*Siapa yang Berbohong?*
Oleh: Riza Almanfaluthi
Peristiwa selama dua bulan terakhir ini telah membuka mata dunia.
Utamanya tentang apa yang telah dilakukan Zionis Israel kepada Palestina adalah bentuk penjajahan. Masih banyak orang yang tidak tahu bahwa jauh sebelum Zionis Israel didirikan pada 1948 sampai dengan saat ini, Yahudi Zionis masih terus melakukan pengusiran terhadap penduduk asli Palestina dan mendirikan pemukiman-pemukiman Yahudi ilegal.
Tindakan itu tentunya diiringi dengan diskriminasi, pelecehan, serta tindakan kasar, brutal, dan represif yang menewaskan banyak penduduk Palestina dan sengaja ditutup-tutupi. Puluhan Resolusi PBB untuk menghentikan aksi tersebut diabaikan oleh Israel.
Ketika tidak ada yang bisa dilakukan oleh masyarakat internasional untuk menghentikan sepak terjang Zionis Israel, maka memberikan perlawanan menjadi sebuah jawaban bagi Palestina. Semisal perlawanan di tahun 1936, intifadah di tahun 1987, sampai kemudian terjadinya serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu.
Peristiwa terakhir ini membuka mata dunia bahwa senyatanya yang terjadi di Palestina pada saat ini bukan Zionis Israel yang menjadi korban sebagaimana selalu mereka propagandakan, melainkan masyarakat Palestina.
*Kebengisan Tiada Ampun*
Selain itu, dunia kembali tahu bahwa di era yang katanya peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan dijunjung tinggi, Zionis Israel tanpa malu-malu menunjukkan kebiadabannya.
Sebuah perilaku yang tidak terbayangkan seperti membunuh anak-anak, perempuan hamil, orang tua, penduduk tidak bersenjata, awak pers, awak medis, dan menghalangi ambulan untuk mengantarkan orang yang terluka. Tidak hanya itu, puluhan ribu ton bom diluncurkan untuk menghancurkan rumah, masjid, gereja, sekolah, dan rumah sakit.
Kalau melihat data yang disebarkan oleh pihak otoritatif Palestina, jumlah orang yang terluka pada hari ke-62, 7 Desember 2023, sudah ada 42 ribu orang, lebih dari 17 ribu orang terbunuh. Di antara mereka ada 81 jurnalis, 32 pertahanan sipil, 287 staf medis, 5.153 wanita, dan 7.729 anak-anak.
Kerusakan fisik apalagi. Zionis Israel telah menghancurkan 3 gereja, 194 masjid, 275 sekolah, 121 gedung pemerintahan, 58 ambulan, 21 rumah sakit, 52 ribu rumah penduduk rusak permanen, dan 253 ribu rumah penduduk rusak sebagian. Kerusakannya memang tidak main-main yang dibuat oleh bangsa yang memang layak dijuluki sebagai bangsa paling rusak dan merusak di dunia. Sekaligus bangsa yang paling banyak dikutuk umat manusia pada saat ini.
Benarlah Hasyim Muzadi dalam tulisannya usai peristiwa Mavi Marmara pada 31 Mei 2010, “Bangsa Israel memang sudah menjadi bahan cercaan, kutukan, dan laknatan sejak dahulu kala, jauh sebelum lahirnya peradaban modern. Mereka juga termasuk bangsa yang paling sering berhubungan dengan Tuhan, bukan apa-apa, tapi karena suka menumpahkan darah dan merusak tatanan kehidupan serta penistaan terhadap kesucian firman-Nya.”
Masyarakat dunia tahu bahwa kebengisan yang dipertunjukkan oleh Zionis Israel tidak bisa lepas dari dua negara ini: Inggris dan Amerika Serikat. Inggris sejak 1917 dan lepas tangan meninggalkan Palestina di tahun 1948. Kemudian digantikan Amerika Serikat hingga saat ini.
Kata Noam Coamsky, motif satu-satunya Amerika Serikat mendukung Zionis Israel habis-habisan adalah Israel adalah pangkalan militer AS. Ia adalah salah satu negara yang, sebagaimana halnya Turki, mengontrol kawasan Timur Tengah secara militer demi kepentingan Amerika Serikat. Dan pihak Palestina tidak menawarkan apa pun. Mereka tidak punya kekuatan, mereka tidak punya kekayaan, maka mereka pun tidak punya hak-hak.
Wajar kalau sampai detik ini pun, Amerika Serikat masih mengirimkan alat-alat perangnya kepada Zionis Israel untuk membunuh nyawa-nyawa tidak berdosa. “Rakyat Palestina di mata pemerintah AS sama saja nilainya dengan rakyat Rwanda,” kata Noam Coamsky di Palo Alto, California pada 22 Maret 2002.
