Bila kita hendak mendiskusikan pertautan dan juga demarkasi antara adat dan agama (Islam) di Minangkabau, maka hal itu antara lain dapat dilihat dengan kentara pada arsitektur mesjid dan surau di Minangkabau, sebagaimana terefleksi dalam foto klasik yang kami turunkan dalam rubrik Minang saisuak minggu ini.
Judul foto ini, mengutip sumbernya, adalah: “Moskee met minaret bij Fort de Kock, S.W.K., Taluk, Padangse Bovenlanden (datering: 1910-1915)” (Mesjid dengan menara di Fort de Kock, Sumatra’s Westkust, [Nagari] Taluak, Padang Darat, tarikh: 1910-1915).
Dalam foto ini terlihat dua bangunan utama: mesjid dan menara (minaret). Keduanya saling melengkapi,tapi juga merefleksikan pertautan sekaligus demarkasi antara adat dan agama (Islam) di Minangkabau. Kedua bangunan itu terletak terpisah tapi saling mengisi. Keterpisahan (baranggang) menyiratkan bahwa masing-masing mempertahankan eksistensinya. Walaupun begitu, yang satu adalah komplemen (pelengkap) dari yang lainnya.
Bangunan mesjidnya, yang mungkin beratap ijuk atau daun kelapa, menunjukkan pengaruh arsitektur tradisional Minangkabau. Menurut A.A. Navis dalam bukunya, Alam Terkembang Jadi guru (1985), konstruksi atap yang berunda-undak ini menunjukkan pengaruh kelarasan Koto Piliang yang berciri feodalistis. Di depan bangunan mesjid terdapat menara yang jelas menunjukkan pengaruh arsitektur Arab. Ukirannya, yang didominasi oleh motif tumbuh-tumbuhan dan bunga-bungaan, merefleksikan gagasan tentang seni menurut Islam yang menghindari representasi manusia. Dalam hal ini, motif-motif ini sejalan dengan motif-motif hiasan dalam seni ukir dan pahat Minangkabau yang juga didominasi oleh motif tumbuh-tumbuhan (pucuk rebung, bunga., daun sirih, dll.) dan beberapa jenis insekta dan unggas, seperti belalang, cancadu, capung, dan itik.
Masih ada beberapa mesjid dengan arsitektur khas seperti ini yang tersisa di Minangkabau. Selayaknyalah bangunan-bagunan yang unik tersebut dipelihara dan dikodifikasikan dalam kajian-kajian ilmiah yang menghasilkan buku bermutu, agak kelak di masa depan orang masih dapat menelusuri masa lalu Minangkabau. (Sumber: Tropenmuseum, Amsterdam).
Suryadi – Leiden University, Belanda / Harian Singgalang, Minggu, 2 Juli 2017
___________________________
Disalin dari blog Engku Suryadi Sunuri niadilova.wordpress.com