Tampilkan postingan dengan label masyumi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label masyumi. Tampilkan semua postingan

Dasar Negara RI: Pancasila, Islam, atau Sosial Ekonomi?



Ciloteh Tanpa Suara-152 | Sejak kemarin tanggal 1 Oktober saya membaca sebuah buku . Buku yang terdiri dari 500 halaman ini sangat menarik untuk dibaca karena dihalaman pertamanya tertulis “Bahagialah Orang Yang Banyak Membaca”
Buku Dasar Negara Republik Indonesia berisikan pendapat pribadi tidak kurang dari 100 orang anggota Konstituante[1] yang berbicara tentang dasar negara pada sidang konstituante pada 11 November hingga 6 Desember 1957. Saking sengitnya, kritik terkadang dilancarkan bukan pada gagasan, tetapi pribadi.
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Konstituante hasil Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 dilantik pada 10 Nopember 1956 pada tahun 1957 berjumlah 514 orang. Umur mereka kurang dari tiga tahun, hanya sampai 2 Juni 1959 dan bubar setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Persoalan tentang dasar negara tertumpu kepada yang telah dirumuskan oleh Komisi I dari Panitia Persiapan Konstituante, yaitu mengerucut pada tiga pilihan:
1. Negara Republik Indonesia Berdasarkan Pancasila dengan kemerdekaan beragama
2. Negara Republik Indonesia Berdasarkan Islam; dan
3. Negara Republik Indonesia Berdasarkan Sosial Ekonomi;

Mansur Dt Palimo Kayo, Sang Revolusionernya PERMI

 Diterbitkan di kumparan.com pada 5 September 2024 | 12.44 WIB

Fikrul Hanif Sufyan - periset, pengajar sejarah, dan pernah menjadi dosen tamu dalam Visting Scholar di Faculty of Art University of Melbourne Australia

Namanya tiba-tiba mencuat di pertengahan September 1935. Mulai dari Tjaja Sumatra, Sinar Sumatra, Sumatra post, Sumantra courant, Sumatra Bode, dan beberapa surat kabar lainnya membicarakan putra dari ulama modernis Minangkabau terkenal, Syekh Daud Rasjidi. Kisah perjalanan dari aktivis Persatuan Muslimin Indonesia (PERMI) ini makin mengemuka, ketika Sumatra-bode pada 27 September 1935 menyematkan gelar, Sang Revolusioner dari Minangkabau untuk Mansur Daud Dt. Palimo Kayo.

Kolonel Dahlan Djambek

Gambar: Wikipedia

 Disalin dari kiriman FB Dan Nano

Kolonel Dahlan Djambek adalah putra ulama besar Minangkabau, Syekh Muhammad Djamil Djambek yang berasal dari Bukittinggi, Sumatra Barat. Beliau merupakan kakek aktor sinetron/model Adrian Maulana Djambek yang aktif bermain sinetron di akhir 90an hingga awal 2000 an.

Pernah menjabat atase militer Indonesia di London, Inggris. Beliau bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang meletus karena ketidak puasan beberapa daerah di Sumatra dan Sulawesi karna kebijakan dan arah politik Soekarno saat itu.
Beliau terkenal berwatak keras dan pemberani. Dimasa PRRI, beliau dengan gagah berani memimpin pasukannya bergerilya melawan APRI[1] yang sebagian besar anggotanya berfaham Komunis, yang jumlah personelnya jauh lebih banyak dengan persenjataan jauh lebih lengkap.
Akhirnya beliau gugur saat pasukannya dikepung oleh APRI, yakni pasukan pemerintah pusat yang di boncengi OPR[2], sebuah organisasi underbow PKI yang ikut disertakan oleh Jendral Pranoto pada Operasi 17 Agustus yang dipimpin Kolonel Ahmad Yani (pahlawan revolusi) di Desa Laring, Palupuh Agam Sumatra Barat pada tahun 1961.

