Pict: the asian parentthe asian parent |
Oleh: Saiful Guci
Ciloteh Tanpa Suara #22 – Tambo adalah semacam sejarah lama tentang Minangkabau yang diwariskan secara lisan dan turun temurun dari mamak kepada kemenakan secara berkesinambungan. Tambo sebagai warisan lisan tak mungkin sempurna, karena tidak dapat mengatasi ruang dan waktu secara objektif. Disamping itu data dan fakta sejarah yang diturunkan secara lisan sudah barang tentu akan mengalami perubahan sedikit demi sedikit. Perubahan itu dapat terjadi oleh si pewaris atau sipenerima warisan itu yang pada gilirannya nanti akan mewariskan pula kepada penerusnya.
Didalam Tambo diceritakan tentang asal-usul Minangkabau, asal usul orang Minangkabau, adat yang berlaku di Minangkabau, sistem pemerintahan Nagari, aturan kehidupan sehari-hari. Pendek kata seluruh yang berhubungan dengan kehidupan orang Minangkabau diceritakan di dalam Tambo Minangkabau.
Tambo, berbeda dengan kitab Negarakertagama dan Paraton, jumlahnya sangat banyak. Negarakertagama misalnya hanya terdapat sebuah saja, begitu juga dengan Paraton. Sedangkan Tambo terdapat banyak sekali.
- Ciba atau Tambo Rajo,
- Tambo Adat dan
- Tambo Alam.
Ciba atau Tambo Rajo adalah Tambo yang mengisahkan tentang sejarah, asal-usul dan silsilah raja-raja yang konon berjumlah 22 buah. Sejak Tahun 2015 penulis bersama anak muda Ghio Vani Debrian Soares mengumpulkannya, jika ada Tambo Rajo di Perpustakan Laiden Belanda, apabila bisa dibeli pdf-nya kami beli, dan yang berada di Perpustakaan Nasional juga kami kumpulkan serta berada pada keluarga yang tersimpan rapi sekarang kami cari dengan pendekatan, yang penting bisa kami dapatkan.
Tambo Raja ini biasanya kertas gulungan bertulisan tangan aksara Arab berbahasa Melayu berukuran 50 cm dengan panjang 150-200 cm dan sudah pasti ada cap dan nama Rajanya yang menulis dengan tulisan tangannya, kemungkinan dibuat pada abad ke 15-16 M. Yang memuat perjalanan dimulai dari Pulau Langkapuri melewati laut, sehari pelayaran dan baru menuju Gunung Marapi dan sudah pasti asal mereka tidak ada dituliskan yang dimulai turun dari Gunung Marapi, seperti dalam tambo:
Dimano titiak palito,
dibaliak telong nan batali.
Dimano turun niniak kito,
dilereang gunuang marapi
Dimana titik pelita,
dibalik tanglung yang bertali.
Dimana turun nenek moyang kita,
dari lereang gunuang Marapi
Tambo Adat juga penulis kumpulkan dengan tulisan tangan aksara Arab berbahasa Melayu yang banyak ditemukan disurau-surau dengan penamaan Tambonya disesuaikan dimana nama Nagari ditemukan tambo tersebut, seperti; Tambo Ampalu, Tambo Pandai Sikek, Tambo Simalanggang, Tambo Taram dan lain sebagainya.
Tambo Alam Minangkabau pertama yang bertulisan huruf Latin karangan Jamaan Dt.Batoeah baru dicetak tahun 1930. Dicetak setelah adanya pertemuan 76 pangulu (penghulu adat) berkumpul di Bukit Tinggi. Mereka membahas dan menolak rencana Pemerintah Hindia Belanda menggabungkan keresidenan Sumatra Barat dengan Keresidenan Tapanuli menjadi satu gouvernement yang dipimpin gubernur, rapat yang digelar sejak 23-24 April 1926. Inti dari pertemuan adalah, apabila Sumatera Barat di gabung dengan Tapanuli para penghulu kuatir ada Demang yang berasal dari Tapanuli masuk kedalam wilayah adat Minangkabau. Dimana Jamaan Dt.Batoeah hadir dalam pertemuan tersebut.
Pada 1956, Tambo tersebut disempurnakan oleh Ahmad Datuak Batuah dan Aman Datuak Madjoindo. Dalam tambo ini ditegaskan dengan rinci Alam Minangkabau itu meliputi daerah:
"... mulai dari Sikilang dan Air Bangis, sampai ke riak nan berdebur, pucuk Jambi Sembilan Lurah, sampai ke Tanjung Simalidu, Kuok dan Bangkinang, Siak, Indragiri, Kampar Kiri dan Kampar Kanan.
