Penolakan orang Minangkabau atas diberlakukannya Bahasa Minangkabau dijadikan sebagai bahasa pengantar sungguh menarik hati. Rupanya hal tersebut tidak terlepas dari adat kebiasaan yang telah berlaku di Minangabau semenjak dahulunya. Kini adat tersebut telah berubah, bak kata pepatah:
Jalan dialiah urang lalu // Jalan di geser orang lewat
Cupak dialiah urang panggaleh // Takaran ditukar orang pedagang
_______________________
“Bahasa Minangkabau, jang daholoe dimaksoed akan diadjarkan disekolah kl. II sekolah dĆ©sa dan sekolah Normaal, sebagai bahasa pengantar (voertaal) moelaĆÆ permoelaan th. pengadjaran j. a. d. ini ta’ djadi dilangsoengkan. BolĆ©h djadi akan ditoenda beberapa tahoen lagi.”
***
Laporan majalah Pandji Poestaka No. 17, Tahoen X, 23 Februari 1932, hlm. 270 [rubrik Kroniek] tentang penundaan sampai batas yang tak tentu penggunaan bahasa Minangkabau sebagai bahasa pengantar di sekolah rakyat yang semula telah diputuskan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Penundaan ini tampaknya terkait dengan protes orang Minangkabau, khususnya kaum guru, yang tidak menginginkan Bahasa Minangkabau dipakai sebagai bahasa pengantar di sekolah-sekolah rendah. Instruksi dari Batavia ini direalisasikan dengan menyuruh linguis M.G. Emeis untuk mengarang buku-buku pelajaran untuk sekolah rendah dalam bahasa Minangkabau. Maka terbitlah buku Lakeh Pandai, Kini Lah Pandai, dan Dangakanlah. Akan tetapi rupanya buku-buku itu ditolak oleh orang Minangkabau, bahkan sampai dibahas dalam rapat Minangkabauraad. Alasan penolakan itu ialah bahwa orang Minangkabau sudah terbiasa menulis dalam Bahasa Melayu.Jadi, program tersebut dipandang sebagai langkah mundur. Judul buku Lakeh Pandai lalu dipelesetkan menjadi Lakeh Pandia. Lebih jauh mengenai protes orang Minangkabau terhadap program penggunaan Bahasa Minangkabau di sekolah ini, lihat artikel Suryadi, “Vernacular intelligence: Colonial pedagogy and the language question in Minangkabau”, Indonesia and the Malay World 34(100): 315-344.
Suryadi – Leiden University, Belanda | Padang Ekspres, Minggu, 24 Januari 2016
_______________________
Disalin dari blog Engku Suryadi Sunuri; https://niadilova.wordpress.com