Pict: republika online |
Singgalang.id | Benar, belakangan ini saya sering mengkritisi Minangkabau, hingga ada orang yang menganggap saya benci dan punya dendam terhadap Minangkabau, malah ada seorang tokoh yang marah-marah saja. Tapi kebanyakannya mendukung, dan dampak dari tulisan itu di antara sesama pembaca bahkan banyak terjadi debat panas, terutama di media sosial. Semisal di group-group Whatsapp atau Facebook. Dalam salah satu debat; Si A bertanya, “…apak bangih-bangih ko, alah apak baco sadonyo tulisan tu?” [Engku marah-marah sahaja, sudahkah engku baca keseluruhan tulisan itu?]
Jawab si B: “…maleh den, panjang amek, mambaco judulnyo se lah sakik hati den”. Kata si A lagi: [Malas kami, panjang betul tulisannya, membaca judulnya sahaja sudah sakit hati kami]
“…itu namonyo apak basumbu pendek, baco lah dulu, pahami, baru apak ngecek”. [Itu namanya engku itu 'sumbu pendek', bacalah dahulu, fahami, baru engku berpendapat]
Tapi yang namanya orang Minang, jangankan kalah, podo (draw) saja tidak mau dia, dan terjadilah debat kusir tak berujung. Tapi memang begitulah gejala atau ciri khas diskusi di media sosial dalam dunia moderen ini.
Otokritik, membangun pemahaman bersama
Sesungguhnya yang saya lakukan itu adalah “oto-kritik”, yakni mengkritik diri sendiri atau masyarakat sendiri, demi kepentingan bersama. Itulah cara saya untuk menarik perhatian, sebagai wujud dari rasa cinta kepada Minangkabau, jauh sekali dari dendam dan rasa benci. (Kalau benci itu diartikan sebagai: benar-benar cinta, iya betul itu). Setelah tulisan berjudul “Minangkabau Nan Gadang Ota dan Kanai Ota” menyebar dan sangat viral waktu itu, di beberapa tempat terjadi diskusi online, termasuk beberapa seminar yang sengaja diadakan serta mengangkat isu tersebut. Alhamdulillah saya dapat kesempatan menyampaikan secara langsung kepada masyarakat mengapa oto-kritik tersebut dilakukan.
Satu hal yang menggembirakan, setiap kali tulisan diterbitkan, nampaknya berhasil memunculkan kembali dialektika, yaitu debat pemikiran sebagai salah satu ciri khas kalangan cerdik cendikia Minangkabau tempo dulu. Fenomena dialektika itu hari ini dapat dikatakan sudah hampir padam. Munculnya kembali riak-riak dialektika itu, walaupun kini sering kebablasan, tapi setidaknya benih-benih itu kini mulai muncul lagi disebabkan tulisan. Seandainya semakin banyak kalangan yang menulis tentu akan semakin meningkatkan kecerdasan dan pemahaman masyarakat terhadap berbagai hal kehidupan.
Dari beberapa sumber rujukan, kata ‘fatamorgana’ diartikan sebagai suatu bayangan udara di mana terjadinya ilusi optik (sifat dan interaksi cahaya). Namun fatamorgana juga sering diartikan atau digunakan sebagai gambaran ilusi/bayangan atau persepsi/pandangan yang salah terhadap sesuatu. Dan, dalam tulisan ini, saya menggunakan kata itu sesuai dengan pengertian yang kedua. Selanjutnya, yang saya maksud dengan si Minang di sini adalah kebanyakan orang Minangkabau zaman sekarang. Apakah orang dewasa, yang muda atau remaja. Intinya, tulisan ini menyigi tentang prilaku orang Minang hari ini yang kebanyakannya tidak lagi mencerminkan ciri khas prilaku orang Minangkabau, dari sudut pandang budaya.
Pentingnya memahami budaya, bahasa dan sejarah
Sering saya sampaikan, dalam masyarakat zaman sekarang, kata “budaya” dimaknai hanya sebagai hal-hal terkait kesenian atau hal-hal yang bersifat tradisi saja. Penyempitan makna inilah salah satu pangka bala (sumber masalah) mengapa budaya sering kali dipandang sebelah mata, dianggap tidak perlu dan tidak penting. Pada hal, dalam bahasa yang lebih sederhana, “budaya” itu artinya cara hidup, dan ketika kita bicara soal “cara hidup” cakupannya tentu sangat luas sekali. Penyempitan makna ini pulalah yang menyebabkan budaya sering ditempelkan sebagai unit tambahan, dan hanya dipandang sebagai penunjang kegiatan kepariwisataan saja.
