Dalam sebulan-dua bulan yang akhir ini bahasa Melayu menjadi buah perbincangan umum. Hampir tiap surat kabar memuatkan pikirannya. Orang-orang yang mencintai bahasa berunding dan bermusyawarah, bagaimana jalan yang sebaik-baiknya untuk memajukan bahasa itu dan untuk menjaga supaya bahasa itu jangan rusak oleh pengaruh yang tiada baik. Perkumpulan dan komisi didirikan orang berhubung dengan bahasa Melayu.
Sesungguhnya sekaliannya itu [adalah] tanda-tanda yang baik.
Di sini bukan maksud kami akan mendalami segala yang telah diterangkan dan dikemukakan, baik dalam surat kabar maupun rapat. Pada pendapat kami pada dewasa ini orang terlampau kuat berpegang pada soal yang kecil-kecil, sehingga lupa pada kepentingan yang besar.
Masing-masing memandang bahasa itu dari jurusannya sendiri dan dengan keangkuhan yang telah menjadi sifat manusia benar itu, maka segala yang berbeda dari pemandangan yang diperolehnya dari jurusannya itu, dianggapnya salah, bukan bahasa Melayu. Masing-masing menganggap bahasa yang dipakainya [adalah] bahasa Melayu yang ‘tulen’, sedangkan yang lain itu bukan bahasa Melayu.
Padahal……dalam bahasalah yang boleh kita katakan tak ada batas yang ‘tulen’ dengan yang ‘tiada tulen’. Segala pergerakan untuk menjaga bahasa tinggal tulen selama-lamanya, sampai sekarang baik pada bahasa mana sekalipun tiada berhasil. Yang disebut orang ‘tulen’ itu menjadi tidak tulen, kalau perlahan-lahan dilupakan orang dan tiada dipakai lagi. Sebaliknya yang ‘tiada tulen’ itu, boleh menjadi tulen, kalau lazim orang memakainya.
Kami tak hendak menyertai perdebatan berebut ketulenan bahasa itu. Biarlah bahasa tumbuh [dengan] sendirinya.
*
Makin sehari makin pentinglah kedudukan bahasa Melayu dalam pergaulan Indonesia. Kemajuan surat kabar, kemajuan pergerakan politik, ekonomi dsb. dalam dunia bumiputera yang memakai bahasa itu tak boleh tidak telah selayaknya memajukan bahasa itu pula.
Dalam waktu yang akhir ini nyata kelihatan kepada kita orang bergerak untuk mendalamkan dan lebih memperhatikan pengajaran tentang bahasa Melayu. Telah lamalah sudah bahasa Melayu itu dianggap kaum terpelajar bangsa Indonesia sebagai anak tiri: Di sekolah-sekolah diabaikan, sebab tiada berapa pentingnya untuk menetapkan naik atau tiadanya seseorang murid ke kelas yang lain.
Keadaan yang buruk itu sekarang mulai berubah. Hal ini sesungguhnya menggirangkan hati.
Berhubung dengan makin sehari makin pentingnya kedudukan bahasa Melayu dalam pergaulan bangsa kita, tak dapat kami menahan hati kami menyajikan kepada pembaca pidato tuan Soangkoepon dalam salah satu sidang Volksraad berhubung dengan bahasa Melayu: demikian bunyinya:
Tuan vorzitter!
Dalam surat jawab[annya], Pemerintah mengatakan bahwa menurut pendapatnya sekarang belum tiba masanya untuk mengadakan sekolah Mulo yang memakai salah satu bahasa bumiputera sebagai bahasa pengantar.
Kalau diadakan sekolah Mulo serupa itu sekarang, banyaklah akan timbul kesukaran yang lain. Sebabnya sekolah-sekolah yang lebih tinggi sekaliannya memakai bahasa pengantar yang lain dan demikianlah tentu tiada mudah menyesuaikan sekolah itu dengan sekolah-sekolah yang lebih tinggi daripadanya itu.
Tetapi meskipun demikian, menurut pendapat saya soal ini harus ditimbang lebih lanjut dan lagi pula baiklah diselidiki, sehingga manakah mungkin bahasa Melayu dipakai pada segala sekolah rendah, sekolah menengah dan sekolah tinggi sebagai bahasa pengantar.