Dalam tambo 1956 itu dilengkapi dengan sebuah peta tentang Alam Minangkabau, sebuah peta yang sebelumnya tidak pernah dibuat penulis lainnya. Dalam peta itu terlihat, Alam Minangkabau memang hampir identik dengan daerah administratif Sumatra Tengah (daratan). Kemudian baru bermunculan Buku Tambo Alam Lainnya seperti Tambo Alam Minangkabau Ibrahim Dt.Sanggoeno Diradjo, St.Mahmoeed, Bahar Nagari Basa dan sampai terbitan tahun 2000 an.
Lebih dulu Mr. G.D. Willinck seorang bangsa Belanda menulis dengan huruf latin tahun 1909 tentang Minangkabau dengan judul bukunya “ Kehidupan Hukum di Kalangan Melayu Minangkabau, setebal 967 halaman. Dan L.C. Westenenk tahun 1913 juga menulis tentang Nagari Minangkabau sebuah referensi ilmiah klasik tentang nagari Minangkabau yang sampai sekarang sulit dicari bandingannya.
Dalam setiap tambo itu, Tambo Rajo, Tambo Adat maupun Tambo Alam Minangkabau, pada awalnya diceritakan tentang asal-usul dan Alam Minangkabau. Sesudah itu baru mengisahkan tentang asal-usul raja atau penghulu dan pada akhirnya akan ditutup dengan adat yang berlaku. Dalam setiap Tambo Adat dan Tambo Alam Minangkabau bagian terbanyak menceritakan adalah masalah adatnya. Mengenai cerita adat ini pada setiap Tambo hampir sama saja isinya, tetapi mengenai asal usul Raja atau penghulu yang bersangkutan sedikit agak berbeda.
Yang menarik dan menimbulkan suatu kontradiksi keterangan, yaitu nama Maharajo Dirajo sebagai salah seorang panglima Iskandar Zulkarnain atau Aleksander Agung adalah Raja Makedonia yang berkuasa 336-323 SM yang ditugaskan menguasai pulau Emas.[1]
Dalam Tambo disebutkan bahwa Iskandar Zulkarnaen mempunyai tiga orang anak, yaitu Maharaja Alif, Maharajo Dipang, Maharajo Dirajo. Maharaja Alif menjadi raja di Benua Ruhun (Rumawi), Maharaja Dipang menjadi raja di Negeri Cina. Dan Maharajo Dirajo menjadi raja di Pulau Emas (Sumatera).
Kalau kita melihat kalimat-kalimat dalam Tambo sendiri, maka dikatakan sebagai berikut:
Tatkala maso dahulu, rajo batigo naiek nobat nan sorang Maharajo Alif nan pai ka Banua Ruhun, nan sorang Maharajo Dipang nan pai ka Nagari Cino, nan sorang Maharajo Dirajo nan manapek ka pulau Ameh nangko.
Melayu:
Pada masa dahulu kala, tiga orang raja naik tahta, yang seorang bernama Maharaja Alif yang pergi ke Benua Rum, yang seorang Maharaja Dipang yang pergi ke Negeri Cina, yang seorang Maharaja Diraja yang tinggal di Pulau Emas ini (Sumatera)
Dari keterangan Tambo itu jelas sekali dikatakan angka tahunnya istilah “masa dahulu kala” hanya memberi petunjuk kepada kita bahwa kejadian itu sudah berlangsung sangat lama sekali. Di kerajaan Rumawi atau Cina memang ada sejarah raja-raja yang besar, tetapi raja mana yang dimaksud oleh Tambo tidak kita ketahui.
Dalam sejarah Indonesia gelar Maharaja Diraja tidak hanya menjadi milik orang Minangkabau saja, melainkan juga ada raja lain yang bergelar demikian, seperti Karta Negara dari Singgasari dengan gelar Maharaja Diraja seperti yang tertulis pada arca Amogapasa tahun 1926 sebagai atasan dari Raja Darmasraya yang bernama Raja Tribuana.
Tambo mengatakan bahwa Maharaja Diraja adalah raja Minangkabau pertama. Tetapi ada pendapat lain bahwa Srimaharaja Diraja yang disebut dalam Tambo sebagai raja Minangkabau yang pertama itu tidak lain dari Adityawarman sendiri yang menyebut dirinya dengan Maharaja Diraja. Tentang Adityawarman mempergunakan gelar Maharaja Diraja memang semua ahli sudah sependapat, karena Adityawarman sendiri telah menulis demikian dalam prasati Pagaruyung. Artinya Adityawarman menunjukan kepada kita bahwa sewaktu Adityawarman berkuasa di Minangkabau tidak ada lagi kekuasaan lain yang ada di atasnya.
Melihat data sejarah berdasarkan kajian prasasti yang ada, dan punya hubungan dengan peristiwa yang disampaikan Tambo tetapi peristiwa tersebut, yang ada kontradiktif. Dalam isi prasasti Pagaruyung VI digoreskan pada batu andesit warna coklat kekuningan non artificial.
