan datanglah ke rumah. Oh..ya apa yang Juniwal cari dengan buku Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang itu“ tulis saya.
“Saya butuh untuk tugas sejarah, mencari informasi tentang apakah peristiwa Koto Tangah yang melibatkan keluarga Raja Minangkabau itu yang bapak tulis dalam status “ CTS # 15: Nagari Dibari BarajoCTS # 15: Nagari Dibari Barajo“ kemarin apakah pernah terjadi? Dan tahun berapa sebenarnya terjadinya?“
“Oo begitu Sejarah tentang pembunuh*n keluarga Raja Pagaruyuang di Koto Tangah ini banyak sumber dan tahun yang tidak sama, jika berpegang pada buku Rusli Amran, jelas dalam bukunya yang berjudul Sumatera Barat Sampai Dengan Plakat Panjang, diceritakan bahwa satu-satunya fakta tertulis tentang peristiwa Koto Tangah itu ditulis oleh seorang yang mengaku bernama BD tertanggal 10 Agustus 1827 M dalam Majalah IM tahun 1844. Jika kita berpegang pada Majalah IM 1844 tersebut, maka peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1826. Mengenai tempat terjadinya peristiwa itu, ada yang bilang di Saruaso, dan ada juga yang bilang di Koto Tangah. Padahal antara Saruaso dan Koto Tangah merupakan nagari yang berbeda dan berjarak kurang lebih 5-6 km.” Tulis saya
“Bagaimana jalan ceritanya Engku Saiful Guci”
“Dalam buku yang ditulis Rusli Amran tersebut diceritakan; Kemudian muncul seorang dari Lintau bernama Sidu Mukmin yang terkenal dengan nama Tuanku Pasaman. Dia berhubungan dengan Rajo Ibadat Yang Dipertuan Nan Bakumih. Tuanku Pasaman mengajak keluarga raja mengikut paham Islam dan menentang semua yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun keluarga Raja menolak. Dalam perundingan tersebut, Tuanku Pasaman meminta kaum adat menjatuhkan hukuman mati terhadap yang Dipertuan Rajo Naro, Rajo Talang dan Putra Rajo Minangkabau, Raja Muning, karena semua ini menentang agama Islam. Maka pecahlah perang. Bebererapa pembesar Pagaruyung terluka, antaranya Raja Arifin Alam Muningsyah, paman Raja Gumpita.
Sidu Mukmin gelar Tuanku Pasaman alias Tuanku Lintau kawin dengan putri Raja Arifin Alam Muningsyah. Kedua Raja Tigo Selo yang lainnya sudah meninggal tidak lama sebelumnya. Putra raja ke tiga lari ke Padang dan pamannya lari ke Ulakan.
“Jadi, kalau tahun 1826 terjadinya peristiwa ini berarti setelah Sultan Bagagarsyah jadi Regen Tanah Datar pak Saiful Guci ?” tulis Juniwal.
“Nah inilah yang menjadi persoalan sejarah, dimana tahun terjadinya peristiwa itu dipertikaikan, banyak sumber tahunnya berbeda. Christine Dobin mencatatkan dalam Kebangkitan Islam Dalam Ekonomi Petani Yang Sedang Berubah, (Inis, Jakarta 1992) tragedi tersebut terjadi pada tahun 1815. Menurut MD Mansur dkk. dalam Sejarah Minangkabau (Penerbit Bharata, Jakarta, 1970) peristiwa tersebut diadakan pada tahun 1809. Padamulanya dilakukan dengan iktikad baik oleh Tuanku Lintau, telah beralih menjadi sebuah pertengkaran. Menurut Muhamad Radjab dalam bukunya Perang Paderi, (Penerbit Balai Pustaka, Jakarta, 1964 cetakan kedua) hal itu terjadi juga pada tahun 1809.”
“Jadi banyak menyebutkan kejadian pada tahun 1809, begitu ya engku Saiful Guci”
“Dan dalam banyak sumber menyebutkan bahwa Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir dan melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubuk-Jambi Rantau Kuantan. Raja Muningsyah yang selamat membawa salah satu cucunya bernama Raja Hitam Sultan Bagagarsyah yang pada waktu itu masih anak-anak.
Ohya, Juniwal pernah baca buku “ Payung Terkembang (1990) oleh Abdul Samad Idris Tan Sri Datuk bekas Menteri Kebudayaan Belia dan Sukan Malaysia ?”
“Belum lagi engku.. apakah engku juga punya bukunya?”
“Saya punya bukunya, dan dalam buku itu tertulis kejadian di Koto Tangah adalah pada tahun 1804, berarti setahun setelah kepulangan Haji Miskin, Haji Piobang dan Haji Sumaniak dari Mekah awal cerita Perang Paderi, dimana haji Miskin membakar balai adat Pandai Sikek kampung saya di tahun 1804. Dalam buku tersebut tertulis bahwa pada tahun 1804 terjadi pembakaran dan pembunuh*n di Istana Pagaruyung yang disebabkan perebutan tahta pewaris Raja Pagaruyung dengan keturan dari Rajo Adat di Buo. Sementara Raja Adat di Buo YDP Hela Perhimpunan telah meninggal tahun 1802. Dalam huru hara tersebut yang dapat lolos dari pembunuh*n adalah Yang Dipertuan Garang Raja Alam Sultan Sembahyang II bersama istrinya Tuan Gadih Reno Halus dan seorang cucu daripada Yang Dipertuan Sakti Tuanku Rajo Alam Muningsyah II yaitu Yamtuan Hitam yang masih berusia balita. Beliau ini yang kemudian menyandang gelaran yang Dipertuan Sakti Raja Alam Bagagarsyah Johan Berdaulat.
Mereka bertiga inilah diam-diam mengelak diri ke Rantau Singgingi melalui Sumpur Kudus. Tuan Gadih Reno Halus semasa mengelak sedang hamil muda mengandung anaknya yang kemudian hari bernama Puti Reno Sumpur karena dia lahir di Istana Rajo Ibadat Sumpur Kudus. Kemudian setelah lepas pantang barulah ia pergi Ke Singingngi mengikuti suaminya ke Rantau Singgingi. Tuan Gadih Reno Halus adalah saudara kandung dari Yamtuan Hitam Sultan Bagagarsyah. Nah bisa kamu mengambil kesimpulannya ?”
“Pusiang saya engku!”
“Begini analisanya, kalau peristiwa pembunuh*n di Koto Tangah itu memang ada pada tahun 1815 dan Sultan Alam Bagagarsyah Masih Balita, dan kenapa 6 tahun kemudian atau saat dia baru berusia 11 tahun yaitu pada tanggal 10 Februari 1820 bersama 19 orang pemuka adat lainnya ikut menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama dalam melawan kaum Padri. Tertulis dalam sejarah yang ikut dalam perjanjian diantaranya adalah Sultan Alam Bagagarsyah. Kepada Belanda dibuat “perjanjian penyerahan secara formal dan tanpa syarat, nagari-nagari Pagaruyuang, Sungai Tarab dan Saruaso (Lintau Buo dan Sumpur Kudus tidak termasuk). Kemudian setelah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari kaum Padri sebagai imbalannya Residen Sumatera Barat Du Puy bersama Komandan Militer Raaff mengusulkan dengan surat tanggal 1 September 1823 untuk memberi kedudukan tinggi dan terhormat kepada mereka yang membantu.
Pemerintah di Batavia setuju dan pada tanggal 4 Nopember 1823 keluarlah peraturan sementara dimana Sumatera Barat di bagi atas dua hoofdafdeling yakni Minangkabau dan Padang masing masing dikepalai oleh hoofdregent: Sultan Alam Bagagarsyah untuk Minangkabau dan Sutan Raja Mansyur Alamsyah untuk Padang. Namun pada 20 Desember 1825 Sultan Alam Bagagarsyah diturunkan oleh pemerintah Hindia-Belanda hanya sebagai Regent Tanah Datar, walaupun pada sisi lain ia menganggap dirinya sebagai Raja Alam, namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya atas wilayah kerajaan Pagaruyung itu sendiri.”
“yaa berbelit-belit sejarah ini ya Engku Saiful Guci “
“Nah kalau kita pakai peristiwa yang terjadi tahun 1809 maka Sultan Bagarsyah baru berumur 16 tahun, dan apabila kita pakai peristiwa ini terjadi pada tahun 1804 saat itu Yamtuan Hitam Sultan Alam Bagagarsyah berumur 5 tahun dan pada tahun 1820 tentu dia baru berumur 16 tahun dan padahal tercatat pada tahun 1823 dia diangkat jadi regen Minangkabau berarti dalam usia 23 tahun.”
“ Oh ya betul engku analisanya” tulis Juniwal
“ Nah ada lagi ...Jika kita berpegang pada Majalah IM 1844 yang mengatakan peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1826 masuk akal juga karena orang dari Buo dan Sumpur Kudus memberontak kepada Sultan Alam Bagagarsyah dibawah komonda Tuanku Lintau karena dia menyatakan diri sebagai Raja Alam sebagai Dipertuan Sakti Raja Alam Bagagarsyah Johan Berdaulat, sementara pihak keluarga dari Buo, Saruaso dan Sumpur Kudus belum malewakannya sebagai Raja Alam dan bahkan pihak dari Buo meminta kepada Belanda untuk memberhentikan Sultan Alam Bagagarsyah sebagai Regent Tanah Datar”
“ bagaimana apa masuk diakal sejarah ini... adinda Juniwal ?”
“ kacau sejarah ini engku!”
“ Nah apakah kamu pernah baca sejarah bahwa pada abad ke ke-19. Pada tahun 1818, Raffles, seorang petinggi Inggris datang menemui Tuan Gadih Saruaso pasca peristiwa Koto Tangah dan kedatangan Raffles didampingi oleh dua orang putra Sultan Alam Muningsyah, yaitu YDP Sutan Tangsir Alam dan YDP Sutan Kerajaan Alam. Coba kamu tanyakan kepada dosenmu di tempat kamu kuliah !.
Apakah Tuanku Sidu Mukmin gelar Tuanku Pasaman yang kawin dengan putri Raja Arifin Alam Muningsyah, apakah orang yang sama dengan Dipertuan Garang Raja Alam Sultan Sembahyang II, kalau tidak sama siapa nama istri Tuanku Lintau alias Tuanku Pasaman anak Raja Arifin Alam Muningsyah.
Siapa nama dari Tuan Gadih Saruaso ?
Kenapa tidak salah satu putra Sultan Alam Muningsyah, yaitu YDP Sutan Tangsir Alam dan YDP Sutan Kerajaan Alam diangkat Belanda jadi Regent ?
Dan saya mohon maaf off dulu, karena hampir magrib mau ke surau”
“ terimakasih engku, karena telah mau berbagi ilmu sejarah ini yang berguna bagi kami yang muda-muda ini“
Saiful Guci, Pulutan 2 Juni 2024