Manuskrip yang mengisahkan sejarah agama Islam di Kota Padang. Foto: Harian Haluan |
HARIAN HALUAN – Sumatera Barat (Sumbar), provinsi yang cukup identik dengan penduduknya yang beragama Islam. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada 2021, Sumbar menempati peringkat ke-4 dengan persentase penduduk muslim terbanyak, yakni 97,6%. Hanya Aceh, Gorontalo, dan Bengkulu yang melampaui Sumbar dalam hal ini.
Diketahui, Ranah Minang yang dikenal dengan falsafah Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah itu memang telah mengalami sejarah panjang penyebaran agama Islam, termasuk ibu kotanya, Kota Padang.
Hal tersebut dibenarkan oleh seorang arkelog asal Sumbar lulusan Universitas Gadjahmada (UGM), Alfa Noranda. Kepada penulis, ia membagikan isi sebuah manuskrip yang telah ia alih aksarakan dan alih bahasakan.
“Teks ini menceritakan sejarah agama Islam masuk ke Kota Padang, ditulis oleh seorang khatib asal Koto Tangah, Padang,” sebut Aparatur Sipil Negara (ASN) Museum Nasional Indonesia itu.
Manuskrip itu disusun oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin, seorang khatib yang lahir di Batang Kabung, Kecamatan Koto Tangah, Padang, 18 Agustus 1922. Sayangnya, Abdul Manaf Amin tidak mencantumkan tahun kapan ia menulis atau menyelesaikan naskah ‘Sejarah Ringkas Syeikh Muhammad Nashir (Syeikh Surau Baru) Koto Panjang, Koto Tangah Tabiang Padang’ itu.
Dikisahkan, Syeikh Surau baru merupakan salah satu pembawa Agama Islam ke Kota Tangah, Pauh, Lubuak Bagaluang, Padang, dan sekitarnya. Naskah itu tersimpan di Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat, Jl. Pramuka V No.2, Lolong Belanti, Kecamatan Padang Utara, Kota Padang.
Menurut Alfa, teks beraksara Arab Melayu dan berbahasa Minangkabau itu pernah dipinjamkan untuk disalin pada 2016. Isi teks yang sudah diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dengan huruf latin ia bagikan di situs webnya, fosil73.wordpress.com.
Bermula dari Musafir Arab yang Terdampar
Naskah tersebut bermula dengan sedikit penggambaran Kota Padang pada sekitar tahun 781 Hijriyah (1350-an Masehi). Kala itu, seorang musafir dari Arab yang tengah berlayar ke arah timur terdampar di sebuah pantai tak jauh dari muara sungai.
Ia mendapati kawasan itu nyaris tidak dihuni manusia. Hanya “rimbo” (rimba) belukar bercampur rawa-rawa yang ia temui di pesisir pantai tropis itu.
Berbeda dengan negeri asalnya yang kering dan tandus, wilayah tempat ia terdampar ditumbuhi pohon-pohon rindang khas hutan hujan.
Tak jauh dari tempat ia terdampar, di seberang sungai yang sekarang kita kenal dengan ‘Batang Arau’, terlihat ujung bukit.
Bukit itu dinamai ‘Gunung Monyet’ karena banyak monyet dan kera menghuninya. Kelak, di era modern bukit itu dinamai ‘Gunung Padang’.
Karena rasa ingin tahunya yang kuat, pria itu kemudian berjalan sejauh yang ia bisa demi menemukan tanda-tanda peradaban manusia. Ia menemui titik terang seiringan dengan aliran sungai yang menghanyutkan kayu-kayu yang baru ditebang.
Langkahnya bertambah luas sebab ia yakin potongan kayu tersebut mestinya berasal dari sebuah kampung di arah hulu sungai. Lantas, ia ‘memudiki’ Sungai Batang Arau.
Setelah berjalan sekira 4 kilometer, ia sampai pada sebuah hutan yang banyak aur duri (bambu berduri). Kawasan yang kini termasuk wilayah Kota Padang itu kelak dinamai ‘Aur Duri’.
Tidak jauh setelah melewati rimba ber-aur duri itu, sang musafir melihat beberapa buah dangau (gubuk) di bawah sebuah pohon durian besar di pinggir sungai. Lantas, ia menyeberangi sungai hingga bertemu dengan orang-orang dangau itu.
Karena belum bisa berbahasa Minangkabau, pria Arab itu menceritakan keadaan dirinya dengan menggunakan bahasa isyarat. Tak jauh berbeda dengan alamnya yang subur laksana menyambut baik kedatangan siapa pun makhluk hidup, para penduduk lokal itu juga menerima Si Pria Arab dengan ramah kendati ia memiliki ciri fisik yang berbeda.
Terkesan dengan sambutan penduduk negeri antah-berantah tersebut, pria Arab bernama Syaidi Abdullah tersebut kemudian tinggal bersama orang-orang dangau itu. Bersama penduduk lokal, Syaidi Abdullah ikut bertani pada siang hari
Syaidi adalah pemegang teguh iman Islam, sehingga secara langsung maupun tidak langsung ia yang bisa berbaur dengan masyarakat mampu memengaruhi orang-orang hingga tertarik dengan ajaran Islam.
