Ilustrasi gambar: Kota Painan
FB Minangkabau - Traktat Painan merupakan perjanjian yang dibuat oleh penghulu atau penguasa beberapa kota di pesisir barat Minangkabau dengan wakil-wakil VOC. Pada tahun 1662, traktat ini ditanda-tangani di sebuah pulau tak berpenghuni dekat Batang Kapeh. Tahun 1663, traktat ini kemudian dikukuhkan lagi di Batavia.
Tampilkan postingan dengan label pariaman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label pariaman. Tampilkan semua postingan
Penghulu pesisir yang ikut menanda-tangani traktat ini adalah Sultan Mansyur Syah (putra Raja Indrapura) yang merupakan perwakilan dari para penguasa di bagian selatan pantai barat Minangkabau dan Datuk Rangkayo Kaciak yang merupakan perwakilan dari Khalifah Bandar (penguasa Tiku) dan juga mewakili para penghulu dari Padang.[1]
Ilustrasi Gambar: pariamankota |
Disalin dari kiriman Ayo ke Pariaman
JEJAK GAJAH RAJA ACÈH DI PARIAMAN
Oleh: Sadri Chaniago (Dosen jurusan Ilmu Politik Unand/Anak nagari IV Angkek Padusunan)
Gajah merupakan hewan yang sangat familiar dan banyak terdapat di kerajaan Aceh, sehingga Valentijn pernah mengatakan bahwa kerajaan Aceh pernah memiliki 1000 ekor gajah yang dapat digunakan dalam peperangan (M. Junus Djamil, 1958:61).
Dan, di antara berbagai jenis gajah yang dimiliki oleh raja Aceh tersebut, salah satunya adalah Gajah putih “Biram Sattany”, gajah yang menjadi tradisi dan simbol kebesaran bagi raja Aceh Darussalam, yang sering digambarkan sebagai gajah sakti (M. Junus Djamil, 1958:52).
Di antara raja Aceh yang pernah menjadikan Gajah putih “Biram Sattany” ini sebagai kendaraan “dinas” kebesarannya adalah: Sulthan Alauddin Ri'ayat Syah Al-Qahhar (M. Junus Djamil, 1958:85-86), raja ke-3 yang memerintah pada tahun 1537-1571 M (Rusdi Sufi, 1995:12).
Sulthan Alauddin Ri'ayat Syah Al-Qahhar merupakan ayah dari Sultan Mughal (dikenal juga dengan nama Moghul/Abangta Abdul Jalil/Abangta Pariaman Syah/ Sri Alam), raja muda Aceh di Pariaman yang jabatannya berakhir tahun 1579 Masehi (Amirul Hadi, 2010:50; Zakaria Ahmad, 1972: 93 ; M. Junus Djamil, 1958: 104-105).
Sejarah pertalian Sunni-Syiah di Indonesia memang masih penuh perdebatan. Namun, kalangan pendukung hipotesis tentang pengaruh keagamaan Syi’ah di Indonesia punya keyakinan bahwa ada banyak bukti yang menunjukkan kuatnya pertalian itu. Salah satu contoh yang bisa diketengahkan di sini adalah peringatan matinya Husein di Padang Karbela 10 Muharam tahun 61 Hijriyah (10 Oktober 680 Masehi), yang dilaksanakan di beberapa daerah di Nusantara ini. Di Aceh misalnya peristiwa tragis ini dikenal sebagai bulan Asan Usen (diambil dari nama Hasan-Husein, cucu Nabi Muhamad Swt. Dari Keturunan Ali) di Sumatera Barat dikenal sebagai bulan Tabuik, sedang di Jawa dikenal dengan sebutan bulan Suro.
Di beberapa tempat, bulan Assyura, terutama pada tanggal 10 Muharam dianggap sebagai hari sial. Karenanya pada bulan itu tidak boleh melakukan pekerjaan-pekerjaan penting, misalnya mengawinkan anak, khitanan, atau bahkan menanam padi. Mereka percaya bahwa jika pantangan semacam itu dilanggar, sama artinya dengan mengundang bahaya atau kemudharatan kelak di kemudian hari.
Pada zamannya 'Kaba Sutan Pangaduan' sangat legendaris dan sering di ceritakan oleh 'Tukang Rabab Galuak' (rabab khas Pariaman yg terbuat dari tempurung kelapa, Kalau di Pesisir Selatan umumnya memakai biola), Namun seiring berkurangnya para seniman Tukang Rabab Galuak, Kaba Sutan Pangaduan sudah jarang di dengar, Demikian juga para Tukang Rabab tidak lagi menguasai jalan ceritanya, Kecuali ada pada kalangan generasi peminat dan peneliti budaya yang terus menggali cerita legendaris dari Pariaman ini.
Sutan Pangaduan ceritanya berlatar belakang
di salah satu daerah yang sekarang berada dalam kawasan Kab. Padang Pariaman,
Banyak pendapat meyakini bahwa daerah yang dimaksud dalam kaba itu adalah
daerah yangg sekarang bernama 'Limo Koto Kampuang Dalam'.