Dalam tulisan tersebut menyebutkan Tumanggung Kudawira sebagai salah seorang pembesar kerajaan. Prasasti ini merupakan stempel atau cap pembuatan bagi Tumanggung Kudawira. Siapa Tumanggung ini belum dapat dijelaskan secara detail karena baru satu bukti tentang keberadaan beliau. Merujuk isi prasasti tersebut bahwa Tumanggung merupakan jabatan pemerintahan yang sering dipergunakan pada masa Kerajaan Singhasari dan Majapahit. Menurut catatan sejarah ekspedisi Pamalayu yang dicetus oleh Raja Kertanegara dari Singhasari, dapat diasumsikan bahwa Kudawira ini merupakan Tumanggung dari kerajaan Singhasari yang ikut ekspedisi tersebut. Jika analisa ini benar, maka Prasasti Pagaruyung VI ditulis jauh sebelum Adityawarman menjadi raja, karena Adityawarman merupakan anak yang lahir dari Ibu Dara Jingga yang dibawa oleh pasukan Singhasari dari Malayu ke Jawa.
Fakta yang telah disampaikan pada alinea terdahulu menunjukan bahwa jabatan yang semula bernama Temanggung berubah menjadi Katumanggung menurut dialek Minangkabau. Seorang tokoh yang sangat popular dan dianggap sebagai tokoh adat Minangkabau, juga menggunakan nama jabatan Datuk Katumanggungan, Apakah nama ini sama dengan tokoh Tumanggung Kudawira dan ini perlu pembuktian lebih lanjut.
Prasasti kedua yang ada hubungan dengan nama dan peristiwa asal-usul nenek moyang masyarakat Minangkabau adalah Prasasti Pagaruyung VII. Prasasti Pagaruyung VII merupakan tulisan yang digoreskan pada sebuah batu andesit warna abu-abu berbentuk persegi pipih, artificial. Prasasti ini tidak diketahui angka tahunnya, hanya didalamnya menyebutkan Sri Akarendrawarman sebagai Maharaja Dhiraja. Pemakaian nama Wangsa Warman dibelakang menunjukan bahwa Sri Akarendrawarman masih ada hubungan darah dengan Adityawarmman. Beberapa ahli sejarah menyebutkan sebagai saudara Adityawarman dan karena gelarnya adalah Maharaja Dhiraja tentunya ia sudah menjadi raja saat mengeluarkan prasasti tersebut. Menurut analisa ahli, ia diangkat setelah Adityawarmman turun tahta atau meninggal. Dalam prasasti tersebut juga menyebutkan nama Tuhan Perpatih bernama Tudang (Datuk Perpatih nan Sabatang) dan seorang yang disebut dengan Tuhan Gha Sri Rata. Kedua pembantu raja yang setia dan patuh. Isi prasasti yang lain adalah sumpah atau kutukan yang ditujukan pada orang yang mengganggu atau tidak mengindahkan maklumat raja didalam prasasti tersebut.
Kalau kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Maharaja Diraja itu sama dengan Adityawarman, maka satu kepastian dapat dikatakan bahwa kerajaan Minangkabau baru bermula pada tahun 1347, yaitu pada waktu Adityawarman menjadi raja Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung. Logikanya tentu sebelum Adityawarman belum ada raja di Minangkabau. Kalau pendapat itu tidak dapat diterima kebenarannya, maka tokoh Maharajo Dirajo yang disebutkan di dalam Tambo itu masih tetap merupakan seorang tokoh legendaris dalam sejarah Minangkabau, dan hal ini akan tetap mengundang bermacam-macam pro dan kontra.
Kalau memang demikian keadaannya, lantas bagaimana dengan Maharajo Dirajo yang sedang dibicarakan ini yang waktunya sudah sangat jauh berbeda. Dalam hal ini kita tidak bisa memberikan jawaban yang pasti. Yang jelas pada waktu sekarang ini, banyak gelar para penghulu Sumatera Barat yang memakai gelar Maharajo sebagai gelar penghulunya disamping nama lainnya, seperti: Dt.Marajo, Dt.Maharajo Dirajo, Dt.Maharajo Basa. Di kampung saya Pandai Sikek gelar Dt. Maharajo dan Dt.Maharajo Nan Salareh adalah gelar suku Koto Limo Paruik. Kelihatan gelar tersebut dipergunakan oleh masyarakat Minangkabau sebagai gelar pusaka yang turun temurun. Sebaliknya raja-raja Pagaruyung sendiri tidak mempergunakan gelar tersebut sebagai pusaka kerajaanya.
Saiful Guci, Pulutan 4 Juni 2024
============
Catatan kaki oleh admin:
[1] Perihal Iskandar Zulkarnain dan Alezander The Great, setengah orang masih bertikai faham. Ada yang berpandangan kedua sosok tersebut merupakan pribadi yang sama namun ada juga yang berpendapat sebaliknya, mereka ialah pribadi yang berbeda. Selengkapnya, silahkan baca Ihwal Bangsa MelayuIhwal Bangsa Melayu