Pict: etnisetnis |
Oleh: Saiful Guci Dt. Rajo Sampono
Ciloteh Tanpa Suara #23 | “Saya berasal dari Jawa, orangtua Jawa, akan menikah dengan orang Minang. Apakah saya disebut Sumando juga?.” Tanya Wagiman kepada saya.
“Tentu saja Wagiman, setelah beristri orang Minang akan menjadi Sumando dalam persukuan di Minang. Karena Sumando, dalam bahasa Minang artinya menantu laki-laki. Kata Sumando berasal dari bahasa Malayu Kuno (su= badan, mando dari kata mandah = menumpang sementara). Bukan lelaki dari Jawa saja yang memperistri orang Minang yang disebut menumpang, saya saja yang orang Minang asli asal Nagari Pandai Sikek juga dianggap menumpang dalam kaum Istri saya Suku Koto di Jorong Pulutan Nagari Koto Tuo, Limo Puluah Koto. Karena dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang menumpang di rumah istrinya (Sumando), perempuan tempat menumpang di sebut “mandan” dan keluarga pihak lelaki menyebut istri dari saudara lelakinya “pasumandan”.
Sebagai seorang Sumando lelaki Minang haruslah sangat berhati-hati, karena posisinya di rumah keluarga istrinya hanyalah sebagai seorang tamu. Dalam Adat Minang posisi urang Sumando digambarkan sebagai “bak abu di ateh tunggua” ( seperti abu diatas tunggul[pangkal pohon yang ditebang dan dibakar]) datang angin dia bisa melepaskan abu dari pangkal pohon tersebut artinya posisinya sangatlah lemah.
Namun, meskipun posisinya sangat lemah di tengah keluarga istrinya sebagai urang Sumando ia sangatlah dihormati. Untuk memanggil saja misalnya, ia tidak boleh dipanggil nama secara langsung melainkan yang dipanggil adalah gelarnya.
Orang Minang menganut Matrilineal yaitu suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ibu. Jika kita ingin membentuk gambaran yang benar tentang keluarga dan hukum perdata Minangkabau, kita harus melepaskan diri dari pandangan kita tentang keluarga dari perspektif masa sekarang yang dianut kebanyakan masyarakat selain Minangkabau, yang mana ayah adalah inti, faktor utama.
Apabila berpedoman terhadap Hukum Islam (hukum syarak), laki-laki yang menikah mengambil istrinya untuk dirinya sendiri, dan memisahkannya dari keluarga dan sukunya; bersamanya dia meletakkan dasar bagi sebuah keluarga baru, generasi baru. Oleh karena itu, setiap perkawinan akan menjadi cikal bakal sebuah keluarga baru, atau setidaknya terjadi segera setelah anak lahir. Nama Ayahnya tercantum dalam sebuah silsilah keluarga.
Hal ini tidak pernah terjadi pada masyarakat Minangkabau. Laki-laki yang menikah tidak pernah membentuk keluarga baru dengan mereka, malah tidak menjadi bagian dari mereka. Tidak pernah menjadi pendiri keluarga dan suku. Anak-anak yang ia sebagai ayah bersama istrinya hanya menambah jumlah generasi keluarga lama mereka dari sebuah persukuan yang tercatat dalam ranji mereka.
Di rumah Istri, hanya menambah jumlah keluarga, dalam hal ini yang baru yang disebut dengan kekerabatan, generasi pertama sapariuak (satu periuk), sadapua (satu dapur) bila tetap satu rumah, se jurai (satu Jurai) atau sepanjang mereka terdiri dari perempuan, merekalah yang menjadi pendiri Jurai baru, yang darinya lama kelamaan muncullah sebuah paruik (se niniak). Oleh karena itu, rumpun Minangkabau tidak hanya dapat terdiri atas lebih dari satu jurai yang bersebelahan, tetapi setiap cabang dapat juga terdiri dari beberapa generasi yang saling bertautan; baik secara luas maupun mendalam, maka sebuah paruik dapat mencakup saudara sedarah, yang akan hidup bersama kita dalam derajat yang sangat jauh, baik dalam garis lurus maupun garis samping. Mereka semua adalah saudara masing-masing, semuanya berada dalam satu payuang, semuanya berada di bawah satu panghulu satu kaum kepala keluarga, sebagai satu-satunya badan konstitusi di tengah-tengah Adat Minangkabau.
Pepatah Minang mengatur upacara seorang lelaki masuk ke sebuah persukuan sebagai berikut;
sigai mencari Anau yang berdiri tetap, datang dek bajapuik, pai jo baanta, ayam putiah tabang siang, basuluah matoari, bagalanggang mato rangbanyak
Melayu:
sebatang bambu yang berfungsi sebagai tangga mencari enau, enau tetap, tanggalah yang berpindah datang karena di jemput, pergi dengan diantar (bagaikan) Ayam putih terbang siang, bersuluh matahari, bergelanggang (disaksikan) mata orang banyak.