Diceritakan Sutan Pangaduan adalah seorang Putra
Mahkota dari Raja yang berkuasa di Kampuang Dalam, Pariaman. Dia memiliki
dua saudara tiri lain ibu yaitu Sutan Lembak Tuah yang ibunya seorang
rakyat biasa dan Puti Sari Makah yang ibunya adalah seorang keturunan
Arab. Ibunda Sutan Pangaduan sendiri adalah seorang bangsawan yang
bernama Puti Andam Dewi.
Sutan Lembak Tuah lebih tua daripada
Sutan Pangaduan, tetapi dalam hal ilmu kebatinan, kesaktian dan
kebijaksanaan, Sutan Pangaduan jauh lebih unggul.
Eramuslim.com – Keturunan Tionghoa atau China dikenal ada di mana
saja. Di mana bumi membentang pasti ada China nya. Pameo demikian tidak
berlaku untuk Kota Pariaman pasca insiden “Kansas” yang terjadi sekitar
tahun 1944 bertepatan sebelum hengkangnya Jepang dari tanah air.
Peristiwa Kansas itu sendiri terjadi di Simpang Kampuang Cino Pariaman
tepatnya di simpang tugu tabuik sekarang.
Insiden Kansas adalah peristiwa pembunuhan (dengan penggorokan)
terhadap beberapa orang penduduk keturunan Tionghoa di Pariaman karena
sesuatu alasan. Kansas dalam artian Kanso, adalah alat yang dilakukan
untuk menggorok. Kanso bisa disamakan dengan jenis logam seng tebal yang
terdapat pada beberapa kaleng. Kanso yang digunakan saat itu diambil
dari bekas kaleng roti.
Peristiwa Kansas dipicu akibat tidak setianya beberapa oknum penduduk
China Pariaman kepada pejuang pribumi. Tidak semuanya memang, namun
akibat gesekan rasial tersebut seluruh komunitas China yang ada di
Pariaman hengkang menyelamatkan diri ke berbagai daerah. Aset mereka
yang tinggal begitu saja, beberapa waktu kemudian dijual murah melalui
perantara.
Sebelum peristiwa tersebut, komunitas China sangat ramai di Pariaman.
Mereka punya pandam pakuburaan tersendiri yakni di belakang Makodim
0308/Pariaman (sekarang). Masyarakat Tionghoa di Pariaman sudah ada
sejak zaman Belanda. Mereka yang ada di Pariaman umumnya para pedagang,
pemilik pabrik roti, pabrik sabun, hingga distributor rempah-rempah dan
kebutuhan sehari-hari (kumango).
Komunitas China Pariaman bermukim di area Kampung Chino yakni di Jl.
SB Alamsyah Kp Balacan, Kp Jawo, dan Kp Pondok. Sebelum Insiden Kansas,
mereka hidup rukun berdampingan dengan pribumi. Tempat sembahyang China
di Pariaman terletak di Simpang Tabuik yang sekarang persis berada di
deretan Toko Ali.
Merujuk pada sejarah yang dituturkan saksi hidup yang sempat kami
wawancarai, kekecewaan pribumi pada komunitas China bermula dari
diketahuinya lokasi pejuang pribumi oleh tentara Jepang. Pejuang pribumi
saat itu banyak dieksekusi di tempat persembunyiannya. Apa yang mereka
rencanakan selalu diketahui oleh tentara tentara Jepang.
Atas keganjilan tersebut, pribumi saat itu memutar otak. Mereka
mencari dimana letak keganjilannya. Mereka berpikir ada sesuatu yang
telah terjadi. Pengkhianatan terhadap mereka telah dilakukan.
Pejuang pribumi yang tersisa mengutus anak-anak untuk memata-matai
beberapa oknum yang dicurigai. Mereka disuruh bermain-main di halaman
sejumlah kedai yang acap digunakan tentara Jepang berkumpul. Mulailah
anak-anak bermain gasing, patok lele dan permainan tradisional lainnya
ke tempat-tempat yang disuruh pejuang pribumi.
Usaha tersebut ternyata berhasil. Salah satu kedai kopi milik non
pribumi China di Kp Balacan dikupingi pembicaraannya. Pemberi informasi
memang bukan pemilik kedai, tapi langganan tetap yang juga keturunan
China. Rupanya selama ini dia menjadi mata-mata (spionase) Tentara
Jepang.
Singkat cerita, mata-mata Jepang tersebut “diambil malam” oleh
pejuang. Dari penuturan yang kami himpun, komplotan mata-mata itu
semuanya berjumlah tiga orang. Tiga orang pengkhianat tersebut dibawa ke
tempat persembunyian pejuang. Di sana mereka diinterogasi dan akhirnya
mengakui perbuatannya.
Atas perbuatannya itu, ketiga orang tersebut dieksekusi dengan cara
yang belum pernah terpikirkan olehnya. Leher mereka digorok hingga
nyaris putus dengan Kanso yang maha perihnya. Ketiga mayat tersebut
diletakan menjelang subuh tepat di depan tugu tabuik sekarang ini
berada. Kanso sebagai alat eksekusi masih menempel di leher mereka.
Catatan Oyong Liza Piliang (ts/pariamannews)
________________________________
Disalin dari: Era Muslim.Com
Langganan:
Postingan (Atom)