Tampilkan postingan dengan label natsir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label natsir. Tampilkan semua postingan

Kisah Rumah Sakit Babtis di Bukit Tinggi

 

Pict: dakwah.post

Sidang Tengah Malam Melawan Baptis

Oleh: Tan Kabasaran (Mantan Pengawal Pak Natsir di Hutan dan Tokoh Masyumi Sumatra Barat)

FB Intelektual Minang Dalam Tigo Tungku Sajarangan | Ada kenangan yang membuat saya tak pernah tidur terkait dengan Buya Natsir. Saat itu rencana orang Kristen untuk mendirikan Rumah Sakit Baptis hampir saja terwujud. Mereka telah berjuang sejak tahun 1962 dan hampir mendapatkan tanah setahun kemudian.

Awalnya, mereka mencari tanah dekat Ateh Tambuo Bukittinggi, mereka telah melakukan pendekatan dan hampir dapat membeli tanah itu. Tapi Allah SWT berkehendak lain, rencana jangka panjang mereka dengan RS Baptis itu “bocor” keluar. Saya berhasil mendapatkan anggaran dasar mereka melalui seorang kader yang menyamar dan melamar sebagai tukang kayu pada mereka. Kader ini berhasil mendapatkan anggaran dasar mereka. Betapa terkejutnya saya membaca AD RS Baptis itu. Ada satu pasal yang tegas berbunyi:
“bahwa usaha Rumah Sakit Baptis dan sosial lainnya, adalah dalam rangka Pengabaran Injil ke daerah-daerah.”
Bocoran itu lalu kami sebarkan ke masyarakat sehingga setiap upaya Baptis membeli tanah, berhasil kami gagalkan. Untuk menggalakkan penjualan tanah di Ateh Tambuo[1] itu, kami datangi Ninik Mamak dan penghulu kaum di situ, kami paparkan tujuan RS Baptis itu.

Gagal di Atah Tambuo, pengurus Baptis berpindah ke Panganak di belakang RS Mukhtar sekarang. Mereka melobi lagi pemuka kaum di sana, tapi malamnya saya datang pula menemui penghulu kaumnya, memaparkan tujuan RS Baptis dengan bukti anggaran dasar mereka. Maka, rencana Baptis mendapatkan tanah, gagal lagi.

Jasa Buya Natsir untuk Jepang

Gambar: Hidayatullah

aksara.co.id - Pak Natsir begitu kita sering memanggil beliau, bukan Kyai Natsir atau Haji Natsir,[1] sebuah nama panggilan yang biasa untuk siapa saja, panggilan sederhana yang menunjukkan kesederhanaan hidup beliau, saya mungkin termasuk generasi paling akhir dari Dewan Dakwah Indonesia[2] yang masih mendapatkan didikan langsung dari beliau walau tidak lama, sejak 1991, dan beliau meninggal Feb 1993.

Saat mendengar Pak Natsir meninggal, kesedihan mendalam bagi seluruh kader dan da'i Dewan Dakwah, saat itu sayapun langsung pergi ka kantor Dewan Dakwah Jawa Timur, Jl Purwodadi dekat kuburan Mbah Ratu. Tempat di mana kader-kader dan calon Da'i Dewan Dakwah berkumpul.

Sudah cukup banyak warga Dewan Dakwah berkumpul untuk mengkonfirmasi berita meninggalnya Pak Natsir. Sayapun duduk di dekat telepon yang berfungsi sebagai faksimail, mode teknologi paling canggih pada waktu itu untuk mengirim dokumen.

๐— ๐—ผ๐—ต๐—ฎ๐—บ๐—บ๐—ฎ๐—ฑ ๐—ก๐—ฎ๐˜๐˜€๐—ถ๐—ฟ: Salah seorang ulama yang dipenjarakan Soekarno

