dari kiri ke kanan, adalah: Arif Fadillah (baju putih), Natar Zainuddin, Ahmad Khatib Dt. Batuah (tanda x) dan A.Wahab (baju putih). (Foto: Suryadi) |
Abdullah Kamil, Komunis yang Disadarkan Menantu Haji Rasul
Red: Muhammad Subarkah | Oleh: Fikrul Hanif Sufyan (Periset, Pemerhati, & Pengajar Sejarah)
Nama Abdullah Kamil, memang tidak familiar dalam lembaran sejarah Minangkabau. Namun, ia dikenang menjadi bagian dari historiografi–terutama yang ditulis oleh sejarawan luar. Sebut saja Schrieke (1929), Harry J. Benda (1960), Akira Oki (1985), dan Joel S.Khan .
Nama lainnya yang kerap mengabadikan namanya adalah Haji Abdul Karim Amrullah (Hamka), dalam dua karyanya, Muhammadiyah di Minangkabau, Tafsir Al-Azhar, dan Kenang-kenangan Hidup. Kisah laki-laki kelahiran 1907 di Padang Panjang itu, memang menarik untuk disimak.
Padang Panjang dalam tulisan Audrey Kahin (1996), selalu ditulis sebagai pintu penghubung antara Pesisir Pantai Barat Sumatra, dan pedalaman Minangkabau. Sejak kalahnya Padri pada 1821, basis pertahanan mereka beralih tangan ke Kumpeni.
Wajah kota kecil–yang menjadi bagian dari Afdeling Batipuh Sapuluah Koto itupun berubah. Akses jalan darat diperbaiki, dan satuan militer diperkuat. Wajah kota pun berubah drastis. Yang awalnya kampung menjadi Kota Garnizun.
Sejak hadirnya moda transportasi massal kereta api di akhir abad ke-19, Padang Panjang sudah menjelma sebagai pintu masuknya distribusi barang dan jasa, ideologi, dan menguatnya peran Islam modernis.
Sekolah-sekolah bergaya Barat, sudah ada sejak akhir abad ke-19. Mulai dari Volkschool, Vervolgschool, Schkakel School, Hollandsch Indlandsche School (HIS), hingga sekolah lanjutan untuk guru, Normaal School.
Tokoh-tokoh Islam modernis melihat, ada celah yang ditinggalkan pemerintah Hindia Belanda. Seluruh sekolah yang didirikan, tidak berbasis agama. Sedangkan orang Minang cendrung kuat dengan persoalan agama.
Di awal abad ke-20 di Padang Panjang telah berdiri Sumatra Thawalib, Diniyah School, dan Muhammadiyah turut merintis dan memusatkannya di bekas Hotel Merapi. Kemudian beralih nama menjadi Kauman Muhammadiyah Padang Panjang (Sufyan, 2021).
Abdullah Kamil dibesarkan dalam masa keemasan Islam modernis. Pendidikan terakhirnya adalah Sumatra Thawalib (Hamka, 1974). Ia menikmati masa pendidikan di Thawalib Padang Panjang, dan dididik langsung oleh Haji Abdul Karim Amrullah (Haji Rasul), Zainuddin Labay el-Yunussy, dan guru bantu agama Haji Ahmad Khatib gelar Datuk Batuah.
Nama terakhir, yang mengubah wajah Thawalib Padang Panjang. Yang awalnya adalah institusi pendidikan berbasis Islam modernis, kemudian bersentuhan dengan pergerakan Kuminih [Komunis].
Pada Oktober 1923, ketika Haji Datuk Batuah memformulasikan Kuminih–yang merupakan sintesa dari Islam, Marxis, dan adat Minangkabau, Kamil telah berusia 15 tahun. Ia dikader dalam Internasional Debating Club (IDC), mengikuti debat di Bufet Merah, membaca artikel di Djago! Djago!, Pemandangan Islam, Doenia Achirat, dan Njala – seperti yang dialami oleh murid-murid dan guru Thawalib lainnya.
Meskipun telah menjadi bagian dari pergerakan Sarekat Rakyat, Hamka menyebut sahabatnya ini, pentolan Kuminih yang taat beribadah. Kamil ditengarai ikut dalam peristiwa di awal tahun 1927, di kalangan akademisi menyebutnya Pemberontakan Silungkang. PKI pun kalah dalam peristiwa dramatis itu, karena belum kuat massa actie-nya.
Pasca peristiwa Silungkang, ia pun dicari-cari oleh intel Politieke Inlichtingen Dienst (PID). Sejak kekalahan Kuminih, ia menjadi buruan nomor satu, sejak Januari hingga bulan Mei 1927. Entah bagaimana caranya, ia kerap lolos dari penangkapan intel Belanda.
Setidaknya ada lima orang yang disorot oleh PID Belanda, terkait dengan peristiwa Silungkang dan keterlibatan mereka dalam Sjech Bond Indonesia (SBI) Persjarikatan Islam Indonesia (SBI/PII).
Pemerintah Belanda sendiri melalui Van der Meulen, sebelumnya tidak pernah mencurigai keberadaan SBI dan PII yang berafiliasi ke Komunis, dan mendukung peristiwa Silungkang. Mereka beranggapan, PII sama halnya dengan Eigen Haji Organitatie–sebuah organisasi perkumpulan haji yang sering berkorespondensi dengan ulama-ulama di Timur Tengah.
Bahkan, mereka belum menyadari seluruh kegiatan PII di Mekah merupakan bagian usaha pengurus PII menghindar dari pencidukan militer Belanda (RIMA Vol.14 No.2, 1980: 115). Penangkapan terhadap pimpinan SBI/PII di Mekah –juga dipicu kritik mereka terhadap Ibnu Saud – raja Saudi, yang menarik pajak angkutan kapal jemaah haji.
Sebab lainnya adalah keberpihakan mereka terhadap rezim Husein yang berseberangan dengan Ibnu Saud. Selama berada di Mekah, pengurus SBI/PII kerap menghasut jemaah yang berasal dari Hindia Belanda, Iran, dan India agar melawan semua kebijakan penguasa Saudi itu.
Seluruh rangkaian kegiatan SBI/PII yang telah meresahkan, segera ditindak lanjuti. Sekurangnya ada delapan orang pengurus, dan lima di antaranya berasal dari Sumatra Barat (Nagazumi, 1980: 120). Pertama, Sutan Moentjak yang berasal dari Padang Panjang. Menurut catatan Van der Meulen, ia merupakan pimpinan peristiwa 1927, yang bergerak di Padang Panjang dan Solok.
Kedua, Pakih Ripat yang memimpin perlawanan di Solok. Ketiga, Marhoem –bendahara PII berasal dari Padang, dan ditugasi menjual kartu anggota. Keempat, Haji Tangsi gelar Bagindo, dan kelima, adalah Abdullah Kamil–juga merupakan sekretaris PII.
Pada 1 Mei 1927, Kamil menemani neneknya untuk menunaikan haji di Makkah. Dan, entah kenapa dia tiba-tiba bisa lolos dari pemeriksaan ketat veldpolitie dan PID di Pelabuhan Emmahaven [Teluk Bayur]. Sebab, pasca Silungkang, aparat keamanan menjaga ketat pintu keluar, yang bisa dimanfaatkan oleh buron politik, untuk melarikan diri.
Anggota PID baru menyadari buron mereka lolos. Memakai jaringan intelijen internasional, mereka baru mengetahui, dua orang yang tengah dicari lolos, yakni Kamil dan Marhoem.
Vice Consul Kerajaan Belanda, segera melaporkan pada Ibnu Saud untuk menahan keduanya. Dan, benar adanya tepat sebelum wukuf di Arafah, tanggal 9 Juni 1927, Kamil dan Maruhun ditangkap aparat dari Saudi dan dikirim kembali ke Indonesia.
Selama tiga bulan, ia menjalani hukuman bui, dan dibebaskan dari tahanan Muaro Padang, pada bulan Oktober 1927 (Sumatra Bode, 12 November 1927). Selepas dari penjara, Kamil memilih mendekat ke Muhammadiyah Padang Panjang. Hamka kaget, ia menyaksikan pentolan Komunis itu berkumpul dengan pengurus persyarikatan.