Lebih jelas, untuk melihat bahwa budaya itu bukan hanya kesenian atau tradisi saja. Contohnya, mengapa anak-anak zaman sekarang nakal-nakal, susah diatur, suka melawan orang tua dan guru? Ini adalah masalah budaya! Mengapa anak-anak sekarang sudah masuk ke sekolah agama semisal pesantren atau lainnya, bahkan ada yang sudah haviz al-Qur’an, rajin sholat, tetapi kurang bersopan santun, kasar dan tidak pandai bertegur sapa, serta kurang mampu bergaul? Ini masalah budaya! Mengapa para orang tua sekarang sering kali tak terima jika prilaku anak-anak mereka ditegur orang lain? Bahkan ada guru yang akhirnya berurusan dengan hukum, karena dikadukan oleh orang tua tersebut, yang berlindung dibalik undang-undang HAM? Ini masalah budaya! Mengapa semakin lama negeri ini terasa makin amburadul, dipenuhi oleh orang-orang yang tidak jujur, pejabat bejat, korup, dan lain sebagainya? Ini masalah budaya! Mengapa di antara anak negeri ini sekarang hilang rasa persaudaraan, hidup nafsi-nafsi, sering bertengkar, bikin kegaduhan, sulit untuk membangun kesepahaman? Ini masalah budaya! Mengapa banyak orang sekarang berpangkat tinggi, punya titel panjang tapi kurang adab? Ini masalah budaya! Banyak sekali permasalahan budaya ini kalau didata satu per satu. Belum lagi kalau dihitung soal kebejatan moral yang kini melanda generasi, yang sudah terlalu banyak diberitakan oleh media. Ini semua masalah budaya! Celakanya, bagi sebahagian orang yang tidak paham budaya, mendengar kata budaya saja, mereka mulai lemas karena memandang rendah. Karena dalam pikiran mereka sudah terbentuk bahwa mendiskusikan budaya itu tidak ada gunanya, buang-buang waktu saja, tidak ada duitnya.
Sebagai cara hidup, budaya itu dalam kata kerjanya adalah gambaran ‘budi & akal’. Wibawarta dalam Darwis (2017:12) menyatakan, prilaku manusia itu cenderung berubah sesuai perkembangan zaman. Mempengaruhi ‘cara berpikir’, dan ‘cara hidup’ masyarakat. Keberlangsungan kedua hal itu bersifat kebudayaan yang nanti akan menghasilkan sebuah peradaban, dan peradaban itu sendiri sangat erat hubungannya dengan budaya dan juga sejarah. Sebagaimana pergeseran kebudayaan sekarang akan menjadi sejarah di kemudian hari.
Selanjutnya, melalui “bahasa” lah budaya itu diungkapkan, disebarkan, dipelihara atau dilestarikan. Bahasa membentuk persepsi kita, mempengaruhi cara berfikir, melalui bahasa juga kita berinteraksi dengan orang lain, mentafsirkan tentang sesuatu, memahami warisan dan kekayaan budaya.
Di sisi lain, kebudayaan membentuk struktur dan evolusi bahasa. Sehingga budaya dan bahasa bagaikan dua sisi mata uang, keduanya secara bersama membentuk ikatan tak terpisahkan, saling mempengaruhi dan mencerminkan satu sama lain dalam berbagai cara (Jovitasari & Erlangga 2023). Ringkasnya menurut Imai et al (2015), bahasa, budaya, dan pikiran itu senantiasa saling memengaruhi dan terkait antara satu sama lain dalam membentuk kognisi manusia.
Begitu juga halnya dengan sejarah, yang mempunyai makna luas. Sejarah juga sangat erat kaitannya dengan pemikiran, perasaan, perkataan berdasarkan pengalaman. Kekuatan sejarah itu ada pada berbagai sisi kehidupan kita, Gustavson (1995) menulis enam kekuatan sejarah, mencakupi aspek ekonomi, agama, institusi (terutama politik), teknologi, ideologi, dan militer. Termasuk juga soal individu, jenis kelamin, umur golongan, etnis dan ras. Pendek kata, orang yang tidak memahami dan jauh dari sejarah dalam konteks sosio-budaya ia akan terkesan dungu, walaupun ia seorang profesor (di bidang lain). Jika ia jadi seorang pemimpin, ia akan mudah dikibuli, pengikutnya akan gampang dijerumuskan, karena ia tidak mengerti perang budaya yang menghantam alam bawah sadarnya. Lama kelamaan ia akan kehilangan akal melihat semakin lama masayarakat atau kaumnya semakin kacau dan tertinggal. Sejarah adalah pintu kecerdasan, sarana untuk mengungkap kebenaran. Sejarah adalah alat perang dalam memperjuangkan masa depan sebuah bangsa/suku kaum.
Sekitar 1950an, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill (1864-1965) pada suatu kesempatan pernah berpesan kepada seorang anak muda James Humes (penulis pidato Presiden AS): “…Pelajari lah sejarah, pelajari sejarah! Di dalam sejarah ada semua rahasia tata negara. Bahkan, di dalam sejarah terdapat jauh lebih banyak hal. Begitu banyaknya, sehingga pertempuran atas sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah kita dilihat oleh banyak orang sebagai pertempuran atas identitas nasional kita dan nilai-nilai masyarakat kita.” Sementara itu, penyair dan musisi kulit hitam berpengaruh AS Gil Scott-Heron (1949-2011) mengatakan “…Jika Anda tidak tahu dari mana anda berasal, maka anda tidak akan tahu ke mana anda akan pergi. Anda harus mempelajari sejarah Anda!” (Apakah Indonesia masih mengajarkan sejarah?)