Rwanda adalah negara Afrika yang dilanda genosida yang dilakukan oleh Suku Hutu kepada Suku Tutsi pada tahun 1994. Dalam 100 hari diperkirakan jumlah korban pembantaian mencapai 500 ribu sampai sejuta orang. Mengutip Dallaire dalam bukunya berjudul Berjabat tangan dengan Iblis: Kegagalan Kemanusiaan di Rwanda, jumlah korban sebesar itu salah satu penyebabnya adalah keengganan negara-negara besar untuk memperkuat Pasukan Perdamaian PBB yang sudah kewalahan.
Sepertinya dunia akan mengulang peristiwa tahun 1994 dengan diamnya negara-negara besar untuk menghentikan pembantaian di Jalur Gaza.
*Kehumasan atau Propaganda?*
Sebenarnya Zionis Israel bukan tanpa malu-malu menunjukkan semua kebiadabannya itu. Mereka tetap saja ingin dianggap sebagai negara beradab. Maka mereka berusaha menutupi semuanya itu dengan segala cara. Narasi kehumasan (baca: propaganda) yang mereka pakai adalah seolah-olah mereka yang menjadi korban dan Hamas adalah teroris.
Coba kita lihat apa yang dinyatakan oleh Netanyahu pada saat mengumpulkan sekitar 80 duta besar asing di Kirya, Tel Aviv pada Senin, 6 November 2023. Penjagal itu menyatakan, “Tapi ini membutuhkan kemenangan. Kami punya kemauan dan kami punya kekuatan untuk melakukannya. Kita akan menang. Dan kami percaya bahwa semua kekuatan beradab harus mendukung kami dalam upaya ini karena pertempuran ini adalah pertempuran Anda dan kemenangan kami adalah kemenangan Anda.”
Dari sini kita mengetahui, Netanyahu ingin mendapatkan dukungan dari banyak negara sehingga Zionis Israel bebas melakukan pembantaian.
Netanyahu juga mengatakan, “Saya juga berbicara kemarin dengan presiden Palang Merah dan saya memintanya untuk secara pribadi terlibat dalam upaya yang telah kita bicarakan dengan Palang Merah sejak hari pertama perang, yaitu menuntut pembebasan segera dan tanpa syarat sandera dan akses ke sandera dan informasi tentang para sandera. Sesuatu yang diwajibkan oleh hukum kemanusiaan internasional dan Hamas juga melanggarnya.”
Pernyataan-pernyataan Netanyahu ini mestinya ditertawakan dunia internasional. Kita harus menyodorkan cermin kepadanya karena dunia tahu siapa yang tidak beradab dan melanggar hukum kemanusiaan.
Dunia tahu kebohongan-kebohongan itu karena zaman sudah berubah. Informasi tidak bisa lagi ditutupi dan didapat hanya dari media arus utama yang dikuasai oleh pendukung ideologi paling berbahaya di dunia, yakni Zionisme. Sarana informasi sudah terdisrupsi dengan adanya media sosial, sebuah senjata makan tuan. Semua orang bisa mengabarkan, semua bisa menjadi jurnalis. Zionis Israel harus membunuh seluruh penduduk Gaza apabila ingin menyumpal kebenaran yang hendak muncul.
Walaupun informasi melalui media sosial pun sengaja dihambat dengan berbagai macam algoritma, tetapi informasi kondisi nyata yang terjadi di Gaza seperti air yang berusaha melewati celah sekecil apa pun untuk bisa diketahui oleh masyarakat dunia. Cobalah platform Telegram, maka kita bisa menemukan fakta yang tidak akan ditemukan dalam platform media sosial lainnya yang sudah mulai dibatasi.
Pada akhirnya, Netanyahu menutupi kebenaran dengan segala cara. Bahkan ia mengadopsi doktrin dari tokoh yang paling dibenci oleh masyarakat Yahudi saat ini: Hitler. Sosok kejam Jerman itu pernah menulis di tahun 1924: “Tugas propaganda bukanlah untuk melakukan studi yang objektif mengenai kebenaran, yang sejauh ini malah menguntungkan musuh, lalu menyajikannya ke massa dengan kejujuran akademis; tugas tersebut melainkan untuk menunaikan hak kita sendiri, selalu dan tanpa ragu.” Silakan cek sendiri di laman web Eksiklopedia Holocaust.
Memang, sekali lagi, tak bisa dimungkiri, peristiwa selama dua bulan terakhir ini telah membuka mata dunia untuk mengetahui siapa yang berbohong dan siapa yang tidak.
***
9 Desember 2023
---------------
Baca Juga: Palestina | Pict: Hidayatullah