“Saya sudah berdetak hati.Tentu ini orang dikirim Komunis untuk menginfiltrasi dan mengacaukan persyarikatan! Sebagaimana yang mereka lakukan tempo hari pada Tabligh Muhammadiyah!” tulis Hamka (1974).
Pada satu waktu, Sutan Mansur menjalankan tugasnya. Menantu Haji Rasul itu,hendak memberi kursus kemuhammadiyahan di Padang Panjang. Abdullah Kamil kembali hadir pada akhir Desember 1927.
Dia mendengar keterangan-keterangan Sutan Mansur dengan seksama. Sejak mendengar keterangan agama yang baru didengar, selama hidupnya. Kamil memandang alam ini, seakan berubah sama sekali.
Rasa pesimis, benci, dendam, kecewa sebagai pengaruh dari ajaran “perjuangan kelas” dan kegagalan naik haji, berubah sama sekali. Dia melihat alam baru, dia melihat dan mulai merasakan kasih dan cinta.
Sampai-sampai Kamil menyampaikan ke Hamka dengaan berlinang air mata,”Saya tetap beriman bahwa sesudah Muhammad saw, tidak ada lagi nabi. Kalau iman itu tidak ada lagi, mungkin saya katakan Sutan Mansur itu Nabi.”(Hamka, 1984: 199-200).
Sejak bergabung dengan Cabang Padang Panjang, Kamil segera menjadi pion utama. Ia menjadi tokoh dibalik berdirinya Tabligh School (1928), dan mengusulkan Muhammadiyah segera merintis Perguruan Tinggi (1940).
Bahkan, di Kongres ke-19 tahun 1930 di Fort de Kock [Bukit Tinggi], buah pemikirannya menjadi perhatian dan disambut hangat oleh Ketua Majelis Tabligh Hoofdbestuur Muhammadiyah Hindia Timur, K.H Mas Mansur.
Kisah yang sama, juga dialami oleh tokoh Komunis lainnya–yang kemudian berlabuh ke Muhamamdiyah Padang Panjang. Misalnya, Zain Djambek, putra dari ulama Islam modernis yang dihormati, Syekh Muhammad Djamil Djambek. Inyik Djambek memang hampir putus asa melihat putranya itu – yang sudah dirasuki oleh Haji Datuk Batuah.
Pasca 1927, ketika Cabang Fort de Kock diresmikan, dan menghadirkan menantu Haji Rasul itu. Zain yaang awalnya acuh-acuh saja dalam acara itu, setelah diminta ayahnya hadir. Niat awalnya hanya ingin mengetahui propaganda dari persyariktan – yang dicap oleh orang Kuminih sebagai Penjilat Ekor Belanda (PEB).
Sutan Mansur yang didaulat menyampaikan pidato, memulainya dengan tenang. Kian lama, pengajian tauhid yang disampaikannya makin dalam, menghujam ke sanubari Zain.
Zain yang masih berusia 17 tahun terpaku dibawa masuk dalam gelombang pikiran yang disampaikan oleh Sutan Mansur. Anak muda yang halus perasaannya itu, telah mendapatkan orang yang dicari-cari, untuk menyadarkannya kembali.
“Bukan orang semacam ini, harus dimusuhi, karena dia bukan PEB” – demikian Zain menyampaikan kesannya pada seorang pengurus Cabang Padang Panjang, Rasjid Idris Datuk Sinaro Panjang.
Sejak mengikuti kuliah tauhidnya Sutan Mansur, Zain pun memilih Muhammadiyah. Ia menjadi mubaligh, sekaligus pengurus persyarikatan. Baru satu bulan bergabung, ia mendatangi ninik mamak Nagari Kurai Limo Jorong, untuk mau bergabung dengan Cabang Fort de Kock.
Pemuda lainnya yang disadarkan oleh Sutan Mansur dan bergabung dengan persyarikatan, antara lain A Malik Siddik, Malik Siddik, Hitam Sutan Mudo (iparnya Hamka/adik Siti Raham), dan Oedin Kurai Taji.
===========
Diterbitkan oleh republika.co.id pada Selasa 03 Oct 2023 03:47 WIB