Lalu, dimana letaknya peran agama?
Disebabkan tulisan ini terkait dengan Minangkabau, dan karena budaya itu adalah cara hidup atau way of life kata orang Inggris, maka di Minangkabau agama adalah tempat bersandarnya budaya. Di sinilah letaknya falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK). Inilah landasan jati diri budaya orang Minangkabau. Adat itu artinya peraturan yang dibuat, ketika peraturan itu sudah menjadi kebiasaan hidup, maka budaya lah namanya.
Masalahnya, berapa persen orang Minangkabau hari ini yang melihat ABS-SBK itu penting sebagai dasar jati diri mereka? Berapa persen yang tau tentang sejarah ABS-SBK, tentang fungsi dan peran ABS-SBK yang selama ini telah menciptakan keharmonian dalam kehidupan tanpa mereka sadari? Hanya segelintir orang mungkin yang benar-benar paham dan peduli, sementara yang lain tidak paham, atau ‘masa bodo’, atau pura-pura tak tau. Sementara itu mata pelajaran Budaya Alam Minangkabau (BAM) yang dipelajari di sekolah-sekolah dari tahun 1994 sebagai sarana resmi untuk memahami dasar-dasar ABS-SBK, termasuk sejarah Minangkabau sudah dihabisi pada 2013. Hingga kini lebih kurang 10 tahun sudah BAM berlalu. Anak-anak Minangkabau di Ranah kini tidak lagi belajar tentang adat budaya mereka. Jadi tidak mengherankan jika hari ini banyak anak-anak yang tidak tahu sopan santun ciri khas budaya Minangkabau, walaupun mereka sekolah agama dan pintar ngaji.
Sedangkan adat Minangkabau itu sangat mengutamakan sopan santun dalam pergaulan. Budi pekerti yang tinggi adalah salah satu ukuran martabat seseorang. Etika menjadi salah satu sifat yang harus dimiliki oleh setiap individu Minangkabau. Adat Minangkabau sejak berabad-abad yang lalu telah memastikan, bila moralitas suatu bangsa sudah rusak, maka dapat dipastikan suatu waktu kelak bangsa itu akan binasa, akan hancur lebur ditelan sejarah. Dengan demikian, adat Minangkabau telah mengatur dengan jelas tata kesopanan dalam pergaulan (Salmadanis & Samad 2002:116).
Kecerdasan Minangkabau ada pada kepintaran mereka dalam menggunakan kekayaan simbol-simbol yang mereka miliki, dan simbol itu mempunyai arti yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Baik simbol dalam bentuk kata, tindakan atau benda. Sebagai pengguna simbol, kecerdasan orang Minangkabau meliputi kecerdasan sikap dan jati diri, seperti kecerdasan bahasa (dalam petatah petitih) atau melalui pesan-pesan kausatif. Juga kecerdasan interaksi dengan alam, memposisikan diri sebagai makhluk Tuhan. Semua kecerdasan tersebut terbentuk melalui kesadaran memaknai diri, alam dan Tuhan. Sehingga memunculkan sugesti yang kuat dan bermuara pada penanaman budi baik (etika) dalam prilaku masyarakat (Yulika (2017).
Penutup
Tulisan ini adalah pesan kepada masyarakat Minangkabau, terutama kepada pemerintah dan para tokoh-tokoh yang benar-benar peduli terhadap masa depan generasi. Sebab itulah dalam beberapa kesempatan, saya sering kali menyampaikan bahwa aspek budaya, bahasa dan sejarah merupakan tiga pilar penting tegaknya dan kuatnya jati diri budaya seseorang. Apabila ketiga-tiga pilar tadi lemah, maka jati diri akan lemah. Ketika jati diri sudah lemah, maka semuanya akan turut melemah; rasa persaudaraan dan persatuan akan lemah, pandangan hidup akan pendek, hidup akan mementingkan diri sendiri, daya pikir akan melemah. Akibatnya, tanpa sadar, kita akan mudah emosi, mudah dihasut, difitnah dan diadu domba, tidak tau siapa kawan siapa lawan. Terkadang kawan dianggap lawan, lawan dianggap kawan. Jika terlibat dalam satu pertandingan, bila kalah tak terima, bila menang sombong dan senantiasa mengejek. Ini semua contoh ciri-ciri jati diri budaya seseorang/sekelompok orang yang sudah terkikis, dan sedang menuju kepada manusia/bangsa yang tidak beradab.
Andai kata, keadaan ini masih berlanjut, dan masih tidak ada tindakan yang bersungguh-sungguh terutama dari pihak pemerintah, maka akan malang lah nasib Si Minang ini. Generasi ini akan hanyut dalam suatu fatamorgana kehidupan sebagai pemuja yang taksub terhadap modernisasi dan globalisasi. Senantiasa akan bangga memakai baju basalang (pinjaman). Bangga dengan segala hal yang berbau luar negeri, bangga dengan bahasa orang. Mereka tidak tau bahwa kecerdasan Minangkabau itu salah satunya terletak pada bahasanya: di Minangkabau, nan pusako itu adolah kato (bahasa). Sekian dan terima kasih!
=====
Penulis: