Pict: pasbanapasbana |
Oleh: Saiful Guci Dt. Rajo Sampono
Ciloteh Tanpa Suara #24 | Penggemar Berat Saiful Guci engku Eri Yusmi, menulis dalam komentar “Iko tigo warna iko siapo punyo? nan Hitam sebagai sipangka, Si pokok, asa mulo. Merah Siapo nan punyo sebagai nan di Tongah dan nan Kuniang Siapo nan punyo sebagai Nan Bonsu, Ujung, Ekor, Kocik, Ketek,,"
Warna hitam, merah dan kuning, orang Minang mengenalnya dengan “Marawa”. Marawa adalah bendera tiga warna di Alam Minangkabau terdiri tiga bagan vertikal yang menampilkan warna: hitam, merah dan kuning.
Bagaimana penempatan warnanya?
Apabila warna hitam ada di pangkal tiang, kemudian merah di tengah dan kuning di pinggir itu menandakan marawa rang Luhak Tanah Datar. Bila susunannya warna hitam, kuning ditengah dan merah di pinggirnya menandakan marawa rang Luhak Agam. Bila susunannya warna kuning, merah ditengah dan hitam di pinggirnya menandakan marawa rang Luhak Limo Puluah, namun sudah lama saya berdinas di Luhak Limo Puluah ini belum ada saya menemukan marawa rang Luhak Limo Puluah dengan susunan warna: kuning, merah dan hitam karena penjahit marawa banyak orang Bukit Tinggi.
Apakah ada arti dari ketiga warna tersebut?
Setiap warna mewakili wilayah di Alam Minangkabau ini. Warna kuning keemasan melambangkan Luak Tanah Data (Kabupaten Tanah Datar, Padang Panjang, dan sekitarnya). Luhak Tanah Datar digambarkan dengan pepatah Minang “Buminyo lembang, aianyo tawa, ikannyo banyak”. Petatah petitih ini menggambarkan kondisi alam dan adat istiadat luhak yang juga disebut sebagai Luhak Nan Tuo ini. Luhak Tanah Datar memiliki tanah yang subur akibat abu vulkalnik gunung Marapi yang kaya sulfur berwarna kuning. Sehingga sebagian besar penduduknya hidup dari hasil pertanian. Terutama sayur-sayuran. Apalagi dengan kondisi cuacanya dengan udara sejuk. Ikannya Jinak merupakan metafora akan kondisi penduduknya yang ramah. Karena memang dari sinilah dipercaya awal mula kerajaan dan adat istiadat Minangkabau.
Merah melambangkan Luak Agam (Kabupaten Agam, Kota Bukittinggi, dan sekitarnya). Luhak nan tangah ini digambarkan dengan pepatah Minang “Buminyo angek, aianyo karuah, ikannyo lia”. Hal ini menggambarkan bahwa kondisi geografis Luhak Agam yang cenderung lebih panas dari wilayah Luhak Limo Puluah dan Luhak Tanah Datar. Masyarakat Luhak Agam digambarkan emosional, dengan tingkat persaingan tinggi. Penduduk Luhak nan Agam lebih heterogen dan beragam. Karena memang didaerah ini banyak pendatang yang mencari sumber pendapatan.
Warna hitam melambangkan Luak Limo Puluah (daerah Kabupaten Lima Puluh Kota dan Kota Payakumbuh). Kondisi Luhak Limo Puluah Koto digambarkan lewat pepatah Minang “Buminyo sajuak, aianyo janiah, ikannyo jinak”. Luhak Limo Puluah tanahnya berawa (payo) berwarna hitam sehingga digambarkan buminya sajuak, aianyo janiah. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Limo Puluah Kota cenderung homogen, memiliki ketenangan fikiran dan hidup dalam rukun damai.
Selain melambangkan alam, setiap warna juga melambangkan nilai-nilai budaya utama. Warna hitam bagi masyarakat Minangkabau memiliki makna keabadian, atau disebut tahan tampo (tahan tempa), merah melambangkan berani dan tahan uji, sementara warna kuning melambangkan keagungan, cemerlang, dan bersinar.
Dalam Adat Minangkabau, ketiga warna ini juga melambangkan Tali Tigo Sapilin, Tungku Tigo Sajarangan, yaitu ninik mamak atau pangulu dilambangkan dengan warna hitam, cerdik pandai atau panglimo dilambangkan dengan warna merah, dan pandito serta rajo dilambangkan dengan dengan warna kuning.
Apa kira-kira filosofi lain yang tersembunyi dibalik tiga warna itu?
Hitam (malam), Merah (siang) dan Kuning (senja), bisa jadi tiga warna ini merupakan warna suatu kejadian tanda api: hitam (asap tebal/ atau mensiu), merah api besar yang menyala, dan kuning api kecil atau ujung api.
Bagaimana bentuk Marawa dahulunya ?
Dahulu marawa terbuat dari pucuk daun enau yang dilekatkan pada batang buluah sariak yang ujungnya melengkung kebawah dan diujungnya diberi jeruk besar (jeruk bali). Pemasangannya untuk acara pesta besar (baralek gadang), buah jeruk besar melambangkan “bulek lah sagolong” sudah sepakat orang kampung. Dan daun pucuk enau menari dikipas angin menandakan Sipangka alek siap menerima tamu orang banyak tanpa diundang (pipiah nan buliah dilayangkan), jadi siapa saja yang melihat marawa seperti itu dihalaman rumah gadang atau di surau dan masjid boleh saja orang datang mengunjunginya tanda alek bernama “sisiak palapah” (alek besar). Dalam catatan lama, marawa yang kita sebutkan sekarang dengan warna hitam, merah dan kuning disebutkan umbul-umbul.
Apabila warnanya empat (hitam, merah, kuning, dan putih) itu Marawa untuk urang ampek jinih (Penghulu,Dubalang, Manti dan Malin).
Ada juga orang mengartikan empat warna (hitam, merah, kuning dan putih) sebagai Anasir ciptaan manusia. Hitam melambangkan bumi atau tanah "nan pantang kakurangan sifat serakah harus dihilangkan supaya jangan arang tacoreang dikaniang. Warna merah melambangkan Api "nan pantang kakalahan, sombong jangan dipakai". Warna Kuning melambangkan cahaya/angin "nan pantang kalintasan, panyampik kalang dihilangkan". Warna putih melambangkan Air "nan pantang karandahan, harus banyak kesabaran agar tercapai cita-cita.
Apakah "marawa” ini bahasa Minangkabau ?
Belum ada referensi yang saya dapatkan, boleh jadi bahasa Minangkabau Kuno, atau bahasa Melayu Kuno mungkin saja berasal dari bahasa sansekerta dikenal dengan nama Hanacaraka dimana MA-RA-WA apabila kita artikan akan tertulis :
MA : Yakinlah dalam menyembah Ilahi;
RA : Rasa cinta sejati melekat dari cinta kasih nurani; dan
WA : Ilmu manusia itu hanya terbatas namun tanpa batasnya (semakin tinggi ilmu maka semakin menunduklah) dan ini mungkin yang disimbolkan dengan pangkal tiang menghujan ke bumi dan ujung tiang Marawa selalu terkulai menunduk. Semakin berisi semakin menunduk.
Semakin menarik diskusi yang saya ketengahkan, melalui pertanyaan engku Eri Yusmi
Saiful Guci Dt. Rajo Sampono, Pulutan, 5 Juni 2014.
==========
Baca Juga:
- Terkait Marawa - Saiful Guci Dt. Rajo Sampono
- Perihal Marawa - Rizal Jaenk