Ilustrasi: Republika |
𝗕𝗔𝗛𝗔𝗦𝗔 (𝗠𝗘𝗟𝗔𝗬𝗨) 𝗜𝗡𝗗𝗢𝗡𝗘𝗦𝗜𝗔, 𝗕𝗔𝗛𝗔𝗦𝗔 𝗣𝗘𝗥𝗦𝗔𝗧𝗨𝗔𝗡.
83 tahun lalu, di Jalan Kramat 106 Jakarta, telah terjadi peristiwa Sumpah Pemuda. Sebuah momen sarat makna bagi persatuan Indonesia. Dan untuk mengenang kejadian tersebut, pada kesempatan kali ini penulis akan mengangkat satu pokok yang cukup penting, yakni terbentuknya Bahasa Indonesia. Nama Bahasa Indonesia itu sendiri secara resmi disampaikan pada acara Kongres Pemuda II, atau yang lebih dikenal dengan Sumpah Pemuda. Dari tiga pokok isi sumpah tersebut, yakni berbangsa satu, bertanah air satu, dan berbahasa satu, penentuan bahasa persatuan-lah yang paling sulit.
Ada beberapa alasan mengapa akhirnya Mohammad Yamin memilih Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia. Yang pertama dan paling utama adalah luasnya penggunaan bahasa ini. Sejak abad ke-7 Masehi, Bahasa Melayu telah menjadi bahasa pengantar perdagangan di seluruh Nusantara, bahkan hingga mencapai Sri Lanka dan Madagaskar. Sedangkan Bahasa Jawa, saat itu hanya terbatas dipergunakan di Jawa Tengah dan Jawa Timur, serta daerah perkebunan Sumatera Timur. Kedua, kesusastraan Melayu jauh lebih berkembang dan memiliki sejarah yang cukup mengakar di banyak penduduk Nusantara. Ketiga, Bahasa Melayu telah dipergunakan sebagai bahasa keilmuan sejak abad pertengahan. Dan yang keempat, bahasa ini tidak bertingkat-tingkat, sehingga mudah untuk dipelajari dan praktis untuk dipergunakan. Bahasa Melayu tidak seperti halnya Bahasa Jawa yang berkasta-kasta; ada yang halus (kromo) dan ada yang kasar (ngoko).
Namun akhirnya diputuskanlah Bahasa Melayu yang menjadi lingua franca di Kepulauan Nusantara, sebagai bahasa persatuan Indonesia. Salah seorang berperan Besar dalam Pencetusan Bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia persatuan Ialah Tokoh Dari Minangkabaw “ Mohammad Yamin “, sang pencetus utama digunakannya Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, dalam pidato Mohammad Yamin mengungkapkan : “Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu Bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, Bahasa Melayu lah yang akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.” Ada kejadian yang sangat menarik dan cukup mengharukan dalam pengambilan keputusan itu. Yakni sikap kedewasaan dan tenggang rasa yang ditunjukkan oleh anggota perkumpulan Jong Java. Mereka — yang mayoritasnya menggunakan Bahasa Jawa dalam percakapan sehari-hari — tidak memaksakan kehendak untuk menjadikan Bahasa Jawa sebagai bahasa persatuan. Padahal jika mengacu kepada hasil Volkstelling (Sensus Penduduk) tahun 1930, etnis Jawa berjumlah sekitar 47% dari seluruh penduduk Indonesia. Jauh di atas pengguna Bahasa Melayu, yang tak lebih dari 25% penduduk Indonesia.
Pada tahun 1896, Charles van Ophuijsen bersama dua ahli bahasa asal Minangkabau, Nawawi Sutan Makmur,,Muhammad Taib Sutan Ibrahim menyusun ejaan baru yang kelak berlaku luas di kalangan warga Indonesia. Sedangkan di Malaysia, berlaku ejaan baru yang disusun oleh Wilkinson.
perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana,Buya Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia. Pada tahun 1933, berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Pada tahun 1936, Sutan Takdir Alisjahbana menyusun Tata Bahasa Baru Bahasa Indonesia. Meskipun Pujangga Baru membawa pembaruan bagi bahasa dan sastra Indonesia, tetapi bahasa yang dipakai masihlah bahasa Melayu Tinggi yang "murni". Perbedaan bahasa Melayu Tinggi dan Melayu Rendah baru mulai pudar setelah munculnya Chairil Anwar
Pada awal abad ke-20, kaum Minangkabau mengambil alih pembinaan Bahasa Melayu. Di kalangan masyarakat Minang, Bahasa Melayu bukanlah suatu kebiasaan yang baru. Meski berbicara dalam bahasa Minang , namun para intelektual Minang sudah sejak dulu menulis dengan cara Melayu. Kemunculan sastrawan Minang — yang kemudian diikuti oleh para jurnalis Minang, semakin memperderas Minangisasi ke dalam tubuh Bahasa Melayu. Mereka banyak mengisi perbendaharaan kata, sintaksis, dan morfologi Bahasa Melayu yang kelak menjadi bahasa persatuan Indonesia. Sejak permulaan abad lalu, mungkin telah ratusan kata Minangkabau yang diserap dan dibakukan menjadi Bahasa Melayu Tinggi (kemudian Bahasa Indonesia baku).
