Sejarah pertalian Sunni-Syiah di Indonesia memang masih penuh perdebatan. Namun, kalangan pendukung hipotesis tentang pengaruh keagamaan Syi’ah di Indonesia punya keyakinan bahwa ada banyak bukti yang menunjukkan kuatnya pertalian itu. Salah satu contoh yang bisa diketengahkan di sini adalah peringatan matinya Husein di Padang Karbela 10 Muharam tahun 61 Hijriyah (10 Oktober 680 Masehi), yang dilaksanakan di beberapa daerah di Nusantara ini. Di Aceh misalnya peristiwa tragis ini dikenal sebagai bulan Asan Usen (diambil dari nama Hasan-Husein, cucu Nabi Muhamad Swt. Dari Keturunan Ali) di Sumatera Barat dikenal sebagai bulan Tabuik, sedang di Jawa dikenal dengan sebutan bulan Suro.
Di beberapa tempat, bulan Assyura, terutama pada tanggal 10 Muharam dianggap sebagai hari sial. Karenanya pada bulan itu tidak boleh melakukan pekerjaan-pekerjaan penting, misalnya mengawinkan anak, khitanan, atau bahkan menanam padi. Mereka percaya bahwa jika pantangan semacam itu dilanggar, sama artinya dengan mengundang bahaya atau kemudharatan kelak di kemudian hari.
Penjelasan di atas, merupakan sebagian ilustrasi dari tulisan yang akan disajikan di bawah ini.
Upacara yang dilakukan setiap bulan Muharam untuk memperingati peristiwa kematian Husen di Padang Karbela yang terdapat di daerah Pesisir Pantai Sumatera yaitu tepatnya di Pariaman Sumatra Barat. Upacara ini disebut dengan upacara Tabuik.
Istilah Tabuik diambil dari nama peti pusaka peninggalan Nabi Musa yang digunakan untuk menyimpan naskah perjanjian Bani Israel dengan Allah. Dalam sejarahnya perayaan tersebut memperingati wafatnya Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW di Padang Karbela (Irak sekarang) pada 61 H (680 M). Husein dipenggal kepalanya oleh tentara Muawiyah. Maka Tabuik melambangkan janji Muawiyah untuk menyerahkan tongkat kekhilafahan kepada musyawarah umat Islam, setelah ia meninggal. Namun janji itu ternyata dilanggar dan mengangkat orang lain sebagai khalifah, sehingga segenap pendukung Husein menjadi kecewa dan memperingatinya setiap bulan Muharam dengan ritual yang sedemikian rupa dengan ekspresi penyesalan terhadap kesalahan mereka tidak mendampingi pemimpin mereka Husein ketika terbunuh. Kematian lelaki ini diperingati dengan upacara, pidato dan puji-pujian. Tak ketinggalan menabuh rebana serta alat musik lainnya. Upacara itu kemudian meluas, berkembang hingga sampai ke anak Benua India.
Ketika Inggris menguasai Bengkulu, Inggris membawa serdadu asal Sepoy lndia ke Bengkulu, serdadu ini adalah pemeluk Islam Syiah. Di Bengkulu banyak yang membelot dan mereka kemudian mengadakan acara ritual tersebut. Belakangan bukan hanya orang India ini saja yang melakukan acara Tabuik, tapi juga bersentuhan dengan penduduk Islam lokal. sehingga meluas dari Bengkulu ke Painan, Padang, Pariaman. Maninjau, Pidie, Banda Aceh, Meuleboh dan Singkil kira-kira tahun 1831.
Menurut orientalis Snouck Hurgronje, Tabuik masuk ke Nusantara melalui dua gelombang. Pertama sekitar abad 14 M; tatkala Hikayat Muhammad diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu. Melalui buku itulah ritual Tabuik dipelajari anak negeri. Kedua lewat serdadu India yang datang ke Bengkulu.
Dalam perkembangannya kemudian, alur masuk itu menjadi tidak penting. Yang penting justru perkembangannya. Kegiatan ini menghilang di banyak tempat, hingga pada akhirnya hanya ada di dua tempat, di Bengkulu dengan nama Tabot dan di Pariaman Sumatera Barat dengan sebutan Tabuik. Keduanya sama, namun cara pelaksanaannya berbeda. Di Bengkulu, acaranya lebih rapi dan lebih bermakna ketimbang di Pariaman. Di Pariaman, pergeseran telah terjadi sebegitu jauh. Ini dimungkinkan karena upacara Tabuik sejak awal memang ditakuti oleh sebagian besar ulama. Sejak tahun 1974, ulama di sana kemudian mendesak pemerintah untuk melaksanakan upacara tersebut yang kental unsur budayanya.
Sejak itulah kemudian, Tabuik menjadi tradisi budaya belaka. Karenanya, pesta ini telah menjadi kalender tetap Pemda Padang Pariaman. Hajatan ini pula menjadi sumber pendapatan daerah. Dari sisi ini, Pemda merasa perlu turun tangan mengelola Tabuik, meski tidak bisa melepaskan keikutsertaan rakyat.
Prosesi Tabuik dimulai l Muharam diawali dengan upacara pengambilan tanah secara silang. Pengambilan tanah berbarengan dengan azan Magrib. Upacara ini mempunyai pemberitahuan kepada manusia bahwa dia berasal dari tanah dan kembali pada tanah. Pengambilan tanah secara silang ini, dalam wujud awalnya adalah pemaknaan terhadap peperangan. Tanah tadi kemudian diarak oleh ratusan orang. Tanah kemudian disimpan dalam danga (belanga) berukiran 3×3 meter, kemudian dibalut dengan kain putih. Lalu diletakkan dalam peti bernama Tabuik.