Maksud dari pepatah di atas adalah bahwa dalam setiap perkawinan Adat Minangkabau semua laki-laki yang diantar ke rumah istrinya, dengan dijemput oleh keluarga istrinya secara adat dan diantar pula bersama-sama oleh keluarga pihak laki-laki secara adat pula. Mulai sejak itu suami menetap di rumah atau dikampung halaman istrinya.
Kedudukan anak-lelaki, secara fisik tidak punya tempat di rumah ibunya. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya sendiri, maka ia tidak lagi memiliki tempat tinggal. Situasi macam ini secara logis mendorong pria Minangkabau untuk berusaha menjadi orang baik agar disengani oleh dunsanaknya sendiri, maupun oleh keluarga pihak istrinya. Sebagai seorang sumando juga sebagai seorang ayah bagi anak-anaknya harus rajin dalam memenuhi ekonomi rumah tangga. Pada saat pagi hari harus berangkat dari rumah istri untuk mencari nafkah, sore harinya baru pulang dengan membawa hasil supaya “dapua lai barasok” menandakan ada beras yang akan dimasak.
Hal ini diibaratkan “Itiak Pulang Patang” (Itik yang pulang di sore hari). Itik pada pagi hari mencari makan di sawah, dan pulangnya ke kandang beriringan pada sore hari sambil membawa telur atau memberikan tambahan ekonomi bagi yang punya rumah. Itik apabila terkena lumpur dan bertelur, tidak nampak perubahan yang signifikan terjadi pada tubuhnya. Tubuhnya tetap bersih dan seimbang serta terkesan lihai dalam bergerak. Sehingga hewan Itik menggambarkan karakteristik budaya Minang yang tidak berubah dalam kondisi apapun.
Sebagai seorang lelaki di Minangkabau dia menjadi sumando di kaum istrinya, dan menjadi mamak di persukuannya. Dia harus teguh dalam menjalankan prinsip-prinsip hidup yang telah dihayati dan dijalankan sejak dahulu. Barisan itiak yang teratur dan terarah mencerminkan kekonsekuensian dan keteguhan pendirian serta prinsip hidup orang Minang dalam mengisi kehidupannya baik dengan agama maupun dengan ilmu pengetahuan.
Itiak pulang patang menjadi motif ukiran di rumah gadang yang posisinya ditempatkan dibagian yang datar atau hiasan di pinggir pintu rumah. Motif Itiak pulang patang menggambarkan barisan itiak yang berjalan melalui pematang sawah menuju kandangnya, motif ini melambangkan kesepakatan, dan persatuan yang kokoh dalam Adat di alam Minangkabau
Dilahia itiak nan disabuik
Di bathin adat jo limbago
Kieh ibarat caro Minang
Adat nan samo kito pakai
Elok barih itiak pulang patang
Arak baririang samo saraso
Indak saikua nan manyalo
Saiyo sakato bajalan pulang
Tuah di ateh nan sakato
Cilako kato basilang
Melayu:
Pada zahir itik yang disebut
Pada bathin ada dan lembaga
Kias ibarat cara Minang
Adat yang sama kita pakai
Indah berbaris itik pulang petang
Diarak beriringan sama sesarasa
Tak seekorpun yang menyolok
Seiya sekata berjalan pulang
Tuah di atas yang sepakat
Celaka berselisih pendapat
Seorang suami jika masih tinggal/ menetap dirumah keluarga istri, maka oleh keluarga istrinya ia dianggap sebagai seorang tamu yang dihormati/ disegani. Dia hadir di rumah keluarga istri karena terjadi pernikahan, namun seorang sumando dia tidak termasuk anggota keluarga pihak istrinya. Dengan kata lain kedudukannya seperti pepatah Minangkabau:
sadalam-dalam aia sahinggo dado itiak,
saelok-elok sumando sahinggo pintu biliak.
Maksud dari pepatah tesebut, kewenangan sumando di rumah istrinya hanya sebatas pintu biliak/ kamar istrinya, serta kepala keluarga anak-anak dan istrinya. Pepatah lain mengatakan;
sumando bak abu diateh tungku,
tibo angin kancang abu batabangan,
namun pepatah ini untuk zaman sekarang sudah tidak lazim disebut orang. Karena pada umunya begitu terikat pernikahan, mereka sudah tidak lagi tinggal bersama orang tua/ keluarga istrinya. Saat ini peran ayah/ bapak sudah sangat besar terhadap keluarganya. Sebagai pimpinan tanggung jawab ayah selaku sumando sangat besar dan berat demi kelangsungan hidup keluarganya dan pendidikan anak-anaknya serta memikirkan kemenakannya.
Artinya sepintar-pintar seorang lelaki, sekaya kayanya mereka, tinggi benar pangkatnya tetapi keluarga Istri memandang seseorang yang menjadi suami adik/kakak perempuanya adalah sebagai sumando dengan delapan sebutannya:
1. Sumando Apak Paja atau Sumando Urang Japutan. Maksudnya, sumando yang hanya untuk diambil tuah keturunannya saja. Dan lelaki ini mempunyai banyak istri yang berlain kampung mungkin saja, dia sebagai penghulu, ulama atau tokoh lain yang terkenal. Dan dia tidak menghiraukan ekonomi di rumah istrinya dan malahan dia diberi uang atau sawah oleh kaum istrinya.