Dengan jalan serupa itu akan lebih mudahlah didikan bagi bangsa bumiputra, sebab mereka – terutama sekali untuk mempelajari vak teknik – lebih mudah berpikir dalam bahasanya sendiri. Hal ini akan mengurangkan waktu yang berguna untuk belajar dan lagi pula akan mengurangkan belanja negeri. Dan kalau pada segala kantor-kantor negeri dipakai bahasa Melayu sebagai bahasa ofisial, maka yakinlah saya, bahwa banyak benar uang yang dapat dihematkan.
Dengan hal yang demikian akan lebih mudahlah mendidik [penduduk bumiputera] negeri ini: kebebasan sesuatu negeri itu tiadalah bergantung pada kepandaian tentang bahasa asing, meskipun bahasa asing itu dapat menambah kukuknya kebebasan itu.
Kalau orang sungguh-sungguhnya hendak memajukan negeri ini, maka haruslah pula didikan itu selaras dengan budi pekerti bangsa bumiputra.
Amat besarlah hati saya, kalau sekalian buku pelajaran pada segala jenis sekolah, yakni sekolah rendah, sekolah menengah dan sekolah tinggi, ditulis dalam {946} bahasa Melayu dan kalau sekalian pelajaran dilangsungkan dengan bahasa Melayu. Menurut pendapat saya hal itu tak adalah keberatannya sedikit juapun, sebab sekarang kita mempunya kantor Balai Pustaka, yang menurut pendapat saya pasti dapat melangsungkan segala terjemahan yang perlu.
Boleh jadi ada juga faedahanya, kalau di dalam Volksraad ini bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa pengantar. Sebabnya dengan jalan serupa itu segala yang dipertanyakan di sini lebih dalam dan lekas meresap pada [otak] anak negeri. Dalam hal itupun Volksraad dapat menjadi tempat belajar bagi anak negeri tentang hal politik. Tetapi berhubung dengan ini haruslah segala anggota [Volksraad yang berkebangsaan] Belanda pandai [ber]bahasa Melayu, sebabnya bangsa bumiputera terutama sekali harus belajar tentang hal politik dari mereka itu.
Sekian kata tuan Soangkoepon.
Kami yakin bahwa yang dikemukakannya itu disetujui oleh bangsa bumiputera. Dan sesungguhnya pun pada akhirnya kelak, sekaliannya harus serupa itu.
Tetapi mempercakapkan sesuatu itu senantiasa lebih mudah dari menjelmakannya. Bukankah sering dikatakan oleh orang kita: “Apakah payahnya berkata, lidah tiada bertulang.”
Seperti kata Pemerintah dalam surat jawabannya, sekarang ini masih banyak benar kesukaran [untuk] melangsungkan cita-cita itu. Pertama sekali di kalangan bangsa bumiputera harus ada orang yang ahli tentang bahasa Melayu dan tentang hal vak yang harus diajarkan itu. Banyak pengertian dan perkataan yang belum diterjemahkan dan pekerjaan itu hanya dapat dilangsungkan oleh ahli-ahli dalam bahasa dan vak itu.
Demikianlah, tentang hal ini kita harus menunggu dahulu. Tetapi menilik pada lekasnya kemajuan bahasa Melayu dalam 15 tahun yang akhir ini, sesungguhnya bolehlah kita berharap bahwa cita-cita itu segera akan menjelma.
Perjalanan sesuatu bahasa itu tiada dapat diempang, tetapi sebaliknya tiada pula dapat dilekaskan.
S.T.A. {947}
Sumber: Majalah Pandji Poestaka, No 61, TAHOEN IX, 31 Juli 1932, hlm. 946 (HINDIA). Teks ini disalin dengan memakai ejaan baru. Angka dalam tanda “{ }” merujuk kepada halaman dalam sumber aslinya. Kata-kata dalam tanda ‘[ ]’ adalah tambahan dari penyalin. Penulis laporan ini, yang menulis namanya dengan singkatan S.T.A. sangat mungkin adalah Sutan Takdir Alisyahbana.
Penyalin: Dr. Suryadi, Leiden University, Belanda / Internationa Institute of Malay World and Islamic Civilisation (MALAY WORLD), International Islamic University Malaysia
=======================
S.T.A = Sutan Takdir Ali Sjahbana
Baca juga:
- Kenapa Malaysia Menggunakan Dialek Johor Riau sebagai Dialek Standard
- Kecintaan Minang atas Bahasa Melayu
- Bahasa Melayu di Aceh
- Nasionalisme Bahasa
- Sejarah Bahasa Melayu
- Asal Mula Bahasa Melayu menjadi Bahasa Indonesia
- Bahasa Melayu Kuno
- Bahasa Menentukan Bangsa
- Alam Malayu (Jazirah Malayu)