Sebagai alat untuk melaksanakan ritual, kemenyan dibakar secara massal dan diiringi dengan ratapan dan tangisan yang dimulai oleh sekelompok orang yang telah ditunjuk oleh masyarakat, sehingga membuat emosi dan psikologi orang terseret untuk ikut meneteskan air mata. Kemudian khalayak ramai dibawa ke sebuah tanah lapangan. Di sana sudah di buat dan ditegakan dua buah Tabuik yang bernama Tabuik Subarang dan Tabuik Pasa, yakni sebuah ornamen yang berbentuk burung besar yang disebut sebagai Buraq, berdiri kokoh berhadap-hadapan yang merupakan personifikasi dari dua pasukan yang akan berperang. Tinggi burung yang terbuat dari kerangka rotan itu 15 meter. Di antara ratap tangis dan aroma kemenyan yang menusuk hidung, dua Tabuik kemudian dihoyak (arak dengan penuh semangat sembari menyuarakan kata-kata “hidup Hasan hidup Husein”). Karena itu, pesta Tabuik juga disebut Dengan Hoyak Hosen. Kegiatan Hoyak Hosen meniadi bagian tak terpisahkan dari kerumunan ratusan massa.
Setelah Tabuik Subarang dan Tabuik Pasa diarak mengelilingi lapangan, lalu diadu dan dibenturkan antara dua Tabuik tersebut seperti layaknya orang berperang, dan ini adalah simbol ritual simulasi dari peperangan di Padang Karbela. Upacara menjadi akan menjadi ramai dan tidak beraturan, disebabkan Tabuik yang dibawa masing-masingnya delapan orang itu didekati oleh massa dan semuanya ingin mengangkatnya. Sehingga tubuh Tabuik yang menjulang tinggi, kelihatan dari jauh, bergoyang dan tidak pernah jatuh ke tanah.
Akhir dari proses upacara Tabuik adalah membuangnya ke laut Samudera Indonesia. Keduanya dibuang ke laut dengan tujuan untuk memaknai simbol bahwa dengan tenggelamnya Tabuik tersebut ke dalam laut, maka tenggelam juga segala perselisihan dan permusuhan antara masyarakat yang berada di Pariaman. Prosesi membuang Tabuik ke laut, menurut tokoh masyarakat Pariaman Buya Bagindo M. Letter, merupakan bentuk kesepakatan masyarakat untuk membuang segenap sengketa dan perselisihan di antara mereka. Jika ada saru masyarakat punya potensi untuk tawuran dan perselisihan maka diperlukan satu event yang bisa mewakili tawuran itu sehingga tersalur dengan baik. Ia menyatakan, masyarakat Pariaman sebenarnya merupakan masyarakat Islam seperti di daerah lainnya. Karena itu di Pariaman tidak ada aliran dan penganut Syiah seperti nafas dalam Tabuik itu. Ini hanyalah sebuah peristiwa budaya belaka, kata Buya Bagindo M. Letter. Meski sebagai peristiwa budaya belaka ia tidak menampilkan bahwa dalam prosesi Tabuik sebelumnya bermuatan ajaran syi’ah dalam Islam.
Tradisi upacara Tabuik merupakan sebuah akulturasi budaya antara kebudayaan Minangkabau Pesisir dan kebudayaan Arab yang diwakili oleh golongan Syi’ah. Di mana dalam ritualnya sangat kental sekali dengan simbol ajaran-ajaran Syiah yang berhubungan dengan penyesalan terhadap dosa dan pengintropeksian diri tentang kesalahan masa silam untuk menghadapi masa depan yang lebih baik. Untuk menyesuaikan dengan kultur budaya setempat maka upacara ini dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh masyarakat banyak yang kental sekali dengan keislamannya.
Setelah berlalu waktu dan semakin terpuruknya pemahaman masyarakat dan pemerintah terhadap ritual upacara Tabuik tersebut maka bergeser pulalah orientasi pelaksanaan upacara Tabuik tersebut dari pemaknaan sebagai Upacara yang bersifat moral dan pengendalian diri, menjadi upacara hiburan dan objek wisata yang menghasilkan pendapatan bagi masyarakat dan pemerintahan.
Daftar Pustaka
Ali Hasan, Prospek Peristiwa Tabuik dan pantai Pariaman, Bukittinggi: Pustaka Abdi, 2002.
Habib Mahyunis,Wisata Tabuik di Pariaman“, dalam Harian Sinar Padang, tanggal 5 Mei 1997.
Lelo Dt. Majo, “Akuhurasi Budaya Minangkabau dengan Budaya Serumpun Melayu“, dalam majalah Gebu Minang, No. 4 Th. IV. Padang. LP3M, 1978.
Manaf, Rustam, “Konsep Seni Pertunjukan
dalam’ Tradisi Minangkabau”, dalam Majalah Suluah, No. 10 Th. X. Padang Panjang, CV. Gumarang, 1989.
Syafri Ayub, Mu’iz,”Rantai-rantai Syi’ah di Indonesia” dalam Upacara-upacara Keragaman di Indonesia http://www.culture socieity.com/culture/53/211.html
Khatib Sulaiman, Ahmad,”Ajaran dan Upacara Tabuik dalam Masyarakat Melayu” dalam http://www.culturehistory.com/asu11/
** Tulisan Ini sudah pernah dimuat di Jurnal Gurindam Surau Tuo 2007,
Foto: niadilova.wordpress.com