Adeng Chaedar Alwasilah dalam bukunya “Politik Bahasa dan Pendidikan” mencatat, bahwa pada tahun 1966 dari semua kosa kata non-Melayu dalam Kamus Bahasa Indonesia, Bahasa Minang mencakup 38% dari keseluruhannya. Angka ini merupakan yang tertinggi, sekaligus berada di atas Bahasa Jawa (27,5%) dan Bahasa Sunda (2,5%) yang memiliki penutur cukup besar. Intervensi pemerintah melalui pembentukan Commissie voor de Volkslectuur (kelak menjadi Balai Pustaka) pada tahun 1908, menjadi sarana bagi penulis Minang untuk mewarnai kesusastraan Indonesia awal. Melalui komisi tersebut, mereka banyak mencetak roman, novel, serta buku-buku cerita, yang sebagian besar berlatarkan Minangkabau. Jadilah Minangkabau menjadi kiblat sastra Indonesia selama paruh pertama abad ke-20.
" 𝑨𝒔𝒂𝒍 𝑴𝒖𝒍𝒂 𝑩𝒂𝒉𝒂𝒔𝒂 𝑴𝒂𝒍𝒂𝒚𝒖 & 𝑷𝒆𝒓𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒏𝒈𝒂𝒏 𝑩𝒂𝒉𝒂𝒔𝒂 𝑰𝒏𝒅𝒐𝒏𝒆𝒔𝒊𝒂".
Hingga saat ini belum ada seorang peneliti-pun yang bisa memastikan kapan dan dimana munculnya Bahasa Melayu. Mereka hanya bisa memastikan, bahwa pada abad ke-7 bahasa ini telah digunakan di pedalaman Sumatera. Hal ini berdasarkan pada Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di sekitar daerah Palembang, Sumatera Selatan. Selain di Palembang, prasasti berbahasa Melayu juga banyak ditemukan di wilayah aliran Sungai Batanghari sungai yang terletak di Sumatera Barat dan Jambi sekarang, Batang Kampar yang terletak di Sumatera Barat dan Riau, dan Batang Kuantan. Luasnya penggunaan Bahasa Melayu di Sumatra pada masa itu, mengindikasikan bahwa bahasa ini berasal dari pulau tersebut. Adalah Kerajaan Sriwijaya yang berkuasa sejak abad ke-7 hingga ke-13 yang menyebarkan Bahasa Melayu ke seantero Nusantara. Melalui kerajaan-kerajaan vassal-nya, Sriwijaya memaksakan penggunaan Bahasa Melayu dalam dunia perdagangan. Jadilah Bahasa Melayu sebagai lingua franca di Kepulauan Nusantara, menggantikan Bahasa Sanskerta.
Penemuan Kitab Undang-undang Tanjung Tanah pada abad ke-14, mengkonfirmasi penggunaan Bahasa Melayu sebagai bahasa hukum negara. Menurut perhitungan para ahli, naskah tertua peradaban Melayu ini ditulis pada masa kejayaan Kerajaan Pagaruyung Darul Qarar. Pada periode Kesultanan Malaka di abad ke-15, Bahasa Melayu mulai dipergunakan sebagai pengantar ilmu pengetahuan. Buku-buku karya ilmuwan Arab dan Persia, banyak yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu. Serangan Portugis pada tahun 1511, menjadi awal masuknya bahasa-bahasa Eropa, terutama Portugis dan Inggris, ke dalam kosa kata Melayu. Namun diantara keduanya (Melayu dan Eropa), terjalin hubungan resiprokal yang saling mempengaruhi. Pada masa itu, kosa kata Melayu-pun banyak yang diserap ke dalam bahasa-bahasa Eropa. Walau jumlah yang diserap bahasa-bahasa Eropa tidaklah sebanyak yang diambil oleh bangsa Melayu dari bahasa mereka.
Setelah Malaka jatuh ke tangan bangsa asing, estafet peradaban Melayu diambil alih oleh Kesultanan Aceh. Pada masa ini, untuk pertama kalinya berkembang kesusastraan Melayu. Beberapa karya sastrawan besar yang dilahirkan pada masa Kesultanan Aceh antara lain Taj al-Salatin oleh Bukhari al-Jauhari, Bustan al-Salatin oleh Nuruddin al-Raniri, Hikayat Aceh oleh Syamsuddin Pasai, serta Syair Dagang oleh Hamzah al-Fansuri. Bangsa Aceh membina perkembangan Bahasa Melayu sampai abad ke-19, hingga akhirnya peran ini dimainkan oleh para sastrawan Kepulauan Riau. Adalah Raja Ali Haji, seorang sastrawan Riau-Lingga , yang banyak menulis karya-karya sastra. Dan diantara yang paling terkenal adalah Gurindam Dua Belas. Pada tahun 1858, dia menyusun secara sistematis kamus monolingual Bahasa Melayu.