2. Sumando Ayam Gadang atau Sumando Buruang Puyuah. Maksudnya, sumando yang hanya pandai beranak, tapi tanggung jawab terhadap istri dan anaknya tidak ada. Yang ini adalah untuk memperbanyak anak saja. Dia tidak peduli apa yang terjadi di kampung (pasukuan) istrinya. Yang terpenting baginya adalah suasana lahir batin yang terjadi di kampung (pasukuan) dia saja.
3. Sumando Langau Hijau. Maksudnya, sumando berpenampilan gagah tapi kelakuannya kurang baik, suka kawin cerai, dan meninggalkan anak-anaknya tanpa tanggung jawab. Sumando langau hijau hanya dipakai untuk memperbanyak anak saja, seperti seekor langau hijau yang terbang kesana kemari, sehingga bertelur dalam sampah dan sesudah itu terbang pula kemana dia suka. Sumando seperti ini tidak mempunyai pedoman hidup yang tetap. Begitu pulalah sifatnya yang mau beristri banyak dan tidak memberikan jaminan hidup terhadap keluarganya.
4. Sumando Kacang Miang. Maksudnya, urang sumando yang tingkah lakunya hanya membuat orang susah, suka memfitnah, mengadu domba, dan memecah belah kaum keluarga istrinya. Yang dikatakan rang sumando kacang miang adalah rang sumando pengacau, pengharu biru dalam kampuang, suka menghasut dan memfitnah antara andan pasumandan, antara pambayan sesamanya dan antara orang badunsanak. Kacang miang menerbitkan gatal, pindah memindah pada orang yang menghampirinya. Dalam susunan adat istiadat inilah sumando nan cilako.
5. Sumando Lapiak Buruak. Urang sumando yang tidak menjadi perhitungan bagi keluarga istrinya, seperti tikar pandan yang lusuah di rumah istrinya. Rang sumando lapiak buruak adalah rang sumando yang bodoh dan tidak mau keluar rumah berusaha, seperti kesawah ataupun keladang, atau berdagang berniaga untuk nafkah anak dan istrinya. Yang disukainya adalah duduak bamanuang di tapi bandue dan benar-benar pemalas. Sumando seperti ini tentu tidak berguna bagi orang.
6. Sumando Kutu Dapua. Karena Istrinya yang bekerja sebagai tulang punggung keluarga, maka sebagai Urang sumando banyak bekerja dirumah daripada di luar dimana kerjanya seperti, memasak, mencuci piring, mengasuh anak, mengantar anak kesekolah dan sebagainya. Dengan kata lain, pekerjaannya sudah seperti pekerjaan kaum perempuan.
7. Sumando Gadang Malendo. Urang sumando dalam zaman modern ini, dimana kehidupan telah berubah dari sektor agraria menjadi sektor jasa dan industri, maka sebagian keluarga Minang terutama di rantau telah berubah dan cenderung kearah pembentukan keluarga batih dalam sistem patrilinial dimana bapak merasa dirinya sebagai kepala keluarga dan sekaligus sebagai kaum, mengantikan kedudukan mamak. Kecenderungan semacam ini telah merusak tatanan sistem kekerabatan keluarga Minang yang telah melahirkan jenis “Sumando”, bentuk baru yang dapat kita beri sebutan sebagai “ Rang Sumando Gadang Malendo”, yang tanpa malu-malu telah menempatkan dirinya sendiri sebagai kepala kaum, sehingga menyulitkan kedudukan mamak terhadap kemenakannya dan kadang-kadang dia sebagai pemutus hubungan silaturahmi dan menghasut untuk menjual dan mengadai tanah pusako tinggi milik kaum Istri.
8. Sumando Niniak Mamak. Sumando yang jadi suri tauladan dan sangat diharapkan semua orang. Tutur kata dan budi bahasanya yang sangat baik, serta suka membantu kaum keluarga istrinya dan kaum keluarganya sendiri. Rang sumando niniak mamak ini adalah sebenar-benarnya rang sumando. Dia adalah orang sama mengatur barang sesuatu dalam keluarga istrinya dan tidak mengambil hak mamak rumah. Dia mengumpulkan yang berantakan dalam keluarga istrinya. Mangampuangkan nan taserak, manjapuik nan tacicie, mengingatkan mana yang lupa, sehingga dalam kampuang (pasukuan) istrinya itu dia mempunyai paham seperti paham niniak mamak. Keruh menjernihkan, kusut menyelesaikan. Dalam segala hal yang mungkin terjadi, pertimbangannya perlu dimintak, dan dia tidak akan ditinggalkan orang dalam tiap-tiap perundingan di kampung (pasukuan) istrinya.
Saiful Guci, Pulutan 6 Juni 2024.