Selang beberapa bulan setelah Syaidi tinggal bersama penduduk lokal di pinggir sungai Batang Arau itu, Syaidi mulai memberi “penerangan” agama Islam kepada penduduk lokal yang kala itu diperkirakan menganut keyakinan Hindu-Buddha.
Kepada masyarakat yang ingin tahu ajaran agama yang ia anut, Syaidi menceritakan dengan tulus dan halus. Lama kelamaan, sebagian warga yang semakin tertarik dengan ajaran Islam mendatangi Syaidi pada malam hari.
Ia tak menyangka, maksud kedatangan orang-orang itu ternyata hendak menyampaikan maksud menjadi seorang muslim. Syaidi membimbing pengucapan dua kalimat syahadat.
Semenjak itu, ajaran Nabi Muhammad yang Syaidi ceritakan kepada orang-orang sekitar berkembang pesat di kampung yang kelak kita kenal dengan nama Aur Duri tersebut. Diceritakan, Syaidi mengajarkan peraturan dalam agama Islam setiap malam.
Pernikahan Sang Musafir dengan Putri Pagaruyung yang Terbuang
Syaidi yang populer di kalangan penduduk lokal ternyata menarik perhatian Ketua Dusun yang memiliki seorang anak gadis dewasa. Timbul minatnya untuk menikahkan anak gadisnya dengan pria asal negeri seberang samudera itu.
Keinginan Ketua Dusun diceritakan melalui salah seorang penduduk paling tua di dusun hingga sampai juga kabar itu ke telinga Syaidi. Mendengar itu, Syaidi sontak menerima dengan gembira. Tak berselang lama, dusun itu dinaungi suasana suka cita pernikahan seorang pria terdampar dengan anak gadis pemimpin dusun.
Melihat latar belakang sang kepala kampung, tampak ada kemiripan latar belakang antara dirinya dengan menantunya yang berasal dari jazirah Arab. Ia juga merupakan orang yang “terdampar”.
Untuk diketahui, Ketua Dusun itu adalah anggota Keluarga Kerajaan Pagaruyung yang diusir, sehingga ia harus beranjak dari lingkungan istana kerajaan yang berpusat di wilayah dataran tinggi Sumatera Barat tersebut.
Dalam perjalanan mencari tempat bernaung, pria berdarah biru itu beristirahat di bawah sebuah pohon durian besar di pinggir sungai. Mendapati tanah yang cocok untuk bercocok tanam, ia memutuskan untuk menetap, membangun dangau serta kebun dan sawah.
Ternyata apa yang dilakukan oleh sang calon Ketua Dusun turut dilakukan orang-orang lain yang berasal dari berbagai penjuru. Lambat laun, para pendatang turut membangun dangau di situ, sehingga berkembanglah sebuah kampung yang kelak dinamai “Kampung Durian” yang terletak di Kecamatan Padang Timur.
Tak pelak, sang Kepala Dusun merasa puas karena telah turut memulai kehidupan di situ, hingga menjadi tempat singgah musafir Arab yang membawa ajaran tauhid dari Nabi Muhammad, Syaidi Abdullah.
Epilog
Tidak berhenti di sana, Syaidi mengajarkan agama Islam hingga ke kawasan Pauh dan Lubuak Bagaluang (Lubuk Begalung). Hingga menghembuskan nafas terakhirnya, Syaidi dihormati oleh para penduduk lokal.
Pasca kematian sang musafir, popularitas agama Islam di kampung itu dan sekitarnya turut meredup. Konon, diperkirakan agama Islam belum mendalam di hati rakyat pada saat itu. Kepercayaan Hindu yang sebelumnya sudah memegang pengaruh di kawasan Minangkabau kembali menjadi keyakinan yang dianut oleh masyarakat.
Baru pada tahun 1075 Hijriah, seorang ulama bernama Muhammad Nasir atau dikenal sebagai Syeikh Surau Baru yang baru kembali dari Aceh dan Ulakan kembali mengembangkan agama Islam di kawasan yang nantinya kita kenal sebagai Kota Padang.
Kini, Kota Padang menjadi ibu kota sebuah provinsi yang identik dengan mayoritas penganut muslimnya. Dangau-dangau yang menjadi tempat hijrah Syaidi Abdullah kini telah beralih menjadi pemukiman yang lumayan padat penduduk.
Sebuah masjid berdiri di antara permukiman, Masjid Al-Ihsan. Apabila Anda hendak mengunjungi kampung ini dari arah pusat kota atau Pasar Raya Padang, Anda dapat bergerak ke arah timur melalui Jalan Proklamasi di kawasan Tarandam, terus ke arah Jalan Parak Pisang, Jalan Air Camar, Jalan Aur Duri, hingga Anda dapat melihat plang bertuliskan ‘Masjid Al Ihsan’ di gang sebelah kanan.(*)
===========
Disalin dari Harian Haluan