Pemipin Pulang

 


PEMIMPIN PULANG 💥
OLEH : M. NATSIR 
 
Empat cara pulang seorang pemimpin dari perjuangan
Dia pulang dengan kepala tegak, membawa hasil perjuangan 
 
Dia pulang dengan kepala tegak,
tapi tangan dibelenggu musuh
Untuk calon penghuni terungku atau lebih dari itu
Riwayatnya akan jadi pupuk penyubur tanah perjuangan
Bagi para mujahidin berikutnya 

Akhir Peristiwa P.R.R.I


" KAMI PULANG "

BAPAK M.NATSIR BERSAMA ROMBONGAN TURUN DARI HUTAN,

SEPTEMBER 1961

karya:
  H.M.S. DT TANKABASARAN 
d\a M.S TK SULEMAN


Bismillahirrahmanirrahim 
Setelah ± 2 tahun P.R.R.I sesudah proklamasi Republik Persatuan Indonesia (RPI) bulan januari 1960, bapak M.Natsir mengambil tempat di negeri Sitalang, ujung utara Kecamatan Lubuk Basung, Kab.Agam, beliau ditempatkan oleh pimpinan Masyumi Ranting Sitalang ditengah hutan Bukik Bulek, antara Sitalang dengan Kayu Pasak, Kecamatan Palembayan.
         Kesetiaan keluarga Masyumi yang diawali dengan ketaatan kepada pemimpin untuk tidak membuka mulut dan bersedia untuk bersikap tidak tahu, menjadi jaminan. Hanya beberapa orang saja yang ditugasi berulang keatas Bukik Bulek, Syair st. Ma’ruf (ketua), Tuanku Maruhun, Abd. Aziz (Ansih) Jabar Dt. Marajo, dan M.Syarif kesemuanya orang parimbo.
       Delapan bulan bapak M.Natsir dan keluarga disana, dengan tidak kurang suatu apa, sampai tentara Soekarno menduduki Tiga Koto Sitalang. Seandainya tercium oleh tentara Soekarno bahwa bapak M.Natsir disana yang jauhnya dari kampung dua jam jalan kaki, pasti pada hari kedua tempat itu dikepung dan bapak M.Natsir ditangkap.

Kenangan tentang Buya Natsir

Kenangan Seorang "Pembawa Tas" Muhammad Natsir

Oleh: H.M.S Dt. Tan Kabasaran*


Pict: FB Intelektual Minang Dalam Tigo Tungku Sajarangan

Agak “istimewa” dari yang lain. Pertama kali bertemu, bukan saya yang mendatangi, tapi pak Natsir yang datang ke Bukittinggi di awal Januari 1950. Beliau mengundang saya bertatap-muka.

Saya baru berusia 22 tahun tapi sudah bekeluarga, ketika mengayuh sepeda menginggalkan rumah di Birugo menuju jalan Luruih untuk memenuhi undangan bertemu pak Natsir di Markas Masyumi Sumatera Tengah. Saat itu beliau baru jadi Ketua Partai Masyumi.

Memang, sejak usia mantah (muda) saya sudah berkecimpung di markas GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia). Di sini saya mulai dari tukang sapu, hingga jadi Pengurus Wilayah GPII Sumatera Tengah.

Usia saya saat Ananda (reporter) datang ini, sudah 83 tahun. Peristiwa pertamakali bertemu dengan pak Natsir sudah sangat-sangat lama berlalu. Sehingga saya tak begitu ingat lagi bagaimana kesan pertama bertemu dengan beliau.

Di antara generasi pertama GPII dan Masyumi, saya mungkin satu-satunya yang amat jarang menemui beliau ke Jakarta. Beliaulah yang datang menemui saya.“Angku Malin, kata pak Natsir (saat itu saya belum bergelar Datuk), jangan jauh-jauh dari ranah Minang. Saya minta Angku Malin tetap saja di kampung (Bukittinggi). Angku Malin harus menjadi tampatan (tujuan pertama) setiap pengurus Masyumi Pusat dan GPII Pusat yang datang ke ranah Minang.”

Amanah itu, sampai di usia laruik sanjo (larut senja) ini, tetap saya pegang. Saya tak penah beranjak dari ranah Minang, kendati yang memberi amanah sudah lama berpulang ke pangkuan Allah Azza Wajalla.