Ilustrasi: Biografi Singkat Tokoh

Disalin dari kiriman FB Aldianyansyah Chaniago

๐˜œ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ข ๐˜›๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ฌ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ถ๐˜ฌ๐˜ข ๐˜ฎ๐˜ฆ๐˜ฎ๐˜ฑ๐˜ฆ๐˜ณ๐˜ซ๐˜ถ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜๐˜ด๐˜ญ๐˜ข๐˜ฎ,๐˜š๐˜ข๐˜ญ๐˜ข๐˜ฉ ๐˜š๐˜ข๐˜ต๐˜ถ ๐˜œ๐˜ญ๐˜ข๐˜ฎ๐˜ข ๐˜”๐˜ช๐˜ฏ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜ ๐˜ข๐˜ฏ๐˜จ ๐˜‹๐˜ช ๐˜—๐˜ฆ๐˜ฏ๐˜ซ๐˜ข๐˜ณ๐˜ข๐˜ฌ๐˜ข๐˜ฏ ๐˜ฐ๐˜ญ๐˜ฆ๐˜ฉ ๐˜šo๐˜ฆ๐˜ฌ๐˜ข๐˜ณ๐˜ฏ๐˜ฐ
➖➖➖
Mohammad Natsir adalah Ulama Terkemuka, tokoh intelektual, Pejuang Kemerdekaan Indonesia, sekaligus negarawan , Pencetus Proklamasi Republik Indonesia, & Pejuang Islam Di Dasar Negara.
Mohammad Natsir merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi (Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan Perdana Menteri Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
Natsir banyak menulis tentang pemikiran Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam setelah karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929; hingga akhir hayatnya ia telah menulis sekitar 45 buku dan ratusan karya tulis lain. Ia memandang Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Ia mengaku kecewa dengan perlakuan pemerintahan Soekarno dan Soeharto terhadap Islam. Selama hidupnya, ia dianugerahi tiga gelar doktor honoris causa, satu dari Lebanon dan dua dari Malaysia.

Akhir Peristiwa P.R.R.I


" KAMI PULANG "

BAPAK M.NATSIR BERSAMA ROMBONGAN TURUN DARI HUTAN,

SEPTEMBER 1961

karya:
  H.M.S. DT TANKABASARAN 
d\a M.S TK SULEMAN


Bismillahirrahmanirrahim 
Setelah ± 2 tahun P.R.R.I sesudah proklamasi Republik Persatuan Indonesia (RPI) bulan januari 1960, bapak M.Natsir mengambil tempat di negeri Sitalang, ujung utara Kecamatan Lubuk Basung, Kab.Agam, beliau ditempatkan oleh pimpinan Masyumi Ranting Sitalang ditengah hutan Bukik Bulek, antara Sitalang dengan Kayu Pasak, Kecamatan Palembayan.
         Kesetiaan keluarga Masyumi yang diawali dengan ketaatan kepada pemimpin untuk tidak membuka mulut dan bersedia untuk bersikap tidak tahu, menjadi jaminan. Hanya beberapa orang saja yang ditugasi berulang keatas Bukik Bulek, Syair st. Ma’ruf (ketua), Tuanku Maruhun, Abd. Aziz (Ansih) Jabar Dt. Marajo, dan M.Syarif kesemuanya orang parimbo.
       Delapan bulan bapak M.Natsir dan keluarga disana, dengan tidak kurang suatu apa, sampai tentara Soekarno menduduki Tiga Koto Sitalang. Seandainya tercium oleh tentara Soekarno bahwa bapak M.Natsir disana yang jauhnya dari kampung dua jam jalan kaki, pasti pada hari kedua tempat itu dikepung dan bapak M.Natsir ditangkap.

Kenangan tentang Buya Natsir

Kenangan Seorang "Pembawa Tas" Muhammad Natsir

Oleh: H.M.S Dt. Tan Kabasaran*


Pict: FB Intelektual Minang Dalam Tigo Tungku Sajarangan

Agak “istimewa” dari yang lain. Pertama kali bertemu, bukan saya yang mendatangi, tapi pak Natsir yang datang ke Bukittinggi di awal Januari 1950. Beliau mengundang saya bertatap-muka.

Saya baru berusia 22 tahun tapi sudah bekeluarga, ketika mengayuh sepeda menginggalkan rumah di Birugo menuju jalan Luruih untuk memenuhi undangan bertemu pak Natsir di Markas Masyumi Sumatera Tengah. Saat itu beliau baru jadi Ketua Partai Masyumi.

Memang, sejak usia mantah (muda) saya sudah berkecimpung di markas GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Di sini saya mulai dari tukang sapu, hingga jadi Pengurus Wilayah GPII Sumatera Tengah.

Usia saya saat Ananda (reporter) datang ini, sudah 83 tahun. Peristiwa pertamakali bertemu dengan pak Natsir sudah sangat-sangat lama berlalu. Sehingga saya tak begitu ingat lagi bagaimana kesan pertama bertemu dengan beliau.

Di antara generasi pertama GPII dan Masyumi, saya mungkin satu-satunya yang amat jarang menemui beliau ke Jakarta. Beliaulah yang datang menemui saya.“Angku Malin, kata pak Natsir (saat itu saya belum bergelar Datuk), jangan jauh-jauh dari ranah Minang. Saya minta Angku Malin tetap saja di kampung (Bukittinggi). Angku Malin harus menjadi tampatan (tujuan pertama) setiap pengurus Masyumi Pusat dan GPII Pusat yang datang ke ranah Minang.”

Amanah itu, sampai di usia laruik sanjo (larut senja) ini, tetap saya pegang. Saya tak penah beranjak dari ranah Minang, kendati yang memberi amanah sudah lama berpulang ke pangkuan Allah Azza Wajalla.